BUAH HATIKU 02
Oleh : Tien Kumalasari
INDRA menatap istrinya tak percaya. Dipandanginya binar-binar mata Seruni yang mulai menampakkan telaga bening.
"Kamu bercanda kan ?"
"Aku serius Mas."
"Ini gila !"
Indra membalikkan tubuhnya, memunggungi istrinya. Tak percaya istrinya bisa mengucapkan kata-kata itu.
Seruni memeluknya dari belakang.
"Aku serius, aku ikhlas.. Mas akan bahagia kalau bisa mendapatkan keturunan. Aku ingin Mas bahagia."
Indra diam tak bergeming.
"Maaas, jangan begitu dong Mas, ayo menghadap kemari, aku nangis nih.." kata Seruni merajuk, lalu menggoyang tubuh suaminya, berusaha membalikkan tubuhnya.
Tapi Indra sangat kekar, mana bisa Seruni melakukannya?
"Maaas.." lalu Seruni mengangkat kepalanya, menggelitik telinga suaminya.
"Seruni.. aku lagi marah nih."
"Iih, marah kok ngomong sih.."
Seruni mnggelitik telinganya lagi, Indra mengibaskannya, lalu membalikkan tubuhnya. Direngkuhnya tubuh Seruni erat.
"Jangan lagi mengucapkan itu," bisiknya lembut.
"Aku ingin kamu bahagia Mas."
"Inilah bahagiaku, disini, dalam dekapanku ini.."
"Maas.."
"Diam, dan mari kita nikmati malam ini tanpa mengingat hal-hal buruk."
"Aku ngantuk.."
"Tidurlah.. aku akan mendendangkan kidung-kidung indah dari sorga.."
Seruni pasrah, tak berdaya dalam dekapan suaminya. Tak berdaya ketika kidung-kidung itu mendendangkannya.
***
"Seruni, janji ya.. jangan mengucapkan kata-kata itu lagi," kata Indra ketika makan pagi sebelum berangkat ke kantor.
Seruni tak menjawab, menaruh lauk ke piring suaminya.
"Benar ya kata Ibu, masakan istriku enak sekali," kata Indra sambil menyendok nasinya.
"Hanya itu yang aku bisa.." jawab Seruni sambil ikut menikmati sarapannya.
"Nggaaak... banyak yang kamu bisa, salah satunya adalah bisa membahagiakan suami kamu."
"Benarkah ?"
"Sangat benar.."
Seruni menatap suaminya, yang mengunyah makanannya sambil mengedipkan sebelah matanya. Seruni tersenyum. Alangkah ganteng suaminya.
"Jangan sampai masalah _'anak'_ itu mengganggu kehidupan kita. Banyak cara untuk bisa mendapatkannya."
"Ya, banyak cara."
"Bukan dengan usulan kamu semalam. Aku tidak suka mendengarnya. Aku hanya ingin memiliki kamu. Hanya kamu."
Seruni mengerjapkan matanya. Ucapan suaminya sangat menyentuh sanubarinya. Selalu itu yang diucapkannya. Ia membalasnya dengan sebuah senyuman.
"Kamu bertambah manis kalau tersenyum. Aku suka senyuman itu."
"Pagi-pagi ngegombal." kata Seruni, kali ini cemberut.
"Heran aku, cemberutpun juga manis tuh."
"Hiih, sudah.. habisin tuh makannya, nanti masuk kantor kesiangan tahu rasa."
Indra tertawa.
"Iya..iya."
***
Berbulan bulan mereka menjalani kehidupan mereka dengan bahagia. Seruni seakan sudah melupakan pembicaraan tentang anak, menengelamkan seluruh duka yang merajai hatinya ketika vonis itu dijatuhkan.
"Hallo..." suara itu mengejutkannya. Perempuan cantik dengan baju cassual ketat melekat ditubuhnya, menampakkah betapa sexi dan indah tubuh itu. Seruni tak bisa melupakan wajah itu, wajah yang sikapnya terhadap Indra sangat membuatnya kesal.
"Lhoh... kok bisa sampai sini?" kata Seruni heran kenapa Lusi tiba-tiba bisa berada dihadapannya.
Lusi tertawa, dan tanpa dipersilakan dia duduk begitu saja di kursi teras rumah Indra.
"Aku tidak bisa menghubungi Indra, aku bertanya pada Pak Pras dimana persisnya alamat ini."
Seruni duduk dihadapannya. Tak ada nada ramah ketika menyambut tamunya.
"Ada perlu dengan Mas Indra?"
"Ya, pastinya. Mana dia, bukankah ini hari libur?"
"Dia sedang pergi."
"Pagi-pagi begini ?"
"Olah raga di dekat stadion."
"Oh, pantas badannya selalu tampak tegap dan gagah," pujinya tanpa rikuh walau yang dipuji adalah suami dari wanita dihadapannya.
"Mau menunggu ?"
"Aku coba menunggu, kalau tidak kelamaan."
"Oh, silakan."
"Aku heran tiba-tiba Indra menikah sama kamu. Dia itu kan idola kampus dan banyak digilai gadis-gadis. Ternyata selera dia sangat rendah."
Seruni terkesiap dengan ucapan itu. Perempaun cantik yang tampak terpelajar ini bisa mengucapkan kata sekasar itu. Apa tak sadar ucapannya seakan mengatakan bahwa dirinya wanita rendahan yang tak pantas bersanding dengan Indra. Seruni ingin menampar mulut berbibir sembilu itu keras-keras.
"Oh, ma'af, aku kelepasan."
Seruni tak menjawab. Wajah masam yang ditampakkannya harusnya membuat wanita itu segera menyingkir dari hadapannya.
Tapi itu tak terjadi. Ia menyilangkan kakinya, lalu membuka tas dan mengambil ponselnya.
"Indra jarang sekali mengaktifkan ponselnya."
Seruni tak beranjak, dia juga tak ingin menawarinya minum. Di meja itu tersedia keranjang wadah aqua gelas yang masih penuh terisi. Tampaknya Seruni ingin mengatakan, kalau harus minumlah aqua itu, jangan merepotkan aku.
"Jam berapa biasanya pulang?"
"Entahlah, tidak tentu," jawab Seruni enggan.
Ketika tukang sayur lewat, Seruni melambaikan tangannya, ia tak ingin melayani tamu yang nggak sopan itu lebih lama, dan ingin menyibukkan dirinya dengan belanja.
"Sayurnya apa mbak?" tanyanya kepada tukang sayur yang tanpa disuruh sudah menggelar dagangannya.
"Banyak Bu, ada terong ungu, terong biasa, bayam, daun kenikir.."
"Ah ya, daun kenikir saja, enak tuh dibuat urap, dicampur kacang panjang, kecambah, sama mentimun. Adakah semuanya?"
"Siap Bu, ada semuanya, ini silakan memilih.."
"Ada kelapa parutnya?"
"Ada Bu, ini... kelapa agak muda, kalau Ibu ingin membuat bumbu urap."
"Ada kencur tidak Mbak? "
"Ada, ini sebungkus bumbu pawon, sudah lengkap, salam laos, kunir jahe kencur kunci, ada semua."
"Ya Mbak, sisihkan disini semua, saya juga mau tahu sama tempe."
"Ada, ayamnya juga mau?"
"Saya mau paha saja, terus mau bikin lodeh tapi pakai kluwih Mbak."
"Ada, biar saya kupas sekalian Bu, supaya nanti tangan Ibu tidak berlepotan getah."
"Terimakasih Mbak, dikasih daun so, sama kacang panjangnya ditambah ya Mbak."
Asyik berbelanja, tak sadar Lusi sudah ada dibelakangnya.
"Belanja apa tuh?"
"Oh, ini Mbak, seadanya, yang penting sehat."
"Kelamaan menunggu, aku harus ke apotik dulu untuk beli obat. Aku ke Solo kan karena mertuaku sakit."
"Owh.."
"Baiklah, saya pergi dulu ."
"Silakan Mbak, ma'af saya tinggal belanja, tukang sayurnya keburu pergi, lagi malas ke pasar soalnya."
Lusi berlalu, menaiki mobil sport putih, lalu menjauh.
Seruni menarik nafas lega.
"Itu siapa Bu, seperti artis di tv ya," tanya Ibu penjual sayur.
"Teman Bu."
"Cantik sekali."
"Iya, sudah Mbak, tolong dihitung, aku kedalam mengambil uangnya dulu."
***
Tapi beruntungnya Lusi, ketika melewati Jl. Slamet Riyadi, dilihatnya Indra sedang berjalan mendekati mobilnya. Lusi menghentikan mobilnya, persis di depan mobil Indra.
Indra nyaris masuk ke dalam mobil ketika Lusi memanggilnya.
"Indra !!"
Tentu saja Indra terkejut. Lusi tinggal di Surabaya, tapi bisa bolak-balik ke Solo. Ia ingin langsung masuk ke mobilnya tapi Lusi memburunya.
"Indra, aku tadi dari rumah kamu."
"Darimana kamu tahu rumah aku?"
"Ayah kamu yang memberi tahu. Kenapa? Nggak boleh ya? Jangan sombong-sombong kenapa sik Dra."
"Ngapain kamu disini?"
"Kangen kamu.."
"Ah.. " Indra mendengus kesal.
"Mertua aku sakit, aku diminta datang. Ya sudah terpaksa aku datang. Sudah mengantarnya ke dokter, lalu ini mau mengambil obat ke apotik. Tapi beruntung aku, bisa ketemu kamu disini."
"Aku sedang terburu-buru."
"Indra, aku bener kangen sama kamu, berapa tahun kita nggak ketemu. Oh ya, setelah aku menikah ya."
"Kamu harus tahu Lusi, aku punya istri, jangan lagi menganggap aku masih sebagai mahasiswa teman kamu kuliah. Keadaan sudah berbeda."
"Iya, aku tahu, tapi rasa kan tidak bisa hilang begitu saja."
"Kamu kan pernah menikah, masa lalu itu biarkan berlalu."
"Aku menikah karena dijodohkan oleh orangtua. Sesungguhnya aku tidak suka."
"Kamu sudah menjalaninya, dan punya anak..bukan?"
"Anakku ikut neneknya disini, itu sebabnya aku sering kemari. Aku baru tahu kamu juga tinggal di kota ini. Seneng mendengarnya."
"Oh, baiklah, aku harus segera pulang."
"Indra, maukah menemani aku makan pagi? Sekali saja, ada soto enak di dekat sini."
"Ma'af Lusi, istriku sudah memasak untuk aku, aku tak ingin mengecewakannya."
"Oh, ya, baiklah, ketika aku pulang istri kamu sedang belanja. Aku heran sama kamu. Dulu kamu dekat dengan gadis-gadis cantik yang penampilannya menarik, tapi ternyata selera kamu rendah. Bagaimana kamu bisa memilih Serini? Kamu sama sekali tidak cocok sama dia."
Indra kehabisan kesabaran. Apalagi Lusi menjelek-jelekkan istrinya, sunguh dia tidak terima.
"Dia adalah wanita terbaik dimana aku sangat mencintainya. Aku harap kamu tidak mengganggu aku lagi," kata Indra kemudian naik ke mobilnya dan menjauh meninggalkan Lusi yang masih terpaku ditempatnya, menatapnya dengan wajah kesal.
"Rupanya Seruni pakai guna-guna," omelnya sengit.
***
"Seruniiii..." teriak Indra begitu memasuki rumah, Seruni sedang berkutat di dapur.
"Ngapain kamu ?" katanya sambil memeluk istrinya dari belakang.
"Ya ampun Maaas.. aku lagi nguleg bumbu nih, bau, tahu!"
"Nggak, aku mencium wangi rambutmu malah."
"Hiiih, Mas Indra."
"Berhenti dulu masaknya, aku membawa nasi pecel kesukaan kamu."
"Seruni menghentikan kegiatannya. Matanya berbinar mendengar suaminya membawakan nasi pecel."
"Mana Mas?"
"Aku letakkan di meja makan."
Seruni mencuci tangannya, Indra ikutan mencuci tangan juga di wastafel yang ada di dapur itu, lalu keduanya menikmati nasi pecel yang dibawa Indra.
"Beli dimana nih?"
"Di jalan, melihat nasi pecel langsung ingat kamu."
"Terimakasih, cintaku," kata Seruni sambil membuka bungkusan yang sudah diletakkan di atas piring.
"Ehem.. senangnya dicintai istri.."
"Eeh.. baru tahu kalau aku cinta sama kamu? Tapi aku ingin bertanya lho, kamu ini gagah, ganteng, tapi kok punya selera rendah ya?"
Indra menghentikan suapan yang hampir masuk kemulutnya. Ia teringat kata-kata Lusi.
"Tadi dia kemari ya?"
"Kok tahu? Maksud Mas.. Lusi?"
"Ya, aku tadi ketemu, dan mengucapkan kata-kata tentang selera rendah itu. Aku hampir menampar mukanya karena marah."
"Tapi itu benar bukan? Diantara gadis-gadis rupawan.. yang pastinya tidak mengecewakan, kamu memilih aku, berarti.. selera kamu rendah, benar kata Lusi."
"Justru selera aku tuh tinggi, karena aku memilih gadis cantik yang luar biasa seperti kamu, yang mencintai aku dengan sepenuh hati, yang.. pokoknya kamu tak ada duanya."
Mata Seruni berbinar mendengar pujian suaminya. Tak ada bahagia kecuali dicintai suami.
"Itu benar.. kamu harus percaya."
Seruni mengangguk sambil mengahdiahkan sebuah senyuman manis.
"Enak sekali nasi pecel ini.."
"Masak apa istriku hari ini ?"
"Aku cuma masak sayur lodeh, urap sayuran, goreng tahu tempe ayam."
"Wauw.. pasti luar biasa. Boleh aku bantu?"
"Nggak usah, kamu duduk manis saja di depan, kalau ngebantuin malah nggangguin, bukannya semakin cepat masaknya, malah jadi semakin lama."
"Kok bisa?"
"Iya lah, Mas kan suka mengganggu.. bukannya membantu."
"Ya sudah, gangguannya nanti saja kalau selesai masak."
Seruni mencibirkan bibirnya.
***
Bu Prastowo dan Pak Prastowo sedang duduk santai di teras rumahnya, ketika tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua datang bersama seorang gadis.
"Selamat sore Pak,"
"Sore... Lho.. ini kan Mulyadi?"
"Iya Pak, saya Mulyadi."
"Katanya kamu sakit-sakitan sampai kemudian ke luar dari pekerjaan kamu?"
"Iya pak..maklumlah, saya juga sudah tua."
"Ini Mul yang dulu keamanan kantor itu kan pak?"
"Iya bu.. ayo masuklah, dan duduk. Ini anakmu?"
"Iya Pak, ini Surti, anak saya."
"Cantik anaknya. " kata Bu Prastowo ketika keduanya duduk.
"Sekolahkah dia?"
"Cuma sampai SMP Pak, tidak kuat membiayai masuk SMA. Sudah tiga tahun lalu lulusnya, dan berhenti."
"Oh, sayang sekali."
"Kedatangan saya kemari, karena ingin mencarikan pekerjaan untuk anak saya ini Pak, Bu."
"Pekerjaan apa ya?"
"Asalkan dia bisa bekerja Pak, dia juga bisa bersih-bersih, mencuci, setlika, bahkan memasak."
"Oh, menjadi pembantu rumah tangga?"
"Apapun Bu, asalkan pekerjaan itu halal. Saya sudah tua, biarlah anak saya mencari penghasilan sendiri, karena semakin dewasa kebutuhannya banyak, dan saya tidak mampu membuatnya senang."
"Bagaimana Bu? Kamu mau?"
"Kalau disini, kita kan sudah punya Simbok, bagaimana kalau untuk Seruni saja?"
"Wah, bagus Bu, aku setuju, tapi Surti mau tidak?"
"Kemana Pak ?"
"Seruni itu istrinya Indra, memang dia tidak punya pembantu, tapi tinggalnya di Solo. Maukah bekerja di Solo?"
"Bagaimana Nduk? Ke Solo mau tidak?"
Surti menunduk.
"Bagaimana dengan Bapak kalau aku pergi?"
"Jangan pikirkan Bapak Nduk, Bapak bisa mencari nafkah sendiri."
"Memangnya kamu sekarang bekerja apa Mul?"
"Hanya kalau ada yang minta tolong Pak. Kadang bersih-bersih taman, membetulkan rumah bocor. Seadanya pekerjaan Pak."
"Kalau begitu begini saja, kamu bekerja sama aku saja Mul, membantu membersihkan kebun, menyirami tanaman, tiap sore boleh pulang, sedangkan Surti biar ikut Indra di Solo," kata Pak Prastowo.
"Nah, bagaimana Nduk, Bapak disuruh membantu Pak Pras disini, kamu ke Solo ikut Mas Indra, waktu kecilnya Mas Indra, Bapakmu ini juga ikut momong lho, soalnya sering ikut Pak Pras ke kantor.
"Iya benar." kata Bu Prastowo membenarkan.
"Bagaimana Nduk?"
"Surti ngikut apa kata Bapak saja."
"Baiklah Pak, Surti setuju, dan saya berterimakasih kalau Bapak memperkenankan saya bekerja disini."
"Kalau begitu kapan kamu siap, Surti, biar aku mengabari Seruni supaya bisa mengatur kapan mau menjemput kemari. Soalnya kalau nanti Seruni punya anak, dia pasti butuh seseorang untuk membantu, kamu bisa kan momong bayi?"
Surti mengangguk.
Bersambung
test
ReplyDelete