BUAH HATI 11
(Tien Kumalasari)
Seruni diam menunggu. Indra memejamkan mata, berdebar menantikan apa yang akan dikatakan Seruni kepada Surti. Atau bagaimana Seruni akan mengatakannya. Ada perasaan aneh ketika ia tiba-tiba harus memiliki isteri lagi, demi mendapatkan seorang anak.
"Aah,. kalau ucapan sudah ditata dibibir, kemudian terhenti entah karena apa, rasanya jadi tak sanggup lagi mengatakannya," gumam Seruni seperti kepada dirinya sendiri. Indra tak menyahut. Ia tetap memejamkan matanya.
"Tilpun dengan siapa Surti, lama sekali," kata Seruni sambil melongok kebelakang.
Tiba-tiba Surti muncul, matanya basah, sembab, lalu tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya dibawah, didekat dimana Seruni duduk.
"Ada apa?"
"Ibu.. bolehkah malam ini saya mohon ijin ?"
Seruni menatapnya heran.
"Mohon ijin apa?"
"Pulang ke Surabaya bu, bapak sakit."
"Oh, sakit apa?" kali ini Indra mengangkat tubuhnya, menatap Surti yang berurai air mata.
"Dirawat dirumah sakit, gula tinggi, tiba-tiba pingsan."
"Tapi malam ini kamu mau naik apa? Adakah kereta malam menuju Surabaya mas?" lalu Seruni bertanya kepada suaminya.
"Sepertinya ada sih, tengah malam, atau kalau Bima aku pernah, jam satu malam atau ada juga jam 2 nan. Tapi apa nggak apa-apa kamu pergi malam-malam?"
"Nggak apa-apa pak, saya berani. Nanti malah sampai Surabaya sudah pagi."
"Ya sudah, bersiaplah, aku carikan taksi saja ya," kata Indra.
"Baiklah. Terimakasih pak," kata Surti kemudian berdiri dan berkemas.
"Kasihan Surti...," gumam Seruni sambil masuk kedalam kamar, mengambil sejumlah uang.
"Hanya ini uang cash ku mas, kalau ada bisa ditambahin sedikit supaya genap satu juta?"
"Ada, ambil di dompetku saja."
Surti keluar sudah menenteng tas, sambil mengusap air matanya ia berpamit.
"Pak, bu.. saya pamit dulu."
"Sebentar, aku panggilkan taksi," kata Indra yang kemudian mengambil ponselnya untuk memesan taksi online.
"Surti, ini.. sekedar buat sangu kamu. "
"Bu Indra, saya kan sudah punya uang."
"Buat tambah-tambah saja. Kalau ada kekurangan kamu boleh mengabari aku, jangan sungkan, ya."
"Teri makasih banyak bu."
"Kamu bawa ATM kamu? Aku sudah tahu nomor rekening kamu. Kalau ada apa-apa atau ada kekurangan aku bisa menstransfer ke situ."
"Iya bu, mohon do'a untuk bapak ya bu, saya hanya punya bapak."
"Tidak Surti, kamu juga punya aku, dan punya pak Indra."
Surti berjongkok dan merangkul kaki Seruni, dan tangisnya semakin menjadi.
"Sudah Surti, tidak usah menangis. Pak Mul akan baik-baik saja," kata Seruni sambil mengangkat Surti agar berdiri.
"Taksinya sudah datang Surti, kamu tidak usah membayarnya lagi, sudah dipotong dari saldoku disitu."
"Terimakasih banyak, pak Indra. Mohon pamit, mohon do'a untuk bapak ya bu, pak Indra."
"Ya Surti, semoga pak Mul baik-baik saja. Jangan tergesa kembali kemari sampai pak Mul benar-benar sehat.
"Iya bu."
"Kabari kami kalau kamu sudah sampai disana ya."
"Baik bu."
Sepeninggal Surti, Seruni menghela nafas berat.
"Mengapa ya, baru mau ngomong selalu saja ada halangannya," gumam Seruni.
" Berarti Tuhan tidak mengijinkan," kata Indra.
"Tapi aku merasa kasihan sama Surti, dia sangat sedih bapaknya masuk rumah sakit."
"Pak Mul dulu berhenti dari kantornya bapak juga karena sakit gula, lalu sering tidak masuk kerja karena tekanan darahnya juga tinggi."
***
Pagi hari itu Indra makan pagi dengan nikmat.
"Sudah lama aku tidak makan masakan isteriku."
"Eh, kata siapa? Aku setiap hari juga membantu Surti memasak lho. Bukan cuma Surti yang memasak," protes Seruni.
"Maksudku.. murni masakan kamu."
"Sama saja mas, Surti juga aku yang mengajari."
"Mestinya ini Surti juga sudah sampai Surabaya ya."
"Mas, coba mas telpon ke bapak, mestinya bapak lebih tau keadaan pak Mul. Separah apa sakitnya .. kok sampai masuk rumah sakit."
"Sudah lama sekali bapak sama ibu tidak pernah mengabari kita. Tampaknya mereka masih marah."
"Marah dan kecewa. Coba nanti setelah makan, mas tilpun deh."
Indra menghabiskan sarapannya, melihat sekilas arloji tangannya, lalu mengambil ponselnya.
"Hallo.. Indra?"
"Ya bapak, apa kabar bapak sama ibu?"
"Baik."
"Semalam Surti pulang, katanya pak Mul sakit, sakit apa bapak?"
"Ooh.. tekanan darahnya tinggi, tiba-tiba pingsan, lalu oleh tetangganya dibawa kerumah sakit. Tapi pagi ini aku mendengar keadaannya sudah baik. Mungkin hari ini atau besok boleh pulang."
"Oh, syukurlah kalau begitu."
"Aku sudah membayar semua biaya yang dibutuhkan, aku titipkan pada tetangganya. Kalau kurang aku suruh mengabari."
"Syukurlah kalau begitu, semoga pak Mul segera pulih."
Pak Prastowo menutup pembicaraan itu begitu saja. Indra geleng-geleng kepala.
"Bagaimana mas?"
"Kemarin tiba-tiba pingsan . Darah tingginya kumat. Tapi tadi pagi bapak menelpon, katanya keaadaannya sudah membaik."
"Syukurlah."
"Mungkin nanti atau besok sudah boleh pulang."
"Mengapa terburu pulang? Bukannya menunggu kalau benar-benar sehat?"
"Entahlah, mungkin karena biaya juga padahal bapak akan membayar semua biayanya."
"Coba nanti kalau Surti menelpon, aku akan menanyakan keadaannya. Kalau belum sehat benar sebaiknya biar dirumah sakit saja."
"Kok dia juga belum mengabari ya, kemarin kan sudah dipesan kalau sampai harus mengabari kita."
"Mungkin langsung kerumah sakit, terus sibuk mengurus bapaknya sehingga lupa mengabari kita. Tapi sikap bapak bagaimana mas? Menerima kamu dengan baik, atau bagaimana mas?"
"Seperti biasanya."
"Seperti biasanya bagaimana? Ada nada marah.. atau apa?"
"Tidak apa-apa, biasalah.."
"Pasti masih kesal sama kita, eh.. terutama sama aku."
"Ya sudah, jangan pikirkan. Aku ke kantor dulu ya."
***
Hari itu Seruni bersih-bersih rumah sendiri, belanja sendiri, memasak sendiri. Hal yang lama tidak dilakukan sepenuhnya semenjak ada Surti.
"Inilah, kelamaan manja setelah ada pembantu, sekarang melakukan semuanya yang sudah lama dilakukan kok ya tiba-tiba terasa berat," gumam Seruni sambil mengelap peluh didahinya.
"Tapi ini kan tugasku," katanya sambil memasukkan sayur kedalam panci.
"Semangat Seruni, jangan mengeluh, kamu pasti bisa!" ujarnya menyemangati diri sendiri.
"Biasanya juga aku mengerjakan semuanya sendiri, mengapa mengeluh? Halo Surti, tenang saja, aku bisa mengerjakan sendiri kok," Seruni terus begumam, kadang-kadang bersenandung riang.
Dering ponsel membuatnya menghentikan aktivitasnya. Pasti dari Surti, ternyata bukan, dari Indra.
"Hallo mas, mau pulang? Makan siang dirumah kan?"
"Aku mau pulang, tapi mengajak kamu makan siang diluar."
"Yaah, aku kan baru memasak mas, hampir selesai."
"Tidak apa-apa, bisa dimakan nanti malam."
"Ini mas masih di kantor?"
"Masih dikantor, tapi bersiap pulang. Kamu dandan yang cantik ya, begitu aku datang langsung berangkat."
"Iih... maksa deh."
"Buruan sayang.."
"Baiklah, pak Indra."
Seruni membereskan dapur, lalu pergi mandi dan berdandan. Ia sudah selesai ketika mobil suaminya memasuki halaman dan Indra memencet klakson bertubi-tubi.
"Mas Indra nih...," omel Seruni, sambil keluar dan mengunci semua pintu.
***
Mereka makan siang disebuah restoran. Indra tampak gembira. Rupanya dengan perginya Surti membuat hatinya sedikit tenang.
"Tanpa Surti kamu capek kan? Besok nggak usah memasak saja. Cuma berdua, bisa makan diluar. Ya kan?"
"Ah, boros."
"Kamu jangan sampai capek sayang, kamu kan habis sakit?"
"Aku sudah sehat. Kenapa sih memanjakan aku terus. Biasanya juga aku mengerjakan sendiri."
"Ini ya, kalau dibilangin pasti ngeyel. Dasar bandel." kata Indra sambil menjewer telinga isterinya.
"Aduuh... sakit tahu!"
"Biarin, awas ya kalau besok masih memasak.. jewer nya akan lebih sakit."
Seruni mencibirkan bibirnya. Indra menatapnya gemas.
"Awas kamu ya,."
"Oh ya mas, aku menelpon Surti ya, anak itu disuruh kasih kabar kok diam saja."
"Kamu sendiri yang bilang kalau dia sedang sibuk merawat bapaknya."
"Iya mungkin, tapi aku ingin menelpon dia ah, kalau dia nggak sempat menelpon kita, biar aku saja."
Tapi ternyata nggak ada jawaban. Ponsel Surti mati.
"Aduuh.. mengapa dimatikan?"
Lalu sekali lagi Seruni menelpon... nomor yang anda putar.. salah..
"Lho... gimana sih? Nomornya salah kata operator," keluh Seruni.
"Ya sudah, nanti dicoba lagi.. selesaikan dulu makanmu."
Tapi berkali-kali Seruni mencoba, jawabannya tetap sama. Diluar jangkauan.. atau nomor yang anda putar.. salah.
***
"Ada apa ya Surti kok mematikan ponselnya?" kata Seruni ketika sore hari itu menemani suaminya minum teh diruang tengah.
"Mungkin tidak mau diganggu dulu."
"Jangan-jangan sakitnya pak Mul bertambah parah."
"Tadi pagi bapak bilang sudah baik kok. Mungkin Surti juga lagi sibuk mengurus kepulangannya."
"Mosok cuma begitu saja harus mematikan ponsel?"
"Dia nggak mau diganggu, pastinya."
"Coba mas telpon bapak deh.."
"Iya.. aku coba .."
Indra memutar nomor bapaknya..
"Ada nada panggil, tapi tidak diangkat.."
"Belum mendengar deringnya barangkali."
Dan berulang-ulang Indra menelpon, tetap saja tak ada tanda-tanda bahwa panggilan itu diangkat."
Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa bapak segan menerima telponku ya."
"Sesungguhnya bapak sama ibu memang kesal sama kita. Sudah setahun tidak pernah menyapa," gumam Seruni sedih.
"Aku pernah beberapa kali menelpon juga begini. Beruntung pagi tadi itu diangkat, tapi mungkin karena ada hubungannya dengan sakitnya pak Mul."
"Ini semua salahku," gumam Seruni sedih.
"Tidak Seruni, bukan salah kamu, ini takdir, tapi nyatanya kan kita juga berusaha."
Seruni menunduk sedih.
"Nanti malam jalan-jalan lagi yuk."
"Makan diluar lagi? Kan tadi mas janji akan makan dirumah karena aku sudah memasak."
"Bukan makan, cuma jalan-jalan. Aku tuh tau nggak sih... penginnya ngajak kamu jalan-jalan terus.. supaya kamu nggak jenuh dirumah seharian.."
"Iya mau bagaimana lagi, tugas seorang ibu rumah tangga kan ngurusin rumah, dan sudah bertahun-tahun aku jalani, mengapa mas tiba-tiba jadi melow melihat aku bekerja seharian?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu, tiba-tiba rasa sayang aku sama kamu kok semakin besaaar saja."
"Berarti dulu nggak besar?"
"Semakin besar sayang. Setiap malam selalu aku bisikkan ditelinga kamu, aku cinta kamu, aku sayang kamu.."
"Terimakasih sayang. Aku juga semakin mencintai kamu."
Perasaan yang terasa sangat sentimentil itu mungkin dipicu dengan keinginan memiliki keluarga lain sebagai isteri Indra. Barangkali ada rasa takut kehilangan, takut dikesampingkan, atau takut melupakan?
***
Tapi malam itu mereka benar-benar tidak makan diluar. Indra tak ingin mengecewakan isterinya yang sudah bersusah payah masak hari itu.
"Janji ya, besok tidak usah masak. Nanti kita beli diluar saja. Tapi bukankah besok itu kamu harus ke dokter kandungan lagi? Obat kamu sudah habis kan?" kata Indra ketika mereka sedang menikmati wedang ronde disebuah warung.
"Ah, aku bosan minum obat.."
"Jangan begitu Seruni, kita tak akan berhenti berusaha."
Seruni tak menjawab. Ia merasa upayanya sudah gagal. Mungkin benar dirinya memang mandul.
"Besok aku akan mengantar kamu. Tidak usah ke kantor dulu."
"Terserah kamu saja mas," kata Seruni ogah-ogahan.
"Kok rondenya nggak dimakan?"
"Sudah mas, mendadak selera makanku hilang."
"Tuh kan, kamu pasti kecapekan.. lama nggak bersih-bersih rumah, ngepel segala macam, habis itu setlika pakaian, masak. Dengar Seruni, aku benar-benar nggak mau besok kamu masak buat kita"
Seruni merasa, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Bicara tentang dokter kandungan membuatnya merasa kesal. Ia bosan dan sudah berhenti berharap. Dia hanya ingin agar suaminya menikahi wanita lain agar segera mendapat keturunan. Apalagi sudah kelihatan bahwa kedua mertuanya tampak menjauhi mereka.
"Baiklah, aku menyesal tiba-tiba kamu muram begitu. Tapi kamu harus mematuhi nasehat dokter Seruni."
"Sekali itu saja ya mas, sudah itu aku nggak mau lagi."
Indra terpaksa mengiyakan, dengan janji dalam hati bahwa besok akan membujuknya lagi agar mau melanjutkan pengobatannya.
"Ayo mas, kita pulang saja," kata Seruni lesu.
***
Malam itu mereka sedang menikmati makan malam dirumah. Indra melihat Seruni tampak tak bersemangat. Lalu Indra menyesal telah mengingatkan jadual kontrol ke dokter besok pagi.
"Tapi bukankah itu memang harus dilakukannya? Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba Seruni seperti orang terpukul begitu aku mengingatkan," kata batin Indra.
Ditengah makan malam itu, ponsel Indra berdering. Ada nomor yang tak dikenalnya.
"Kok nggak diangkat mas?"
"Nomornya aku nggak kenal."
"Siapa tahu penting."
"Hallo," sapa Indra.
"Hallo, ini mas Indra?" suara dari seberang.
"Ini siapa ya, suaranya seperti kenal... apa ini pak Mul?"
"Iya mas Indra, saya Mulyadi."
"Waduh, suaranya sudah terdengar bersemangat, sudah sehat pak?"
"Sudah lumayan mas, saya merasa lebih baik dan minta pulang saja, nanti kebanyakan ongkos kalau dirumah sakit terus."
"Lho, kan pak Mul lagi sakit, wajar kalau belum sehat masih harus dirawat. Nanti kalau ada kurangnya saya akan kirim kemari pak Mul."
"Tidak mas, pak Prastowo sudah membayar semuanya. Tapi saya lebih baik obat jalan saja."
"Baiklah, tapi obat harus selalu diminum yang tertip ya pak, dan istirahat saja dulu, jangan banyak melakukan kegiatan apapun."
"Iya mas. Baiklah. Ini mas, saya mau tanya, kemarin itu Surti bilang kalau mau pulang menengok saya, apa nggak jadi ya?"
Indra terkejut.
"Lho, pak.. bukankah Surti sudah berangkat malam tadi? Harusnya pagi-pagi sekali sudah sampai."
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment