BUAH HATIKU 10
Oleh : Tien Kumalasari
Seruni menatap suaminya tak percaya. Helai-helai rambutnya yang berombak dibiarkannya berterbangan ditiup angin pagi yang segar.
Dilihatnya Indra menatap langit yang mulai cerah, menebarkan warna biru yang menakjubkan. Sesekali mega putih bergumpal lewat.. tersibak oleh angin yang tak hentinya berhembus.
Sesungguhnya Indra terkejut oleh ucapannya sendiri. Tapi bukankah itu ibarat terlepasnya anak panah dari busurnya, dan tak mungkin ditariknya kembali?
"Mas Indra," lembut Seruni mengucapkan itu. Hatinya sendiri tergetar mendengar Indra mengatakan hal yang sesungguhnya lama ditunggunya.
Beberapa saat keduanya terdiam, menata batin mereka yang terguncang.
Tapi tak ada yang harus disesali. Bukankah ucapan terlontar karena niat?
"Mas Indra, aku senang Mas Indra mau melakukannya," bisik Seruni dengan bibir bergetar. Detik itu juga dia harus siap untuk berbagi. Berbagi cinta, berbagi suami.
"Aku sedih harus melakukannya, Seruni," suara Indrapun bergetar.
"Sesuatu yang berat Mas, bukan hanya untuk Mas, tapi juga untuk aku. Sungguh sebenarnya aku takut kehilangan kamu," kata Seruni sambil menyandarkan kepalanya di pundak suaminya.
"Kamu tidak akan kehilangan aku Seruni, kita akan tetap seperti ini, saling mengasihi dan mencintai, hanya maut yang akan memisahkan kita," lalu keduanya berpelukan erat, seakan tak akan bisa melepasnya lagi.
Matahari mulai melepaskan cahayanya, yang semula masih malu-malu. Daun-daun di halaman tampak gemerlap oleh embun yang tersentuh cahaya mentari yang mengintip dari celah-celahnya.
Di teras, Surti sedang menyapu, dan mengelap meja kursi sampai berkilat. Ia juga melihat, kedua majikannya berpelukan di bawah pohon mangga, Surti tidak heran. Ia selalu melihat kemesraan keduanya, dimanapun. Ia kemudian masuk kedalam, tanpa ingin mengganggu mereka. Teh hangat dan roti bakar berlapis mentega dan selai blueberry sudah terletak disana.
Lalu ia menyiapkan makan pagi di meja makan.
"Mas, sudah siang, Mas harus mandi dan berangkat ke kantor. Bukankah kemarin Mas ingin aku buatkan nasi goreng? Dan telur ceplok, dan ditaburi bawang goreng? Dan kerupuk?"
Indra tak bergeming, masih enggan melepaskan pelukannya.
"Mas, sayangku.. Mas tidak akan ke kantor? Aku mau buat nasi goreng pesanan Mas."
Ketika Indra melepaskan pelukan itu, Seruni melihat air mata membasahi pipi suaminya. Seruni merasa tercekat. Ia yang membuat suaminya bersedih seperti ini. Dengan lembut Seruni mengusap air mata suaminya, sementara air matanya sendiri juga jatuh berderai.
Saling mengusap air mata, mengakhiri adegan memilukan dipagi itu. Mereka masuk ke dalam rumah dengan bergandengan tangan. Masuk ke dalam kamar masih dengan tangan saling menggenggam erat.
"Mandilah Mas, aku akan ke dapur."
Tapi Indra menarik istrinya kembali, dan menghabiskan pagi penuh sendu itu bersama-sama, membalutnya dengan cinta yang semoga bisa menyingkirkan sembilu yang mengiris.
***
Seruni sudah mandi dan berbau wangi ketika berkutat di dapur. Rambutnya yang basah masih terbalut handuk, tapi dengan cekatan membuat bumbu nasi goreng untuk suaminya.
"Bu, rendang yang semalam sudah Surti panaskan," Surti mengingatkan ketika melihat Seruni bersiap menumis bumbu nasi goreng.
"Iya Surti, nanti aku makan. Nasi goreng ini pesanan Pak Indra semalam."
"Oh, ya sudah, saya tata semuanya di meja. Mau saya bantu membuat nasi gorengnya Bu?"
"Tidak Surti, kali ini aku ingin membuat untuk suamiku."
"Baiklah, saya akan mengangkat nasinya sekarang."
***
Seruni memasuki kamar dan melihat suaminya sudah rapi dengan pakaian kerja, tapi duduk termenung ditepi pembaringan. Wajahnya kusut dan seakan tak bersemangat.
"Mas, nasi goreng untuk Mas sudah siap," kata Seruni sambil berdiri di depan suaminya, memegangi kedua tangan suaminya.
Indra merengkuhnya, dan memeluknya erat.
"Mas Indra, jangan begini dong Mas, aku jadi sedih melihat Mas."
Indra menarik nafas berat. tapi enggan melepaskan pelukan itu.
"Mas mau ke kantor tidak? Ini sudah siang lho, ayolah Mas."
Seruni melepaskan pelukan suaminya, lalu menariknya ke ruang makan. Aroma nasi goreng menyentuh hidungnya, tapi dia duduk dengan tidak bersemangat.
"Ini pesanan Mas, masih hangat, ayolah Mas.."
Indra menyendok nasi gorengnya, dan memasukkan ke mulutnya dengan enggan.
"Masakanku tidak enak ya Mas?"
"Enak kok," kata Indra sambil mengunyah makanannya.
"Ini ada rendang yang semalam belum sempat kita makan, Mas mau?"
Indra menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ini cukup," katanya sambil terus memakan nasi gorengnya sampai habis. Tapi Seruni tahu, suaminya hanya tak ingin mengecewakannya karena dirinya sudah membuatkan pesanannya.
Lalu ketika Indra sudah berangkat bekerja, Seruni merasa batinnya bagai teriris. Ternyata kesanggupan suaminya untuk memenuhi permintaannya, tidak membuatnya merasa tenang. Seruni masuk ke kamarnya dan melepaskan tangisnya disana.
"Aku berdosa ya Mas, aku membuat kamu tertekan, aku membuat kamu kecewa, menderita. Ya Tuhan, apa yang harus hamba perbuat? Ternyata ini tidak membuat aku senang dan bahagia. Ini membuat aku justru merasa menderita juga, seperti Mas Indra yang mengatakan sanggup, tapi membiarkan luka mencabik-cabik jiwanya."
Seruni masih tetap menangis, ketika Surti mengetuk pintu kamarnya.
"Ibu, tukang belanja sudah datang, Ibu mau belanja apa?"
Seruni menghapus air matanya tapi tak bergerak dan masih tergolek di atas ranjang.
"Ibu..."
"Kamu saja yang belanja Sur, aku sedang tidak enak badan."
"Ibu sakit?"
"Tidak, aku tidak apa-apa, belanja saja, .."
"Kemarin Ibu ingin sayur bening bukan?"
"Ya Surti, kamu kan sudah tahu apa yang harus kamu beli?"
Terdengar langkah Surti menjauh. Seruni kembali tenggelam dalam kesedihannya. Bagaimanapun ia harus bicara pada Surti.
"Bagaimana aku harus memulainya ya? Surti.. maukah kamu menjadi istri Mas Indra supaya kamu bisa melahirkan keturunan baginya? Masa aku harus ngomong begitu. Kelihatan kejam bukan, meminta menjadi istrinya hanya karena menginginkan keturunan darinya? Jadi bagaimana dong. Surti.. kami sangat menderita, karena sudah sekian tahun belum juga dikaruniai keturunan. Maukah kamu menjadi istri Mas Indra? Hanya sampai kamu mengandung dan melahirkan, setelah itu mas Indra akan menceraikan kamu." Ah, itu kelihatan kejam, seperti habis manis sepah dibuang. Lalu bagaimana?"
Seruni terus berbicara pada dirinya sendiri, ternyata menjalaninya tak semudah mengucapkannya.
"Surti tolonglah aku, aku mohon, bersedialah menjadi istri Mas Indra. karena Mas Indra ingin memiliki keturunan."
Seruni tiba-tiba merasa pusing. Dipeganginya kepalanya dan berhenti memikirkan apa yang harus dilakukannya.
***
Surti sudah selesai memasak, tapi dilihatnya sang majikan cantik belum ke luar dari kamarnya. Jangan-jangan Bu Indra sakit. Pikir Surti. Lalu dia menata masakannya di meja makan, kemudian mengetuk kamarnya.
Seruni menatap ke arah pintu. Ia tahu bahwa Surtilah yang mengetuk pintu itu.
"Masuklah Surti."
Surti masuk, melihat majikannya terbaring di ranjang.
"Ibu sakit?"
"Tidak Surti, hanya sedikit pusing."
Surti melihat mata majikannya sembab, tapi ia tak berani menanyakan sebabnya. Surti hanya heran, apa gerangan yang ditangiskan majikannya sementara hidupnya serba berkecukupan, dan bersama suaminya selalu tampak saling menyayangi?
"Saya sudah selesai masak, apakah Ibu mau makan sekarang? Atau saya bawa saja makanannya kemari?"
"Tidak Surti, nanti aku ke ruang makan saja."
"Kalau Ibu sakit, maukah dikerokin?"
"Tidak, aku tidak apa-apa, baiklah, aku mau makan sekarang," kata Seruni kemudian turun dari ranjang.
Surti mendahului ke ruang makan, membuka penutup saji, dan menarik kursi untuk majikannya.
Seruni duduk dan membalikkan piringnya.
"Surti, maukah kamu duduk disini, dan makan bersama aku?"
"Apa? Saya?" Surti terkejut mendengar permintaan majikannya.
"Iya, duduklah di depanku sini."
"Tidak Bu, saya nanti saja setelah Ibu makan. Saya tidak biasa duduk di kursi bagus."
"Sekarang aku suruh kamu duduk disitu Surti."
Surti mengambil sebuah kursi pendek, dan duduk di ruangan itu, agak jauh dari Seruni.
"Gimana kamu itu Sur, disuruh duduk disini bersama aku kok tidak mau."
"Biar saya disini saja, melayani Ibu."
Surti menyendok nasi dan membubuhinya sayur.
"Kurang manis Bu? Atau keasinan?"
"Enak Sur.. masakan kamu selalu enak."
"Terimakasih Bu."
"Tahu bacemnya juga enak. Lebih enak lagi kalau kamu mau duduk makan bersama aku disini."
"Kalau itu saya yang nggak enak Bu. Biasanya saya makan di dapur."
"Sebenarnya aku ingin ngomong sama kamu."
"Ya Bu, ada apa ?"
"Mm.. kamu sudah punya pacar?"
"Ah, pacar itu apa Bu, Surti belum pernah pacaran."
"Tapi kamu sudah pantas punya suami."
Surti hanya tertawa kecil, sambil menunduk tersipu.
Seruni ingin memulai percakapan ke arah yang dimaksud, tapi tidak segera bisa melakukannya. Bingung memulainya, dan tak sampai hati mengatakannya.
"Oh iya, obatnya Ibu lupa belum Surti siapkan," kata Surti sambil mengambil obat yang selalu diminum Seruni setiap hari. dan disiapkannya saat majikannya makan siang.
"Terimakasih Surti. Itu obat penyubur kandungan."
"Oo.."
"Sudah sekian lama, dan sudah berupaya, tapi belum juga diberikan keturunan."
"Ibu masih muda, tetangga Surti di Surabaya, sepuluh tahun menikah baru bisa hamil."
"Masa?"
Tapi Seruni tahu bahwa Bapak dan ibu mertuanya sangat mendambakan cucu baginya. Mereka takut kalau tidak akan punya penerus setelah Indra. Dan itulah sebenarnya yang membebani pikirannya selama ini.
"Benar Bu, sudah ke dokter, ke dukun.. sepuluh tahun kemudian baru bisa hamil. Sekarang anaknya lima."
"Wah, senangnya..."
Seruni hampir mengutarakan maksudnya ketika tiba-tiba Surti berdiri karena mendengar suara peluit dari cerek perebus air di dapur.
Seruni menghela nafas. Susah-susah mengumpulkan keberanian untuk bicara, tiba-tiba keberanian itu kembali padam.
***
Seruni menunggu suaminya pulang dengan gelisah. Ini sudah lewat dari jam kebiasaan dia pulang.
"Kemana ya Mas Indra. Jangan-jangan dia marah dan pergi entah kemana," gumam Seruni.
Satu jam, dua jam sudah lewat dari kebiasaan, Seruni berganti pakaian lalu ke luar rumah. Ia bermaksud menyusul suaminya ke kantor.
Ia terus berjalan menyusuri hiruk pikuk jalanan sore hari. Tak ada taksi lewat, dan Seruni lupa membawa ponselnya untuk memanggil taksi online.
"Bodohnya aku, mengapa tadi tidak membawa ponselku, gumamnya sambil melongok kekiri kanan jalan, kalau-kalau ada taksi lewat.
Seruni semakin gelisah, ia mempercepat langkahnya, sambil mencari becak.
"Becakpun tak ada. Sial benar sore ini," gumam Seruni sambil mengusap peluh didahinya.
"Ada apa ya Mas Indra, hatiku kok tidak enak rasanya. Apakah dia benar-benar marah sama aku, lalu tak mau pulang, Duuh.. aku bingung sendiri. Apakah aku salah kalau aku memikirkan kepentingan mertuaku? Aku sudah berusaha, tak ada hasilnya juga..Maas, dimana kamu Mas."
Seruni terus melangkah sambil sesekali mengusap peluh, berbaur dengan air matanya.
Tiba-tiba sebuah klakson mengejutkannya. Rupanya Seruni berjalan terlalu ketengah. Dengan gugup dia melangkah minggir, teringat ketika beberapa waktu yang lalu nyaris tertabrak mobil.
Mobil itu berhenti disampingnya, Seruni tak ingin menengoknya, diusapnya lagi air matanya.
"Kalau berjalan agak minggir ya Bu," kata pengemudi itu agak keras. Seruni seperti mengenali suara itu. Ia menoleh dan dilihatnya suaminya tersenyum dibalik kemudi. Seruni menghampiri, dan masuk ke dalam mobil, menangis terisak disana.
"Lho, Bu Indra mengapa menangis?"
Seruni mencubit lengan suaminya keras sekali.
"Aaauuuw... galak bener?"
"Mas kemana saja, hampir maghrib belum pulang?"
"Ya ampun.. aku menelponmu berkali-kali.."
"Aku akan menyusul kamu ke kantor, tak ada taksi, mau pesen taksi online ponselku ketinggalan."
"Sayangku, cintaku, kekasihku... jadi ini tadi kamu mau menyusul ke kantor? Lumayan jauh lho jalan dari rumah sampai kesini."
"Di rumah aku merasa sendirian, kamu nggak pulang-pulang.. aku pikir kamu marah sama aku."
"Tadi aku harus menyelesaikan beberapa proposal yang harus aku pelajari. Aku sadar sudah terlambat pulang, aku menghubungi kamu tapi tak ada yang mengangkatnya."
"Aku duduk di depan menunggu kamu, lalu langsung pergi karena takut kamu nggak mau pulang."
Indra tertawa keras. Seruni menatapnya kesal.
"Rumahku adalah istanaku, disana ada permaisuriku yang sangat aku cintai, bagaimana aku bisa tidak pulang sayang?"
"Aku ketakutan oleh ulahku sendiri."
Tiba-tiba wajah Indra meredup. Teringat usulan Seruni yang sudah disanggupinya.
"Kamu sudah bilang sama dia?"
"Dia siapa?"
"Surti, kecintaan kamu itu."
"Jangan begitu Mas, siapa tahu dia bisa membantu kita."
"Ayo kita jalan-jalan saja. Kalau pulang hatiku menjadi resah. Eh, kamu belum menjawab pertanyaanku. Sudah ngomong belum?"
"Belum, ternyata tidak mudah mengatakannya."
"Apa harus aku sendiri?"
"Oh, begitu ya, bagus kalau Mas mau. Nanti ngomong ya sama Surti."
"Ogah..!"
Seruni tak menjawab.
"Kita jalan-jalan saja ya."
"Ini hampir maghrib."
"Berhenti nanti untuk shalat di masjid... lalu jalan-jalan..."
"Kemana?"
"Jalan saja, atau mampir beli es krim kesukaan kamu."
"Tapi Mas kan belum mandi?"
"Nggak apa-apa, belum mandi juga kan aku tetap ganteng."
Seruni tersenyum, menoleh ke arah suaminya yang memegangi kemudi. Iya sih, siapa bilang suamiku nggak ganteng, bisik batinnya.
"Iya kan? Kamu sudah memandangi aku dan mengakuinya bukan?"
"Ge-er..."
Dan mereka berjalan-jalan. Larut malam baru sampai rumah. Tak perduli Surti cemas menunggu karena Seruni juga tidak mengatakan bahwa dia mau pergi.
***
Malam itu meeka kembali tidak makan malam karena sudah makan di luar. Seruni harus mengembalikan semua makanan yang sudah ditata di meja dan sudah dingin.
Seruni menatap suaminya yang duduk dengan menatap televisi, namun yakinlah bahwa pikirannya tidak tertuju kepada acara yang berlangsung.
"Mas, aku mau bilang ke dia sekarang ya,"
"Terserah kamu saja." kata Indra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa itu.
"Kelamaan mengotak atik kata, aku jadi merasa semakin tersiksa."
Indra tak menjawab.
"Surti..." panggil Seruni sambil menguatkan hatinya
"Ya Bu," jawab Surti dari dalam kamarnya. Tapi sebelum Surti keluar, terdengar ponselnya berdering.
"Sebentar Bu, saya menerima telpon dulu," kata Surti sambil melongok ke ruang tengah.
Bersambung
No comments:
Post a Comment