BUAH HATI 13
(Tien Kumalasari)
Seruni setengah berlari naik keteras, Indra memburunya.
“Surti... Surti...” kata Seruni sambil mengguncang tubuh Surti.
Surti mengeluh lemah.
“Surti...”
Indra membuka pintu, bermaksud mengambil air minum untuk Surti. Ketika kembali dengan membawa segelas air, ia melihat Surti sudah membuka matanya.
“Ini, suruh dia minum,” kata Indra sambil mengulurkan segelas air minum.
“Surti, minumlah Surti, agar kamu lebih tenang.”
“Dimana... aku ..” rintih Surti lemah..
“Surti, kamu dirumah.. ayo minumlah dulu..”
“Bapak mana.. bapak...”
“Bapakmu sudah sehat, jangan khawatir.”
“Minum dulu Surti, sela Indra.
“Mas, tampaknya kamu harus mengangkatnya kekamar dia, dia sangat lemah.”
“Baiklah...” kata Indra yang kemudian membungkukkan badan dan menggendong Surti kedalam. Seruni mendahului untuk membukakan pintu kamarnya.
Indra meletakkan tubuh Surti diranjang.
“Suruh dia minum dulu,” kata Indra.
Seruni mengangkat kepala Surti dan menyuruhnya minum. Beberapa teguk masuk kemulut Surti.
“Kamu mau makan? Aduh, aku kan tidak masak, apa goreng telur saja ya..”
Seruni kedapur, Indra mengikutinya.
“Biar aku yang menggoreng telurnya. Kamu cuci kaki tangan dan ganti baju dulu,” kata Indra.
Seruni ingin membantah, tapi Indra mendorong pelan tubuhnya agar masuk kekamar.
Indra memanaskan wajan dan menggoreng telur. Lalu mengambilkan nasi dan sedikit kecap.
Ketika Indra membawanya kekamar Surti, Seruni sudah berganti pakaian rumah. Ia mengambil piring yang dibawa Indra, lalu mendekati Surti yang masih tergolek lemah.
“Makan dulu Surti.. aku tidak memasak, hanya telur sama kecap.”
Surti menatap Seruni . Matanya begitu kuyu, tampaknya dia sangat menderita.
“Bu Indra...”
“Ya Surti, jangan bicara apapun, kamu harus kuat. Makan ya, aku suapin, sudah agak dingin ini, enak hangat begini.”
Surti ingin bangun, tapi Seruni menahannya.
“Jangan dulu bangun, jangan sungkan, makanlah aku suapin.”
Surti menurut. Beberapa suap sudah masuk kemulut.
“Sudah bu..”
“Sedikit lagi Surti, biar kamu lebih kuat.”
***
Indra diteras rumah, menelpon pak Mul supaya segera bisa mendengar berita tentang anaknya.
“Hallo, ini mas Indra?” tanya pak Mul dari seberang sana.
“Iya pak Mul, ada berita baik nih pak Mul.”
“Berita baik? Tentang Surti?”
“Benar pak Mul, Surti sudah kembali. “
“MasyaAllah, terimakasih Tuhan... “ suara pak Mul tersendat menahan haru.
“Bagaimana keadaannya mas? Dia baik-baik saja?”
“Baik pak Mul, tapi belum cerita apa-apa, sekarang sedang disuruh makan sama Seruni.”
“Terimakasih, yang penting dia selamat, syukurlah. Tapi bagaimana kejadiannya , mengapa tidak jadi ke Surabaya?”
“Belum cerita apapun pak Mul, nanti kalau sudah selesai makan biar dia menelpon pak Mul.”
“Iya mas, lega saya kalau dia selamat. Ini saya masih dirumahnya pak Pras. Beliau melarang saya pulang kerumah.”
“Bagus pak Mul, sebaiknya pak Mul memang tidak usah pulang, dirumah nggak ada teman, kalau pak Mul sakit atau mengeluhkan sesuatu, bagaimana.”
“Ya mas, nanti gampang. Terimakasih banyak ya mas.”
***
Indra masuk kekamar Surti. Seruni sudah selesai menyuapkan makan agak lumayan. Wajah Surti tidak sepucat tadi.
“Terimakasih bu Indra,” bisiknya.
“Dimana barang-barang kamu? Kamu tidak membawa apapun?”
Tiba-tiba Surti menangis.
“Ya sudah, kalau belum siap jangan cerita dulu.”
“Saya dirampok bu,” katanya diantara tangis.
“Sudah kuduga.. tapi untunglah kamu selamat. Tidak apa-apa, barang-barang hilang tidak masalah, asalkan jangan nyawamu yang hilang,” kata Seruni.
“Kamu mau menelpon bapakmu?” tanya Indra.
“Bapak bagaimana?”
“Bapakmu sudah sehat, sekarang ada dirumah bapakku," kata Indra.
Surti menarik nafas lega.
“Kamu mau menelpon?”
“Saya tidak punya ponsel..”
“Ini, pakai punyaku. Mau sekarang? Tapi aku sudah memberitahu bahwa kamu selamat, bapak mu sudah merasa lega.
“Nanti saja pak, “ kata Surti pelan.
“Ya sudah mas, yang penting pak Mul sudah tahu bahwa Surti selamat. Sekarang biar dia istirahat dulu,” kata Seruni sambil meletakkan segelas minuman dimeja dekat ranjang Surti.
Indra mengangguk, lalu keluar dari kamar itu, diikuti Seruni yang kemudian menutup pintunya.
***
“Kamu juga harus istirahat sayang. Sekarang kamu tampak letih.”
“Tapi aku sudah lega mas, Surti sudah kembali. Ya ampun dia dirampok sehingga tak punya apa-apa. Lalu bagaimana dia bisa pulang sampai kemari? Tidak punya uang, pasti tidak makan selama berhari hari.”
“Iya pastinya, tapi syukurlah, jadi kamu harus bisa lebih tenang .”
"Iya mas, semoga Surti bisa segera pulih lalu bisa bercerita tentang apa yang terjadi.”
“Ya sudah, kamu jangan memikirkannya lagi, sekarang tidurlah.”
“Mas tidak kekantor hari ini?”
“Tidak, ini sudah jam tiga lebih, aku mau tidur saja menemani isteriku sore ini.”
***
Surti masih tergolek diranjang. Matanya menatap langit-langit, semuanya seperti tampak kelabu. Bayang-bayang tentang apa yang dialaminya, melintas dikepalanya.
Ketika itu ia sudah duduk didalam kereta. Disebelahnya, seorang wanita cantik dengan pakaian perlente duduk. Ia tersenyum ketika Surti duduk disampingnya.
“Mau kemana dik ?”
“Ke Surabaya bu..”
“Owh.. sendirian ?”
“Iya ... “
“Rumahnya di Surabaya?”
“Iya bu, tapi saya bekerja di Solo.”
“Oo, ini mau pulang kerumah?”
“Ayah saya sakit bu, mau menengok, sakitnya seperti apa.”
“Kasihan ya kalau jauh dari orang tua?”
“Ibu mau ke Surabaya juga?”
“Iya. Dik, bungkusannya ditaruh diatas saja, supaya nanti bisa tidur enak. Ini kan sudah malam.”
“Biar saya pangku saja bu, nggak apa-apa.”
Surti melihat wanita itu mengambil dua botol minuman, yang satu diberikannya kepada Surti.
“Minumlah dik, lalu kita bisa tidur nyenyak.”
“Terimakasih bu.”
Surti memang merasa haus, berangkat tadi dia sangat tergesa-gesa, sehingga tidak membawa bekal apa-apa. Ia merasa haus, lalu diteguknya minuman didalam botol itu. Wanita itu menatap Surti dan tersenyum, lalu memejamkan matanya.
Tiba-tiba Surti merasa kantuknya sungguh tak tertahankan. Ia memejamkan matanya lalu pulas. Entah berapa sa’at lamanya, tiba-tiba wanita disebelahnya membangunkannya.
“Dik.. dik.. ayo turun, kita sudah sampai.”
“Oh, sudah sampai?” tanyanya sambil menguap, tapi rasa kantuk masih menggayutinya.
“Mana tasnya, biar saya bawakan dik,” kata wanita itu sambil menarik tubuh Surti lalu menuntunnya turun. Surti setengah tidur mengikuti wanita itu. Ia benar-benar tak bisa menahan kantuknya.
Surti juga menurut ketika wanita itu mengajaknya naik ke sebuah taksi. Surti melihat seorang laki-laki entah dari mana datangnya, menemaninya naik taksi itu bersama wanita tadi.
Tapi Surti hanya melihat sekilas, rasa mengantuk terus bergayut. Ia bahkan tak sadar ketika wanita dan laki-laki itu memapahnya dari kiri kanan tubuhnya, memasuki sebuah rumah.
Surti benar-benar pulas, dan entah berapa lama dia pulas, ketika membuka mata dia sudah berada disebuah kamar, dengan pakaian bawahnya terserak dilantai, dan selembar selimut menyelimuti sebagian tubuhnya.
Surti terkejut. Setengah sadar dia terbangun, marasakan ada yang aneh ditubuhnya. Perlahan diambilnya pakaian yang terserak dan dikenakannya. Tubuhnya terasa lemas. Surti mencari tasnya tidak ada didekatnya. Jam tangan yang dipakainya lenyap, cincin yang dibelinya dengan menabung raib entah kemana.
“Dimana aku ini, apa yang terjadi?” pikirnya ketakutan.
Ia keluar dari kamar, tak ada seorangpun tampak. Ia berjalan kebelakang, menemukan kamar mandi, lalu membasuh mukanya. Tapi ia juga ingin mandi, ia merasa tubuhnya sangat kotor dan ada sesuatu yang aneh yang membuatnya mual. Aduh.. ada sabun didalam tasnya.. tapi dia tak menemukan tasnya. Ia hanya menggosok tubuhnya dan mengguyurnya berkali-kali.
Surti kembali keluar. Tubuhnya sedikit terasa segar, tapi ia merasa sangat letih. Ia masih bertanya-tanya .. apa yang terjadi pada dirinya.
Rumah itu sangat kecil, hanya ada dua kamar yang salah satunya dipakainya tidur atau tertidur karena dia tak sadar semuanya. Ia terus mencari-cari dimana tasnya. Tas yang berisi pakaian, dan tas tangan yang berisi dompet, dan surat-surat serta kartu ATM nya juga ponselnya.
Semuanya tak ada diseputar rumah. Surti mulai ketakutan. Hanya selembar pakaian ditubuhnya, perhiasan yang susah payah dibelinya dengan menabung, semuanya lenyap.
“Apa yang bisa aku lakukan? Ini rumah siapa?”
Surti melangkah keluar rumah. Didepan ia melihat seorang laki-laki sedang melangkah kearahnya.
“Pasti dia tahu ini rumah siapa, dan dimana barang-barangku,” gumamnya.
“Pak...”
“Ya nak...”
“Ini rumah siapa?”
“Rumah saya nak.”
“Oh, rumah bapak? Apa bapak tahu seorang wanita dan laki-laki yang tadinya bersama saya?”
“O, dia baru pergi tadi. “
“Lalu dimana barang-barang saya?”
“Barang-barang apa nak?”
“Tas berisi pakaian dan tas kecil berisi macam-macam pak.”
“Ya ampun, itu saya tidak tahu nak, Semalam seorang laki-laki datang dan bilang mau mengontrak rumah ini, tapi dia ingin menginap dulu disini semalam. Saya tidak tahu apa dan siapa dia itu, dan apa yang dilakukannya. Saya pikir mbak ini isterinya.”
“Dimana rumahnya pak?”
“Dia?”
“Ya, yang mau mengontrak rumah ini.”
“Saya juga tidak tahu, dia bilang dia dan isterinya butuh tumpangan semalam, siang ini katanya mau berbicara tentang kontrakan rumah.”
“Ya Tuhan...” Surti mulai menangis. Ia menjatuhkan tubuhnya dilantai teras rumah itu dan bersimpuh sambil menutupi wajahnya.
Laki-laki tua itu bingung.
“mBak, sebetulnya ada apa?”
“Saya dirampok pak,
“Ya ampun nak, saya kira anak ini isterinya yang disuruh menunggu disini supaya nanti bisa berbicara tentang kontrakan rumah ini.
“Tidak.. tidak.. dia penipu, dia mengambil semua barang saya pak.”
“Astaghfirullah... kita lapor ke polisi saja nak.” Kata laki-laki yang merasa iba melihat keadaan Surti.
“Apa benar dia siang ini akan datang?”
“Melihat barang-barang anak yang hilang, sudah jelas dia itu penipu dan perampok. Nggak mungkin siang ini akan datang.”
“Ooh, ya Tuham... bagaimana ini...”
“Dimana anak mengenal mereka?”
“Dikereta pak, saya sebetulnya mau ke Surabaya, entah bagaimana saya bisa sampai dirumah ini.”
“Owalah nak, sudah jelas dia penjahat. Apa anak dikasih sesuatu sama dia? Makanan atau minuman?”
“Sebotol minuman pak.”
“Yaaah, itulah nak. Minuman itu berisi entah obat tidur atau obat bius, sehingga anak tidak merasa dia membawa anak turun, lalu merampok semuanya.”
“Ini sudah sampai Surabaya kah?”
“Ini daerah Ngawi nak.”
Surti terus menangisi nasibnya. Bayangan ayahnya yang sakit sangat menyiksanya. Bagaimana keadaannya, dan bagaimana dia bisa sampai kesana tanpa memiliki sepeserpun uang.
“Mari lapor ke polisi saja nak, saya antarkan.”
Surti mengangguk, Hari itu juga ia melaporkan ke polisi. Tapi tak banyak yang bisa ditemukannya. Ia tak mengenali wanita itu. Tak ada yang bisa dikatakannya karena ia tak memiliki identitas apapun. Ia juga lupa nomor kursinya ketika dia naik kereta, karena tiketnya ada didalam tasnya yang hilang. Ia hanya bisa mengatakan alamat Indra di Solo dan kereta yang ditumpanginya. Setelah selesai diproses, Surti pergi. Ia mendapat keterangan bahwa jarak dari Ngawi ke Surabaya lebih jauh dari kalau dia ke Solo, jadi dengan lunglai ia lebih baik kembali ke Solo.
Ia tak tahu sudah sampai dimana, kakinya terus saja melangkah. Sebetulnya setelah dari kantor polisi itu laki-laki tua pemilik rumah ingin memberikan sedikit uang, barangkali bisa untuk pulang. Tapi Surti sudah terlanjur pergi.
Memang tanpa pamit. Jiwa raganya limbung seperti tanpa pegangan.
“Surtiiii.” Panggilan itu mengejutkannya, dan menyadarkannya dari lamunan.
Surti ingin bangkit, tapi tubuhnya terasa lemas.
Seruni membuka pintu kamarnya,.
“Surti...”
Surti tak mampu menjawab. Tiba-tiba tubuhnya terasa dingin, dan membuatnya menggigil.
“Surti... aduh, badanmu panas sekali.”
Seruni pergi kebelakang, membuat teh panas untuk Surti. Sambil membawa cawan berisi teh itu Seruni berteriak memanggil suaminya.
“Maas.. mas Indra.. tolong kemari sebentar mas..”
Indra bergegas kebelakang.
Dengan sendok Seruni menyuapkan teh itu kedalam mulut Surti.
“Ada apa?” tanya Indra sambil mendekat.
“Kita harus membawa Surti kerumah sakit. Tubuhnya panas sekali dan menggigil.” Kata Seruni sambil menyelimuti tubuh Surti.
“Baiklah, aku ambil mobilnya dulu.”
“Surti, kami akan membawa kamu ke rumah sakit.
Surti tak bergeming, matanya menerawang kosong, bibirnya pucat membiru. Seruni cepat-cepat berganti pakaian lalu kembali kekamar Surti.
“Surti, bisakah kamu bangun ?”
Surti tak menjawab,.
“Maaas... tampaknya mas harus menggendongnya lagi.”
“Ya, baiklah, tolong kamu kedepan dan bukain pintu mobilnya,” kata Indra yang segera mengangkat tubuh Surti.
Seruni sudah membukakan pintu mobil, lalu Indra menidurkan Surti di jok belakang.
Setelah mengunci pintu, Seruni masuk kedalam mobil dan Indra melajukan mobilnya kerumah sakit.
Seruni tampak terengah-engah. Kejadian sejak siang hari itu sangat memukul perasaannya. Indra melihat wajah isterinya juga pucat. Pasti terlalu memikirkan Surti.
“Seruni, kamu jangan terlalu memikirkan Surti, dia tak apa-apa.”
Seruni tak menjawab. Tubuhnya juga terasa lemas. Dengan lunglai ia menyandarkan kepalanya.
“Sungguh berat beban isteriku,” gumam Indra sedih.
Setiba dirumah sakit, Indra meminta brankar kepada petugas, untuk memudahkannya membawa Surti ke UGD. Sementara Surti diangkat, Seruni masih tergolek dijok depan. Indra membuka pintunya.
“Seruni, kamu mau turun tidak?”
Seruni mengangguk pelan, lalu turun perlahan.
“Seruni, kamu kenapa?”
Dan tiba-tiba Seruni lunglai, terjatuh dipelukan Indra.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment