BUAH HATI 14
(Tien Kumalasari)
Indra sangat terkejut.
“Seruni, Seruni...” bisiknya berkali-kali.
Indra mengangkat tubuh Seruni dan dibawanya kedalam, langsung masuk keruang UGD.
Indra menghela nafas sedih.
“Isteriku terlalu lelah. Sangat berat beban yang harus dipikulnya. Ia bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga memikirkan keinginan kedua mertuanya, memikirkan keselamatan pembantunya,” gumam Indra diruang tunggu itu.
Sekarang dia menunggui dua orang perempuan yang terbaring lemah didalam sana. Isterinya dan pembantunya.
Indra menyandarkan kepalanya di sandaran bangku tunggu, memejamkan matanya yang terasa pedih oleh air mata yang menggenanginya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari pak Mul. Indra mengangkatnya. Tapi ia berjanji tak akan mengatakan kepada pak Mul tentang keadaan anaknya. Indra khawatir pak Mul menjadi sedih dan itu akan berpengaruh kepada kesehataannya.
“Ya, pak Mul,” jawab Indra.
“Mas Indra.. bagaimana keadaan Surti ?”
“Oh.. Surti.. baik pak.. mm.. dia.. sedang bingung.. karena ponselnya hilang. Besok barangkali baru mau beli.” Nah lo.. Indra besok harus benar-benar membelikan ponsel untuk Surti.
“Oh, jadi dia tak apa-apa nak?”
“Tidak pak, tadi masih letih, barangkali, biarlah dia istirahat dulu.”
“Jadi benar dia dirampok?”
“Ya.. tapi dia selamat, tidak apa-apa. Barang-barangnya hilang, bukan masalah kan pak, yang penting dia selamat. Dia juga belum cerita banyak. Hanya perkiraan saya dia dirampok karena datang tanpa membawa apa-apa.”
“Oh, kasihan anakku.”
“Dia senang pak Mul sudah sehat.”
“Iya nak, tentu saja.. Baiklah nak, katakan pada Surti bahwa saya menunggu berita darinya. Kalau sudah ada ponselnya, suruh dia menelpon saya ya mas.”
“Baik pak Mul.”
“Keluarganya ibu Surti,” tiba-tiba terdengar perawat memanggil .
“Sebentar pak, baru ada tamu,” kata Indra berbohong, kemudian segera menutup ponselnya. Tapi apakah pak Mul tidak curiga mendengar suara-suara yang bukan seperti didalam rumah?
Indra mendekat.
“Bapak suaminya?”
“Oh, bukan , dia pembantu saya. Isteri saya yang belakangan, namanya Seruni.”
“Oh, ibu Seruni baru diperiksa dokter.”
“Baiklah, bagaimana dengan Surti?”
“Sementara ini dinyatakan bahwa dia dehidrasi. Sudah dalam penanganan. Tapi dia harus dirawat beberapa hari disini. Badannya panas sekali."
“Baiklah, lakukan yang terbaik.”
“Kami akan menyiapkan kamar untuk ibu Surti.”
“Silahkan, pilihkan kamar yang baik .”
Indra kembali duduk. Mengapa perawat itu belum mengatakan tentang isterinya?
“Bapak Indra..”
Indra mendekat.
“Isteri bapak sudah sadar.”
“Oh bisa saya menemuinya?”
“Silahkan pak.”
“Sakit apa isteri saya?”
“Dugaan sementara hanya kelelahan, tapi besok akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut.”
“Harus dirawat juga?”
“Ya bapak. Sekarang silahkan kalau mau menemuinya.”
“Terimakasih suster," katanya sambil melangkah masuk.
“Seruni... cintaku.. sayangku.. apa yang terjadi pada diri kamu..? Aku sangat ketakutan melihatmu seperti ini..”
Seruni menatap wajah suaminya, mencoba tersenyum tipis.. membiarkan suaminya menciumi tangannya tak henti-henti.
“Aku tidak apa-apa, mengapa dibawa kemari?” tanya Seruni lemah.
“Seruni... kamu tiba-tiba pingsan, aku benar-benar ketakutan. Kamu lelah Seruni, kamu tak perlu memikirkan semuanya. Lepaskan beban dan jalani hidup apa adanya.”
“Mas terlalu berlebihan.”
“Seruni, aku tidak ingin kamu sakit .. dengar kata-kataku ya..”
“Mas Indra, terkadang mas terlalu berlebihan menjagaku, seakan akan aku ini bayi atau anak kecil.. “
“Seruni.. benar kamu seperti bayi.. atau anak kecil yang bawel dan susah diatur, jadi setiap hari aku harus menjewer kuping kamu.”
Seruni tersenyum, wajah pucatnya sedikit memudar. Indra mengelus kepalanya lembut.
“Mas, Surti bagaimana ?”
“Dia sudah dipindahkan diruang rawat, aku belum menemui dia. “
“Temuilah mas, tanyakan apa yang dirasakannya.”
“Seruni, isteriku sendiri sakit, aku harus memperhatikan kamu dan yakin bahwa kamu baik-baik saja. Surti hanya dehidrasi, nanti kalau kamu sudah dipindahkan keruang rawat, aku mau menengok dia.”
“Aku mau pulang saja mas..”
“Tuh kan, kumat bawelnya..”
“Mas, aku hanya sedikit pusing...”
“Ini tengah malam, dokter harus tahu penyakitmu apa.”
“Bukankah tadi sudah diperiksa?”
“Besok akan ada pemeriksaan lanjutan.”
“Seperti aku sakit berat saja..”
Indra menampakkan wajah cemberut, Seruni tersenyum, lalu mencubit lengan suaminya.
“Mas Indra jelek ah ..”
“Masa? Aku ganteng, tahu !!”
Tapi kemudian Seruni memijit kepalanya dengan sebelah tangan. Indra menatapnya khawatir.
“Kepala kamu pusing?”
“Sedikit.”
“Tuh, sekarang kamu harus tidur.”
“Bapak, kamar untuk ibu Seruni sudah siap, bisa saya pindahkan sekarang?”
“Tentu suster, silahkan..” Lalu Indra menyingkir, menunggu diluar lalu mengikuti ketika perawat mendorong brankar nyang membawa isterinya kekamar rawat.
***
Indra kemudian memasuki kamar Surti. Ia melihat Surti memejamkan mata, Indra tak ingin membangunkannya.
Sungguh repot, dua perempuan serumah sama-sama berada dirumah sakit. Semuanya membebani pikirannya, terutama isterinya yang dianggapnya sakit karena kelelahan setelah Surti berpamit untuk pulang.
Indra kembali keruang rawat isterinya, mendekatinya karena melihat Seruni belum juga tidur.
“Seruni, kamu kenapa? Tidurlah, supaya segera pulih.”
“Bagaimana Surti? Mas sudah menengoknya?”
“Sudah, dia tertidur.”
“Mas tidak bicara apa-apa sama dia?”
“Bagaimana bicara sama orang tidur? Kamu aneh-aneh saja. Sekarang kamu tidurlah, aku menunggu disitu.”
“Mas juga harus tidur. Kalau bisa besok aku mau pulang ya mas.”
“Tergantung apa kata dokternya. Jangan membantah atau aku jewer telinga kamu.”
Seruni memejamkan matanya, lalu Indra pergi ke sofa dimana kemudian ia merebahkan dirinya. Lelah lahir batin menderanya.
Pagi itu setelah sholat subuh Indra pamit kepada isterinya untuk mengambil baju ganti dirumah. Dia juga harus mandi dan berganti pakaian.
“Mas, nanti mas sarapan apa?”
“Seruni, aku kan bisa kemana-mana, bisa beli diluar, banyak makanan untuk sarapan, jadi kamu tidak usah mikirin aku. Tenang saja dan semangat, agar segera sembuh.”
“Aku pengin ikut mas.”
“Apa? Kamu bercanda?”
“Pengin nasi liwet...”
“Nanti aku belikan, sekarang aku mau pulang dulu, kamu juga butuh ganti pakaian.”
“Jangan banyak-banyak, aku nggak mau lama.”
“Hiiih... kamu nih . Sudah, jangan rewel. Aku pulang dulu sebentar.”
Indra mencium pipi Seruni dan berlalu, tapi belum sampai pintu Seruni kembali berteriak memanggil.
“Maaas..”
Indra berhenti, tapi tidak berbalik kearah Seruni, dia hanya menoleh.
“Tolong lihatlah keadaan Surti mas.”
“Iya.. iya...”
Tapi Indra langsung menuju keluar dan pulang. Sekarang dia ingat, harus memikirkan juga baju-baju ganti untuk Surti.
Indra menghela nafas panjang. Tak terbayangkan betapa hidup tanpa isterinya, semuanya serba harus difikirkan, belum pekerjaan kantor yang sudah dua hari terbengkalai.
Indra sampai di arena parkir, tanpa sadar sepasang mata menatapnya heran.
***
Surti membuka matanya, tubuhnya tak lagi menggigil. Tapi kepalanya terasa sangat berat, dan kakinya sangat kaku.
“Ini karena aku berjalan berkilo-kilo... “ gumamnya lirih.
“Tak ada yang menengok aku.. kemana bu Indra? Siapa yang membawaku kemari?”
Tiba-tiba seseorang masuk, Surti terkejut melihatnya.
“Surti ? Kamu sakit apa?”
“mBak Susi...”
“Lusi..! Kamu belum berubah ya setelah lama tidak ketemu.”
“Ma’af.”
“Kamu sakit apa?”
“Entahlah mbak. Tapi bagaimana mbak Susi bisa tahu kalau saya ada disini?”
“Aku melihat Indra keluar, lalu melihat-lihat siapa yang sakit, lalu aku membaca namamu diluar kamar ini. Aku masuk dan ternyata benar kamu.”
“mBak Susi sakit?”
“Lusi!”
“Ma’af, mbak Lusi sakit?”
“Mertuaku yang sakit, sudah tiga hari disini. Tapi keadaannya sudah membaik. Mungkin siang nanti sudah bisa pulang.”
“Oh...”
“Aku melihat Indra. Ya ampuun.. manis sekali, sakit dirumah sakit ditungguin majikan ganteng. Aahaa.. kamu sudah berhasil menggaetnya?”
Surti bingung mendengar kata-kata Lusi. Ia tak melihat majikan gantengnya disini.
“Tapi apa benar dia menunggui aku, lalu pulang sebelum aku terbangun?” pikir Surti
“Kamu nih, diam-diam pinter juga Surti, aku iri sama kamu.”
“Aku tidak mengerti mbak.”
“Tapi aku mengerti, ya sudah, aku pergi dulu, aku harus bersiap-siap untuk untuk kepulangan mertuaku.”
Lusi pergi begitu saja, dan Surti masih tergolek dengan perasaan bingung.
“Masa sih, pak Indra menunggui aku disini? Lalu dimana bu Indra? Terus aku ini sakit apa, lenganku ditusuk jarum.. diinfus segala..”
Ketika seorang perawat datang dan mengukur tensi serta mengukur suhu badannya, Surti baru bisa bertanya.
“mBak, saya ini sebetulnya kenapa? Mengapa ada disini, siapa yang membawa saya mbak?”
“Ketika mbak dibawa kemari, mbak dalam keadaan pingsan. “
“Siapa yang membawa ya mbak? Apa pak Indra?”
“Bagian depan yang tahu sa’at mbak dibawa kemari. Ya, mungkin namanya Indra, dia tadi malam sempat menjenguk sebentar, lalu pergi lagi.”
“Oh, semalam ?”
“Kan isterinya juga dirawat disini mbak.”
“Lhoh, bu Indra dirawat, sakit apa? Saya mau turun dulu..”
“Lho mbak mau kemana? Kan mbak Surti sedang diinfus. Lagi pula badan mbak masih panas, suhu tubuh belum normal, jadi tidak boleh bangun dulu.”
“Tapi saya mau melihat majikan saya mbak, bu Indra itu majikan saya.”
“Nanti kalau mbak sudah sembuh baru boleh kesana. Sabar dulu ya mbak?”
“Sakit apa bu Indra? Kasihan.. aku tidak bisa merawatnya,” kata Surti dengan mata berkaca-kaca.
“Saya tidak tahu mbak, bu Indra berada diruang yang berbeda.”
“Ya Tuhan, buruk benar nasibku ini. Mengalami hal yang membuatku sakit, lalu majikanku juga sakit. Apa yang harus aku lakukan?"
“mBak jangan banyak memikirkan hal yang berat-berat. Majikan mbak kan sudah ditangani dokter, jadi mbak tidak usah menghawatirkannya. Ya.”
Surti mengangguk, badannya masih terasa tidak enak dan lemas, benar kalau perawat itu mengatakan bahwa suhu badannya masih tinggi. Untunglah sekarang sudah tidak lagi menggigil.
Perawat merapikan kan selimut Surti dan pergi meninggalkannya.
***
Pagi hari itu pak Mul hilir mudik dikebun, tak mengerjakan apapun. Hatinya gelisah karena belum bisa berbincang dengan anaknya.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Mas Indra seperti menyembunyikan sesuatu. Ketika menelpon itu, suasananya kok seperti dirumah sakit ya? Siapa yang sakit?"
"Mul, ngapain kamu melamun disitu?" sapa pak Pras yang kemudian mendekatinya.
"Iya pak, sedang memikirkan Surti. Ma'af, belum selesai bersih-bersih."
"Aku itu kan sudah melarang kamu supaya tidak usah bekerja dulu. Kamu kan baru saja sembuh dari sakit. Nanti kumat lagi, bagaimana?"
"Cuma menyapu saja kok pak."
"Jangan, nanti kan sudah ada yang mengerjakan. Sudah kamu duduk saja disitu."
Pak Pras lalu duduk disebuah bangku dikebun itu, tak jauh dari pak Mul yang juga sedang duduk sambil mencabuti rumput liar.
"Mengapa kamu masih memikirkan Surti? Dia kan sudah tidak apa-apa, barangkali benar barang-barangnya dirampok, tapi kan dia selamat. Ya kan?"
"Saya ingin bisa bicara sama Surti, kok belum bisa. Ada apa ya pak?"
"Mungkin dia masih istirahat Mul, sabarlah, bukankah kamu bilang bahwa ponselnya hilang? Barangkali dia sungkan meminjam ponsel majikannya."
"Barangkali begitu ya pak."
Tiba-tiba ponsel pak Mul berdering, dilihatnya sebuah nomor yang tidak dikenalnya. Apa nomor Surti yang baru?"
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment