BUAH HATI 12
(Tien Kumalasari)
Indra meletakkan ponselnya. Ia merasa pasti pak Mul juga bingung.
“Ada apa mas? Itu tadi pak Mul?””
“Pak Mul bilang, Surti belum nyampe sana.”
“Lho, kan harusnya sudah sampai sejak pagi?”
“Jangan-jangan dia salah kereta.”
“Surti itu kan bukan anak kecil lagi. Mestinya bisa bertanya-tanya sebelumnya.”
“Waduh, bagaimana lagi ini? Padahal sejak tadi ponsel Surti tidak aktif?”
“Perasaanku kok nggak enak ya mas.”
“Coba ditunggu sampai malam ini. Harusnya kalau dia kesasar umpamanya, kan bisa menelpon ke bapaknya atau kemari. Lha malah nggak bisa dihubungi.”
“Semoga tidak apa-apa. Duuh.. kepalaku kok jadi bertambah pusing memikirkan Surti.”
“Ya sudah, ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat saja.”
“Aku bersihkan meja makan dulu mas.”
“Sini aku bantu, kamu cuma mendengar Surti belum sampai rumah saja kok terus pusing. Kita do’akan saja semoga tidak apa-apa,” kata Indra sambil berdiri lalu menumpuk piring kotor, dibawa kebelakang.
“Sudah mas, biarkan aku saja yang mencucinya,” teriak Seruni ketika mendengar Indra langsung mencuci piring-piringnya yang kotor.”
“Sudah diam, bersihkan saja mejanya,” teriak Indra dari belakang.
***
Tapi malam itu Seruni terus memikirkan Surti. Pasti terjadi sesuatu, so’alnya dia tidak memberi kabar apapun.
“Jangan-jangan Seruni kesasar,” gumamnya lirih.
“Sudahlah sayang, kamu tidurlah, lepaskan semua beban yang memberati pikiranmu,” kata Indra sambil mengelus kepala isterinya.
“Mas, tolong obat gosok, barangkali di meja riasku ada.”
Indra turun dari ranjang, lalu mencari obat gosok dimeja rias.
“Nggak ada tuh..”
“Duuh, dimana ya... oh, mungkin didalam tasku mas..”
Akhirnya Indra mendapatkan obat gosok itu, ia membukanya dan menggosoknya di pelipis isterinya. Indra kemudian memijit kepala isterinya pelan.
“Kamu kecapekan, terlalu bersemangat mengerjakan pekerjaan rumah, lalu memikirkan hal berat dengan hilangnya Surti.”
“Mengerjakan pekerjaan rumah itu kan sudah biasa aku lakukan mas.”
“Tapi sudah lama kamu tidak mengerjakannya sendiri, biasanya Surti membantu. Ya kan?”
“Iya sih.. tadi itu juga aku merasa lelah sekali.”
“Ya sudah, sekarang tidurlah, sambil aku pijitin kaki kamu.”
“Jangan mas, sudah, mas sendiri kan capek.”
“Tidak, aku nggak capek, sudahlah, pejamkan matamu dan tidur. Lepaskan semua beban. Ingat ya, besok tidak usah mengerjakan semuanya, biar aku bantu bersih-bersih.”
“Nggak usah mas, itu pekerjaan aku.”
“Bawel ! Tidurlah, pejamkan matamu.”
Indra memijit kaki isterinya pelan. Seruni melarangnya tapi Indra tetap melakukannya. Ia tak ingin isterinya kelelahan tanpa ada pembantu yang membantunya. Ia melakukannya sampai Seruni terlelap.
Ia tersenyum dan mencium kening isterinya pelan, agar tak mengganggu tidurnya, lalu ia berbaring disisinya, menatapnya dengan penuh cinta.
***
Pagi itu Seruni membuka matanya, menatap kearah jendela dan melihat remang malam telah tersaput oleh datangnya pagi. Dilihatnya Indra tak ada disisinya.
“Mas Indra mengapa tidak membangunkan aku,” gumamnya sambil turun dari ranjang.
Seruni kekamar mandi, berjalan perlahan karena kepalanya terasa berat. Ia mengambil wudhu dan sholat, lalu bangkit dengan terhuyung.
Ia keluar dari kamar, dan dengan heran dilihatnya Indra keluar dari dapur sambil membawa dua gelas coklat panas dan roti bakar.
“Selamat pagi bu Indra, sarapan sudah siap..” kata Indra sambil meletakkan nampan diatas meja.
“Mas kok tidak membangunkan aku sih?” kata Seruni sambil duduk di sofa.
“Sudah, bawel, minum dulu susu coklatnya, dan nikmati roti panggang kesukaan kamu,” kata Indra sambil menghirup coklat panasnya, lalu mencomot sepotong roti panggang buatannya.
“Mas pintar juga memanggang roti,” Seruni menghirup coklatnya pelan.
“Wajahmu pucat. Kamu masih pusing?”
“Sedikit mas. Aku cuma bekerja begitu saja kok merasa lelah ya mas, padahal sudah biasa melakukannya.
“Sudah biasa itu kan dulu. Sudah lama Surti membantu semua pekerjaan rumah, dan kamu tidak begitu kecapekan.
“Iya.. mungkin.”
“Itu rotinya dimakan dulu, enak.. yang satu itu lapis keju, satunya strawberry. Biasanya kamu suka keju kan?”
“Aku strawberry saja.”
Tapi baru beberapa gigitan Seruni berdiri.
“Mau kemana kamu?”
“Membuat sarapan untuk kamu mas. Nasi goreng ya?’
“Tidak usah, aku sudah memesan nasi liwet. Sebentar lagi pasti datang,” kata Indra sambil tersenyum.
“Mas Indra nih.. bisa-bisanya..”
“Bisa dong, aku ini suami paling baik didunia,” kata Indra lalu mencomot lagi sepotong roti.
“Ayo, kok nggak dihabisin. Cuma sepotong saja.”
“Nanti lagi mas, pengin nasi liwetnya.”
“Sebentar lagi pasti datang. Tapi kamu benar nggak apa-apa? Wajahmu pucat begitu.”
“Nggak apa-apa, cuma sedikit pusing. Bagaimana kabarnya Surti ya mas? Coba mas telpon pak Mul.”
“Iya, aku telpon, tapi kamu nggak usah terlalu memikirkan, Surti bukan anak kecil lagi.”
Seruni menyandarkan kepalanya di sofa.
Indra mengambil ponselnya dan menghubungi pak Mul.
“Hallo pak Mul.”
“Mas Indra ya?”
“Iya, bagaimana, Surti sudah sampai rumah kan?”
“Belum mas, saya nggak bisa tidur semalaman. Kok bisa sampai sekarang belum sampai.”
“Ya ampun, kemana ya Surti? Sebetulnya saya menyuruh dia pulang esok paginya, tapi Surti memaksa pulang malam itu juga. Saya menyesal tidak mengantarnya, dan hanya memanggilkan dia taksi.”
“Iya mas, gimana ini ya, saya ingin melapor ke polisi saja.”
“Ya pak Mul, nanti saya juga akan ikut mengurusnya. Saya akan coba tanya ke stasiun , apa benar dia naik kereta malam itu.”
“Terimakasih banyak mas, saya juga kepikiran jadinya. Jaman sekarang banyak orang jahat. Surti itu terkadang kelihatan lugu, takutnya ada apa-apa dijalan.”
“Kita berdo’a untuk keselamatan Surti pak, mudah-mudahan tak apa-apa. Pak Mul lapor ke polisi saja, saya juga akan mengurusnya dari sini.”
Indra meletakkan ponselnya dengan wajah bingung.
“Belum sampai ya mas? Duh, apa yang terjadi pada Surti ya mas.. jangan-jangan ketemu orang jahat, dia dirampok.. atau..”
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, nanti aku akan menanyakan ke stasiun, apakah Surti naik kereta malam itu atau tidak. Tapi aku harus mengantarkan kamu ke dokter dulu.”
“Urus Surti dulu saja to mas, itu kan lebih penting.”
“Dua-duanya penting. Apalagi kamu tampak pucat seperti itu.”
“Dokter buka agak siang, mas ke stasiun saja dulu.”
“Baiklah, ayo kita sarapan dulu saja, itu nasi liwetnya sudah datang.”
***
Ketidak pulangan Surti membuat kepala Seruni bertambah pusing. Ketika Indra ke stasiun untuk mencari informasi tentang kepergian Surti, Seruni memilih tiduran dikamarnya. Bayangan bahwa Surti ada dalam bahaya sangat menakutkannya.
“Apakah dia dirampok?”
Banyak kejadian tentang banyaknya orang jahat apalagi Surti tampak begitu lugu. Mungkinkah dia dirampok? Atau lebih dari itu....Aduuh.. Seruni tak bisa membayangkannya. Semua bayangan sangat membuatnya takut. Sekarang kepalanya semakin berdenyut. Ia mengambil obat pusing dan meminumnya, lalu kembali berbaring.
“Kok mas Indra belum mengabari ya..”
Seruni ingin menelpon, tapi diurungkannya. Barangkali pihak stasiun masih mencari data penumpang dua hari lalu. Apalagi waktu itu Surti juga tidak mengatakan telah naik kereta yang mana.
“Duh, Surti, apa gunanya membawa ponsel kalau tidak untuk berkomunikasi. Kalau saja dia mengatakan sesuatu. Tapi karena sudah lewat tengah malam, pasti Surti langsung tertidur.”
Bayangan-bayangan menakutkan menari-nari dibenak Seruni. Ia mencoba memejamkan mata dan mengibaskan bayangan itu, tapi tak berhasil.
Dua jam lebih dia menunggu, dan suaminya belum juga mengabarinya, apalagi pulang.
Tak tahan menunggu, Seruni menelpon suaminya.
“Mas...”
“Seruni, aku dalam perjalanan pulang.”
“ Bagaimana hasilnya mas? Benar Surti naik kereta?”,
“Nanti saja sampai dirumah aku cerita, sekarang kamu siap-siap ya, kita ke dokter.”
Seruni tak menjawab, sungguh sebenarnya dia enggan, tapi ia tak sampai hati menolak kemauan suaminya. Ia bangkit perlahan, sambil memegangi kepalanya. Sudah berkurang karena dia sudah minum obat, tapi pusing itu belum benar-benar hilang.
***
Begitu Suaminya pulang, Seruni sudah menyambutnya diteras.
“Bagai mana mas?”
“Memang benar, Surti pergi malam itu dengan kereta Bangunkarta. Kira-kira jam 12 malam dari sini.”
“Lalu ?”
“Yang kita tidak tahu mengapa tidak sampai Surabaya pagi itu juga. Tapi aku sudah melaporkan kejadian itu. Polisi akan mengurusnya.”
“Mengapa ya mas, aku takut sekali, bagaimana kalau terjadi apa-apa atas Surti?”
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, berdo’a saja agar Surti selamat.”
“Iya.”
“Kamu masih pusing?”
“Sedikit, tadi aku minum obat.”
“Sekarang ayo kita ke dokter, nanti terlambat. Kok kamu belum ganti baju sih?”
“Iya, sekarang aku mau ganti baju.” Katanya sambil beranjak kebelakang.
Indra menatap punggung isterinya, dan menangkap rasa enggan yang tampak pada wajahnya. Tampaknya Seruni bosan pergi ke dokter, dan dia harus memaksanya. Barangkali asa yang semula menyala kemudian padam oleh penantian yang tak kunjung tiba diujungnya. Ada miris di hati Indra menyadari kegagalan yang mungkin saja bisa terjadi.
“Sebenarnya aku bisa menerimanya, aku bahagia dengan keadaan apapun disampingmu Seruni, seharusnya kamu tak perlu mencemaskannya,” bisik batin Indra.
Tapi Seruni lebih merasa berat mengingat mertuanya. Ia tak ingin kalau kemudian mertuanya sangat membenci Indra dan dirinya, gara-gara ia tak mampu memberikan cucu baginya.
“Mas, aku sudah selesai,” kata Seruni sambil mendekat.
Indra menatap isterinya. Ia berdandan sangat biasa. Walau tak mengurangi kecantikannya, tapi Indra merasa bahwa Seruni juga enggan berdandan. Tapi Indra mendiamkannya, agar isterinya tak selalu merasa dikendalikan.
“Kok menatap aku seperti itu mas, ada yang aneh?”
“Tidak, kamu cantik.” Kata Indra sambil tersenyum, lalu menggandeng mesra isterinya untuk masuk kedalam mobil.
***
Pak Mul menangis terguguk didepan pak Pras dan bu Pras, yang merasa iba mendengar nasib pak Mul.
“Sudahlah Mul, ini kan sudah ditangani polisi. Coba aku tanya Indra, apakah dia sudah tanya ke stasiun, benarkah Surti naik kereta malam itu.”
Pak Pras mengangkat ponselnya.
“Ya bapak, “
“Indra, apa kamu sudah tanya ke stasiun, benarkah Surti naik kereta malam itu?”
“Sudah bapak, memang benar, berangkat dari Solo jam 12 malam, harusnya pagi sudah sampai Surabaya kan?”
“Ya sudah, aku Cuma mau nanya itu. Ini Mul nangis terus didepanku.”
“Suruh tenang pak, Indra juga sudah melaporkannya ke polisi dengan data-data dari stasiun tadi.”
“Ya sudah. “
Pak Prastowo menutup ponselnya.
“Sudah jelas Mul, anakmu naik kereta malam jam 12.00 dari sana.”
“Tapi mengapa sampai sekarang belum sampai sini ya pak, itu yang membuat saya bingung. Ponselnya juga mati. Sudah sejak kemarin saya menelpon tanpa jawaban.”
“Benar Mul, semua orang juga bingung. Tapi ini sudah diserahkan ke polisi, kita akan segera menemukan anakmu Mul, berdo’alah, aku akan membantu kamu.”
“Iya pak Mul, selalu berdo’a untuk Surti. Semoga tak terjadi apa-apa atas dia. Tapi kamu tidak sendiri, kami akan ikut memikirkan disini," sambung bu Prastowo.
“Jadi lebih baik kamu tidak usah pulang saja. Kamu tidur disini, masih ada kamar kosong dibelakang. Kalau kamu sendirian dirumah, kamu akan semakin sedih. Sedangkan disini banyak teman untuk berbincang.”
“Benar pak Mul tidur disini saja. Biar simbok membersihkan kamar belakang untuk kamu,” kata bu Prastowo sambil beranjak kebelakang.
“Saya mohon ma’af merepotkan,” kata pak Mul masih dengan isaknya.
“Tidak merepotkan, kita adalah keluarga, segala sesuatu harus dipikul bersama. Ya kan?”
“Iya pak, terimakasih banyak ya pak.”
“Ya sudah, kamu nggak usah pulang, disini saja menunggu beritanya. Semoga Surti baik-baik saja.”
“Kamar belakang sudah saya suruh bersihkan, pak Mul nanti tidur disana saja,” kata bu Pras dari belakang.
“Tapi kalau masih ingin mengobrol ya disini saja, ngobrol sama aku. Aku senang ada temannya ngobrol. Kalau kamu masuk kamar sekarang, sama juga kamu sendirian, nanti pikiranmu kemana-mana.”
“Baiklah, pak Pras.”
***
Indra dan Seruni sedang menunggu antrian dirumah sakit. Mereka datang agak kesiangan sehinga tidak bisa segera mendapat giliran.
“Tumben bapak menelpon mas?”
“Karena menanyakan tentang Surti. Pak Mul ada disana. Kata bapak dia menangis terus.”
Seruni menghela nafas sedih. Ia sandarkan kepalanya dibahu suaminya, yang kemudian mengelus kepalanya dengan lembut.
“Sudah, jangan difikirkan terus, sudah ada yang mengurus. Mudah-mudahan Surti baik-baik saja.”
“Mengapa lama sekali? “ keluh Seruni karena lama belum juga mendapat panggilan dari perawat asisten dokter itu.
“Sabar sayang, tinggal seorang lagi, lalu kita.”
Beruntunglah Seruni, memiliki suami yang sangat mencintainya dan menjaganya, seperti menjaga mutiara yang sangat berharga. Terkadang Seruni menyesali keinginannya, tapi setiap kali diingatnya kedua mertuanya, hatinya sangat teriris.
Tak lama kemudian giliran Seruni memasuki ruang dokter. Dokter Melani yang cantik dan ramah, menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Selamat siang, ibu Indra,” sapanya sambil mempersilahkan keduanya duduk.
“Siang dokter.”
“Kok lesu bu?” tanya dokter ketika melihat wajah muram Seruni, dan penampilannya yang sedikit kucel.
“Sedang ada masalah dok, jadi ya agak kurang bersemangat,” jawab Indra.
“Ibu tidak boleh memikir berat. Harus bisa melepaskan semua beban, ya. “
“Ya dokter.”
“Bagaimana menstruasinya bu?”
“Agak tidak beraturan dok, ini sudah seminggu belum lagi. Biasanya sebulan tidak sama sekali,” jawab Seruni.
“Obatnya masih ada?”
“Habis kemarin dokter.”
“Harus sabar ya, ini saya berikan lagi obatnya, diminum teratur. Tapi saya ingin ibu memeriksakan lagi darah dan urine ke laborat ya? Hasilnya tidak bisa sekaligus. Mungkin baru besok. Dan ibu harus membawanya lagi kemari.”
“Sejak kemarin dia mengeluh pusing dok.”
“Baiklah, nanti saya buatkan resepnya sekalian. Ingat ya bu, jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu.
***
Mereka sampai dirumah sudah siang, karena tadi mampir makan dulu diluar. Tapi Seruni tidak berselera makan. Ia selalu memikirkan Surti.
“Seruni, bukankah dokter meminta agar kamu tidak terlalu memikirkan hal yang berat-berat? Surti sudah ada yang mengurusnya, kita tinggal menunggu,” kata Indra sambil memeluk isterinya memasuki rumah.
Tapi keduanya terkejut, ketika melihat seseorang bersimpuh dilantai, dan menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan lunglai.
“Surti ?” teriak Seruni.
****
Bersambung
No comments:
Post a Comment