Saturday, August 29, 2020

Buah Hati 15


BUAH HATI 15

(Tien Kumalasari)

 Pak Mul tidak segera mengangkat tilpunnya.

“Kok nggak diangkat to Mul..”

“Nomernya nggak kenal tuh pak..”

“Lha siapa tahu dari anakmu, kan ponselnya hilang..”

“Oh, iya...” pak Mul segera mengangkat ponselnya.

“Hallo...”

“Ini pak Mul kan?”

“Betul, ini siapa ya?”

“Lho, pak Mul kok nggak ingat suara saya, saya Lusi pak.”

“Ooh, mbak Lusi? Ada apa mbak?”

“Sa’at ini saya ada di Solo, kata pembantu, plafon yang dibetulkan pak Mul itu kok masih bocor. Apa pak Mul bisa membetulkan?”

“Oh, bisa mbak, tapi tidak sekarang, saya baru sembuh dari sakit.”

“Lho, pak Mul sakit apa?”

“Kemarin dirumah sakit dua hari, biasa mbak, darah tinggi, Cuma sekarang saya ingin istirahat dulu.”

“Ya sudah, kapan-kapan kalau sudah sehat tolong dibetulkan ya.”

“Baik mbak.”

“Kemarin saya ketemu Surti.”

“Oh ya..”

“Entah dia sakit apa, dia opname dirumah sakit.”

Pak Mul terkejut, sekilas tak bisa berkata apa-apa.

“Pak Mul tidak tahu?”

“Tidak.. tidak, dia tidak memberitahu saya. Bagaimana keadaannya?”

“Ya, sepertinya masih pucat, tapi bisa bicara lancar. Dan beruntung Surti itu, semalaman Indra menunggui dirumah sakit. Jangan-jangan Indra suka sama Surti.”

“Apa ?”

Lusi tertawa.

“Pak Mul harus bersiap-siap punya menantu Indra, kan dia ganteng, dan siapa tahu Surti bisa melahirkan anak untuk Indra.”

“Apa?”

“Bukankah Seruni tidak bisa punya anak?”

Pak Mul tidak bisa menjawab, bahkan dia masih bengong ketika Lusi sudah menutup ponselnya.

“Ada apa to Mul, habis menerima telpon kok terus bengong begitu,” tanya pak Pras heran.

“Ini tilpun kok aneh..”

“Aneh bagaimana? Siapa yang menelpon Mul?”

“Itu pak.. mbak Lusi..”

“Lusi ? Lusi yang dulu temannya kuliah Indra?”

“Iya pak.”

“Ngomong  apa dia?”

“Katanya... Surti ada dirumah sakit...”

“Lho.. apa benar itu. Lusi itu kalau ngomng seenaknya lho Mul, jangan mudah percaya kamu.”

“Iya, saya juga ragu-ragu. Tapi dia.. dia.. katanya...” tergagap pak Mul mengatakannya, bingung mendengar perkataan Lusi.

“Dia bilang apa, kok kamu seperti orang linglung begitu?”

“Dia itu kan.. anu pak.. katanya.. mas Indra menungguinya semalaman, dan sepertinya.. mas Indra suka sama Surti.. lalu.. berharap Surti bisa melahirkan anak untuk mas Indra.. aap..apa maksudnya ini, saya bingung.”

“Apa benar begitu?”

“Kata mbak Lusi tadi begitu...”

Pak Prastowo bergegas masuk kerumah, mencari dimana isterinya berada.

“Bu... bu... dimana ta ibu ini?”

“Aku dikamar pak, “ jawab bu Prastowo dari dalam kamar.

Pak Prastowo membuka kamar, wajahnya kelihatan gusar.

“Aku kira kamu di dapur.”

“Baru selesai mandi, ada apa sih pak.”

“Ibu tahu tidak, Indra mau mengambil Surti sebagai isteri.”

“Apa ?”

"Iya.. Surti mau diambil isteri oleh anakmu, berharap Surti bisa melahirkan anak untuk Indra. Ini gila, mengapa mengambil pembantu sebagai isteri? Apa tidak ada perempuan lain?  Keterlaluan Indra itu.”

“Bapak dengar dari siapa?”

“Itu... Mul yang bilang.”

“Kok Mul bisa tahu, Indra sudah melamar Surti ke ayahnya?”

“Tidak, Mul dengar dari Lusi.”

“Aah, Lusi mana bisa dipercaya pak. Dia itu kan suka ngomong seenaknya, dan suka mengada-ada.”

“Tapi ini sepertinya serius. Surti ada dirumah sakit, kata Lusi Indra menunggui semalaman. Tampaknya Indra suka sama Surti.”

“Bapak tanya saja sama Indra, apa itu benar?”

“Segan aku tilpun  kesana bu, paling-paling apa yang akan aku katakana nanti, dia tidak akan menggubrisnya. Bukankah aku berkali-kali memberi saran tapi tak ada yang dijalaninya?”

“Bapak itu gimana. Kalau begitu biar ibu saja yang telpon.” Bu  Prastowo segera mengambil ponselnya, lalu menelpon Indra.

“Kok tidak diangkat ya. Tut..tut... terus.”

“Dicoba lagi .. sekali lagi.”

Bu Prastowo mencobanya sekali lagi.

“Hallo, ini ibu ?” yang menjawab adalah Seruni, karena ponselnya diletakkan dimeja sebelah pembaringan Seruni.

“Lho, kok kamu yang angkat? Mana Indra?

“Mas Indra sedang keluar ibu.”

“Baiklah, bilang sama Indra ya, bapak sama ibu tidak setuju kalau Indra menikahi Surti!”

Seruni terkejut.

“Ibu...”

“Sudah begitu saja, tolong bilang sama Indra. Atau jangan-jangan ini usulan kamu?” hardik bu Pras kasar.”

“Ibu.. dengar dulu..”

“Tidak, itu saja. Ibu tidak mau mendengar apa-apa.”

Seruni menghembuskan nafas kesal.  Badannya sedang merasa tidak enak, tiba-tiba  ibu mertuanya menghardik dengan kata-kata yang begitu kasar.

“Tapi darimana ibu mendengar hal itu? Aku hanya bicara sama mas Indra, apa mas Indra bilang sama bapak dan ibunya?”

Seruni meletakkan ponsel itu lagi ditempatnya, lalu memejamkan matanya. Kepalanya mendadak kembali merasa pusing. Benar kata suaminya, rupanya dia tak boleh terbebani dengan masalah-masalah yang membuatnya sedih.

“Kemana mas Indra, mengapa lama sekali?”

Ketika Indra datang, ia heran melihat isterinya memejamkan mata, tapi ada air mata mengalir dari sana.

“Seruni, ada apa?” tanyanya sambil menggenggam tangan isterinya.

“Mas kemana saja?” tanyanya diantara isak.

“Aku keluar, membeli ponsel ini untuk Surti. Bapaknya ingin bicara, tapi tampaknya dia enggan meminjam ponselku.”

“Sudah mas berikan ?”

“Belum, mau aku tunjukan dulu sama kamu, Kamu ada apa, mengapa menangis?”

“Ibu baru saja menelpon mas.”

“Hm, menanyakan tentang anak lagi?”

“Bukan, tiba-tiba ibu bilang, bahwa bapak dan ibu tidak setuju kalau mas menikahi Surti.”

“Lhoh.. kok tiba-tiba bilang begitu?”

“Apa mas penah bilang pada bapak atau ibu bahwa mas bersedia menikahi Surti dan itu atas saran aku?”

“Tidak, aku tidak bilang sama siapapun, apalagi sama bapak atau ibu.”

“Kok ibu bisa bilang begitu? Aku ingin menjawab tapi ibu tak mau mendengar, langsung menutup ponselnya.”

“Ada-ada saja. Kok bisa ibu mendengar hal itu, siapa yang bilang?”

“Itulah mas, aku juga bingung.”

“Semua itu membuat kamu kepikiran ya sayang? Sudah jangan difikirkan, kamu harus semangat dan cepat sehat. Katanya pengin cepat pulang.”

Indra memeluk isterinya, agar isterinya merasa tenang.

“Mas berikan dulu ponselnya pada Surti, biar bapaknya merasa tenang. Tapi mas pesan sama Surti agar tidak usah menceritakan kalau dia lagi sakit. Ceritakan yang baik-baik saja supaya pak Mul juga merasa tenang.”

“Baiklah, aku temui dia saja dulu.”

***

Ketika Indra memasuki kamar Surti, dilihatnya Surti sedang terjaga. Matanya menatap kearah langit-langit, seperti ada yang difikirkannya.

"Surti.."

Surti menoleh kearah Indra dan berusaha bangkit.

"Sudah tiduran saja. Kamu masih merasa sakit?"

"Tidak pak, bagaimana dengan bu Indra, saya mendengar bahwa bu Indra juga sedang dirawat. Saya ingin menjenguknya tapi dilarang oleh suster perawat."

"Tidak apa-apa, dia hanya kecapekan. Ini aku bawakan ponsel untuk kamu," kata Indra sambil  mengulurkan ponsel yang sudah dibuka dari bungkusnya.

"Bapakmu menunggu telpon dari kamu, kasihan dia," sambungnya.

"Oh, baiklah, terimakasih pak, saya akan menelponnya sekarang. Tapi saya tidak hafal nomornya bapak."

"Sudah ada disitu, kamu tinggal memencet namanya."

"Terimakasih pak."

"Tapi ingat, tadi bu Indra pesan, kamu jangan bilang kalau kamu ada dirumah sakit. Berbicaralah seakan kamu baik-baik saja. Jangan bercerita tentang hal yang membuat bapak kamu sedih. Kasihan dia."

"Iya pak, saya tidak akan mengatakan hal yang membuat bapak sedih."

Indra meninggalkan kamar itu, dan Surti mulai menelpon bapaknya. 


“Hallo, “ suara pak Mul dari seberang. Suaranya terdengar lemah.

“Bapak, ini Surti..”

“Surti?”

“Iya, bapak baik-baik saja? Mengapa suaranya terdengar lemas begitu ?”

“Surti, bapak sedih memikirkan kamu.”

“Mengapa sedih bapak?”

“Kamu sehat ?”

“Sangat sehat bapak, ma’af baru bisa  ngomong sama bapak, karena ponsel saya hilang.”

“Ya, bapak tahu, yang bapak tidak tahu adalah, bahwa kamu sakit tapi bilang sehat.”

Surti terkejut.

“Apa maksud bapak? Surti sehat bapak.”

“Mengapa kamu berbohong?”

“Bapak...”

“Kalau kamu sehat, tak mungkin kamu dirawat dirumah sakit.”

Sesa’at Surti tak bisa berkata-kata. Bagaimana bapaknya bisa tahu?

“Mengapa kamu bohong Surti ?”

“Bapak, ma’afkan Surti, semua ini Surti lakukan agar bapak tidak sedih. Tapi Surti tidak apa-apa. Surti hanya kelelahan bapak," kata Surti.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Dalam perjalanan, Surti dirampok pak, semua barang Surti diambil orang, sehingga Surti tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dan memilih kembali ke Solo.”

“Benarkah kamu tidak apa-apa?”

“Benar bapak, nanti kalau Surti sudah membaik, Surti akan pulang ke Surabaya.”

“Bapak mendengar, apakah mas Indra suka sama kamu?”

“Pak Indra sangat baik, demikian juga bu Indra. Ponsel ini juga pak Indra yang membelikannya. Baru saja, dan langsung Surti menelpon bapak.”

“Maksudku bukan baik, tapi apakah dia suka sama kamu, dan akan mengambil kamu sebagai isteri?”

“Ya ampun bapak.. apa pak Indra bilang begitu sama bapak?” dan tiba-tiba Surti berdebar-debar.

“Bukan, mas Indra tidak pernah bilang apa-apa sama bapak.”

“Lalu dari mana bapak berpendapat seperti itu?”

“Dari mbak Lusi. Katanya barusan dia ketemu kamu? Katanya lagi mas Indra menungguimu semalaman dirumah sakit.”

“Ooh.. mbak Lusi.... Aduuh, bapak jangan mendengarkan apa kata mbak Lusi, dia itu suka ngomong sembarangan. Pak Indra semalaman disini, karena bu Indra juga sedang dirawat.”

“Bu Indra dirawat? Sakit apa?”

“Kata pak Indra juga karena kelelahan.”

“Oh, ya sudah Sur, bapak kira itu benar. Luar biasa kalau mas Indra mau sama kamu. Tapi bapak hampir percaya, ketika tahu bahwa bu Indra tidak akan bisa melahirkan seorang anakpun. Apa dia mandul?”

“Mungkin pak, tapi kita tidak usah ngomong yang tidak-tidak, itu namanya omong kosong. Yang penting bapak sehat, saya juga sehat. Ya kan pak?”

Ketika pembicaraan itu selesai, Surti masih termangu. Bagaimana Lusi bisa mengatakan itu semua pada ayahnya. Bahkan mengatakan bahwa Indra menungguinya semalam, padahal dia menunggui isterinya yang juga dirawat disitu.

***

Dua hari kemudian Surti sudah boleh pulang.

“Mas, mengapa Surti sudah boleh pulang sedangkan aku belum ?”

“Karena tekanan darahmu belum stabil.”

“Tapi aku merasa sudah baik mas,” Seruni merengek seperti anak kecil.

“Nanti aku bicara sama dokternya dulu. Sabar Seruni, kan aku selalu menemani kamu? Paling-paling aku tinggal sebentar kekantor, lalu kembali lagi kemari.”

“Bukankah aku bisa beristirahat dirumah saja?”

“Iya sayang, nanti aku akan ketemu dokternya.”

“Bu Indra...” tiba-tiba Surti muncul. Berjalan sedikit terpincang.

“Surti, bagaimana keadaanmu ?” tanya Seruni tampak gembira.

“Sudah baik bu, sekarang saya boleh pulang.”

“Mengapa jalanmu seperti terpincang begitu?”

“Kaki saya masih sedikit sakit. Mungkin karena berjalan sangat jauh.”

“Ya ampun Surti, kasihan sekali kamu.”

“Tidak apa-apa bu, kan saya sudah sehat. Saya bisa melakukan apa saja, apalagi ibu sedang sakit.”

“Aku juga sudah mau pulang Surti.”

“Ini nanti kamu langsung pulang ya, ini kunci rumah," kata Indra sambil mengulurkan kunci rumah.

“Kamu tidak usah melakukan apa-apa Surti, kamu istirahat saja dulu, dan obat dari dokter selalu diminum. Kalau mau makan, beli saja diwarung depan, tidak usah memasak.”

“Ini, bawa uangnya, kalau perlu sesuatu pakai saja,” kata Indra sambil mengulurkan dua lembar uang ratusan.

“Pulangnya sudah aku pesankan taksi on line. Kamu tidak usah bayar. Sekarang kamu tunggu diluar, pasti dia sudah datang,” sambungnya lagi.

“Terimakasih pak.”

“Mas, apa tidak sebaiknya mas mengantar sampai kedepan? Nanti Surti keliru naik taksinya,” kata Seruni.

***

Surti sudah masuk kedalam taksi yang dipesan Indra. Indra bersiap kembali kedalam untuk menemui isterinya.

Sedikit lega karena Surti sudah boleh pulang, pasti pekerjaan rumah akan sedikit berkurang dengan kembalinya Surti dari rumah sakit.

Indra juga merasa lega karena keadaan isterinya semakin membaik. Mungkin besok dia boleh membawa isterinya pulang.

Tapi tiba-tiba ketika berjalan itu terdengar seseorang memanggilnya.

“Pak Indra !!”

Indra menoleh, dan melihat seorang wanita cantik dengan jas dokter berwarna putih bersih berjalan kearahnya.

“Doker Melani ?”

“Pak Indra, disini ngapain? Saya hanya mengingatkan, hasil lab ibu Seruni belum diserahkan kepada saya lho.”

Indra menepuk dahinya keras-keras.

“Ya ampun dokter, sampai saya lupa...ini mau saya ambil sekarang dokter. Bingung saya, soalnya Seruni juga sudah empat hari dirawat disini. Jadi saya lupa.”

“Lho, ibu Seruni sakit apa?”

“Mungkin kecapekan dok, pembantunya pulang, lalu mengerjakan semuanya sendiri.

"Oh, tapi sudah baik kan?"

"Mungkin besok sudah boleh pulang."

"Oh, syukurlah. Saya tunggu hasil labnya ya. Mudah-mudahan menunjukkan sesuatu yang baik."

 "Baik dokter, saya ambil sekarang juga dan akan saya bawa kepada dokter.”
***

Bersambung


No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER