BUAH HATI 16
(Tien Kumalasari)
Indra memasuki kamar rawat Seruni dengan tergesa. Ia kemudian membuka dompetnya, seperti mencari-cari.
“Ada apa to mas?” tanya Seruni yang sudah duduk dipinggiran ranjang.
“Itu... aduh... aku letakkan dimana ya..”
“Apa sih ?”
“Surat.. eh.. tanda terima laborat itu..”
“Laborat apa?”
“Laborat.. itu.. yang dari dokter Melani..”
“Ah, mas Indra masih memikirkan itu lagi,” kata Seruni dangan wajah muram. Sebenarnya dia sudah letih menemui doter kandungan.
“Tadi aku ketemu dokter Melani, aku ditegur kok tidak membawa hasil lab itu kepadanya. Sekarang mau aku ambil sekalian.” Indra masih terus mencari-cari diantara lembaran-lembaran kertas yang ada didompetnya.
“Aku nggak usah ikut ke dokter Melani ya.”
“Gampang, hanya hasil lab itu saja, aduh.. dimana aku letakkan ya.”
“Didalam tasku mas..” kata Seruni enteng.
“Ya ampun, bilang dari tadi...!” tegur Indra sambil bersungut.
Seruni hanya tersenyum. Geli melihat ulah suaminya mencari-cari sementara barang yang dicari ada didalam tasnya.
Indra sudah menemukan tanda terima itu lalu bergegas meninggalkan Seruni.
“Mas mau langsung ke dokter Melani?”
“Ya, katanya kamu nggak mau ikut?”
“Iya mas, aku nunggu disini saja sambil tiduran.. “ kata Seruni sambil kembali merebahkan tubuhnya.
***
Surti sudah sampai dirumah. Ia langsung membersihkan kamarnya dan seisi rumah. Kakinya masih terasa kaku, ia menggosoknya dengan minyak hangat sebelum melakukan tugasnya.
Ia menjerang air dan memasak sedikit nasi. Ia tak ingin membeli dan akan memasak apa saja yang ada didalam kulkas.
Beberapa jam lamanya dia sudah menyelesaikan semua yang harus dikerjakannya, kemudian mandi dan membaringkan tubuhnya yang masih terasa letih.
Sambil memejamkan matanya ia kembali mengingat hal-hal yang pernah dilaluinya. Bayangan wajah wanita cantik itu, yang memberikan sebotol minuman, yang kemudian mengajaknya turun dalam raga tak berdaya, lalu seorang laki-laki yang wajahnya dia tak mengingatnya, ikut menuntun kesebuah rumah, memasuki kamar dan dia tak ingat apa-apa lagi.
Lalu ketika terjaga ia melihat baju bawahnya terserak dilantai, tubuhnya terasa nyeri dan tak tahu kenapa, lalu semuanya lenyap. Barang-barangnya, semuanya .. dan juga kekuatannya untuk melangkah.
Surti menitikkan air matanya.
“Sungguh buruk nasibku. Mungkinkah polisi bisa menemukan perempuan itu? Adakah yang dilakukan laki-laki itu atas tubuhku? Ya Tuhan.. adakah yang berubah pada diriku?”
Surti tersadar dari lamunan ketika ponselnya berdering.
“Bapak ?”
“Iya ini bapak, bagaimana keadaanmu nduk?”
“Surti sudah dirumah pak Indra. Tapi bu Indra masih dirawat dirumah sakit.”
“Sakit apa bu Indra?”
“Tadi ketika Surti mau pulang, bu Indra sudah bisa duduk, kalau tidak salah besok sudah boleh pulang kerumah.”
“Syukurlah. Jadi kamu sudah sehat?”
“Kan memang Surti tidak sakit pak, hanya lelah. Sekarang sudah sehat, sudah bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah, bahkan sudah memasak, walau untuk Surti sendiri.”
“Syukurlah nduk, bapak senang mendengarnya. Kalau keadaan memungkinkan bapak ingin bertemu.”
“Nanti saja kalau bu Indra sudah benar-benar sehat Surti pulang ke Surabaya. Kalau sekarang kan bu Indra masih sakit, dan mungkin akan memakan ber-hari-hari untuk pulih kembali. Nanti kalau Surti pulang, kasihan bu Indra kan pak. Kalau sehat sih nggak apa-apa.”
“Baiklah Surti, bapak bisa mengerti.”
“Bapak sendiri bagaimana? Sudah sehat bukan?”
“Sudah, tapi bapak belum diperbolehkan bekerja oleh pak Pras, jadi ya hanya menyapu halaman, itupun hanya halaman depan yang tidak begitu luas. Lagipula kalau kelelahan dada bapak juga masih terasa sesak.”
“Bapak harus hati-hati ya, jangan sampai lelah, jangan sampai bapak jatuh sakit.”
“Iya nduk, bapak akan selalu berhati-hati.”
“Benar pak, semoga kita bisa segera ketemu ya pak.”
***
“Telpon sama siapa Mul?”
“Sama Surti pak. Belum puas kemarin ngomong-ngomongnya.”
“Kamu sudah bertanya sama anak kamu, apa benar Indra mau mengambil istri anakmu?”
“Tidak pak, itu tidak benar. mBak Lusi bohong.”
“Aku kan sudah bilang, Lusi itu suka ngomong yang tidak-tidak, jangan gampang percaya. Kemarin aku juga hampir marah sama Indra, untung belum ketemu.”
“Bapak tidak harus marah sama mas Indra.”
“So’alnya dia tidak bilang apa-apa, kok ada berita Surti mau diambil isteri.”
“Mana mungkin juga, mas Indra mau. Isterinya sangat cantik dan baik.”
“Indra itu kan bermasalah, so’alnya isterinya tidak bisa melahirkan. Aku pernah minta agar dia mencari isteri lagi supaya bisa mendapat keturunan. Kalau begini ini, keturunanku akan berhenti di Indra saja. Apa tidak sedih aku Mul?”
“Semoga ada jalan terbaik untuk mas Indra pak, dan saya percaya jalan itu pasti ada.”
“Semoga saja Mul. Ya sudah, kamu istirahat saja sana, jangan dikebun terus, nanti kamu capek, lalu dadamu terasa sesak.”
“Kemarin itu iya pak, so’alnya masih berfikir tentang keadaan Surti. Tapi sekarang sudah lega, dia baik-baik saja. Cuma agak prihatin juga, katanya bu Indra juga dirawat dirumah sakit.”
“Lho, Seruni sakit apa?”
“Surti bilang, katanya juga karena kelelahan, tapi menurut Surti lagi, besok kira-kira sudah boleh pulang.”
“Indra itu lho Mul, kok tidak bilang sama orang tua kalau isterinya sakit.”
“Mungkin karena nggak ingin orang tuanya khawatir. Seperti Surti itu, bilang sehat, ternyata juga dirawat dirumah sakit. Saya menegurnya, kenapa bohong dan bilang kalau tidak apa-apa, jawabnya karena tidak ingin saya khawatir. Jadi mungkin mas Indra juga berfikiran sama.”
“Iya Mul. Sebetulnya saya kesal sama Indra. Saya suruh mencari isteri lagi kok tampaknya nggak mau.”
“Iya pak, tentu saja. Tidak mudah mencari isteri lagi, apalagi mas Indra sangat mencintai bu Indra.”
“Itu benar, sesungguhnya Seruni itu baik. Cuma cacatnya satu itu lho Mul, aku sedih memikirkan anak-anak itu.”
“Pak Pras harus bersabar, Tuhan pasti akan menunjukkan jalan terbaik untuk mas Indra dan isterinya. Kecuali itu kita juga harus selalu memohon kepada Yang Punya Jagad ini, agar diberikan yang terbaik untuk kita. Ma’af lho pak, bukannya saya menggurui, tapi barangkali itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.”
“Kamu benar Mul. Memang itulah yang terbaik. Aku juga sudah lelah marah-marah sama Indra. Setelah aku pikir-pikir itu kan bukan kesalahan mereka.
“Betul pak Pras, mereka juga sebetulnya sedih dan tertekan.”
***
Seruni masih menunggu Indra yang sedang pergi ke laborat, ketika ponselnya berdering. Agak heran ketika ayah mertuanya menelpon. Kemarahan apa lagi yang akan ditumpahkannya? Seruni sebenarnya enggan mengangkat, tapi karena terus menerus berdering ia kemudian mengangkatnya.
“Hallo, bapak..”
“Ini Seruni ?”
“Iya bapak.”
“Kamu sakit apa? Kata pak Mul kamu dirawat dirumah sakit?”
“Tidak sakit apa-apa bapak, Cuma kelelahan saja. Besok juga sudah boleh pulang. Sebenarnya sekarang juga Seruni ingin pulang, tapi mas Indra bersikeras harus menunggu dokternya.”
“Oh, ya sudah. Jangan sampai lelah, jaga diri baik-baik, Seruni.”
“Iya bapak, terimakasih. Bapak dan ibu sehat kan?”
“Alhamdulillah sehat, dan ibumu titip salam buat kamu dan Indra. Eh, mana Indra.”
“Mas Indra sedang keluar sebentar, nanti biar dia menelpon bapak kalau sudah kembali.”
“Ya sudah, tidak apa-apa, yang penting kalian sehat semuanya.”
“Terimakasih bapak.”
Ketika ponselnya ditutup, Seruni melamun dengan perasaan heran.
“Tiba-tiba sikap bapak begitu manis, tidak seperti ibu yang menghardik dengan keras kemarin. Ada apa ya. Tapi aku senang, barangkali bapak sudah lelah marah-marah sama aku dan mas Indra. Bagaimanapun mas Indra kan putra satu-satunya.”
“Habis tilpun sama siapa, kok ponselnya masih digenggam begitu?” tanya Indra yang tiba-tiba muncul.
“Ini mas, bapak yang menelpon.”
“Kemarahan yang bagaimana lagi yang bapak tumpahkan ke kamu?” tanya Indra dengan dahi berkerut.
“Tidak marah mas, aku justru heran, bapak berbicara dengan sangat manis.”
“Dengan sangat manis?”
“Iya mas. Bapak menanyakan, aku dirawat dirumah sakit karena apa. Gitu mas.”
“Oh ya? Tumben..”
“Mungkin bapak sudah lelah marah-marah sama kita.”
“Bisa ya, lelah marah?” kata Indra bercanda.
“Mas, sudah ke dokter Melani ?”
“Belum jadi, ngantrinya terlanjur banyak. Lalu aku tinggal saja kemari.”
“Ya sudah mas, kapan-kapan saja. Apa hasil itu penting?”
“Kamu itu apa tidak berharap ada sesuatu yang baik dari hasil lab itu?”
“Aku sudah lama berharap mas.”
“Kamu tidak boleh putus asa Seruni. Berharap itu tidak ada batasnya.”
Seruni tak menjawab. Masihkah ia akan berharap setelah lebih setahun menunggunya? Tapi ia tak berani mengatakan apapun. Takut Indra marah melihat sikapnya. Akhirnya diputuskannya... Baiklah, ia akan terus berharap.
***
“Sakit apa Seruni?” tanya bu Prastowo kepada suaminya.
“Katanya Cuma kelelahan.”
“Sekarang masih di rumah sakit?”
Sekarang masih, tapi katanya besok sudah boleh pulang.”
“Artinya tidak sakit karena penyakit yang berbahaya?
“Tidak, hari inipun tadi sudah berbicara lancar, tidak seperti sedang menahan sakit.”
“Syukurlah, bagaimanapun kesalnya aku, tapi mendengar dia sakit kok ya kepikiran.”
“Iya bu, sama seperti yang aku pikirkan. Tapi katanya tidak apa-apa, ya sudah, tidak usah dipikirkan terlau berat. Yang penting sudah sehat.”
“Indra kok ya tidak bilang ke kita kalau isterinya sakit.”
“Aku mendengarnya malah dari Mulyadi. Surti yang memberi tahu.”
“Mungkin takut memberi tahu karena kita selalu memarahinya.”
“Akhirnya kita juga harus menerima takdir kita bu, ini juga bukan kesalahan anak-anak kita.”
“Iya benar.. semoga ada jalan terbaik untuk mewujudkan keinginan kita.”
“Aamiin..”
***
Surti bangkit dari ranjangnya, dan keluar untuk kembali bersih-bersih rumah. Besok kabarnya majikannya sudah bisa pulang. Surti ingin membersihkan kamarnya, tapi Seruni dulu pernah melarang ia masuk kekamar majikannya kalau tidak disuruh. Ia mencoba membuka kamar itu, ternyata dikunci.
“Ya sudah, bukan salahku kalau besok bu Indra pulang dan melihat kamarnya kotor.”
Surti kebelakang karena perutnya terasa lapar. Ia mengambil sedikit nasi, tadi dia sempat masak ca sayur tanpa daging tanpa ikan. Adanya cuma sayur, dan ayam, tapi Surti tidak suka ayam. Lagi pula Surti sudah terbiasa makan seadanya. Tadi Surti berfikir akan memasak ayamnya besok pagi, siapa tahu majikannya akan pulang dan ingin makan, sementara ia belum sempat belanja.
“Oh ya, besok ada tukang sayur lewat, aku akan belanja sekadarnya, kan pak Indra memberi aku uang sebelum pulang.
“Permisiiii...” teriakan dari luar terdengar sangat nyaring. Surti memasukkan suapan terakhir dan bergegas kedepan.
“Surti.”
“Ya ampuun... mbak Susi,” sapanya setelah membuka pintu.
“Pasti salah.. pasti salah deh.”
“mBak Lusi, ada apa mbak?”
“Masih sepi, majikanmu pergi?”
“Ya, ada apa?” Surti tak ingin mengatakan bahwa Seruni dirawat dirumah sakit, supaya pembicaraan tidak terlalu panjang.
“Nggak apa-apa, aku nanti mau pulang ke Surabaya. Barangkali kamu mau nitip untuk ayahmu.”
“Wah, saya belum siap akan mengirimkan apa-apa mbak, biar saja, nanti saya akan mengirimkan lewat paket.”
“Jadi bener tidak mau nitip?”
“mBak Lusi tiba-tiba sih ngomongnya, saya belum menyiapkan apa-apa.”
“Ya sudah, aku pergi dulu... kemana perginya si ganteng dan isterinya?”
“Nggak tahu mbak, saya kan hanya pembantu, masa harus tanya kemana majikan akan pergi,” jawab Surti sedikit kesal.
“Tapi kan kamu sudah semakin dekat sama dia ?”
“mBak, saya meninggalkan pekerjaan dibelakang, minta ma’af ya. Kalau mbak Lusi mau menunggu pak Indra pulang ya silahkan menunggu disini, saya harus menyelesaikan pekerjaan saya.”
“Oh, tidak.. tidak.. aku mau pergi saja. Tadi beli-oleh-oleh dan kebetulan lewat. Aku berbaik hati mampir kemari, barangkali kamu mau nitip sesuatu.”
“Terimakasih mbak, sudah saya bilang, saya belum siap.”
“Ya sudah, aku pulang dulu. Oh ya, bolehkah aku minta nomor kontak kamu?"
"Mm.. saya tidak punya ponsel, ponsel saya hilang." kata Surti yang enggan memberikan nomor ponselnya.
"Ya sudah, aku pergi dulu."
Surti menatap punggung wanita bernama Lusi itu dengan perasaan kesal. Ada-ada saja yang dikatakannya setiap kali datang.
***
“Lho mas, sudah ketemu dokternya? Kok cepat sekali mas kembali?”
“Dokternya sudah pulang.”
“Lho.. lha tadi gimana sih, nggak daftar dulu?”
“Ya daftar, karena antriannya panjang, lalu aku tinggal dulu. Setelah aku kembali antrian sudah habis, dokternya keburu pulang.”
“Ya sudah, besok saja sekalian aku pulang kan bisa. Kan dia praktek dirumah sakit ini juga?”
“Terpaksanya besok, aku khawatir dokter Melani mengira kita tak memperhatikannya.”
“Kan mas sudah bilang bahwa aku lagi dirawat, jadi wajar kalau terlupa.”
“Iya sih, aku sudah bilang. “
“Hasil labnya mana? Mas baca?”
“Masa aku harus membukanya? Kan ditutup dan dilem. Lagi pula mana bisa aku mengerti bahasa laborat?, istilahnya rumit, tidak sembarang orang bisa membacanya."
“Ya sudah. Sekarang aku mau menelpon Surti mas.”
Indra duduk disofa sambil mengotak atik ponselnya. Ada beberapa email masuk, tentang pekerjaannya.
“Surti, lagi ngapain kamu?”
“Lagi bersih-bersih dapur bu.”
“Kan aku bilang kamu tidak usah mengerjakan apa-apa, kamu istirahat saja Sur.”
“Tidak apa-apa bu, Surti baik-baik saja. Di kulkas masih ada ayam, besok mau saya buat opor. Bagaimana bu, atau besok ibu ingin dimasakin apa? Tukang sayur kan pagi-pagi sudah lewat.”
“Surti, kamu itu bandel ya. Besok mau belanja pakai uang apa?”
“Kan kemarin pak Indra memberi saya uang bu, masih utuh. Jadi besok saya mau belanja saja, supaya kalau ibu pulang sudah ada makanan dirumah.
"Bukannya aku suruh buat beli makan dengan uang itu untuk kamu?"
"Saya masak sedikit nasi, ada sayuran, saya buat ca, untuk lauk, jadi tidak usah beli."
"Surti... kamu itu lho. Ya sudah terserah kamu saja, mau masak opor atau apa, terserah kamu.”
“Sebetulnya saya mau membersihkan kamar ibu, tapi pintunya dikunci.”
“Tidak apa-apa Surti, besok biar aku saja. Ya sudah, sekarang kamu istirahat ya Surti.”
Seruni geleng-geleng kepala.
“Kenapa?”
“Tampaknya dia sudah bekerja seperti biasanya, padahal aku menyuruhnya beristirahat.”
“Ya sudah, kamu sekarang juga istirahat, kalau kamu masih merasakan pusing atau apa, besok tidak akan boleh pulang.”
Seruni terkejut, sesungguhnya rasa pusing itu masih sering mengganggunya, tapi ia lebih suka pura-pura sehat daripada harus menginap lagi setelah besok.
***
Sebelum Seruni pulang hari itu, Indra menemui dokter Melani yang juga praktek dirumah sakit itu. Tak banyak antrian karena dia datang lebih awal.
Indra berdebar-debar menunggu dokter Melani membuka lembaran hasil lab yang baru saja diserahkannya.
Dokter Melani tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Hati Indra menciut. Sepertinya suasana wajah dokter cantik itu tidak menunjukkan kegembiraan. Indra menundukkan kepalanya, seperti pesakitan sedang menunggu vonis hakim
“Pak Indra...”
Indra mengangkat wajahnya, keringat dingin sudah membasahi tangannya.
“Mana tangan pak Indra?”
Indra dengan bingung mengangkat kedua tangannya.
“Satu saja pak, jangan dua-duanya.”
“Yang kiri, atau kanan?” tanya Indra bingung. Mengapa dokter cantik itu tiba-tiba ingin melihat tangannya.
“Yang kanan dong pak, masa kiri?”
Indra dengan wajah bodoh mengacungkan tangannya, lalu dokter cantik itu menggenggamnya erat.
“Kok tangan pak Indra berkeringat?”
“Indra menatap wajah dokter cantik itu lekat-lekat. “
“Apakah dokter cantik ini suka sama aku?” pikiran gila Indra tiba-tiba muncul dibenak Indra. Ia hampir menarik tangannya ketika dokter Melani menggenggamnya lebih erat.
“Pak Indra, selamat ya. Ibu Seruni sudah mengandung.”
Indra membelalakkan matanya yang kemudian tampak menampakkan telaga bening. Ia lalu berdiri, dan bersujud syukur ditempat itu juga.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment