Thursday, August 20, 2020

Buah Hati 03

BUAH HATI 03
   Oleh : Tien Kumalasari
   
Ya Ibu, terimakasih  banyak, tidak apa-apa, sambil menolong orang yang membutuhkan bantuan. Tapi tentang kapan bisa menjemputnya saya tanyakan dulu sama Mas Indra ya Bu, sekarang Mas Indra belum pulang.

Baiklah Seruni, atau begini saja, dia biar naik kereta saja, nanti se sampai disini kalian bisa menjemputnya di stasiun. Bagaimana?

Bagus itu Bu, kapan dia berangkat, kalau hanya menjemput di stasiun sewaktu-waktu juga bisa, kalau Mas Indra tidak bisa, Seruni juga bisa, Ibu.

Ya sudah kalau begitu Ibu suruh dia berangkat besok atau dua hari lagi untuk dia bersiap-siap.

Baiklah Ibu, nanti kalau sudah berangkat kami diberi kabar ya Bu.

'Iya Seruni, Ibu itu kecuali ingin membantu Pak Mul, juga memikirkan kamu, apalagi kalau nanti kamu sudah punya anak, kalau tidak ada pembantu kan repot.'

Aduuuh.. Seruni kembali merintih.

Ketika mendengar mobil suaminya memasuki halaman, Seruni segera menyambutnya di tangga teras. Ponsel masih dipegangnya. Begitu suaminya turun dan mendekat, Seruni menyambutnya dengan mencium tangannya.

"Kok bawa-bawa ponsel sayang?"

"Iya Mas, baru saja Ibu menelpon."

"Ada berita apa?"

"Ibu mau mengirimkan seorang gadis supaya menjadi pembantu di rumah kita."

"Pembantu? Ibu mau mengirimkan pembantu?"

"Kata Ibu, dia itu Surti, anaknya Pak Mul yang dulu keamanan di kantornya Bapak. Sekarang sudah merasa tua jadi sudah minta pensiun.  Karena kasihan, Pak Mul disuruh bekerja menjadi tukang kebun di rumah sana, sedangkan Surti mau dikirim kemari."

"Apa kita harus menjemput Surti ke Surabaya?"

"Ibu tadi usul, Surti disuruh naik kereta saja, kita tiinggal menjemput di stasiun."

"Iya aku ingat Pak Mul, waktu aku masih kecil sering digendong-gendong sama Pak Mul."

"Kalau begitu Mas juga sudah kenal sama Surti?"

"Kalau Surti, aku lupa-lupa ingat, umurnya jauh dibawah aku dan tidak pernah dibawa ke kantor pastinya. Cuma dengar namanya saja."

"Mas tahu nggak apa kata Ibu tadi. Katanya, selain kasihan sama anak itu, Ibu juga memikirkan kita, kalau kita sudah punya anak, pasti repot, itu sebabnya Ibu menerima Surti."

"Ah, itu lagi..."

"Mas, apa tidak sebaiknya kita berterus terang saja pada Ibu, bahwa aku tidak akan bisa memberinya cucu?"

"Ya, tapi kapan-kapan sajalah."

"Sebaiknya semakin cepat semakin baik Mas, supaya Ibu dan Bapak tidak terus berharap. Sakit aku setiap Ibu mengatakan .. anak.. anak.. dan anak.."

"Ya, sabarlah sayang. Aku mandi dan ganti baju dulu ya, nanti kita bicara lagi."
*****

Hari esoknya Surti sudah ada di rumah keluarga Prastowo.

"Surti, apa kamu sudah siap berangkat ke Solo?"

"Sudah Bu."

"Kamu berangkat sendiri berani kan ?"

"Berangkat sendiri ? Tapi kan Surti tidak tahu dimana Pak Indra tinggal?"

"Kamu naik kereta dari sini, nanti sesampai di Solo kamu dijemput. Jadi tidak usah menunggu Indra datang kemari, nanti kelamaan, soalnya Indra kan bekerja, tidak tahu kapan bisa kemari."

"Oh, kalau begitu baiklah Bu."

"Kalau begitu, biar nanti Bapak memesankan tiket kereta untuk kamu. Barang-barang yang harus kamu bawa, bawa saja sekalian."

"Iya Bu, Surti hanya membawa beberapa lembar baju."

"Ya sudah, aku mau bilang Bapak bahwa kamu sudah siap, juga akan mengabari Indra supaya bisa menjemput di stasiun.

Surti segera mendekati Ayahnya yang sedang menyirami tanaman di kebun.

"Pak, kata Bu Pras, aku akan berangkat ke Solo besok.

"Ya sudah, tidak apa-apa, jaga diri kamu baik-baik. Mas Indra itu juga keluarga Pak Pras, dia putra satu-satunya."

"Surti belum pernah melihatnya Pak."

"Iya, kalau kamu memang belum pernah melihatnya, tapi Bapak sudah tahu, sejak kecil sudah sering main di kantor. Setelah lulus sekolah juga membantu Ayahnya di kantor. Tapi kemudian dia memegang anak perusahaan Ayahnya di Solo.

"Ya Pak."

"Kamu tidak usah khawatir, mereka orang-orang baik semuanya."

"Iya Pak, Bapak tidak apa-apa ya kalau aku tinggal?"

"Tidak Nduk, jangan khawatirkan Bapak, apalagi Bapak juga bekerja disini, Bapak tidak akan kelaparan."

Surti mengangguk dan terharu. Sejak Ibunya meninggal ketika Surti baru masuk sekolah dasar, Ayahnyalah yang merawatnya. Tapi waktu itu Ayahnya masih kuat bekerja sebagai keamanan di kantornya Pak Pras, setelah tidak kuat, Ayahnya hanya kadang-kadang  saja mendapat pekerjaan. 
Membantu membetulkan rumah, bersih-bersih atau apalah, yang penting bisa mendapatkan uang untuk makan. Tapi sekarang Surti lega, Ayahnya ada yang menjaga.
*****
Ya Bu... nanti saya jemput. Jam berapa ya sampai Solo? tanya Indra ketika Ibunya menelpon.

Entahlah, coba kamu tanya ke stasiun, dari sini  nanti  jam duabelas atau setengah duabelas ya... Lima jam-an atau bagaimana, Ibu tidak menanyakan tadi.

Iya bu, kira-ira empat sampai lima jam, nanti Indra tanya ke stasiun.

Baiklah, kasihan dia itu, hanya lulus SMP, Bapaknya tidak kuat membiayai..

Iya, biar saja ikut Indra Bu... supaya pekerjaan Seruni lebih ringan.

Itu benar, lagi pula besok kalau kalian punya anak kan bisa membantu momong anak kamu. Oh ya, kalau tidak salah keretanya Gaya Baru.

Iya bu.

Indra menghela nafas. Ia tahu Bapak dan Ibunya sangat ingin bisa segera menimang cucu.

"Barangkali benar kata Seruni, aku harus berterus terang tentang keadaan Seruni yang tidak akan bisa memberikan seorangpun cucu bagi orangtuaku," bisik batin Indra, akan tetaapi dia ketakutan akan sikap kedua orangtuanya nanti. 

Bagaimana kalau disuruhnya dia menceraikan Seruni? Tidak, tak akan, Indra sangat mencintai Seruni.

Indra menggaruk-garuk kepalanya sendiri, sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Ada apa Mas?" tanya Seruni yang baru datang dari belakang.

"Oh, nggak ada, nanti harus menjemput ke stasiun, sekitar jam empat, kamu ikut kan? Nggak enak kalau aku sendiri, nanti dia sungkan."

"Ya Mas, aku ikut, sekarang Mas makan ya, sudah siap semuanya."

Indra bangkit, melangkah ke ruang makan seperti orang tak berselera.

"Kenapa Mas, seperti ogah-ogahan begitu? Bosan dengan masakan aku?" tanya Seruni begitu melihat Indra duduk dan tidak segera membalikkan piringnya.

"Apa? Bosan masakan kamu? Ya nggak mungkin sayang, Masakanmu tak ada duanya didunia ini."

"Kalau begitu kenapa ?" kata Seruni sambil membalikkan piring Indra, lalu menyendokkan nasi dan lauk kepiringnya.

"Aku cuma segan menjemput ke stasiun." jawabnya berbohong.

"O, kalau cuma itu, biar aku saja, sendiri nggak apa-apa."

"Jangan, kamu kalau nyetir ngebut."

"Yee... masak sih.."

"Iya, aku tahu bagaimana kalau kamu mengendarai mobil."

"Ah.. cuma sekali itu saja. Tapi aku juga bisa pelan kok."

"Nggak, ya sudah nanti sama aku saja."

Indra melahap makanannya. Ia tak ingin mengatakan apa yang tadi dipikirkannya, khawatir kalau Seruni terluka.
*****
Surti hampir memasuki kereta ketika tiba-tiba seseorang menyapanya.

"Surti... ! Kamu Surti anaknya Pak Mul kan?"

"Oh, iya.. ini Mbak Susi ?"

"Lusi..."

"Oh iya.. Mbak Lusi.. mau kemana ?"

"Aku mau pulang, tadi mengantar saudara yang mau ke Solo. Kamu mau kemana?"

"Saya juga mau ke Solo Mbak."

"Mau ngapain ke Solo?"

"Mau ke rumahnya Pak Indra."

"Pak Indra... anaknya Pak Pras?"

"Iya, mau kerja disana Mbak, habisnya Bapak sudah tua, saya harus membantunya dengan meringankan beban Bapak."

"Oh, ya ampun.. aku sering menyuruh Pak Mul membersihkan rumah.."

"Bapak sekarang juga ikut di rumahnya Pak Pras."

"Oh, gitu ya."

"Ya sudah Mbak, saya pergi dulu, takut terlambat."

"Titip salam untuk Indra ya, bilang ada salam dari bekas pacarnya, Lusi. Awas jangan lupa."

"Baiklah Mbak."

"Hm.. enaknya kalau setiap hari bisa melihat wajah Indra, melayani.. melakukan apa yang disuruh. Aduh, gila apa? Masa aku harus menjadi pembantu kalau ingin setiap hari ketemu Indra?" gumam Lusi sambil menatap kepergian Surti.

Surti bergegas mencari kereta yang harus ditumpanginya, meninggalkan Lusi yang kemudian juga sudah langsung ke luar dari stasiun Gubeng.
*****
Distasiun Solo Balapan , Seruni dan Indra menunggu.

"Keretanya apa ya?" tanya Seruni

"Kalau tidak salah Gaya Baru atau apa ya.. kok kurang memperhatikan aku.." kata Indra.

"Gimana sih mas? Kamu tuh tampaknya males banget. Nggak suka ya dapat pembantu?"

"Oh, suka kok, kan bisa meringankan beban kamu, lalu kamu harus khusus melayani aku," kata Indra sambil tersenyum nakal.

"Iih, apaan sih."

Ketika kemudian diumumkan bahwa kereta Gaya Baru akan memasuki stasiun Solo Balapan, Seruni dan Indra berdiri. Mereka menunggu dipintu keluar, dan Indra sudah membawa sebuah karton bertuliskan 'SURTI'.

Seorang gadis tampak menjinjing sebuah tas, dan melongok kesana kemari. Ketika dibacanya tulisan _*'SURTI'*_ ,, dia mendekat.

"Pak Indra?" sapanya.

"Kamu Surti dari Surabaya?" tanya Indra.

"Ya Pak, saya anaknya Pak Mul, disuruh kemari oleh Ibu Pras.

"Oh, bener dia Seruni." kata Indra sambil menoleh ke arah isterinya.

Surti menatap Indra lekat-lekat, lalu menatap Seruni.

"Mereka ini pasangan yang benar-benar serasi, satunya ganteng, satunya cantik," batin Surti.

"Ya sudah Surti, ayo ikut aku," kata Seruni.

Surti mengikuti keduanya, sambil menjinjing tasnya yang tampak berat. Maklum, Bu Prastowo menitipkan juga oleh-oleh untuk anak dan menantunya.

*****

"Surti, ini kamar kamu, ada almari kecil, taruh dan tata pakaianmu didalamnya."

"Baik Bu."

"Kamar mandi disana, itu dapur. Kamu bisa memasak?"

"Bisa Bu, asal yang tidak aneh-aneh, maksudnya masakan sederhana saja, masakan Jawa."

"Baguslah, kalau yang bukan masakan Jawa nanti aku kasih tahu kamu."

"Baik Bu. Dimana bayinya?"

Seruni terkejut.

"Apa kamu bilang?" tanya Seruni dengan nada agak tinggi.

"Kata Bu Pras.. saya..." Surti tiba-tiba sadar kalau dia salah bicara.

"Bayinya belum ada."

"Oh, maaf Bu, barangkali saya salah dengar. Mungkin maksudnya kalau Ibu sudah punya bayi, saya disuruh momong bayinya juga."

"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Kalau mau minum ambil sendiri, itu ada galon aqua."

Seruni melangkah ke depan dengan perasaan yang campur aduk.

Dilihatnya Indra sedang membaca koran sore yang tadi sempat dibelinya. 

Seruni duduk begitu saja di depan suaminya. Wajahnya tampak muram.

"Heii... mengapa permaisuriku tampak muram begitu? Ada yang membuat kamu kesal? Surti mengecewakan kamu ?"

Seruni menyandarkan kepalanya di sofa. Indra meletakkan korannya, lalu duduk disamping istrinya.

"Ada apa ?"

"Tidak ada."

"Yee.. mengapa bicaranya ketus begitu ? Aku salah ya ?"

"Mas, bagaimana kalau kita berterus terang saja pada Ibu, bahwa aku mandul."

"Seruni.."

"Tadi Surti bilang, dia dipesan oleh Ibu, bahwa nanti Surti akan bertugas momong anak kita."

"Ah.. itu membuat kamu kesal ya?"

"Aku melalui hari-hariku dengan sesuatu yang mengganjal di kepala. Lama-lama aku nggak kuat Mas."

"Sayang, sabar ya.. sebenarnya ini antara aku dan kamu.. ya kan?"

"Tapi kalau orangtua menuntut bagaimana ?"

Indra memeluk Seruni dan mengelus rambutnya lembut.

"Baiklah, kapan-kapan kita ke Surabaya, mengatakan yang sebenarnya."

"Itu lebih baik mas, aku akan menerima apapun resikonya, daripada aku memendam sesuatu yang sesungguhnya memang terasa berat."

"Resiko yang bagaimana menurut kamu?"

"Siapa tahu Bapak Ibu menyuruh Mas menceraikan aku."

"Ya Tuhan, kamu adalah milikku, aku mencintaimu Seruni, aku tak mungkin melakukannya."

Seruni menghela nafas. Kesedihan masih belum lenyap dari wajahnya.

"Baiklah, Minggu depan kita akan pergi ke Surabaya, dan aku akan mengatakan yang sebenarnya pada Bapak sama Ibu. 

Tapi kamu tak usah khawatir, aku tetap akan ada disampung kamu, mencintai kamu dengan segala cinta yang ada."

Seruni mengangkat kepalanya, menghapus air mata yang meleleh dipipinya. Indra yang melihatnya segera mengulurkan tangannya, mengusap pipi Seruni dengan telapak tangannya.

"Sudah, jangan lagi menangis dong. Ayo senyum.."

Seruni menggeleng.

"Jelek ah, ayo senyum, masa cuma minta senyum saja nggak dikasih?"

Seruni mencoba mengulaskan senyum, walau sangat tipis.

"Nah, gitu dong," kata Indra sambil mengelus pipi istrinya.

"Sekarang aku mau mandi dulu ya."

Ketika Indra singgah ke ruang makan untuk mengambil minuman, Surti mendekatinya.

"Maaf pak.."

"Ada apa?"

"Tadi saya dititipin salam untuk Bapak."

"Dari siapa?"

"Dari Mbak Susi.."

"Susi siapa?"

"Katanya... katanya.. bekas pacar Bapak.. Eh.. bukan Susi.. Lusi..Ma'af Pak."

"Kamu kenal dia?"

"mBak Susi.. eh.. Lusi sering menyuruh Bapak saya  membersihkan dan membetulkan rumahnya."

"Dia itu wong eddan !!"

"Ap..pa Pak?"

Indra tak menjawab, lalu pergi kekamar untuk mandi. Kesal juga tiba-tiba ada titipan salam dari _'bekas pacar'.._

"Dasar orang gila," umpatnya sambil meraih handuk lalu menutupkan pintu kamar mandi dengan keras.

Dan bantingan pintu kamar mandi itu terdengar oleh Surti yang mau menemui Seruni untuk memberikan kiriman oleh-oleh dari Ibu mertuanya. Ia terpaku di depan kamar, dan saat itu juga Seruni juga mendengarnya. Ia memburu ke kamar dan melihat Surti sedang terpaku didepan pintu.

"Ada apa?"

"Saya tidak tahu Bu, apakah Bapak marah karena saya mengatakan bahwa ada titipan salam?"

"Titipan salam untuk Bapak?"

"Iya, dari mbak Susi... " selalu saja Surti salah mengucapkan nama Lusi.

"Susi siapa?"

"Eh.. itu Bu, katanya bekas pacar Bapak.. anu.. bukan Susi.. Lusi."
*****

Bersambung

1 comment:


  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.COMPANY ....:)

    ReplyDelete

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER