SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU 02
(Tien Kumalasari)
Angga merosot turun dari gendongan ayahnya, langsung merangkul Rini. Tapi Aryo melotot marah. Ditariknya Angga lalu digendongnya lagi.
Rini menegakkan tubuhnya, mengucek matanya.
"Ma'af, saya ketiduran."
"Mau apa kamu datang kemari? Aku sudah mengusir kamu. Kamu pembuat berantakan keluargaku."
"Mengapa bapak selalu menyalahkan saya? Bukan saya saja yang melakukannya, bapak juga menikmatinya." katanya sambil menatap Aryo dengan berani. Sesa'at tak bisa menjawab. Memang dia juga bersalah. Tapi jangan sampai perempuan dihadapannya muncul di kehidupannya lagi.
"Baiklah, aku juga bersalah, tapi lebih baik kamu tidak usah datang kemari lagi.Kamu tau, gara-gara itu isteriku pergi dan belum pulang sampai sekarang.
"Saya baru kembali dari rumah sakit. Hari sudah sore, saya mohon ijinkan saya menginap disini semalam ini saja, besok pagi-pagi saya akan pergi."
"Tidak, lebih baik kamu menginap disebuah losmen," tegas kata Ayo.
"Tapi saya tak punya uang untuk membayar penginapan."
"Ini, aku beri kamu uang," kata Aryo sambil mengambil dompet disakunya, dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu yang kemudian diberikannya kepada Rini.
"Ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu dirumah ini lagi."
Lalu Aryo membuka pintu rumahnya, masuk kedalam dan menguncinya lagi.
Angga merengek, minta bertemu Rini, tapi Aryo terus membawanya kebelakang, agar Rni tak mendengar tangisan Angga yang akan membuatnya merasa menang.
"Aku mau Rinii.. bapak.. aku mau Rini... Bapak jangan marah sama Rini..." rengek Angga.
"Tidak sayang, Rini harus pergi, karena orang tuanya menunggu. Kamu mau minum susu?"
"Aku mau Rinii.."
"Tidak ada, Rini sudah pergi.."
Dan Rini memang sudah pergi, dengan senyum manis karena membawa beberapa lembar uang ratusan ribu yang diberikan Aryo. Ia bukan mencari penginapan tapi menumpang dirumah salah seorang kawannya.
***
Tapi semalam Angga rewel, menanyakan Rini dan juga menanyakan ibunya. Aryo bisa menghadapi seorang anak, memberikan apa saja yang dia minta, tapi bukan dalam keadaan rewel. Kalau sudah rewel, Aryo selalu kebingungan menghiburnya.
"Angga, ayuk kita jalan-jalan saja, mencari ibu... mau?"
Mendengar kata-kata mencari ibu itu Angga terdiam dari tangisnya. Langsung dipegangnya tangan ayahnya dan ditariknya keluar rumah.
"Sebentar, bapak ambil kunci mobilnya dulu ya," kata Aryo sedikit lega. Lelah seharian bekerja dan pusing mencari isterinya, tak dirasakannya asalkan Angga jangan lagi menangis.
"Kita akan ketemu ibu?" tanya Angga ketika mobil sudah berada dijalanan, diantara lalu lalang lalu lintas yang masih tampak ramai karena hari belum terlalu malam.
"Iya, mudah-mudahan ketemu ya Ngga?"
Angga tertidur karena letih, lalu Aryo membawanya pulang. Lega bisa menidurkan Angga, sehingga rengekan tak lagi mengiris iris hatinya.
***
"Yo, Angga tampaknya ingin sekolah."kata bu Nastiti pada suatu hari.
"Iya benar, kalau melihat anak-anak sekolah selalu dia bilang ingin sekolah."
"Ada play group didekat rumah, biar ibu antar saja kesitu. Barangkali dengan banyak teman dia akan melupakan Rini dan tidak merengek-rengek terus untuk mencari ibunya."
"Ibu benar. Terserah ibu saja. Aryo tidak biasa mengasuh anak, agak bingung setiap kali dia rewel."
Angga yang kebetulan baru keluar dari dalam tampak gembira mendengar dia mau sekolah.
"Angga mau sekolah.. Angga mau sekolah."
Aryo merengkuhnya, menciumi kepalanya dengan gemas.
"Besok Angga sekolah bersama eyang. Ya?"
"Apa eyang juga mau sekolah?"
"Tidak sayang, itu sekolah untuk anak-anak kecil." jawab Aryo sambil tertawa.
Malam itu Angga terlelap dalam tidurnya. Mungkin dia bermimpi bersekolah, mempunyai teman banyak dan bermain dengan mereka sepuasnya.
Aryo masih duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya. Hari-hari yang dilaluinya terasa amat menyiksa. Ia merindukan isterinya, ia ingin bersujud dihadapannya dan meminta ma'af.
"Arum, aku akan melakukan apa saja asalkan kamu mau kembali dan mema'afkan aku," bisiknya lirih dan pilu. Sebelah tangannya meraih bantal yang kemudian dirangkulnya erat, seakan bantal itu adalah isterinya.
"Ma'afkan aku, ma'afkan aku.. aku khilaf... ma'af Arum.." Lalu setetes air mata menitik.. lalu beribu rasa penuh sesal menyesak didadanya.
"Malam itu benar-benar malam jahanam !! Aku gila.. aku gilaaa!!" Tak henti-henti Aryo memaki dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar tangisan Angga. Aryo melompat kearah kamar anaknya. Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis.
"Angga, sayang, ada apa?"
"Mana ibu... mana ibu... aku mau sekolah sama ibu.." tangisnya.
Aduhai, ini lagi. Aryo merengkuh anaknya dan menggendongnya sambil menepuk nepuk punggungnya.
"Ssh.. diam Angga, tidur dikamar bapak saja ya?"
Angga merintih pelan, barangkali dia bermimpi bersekolah diantar ibunya. Aryo menepuk nepuk punggungnya, dan berjalan kesana kemari sampai Angga tertidur kembali.
Aryo membawa Angga kekamarnya, dan ditidurkannya disana. Aryo berbaring disisinya setelah menyelimutinya, lalu menepuk-nepuk pahanya sampai Angga terlelap kembali. Barangkali lebih baik Angga tidur bersamanya, sehingga kalau menangis sewaktu-waktu Aryo siap menidurkannya kembali.
"Aryo, biar Angga bersama ibu saja, agar kamu tidak repot merawatnya, sementara kamu kan lelah bekerja seharian," itu kata-kata ibunya pada suatu kali ketika dia menjemput Angga.
"Jangan bu, Aryo tidak bisa jauh dari Angga. Nggak apa-apa kalau lelah sedikit saja, asalkan ada Angga didekat Aryo." jawabnya ketika itu.
Bu Nastiti tak bisa apa-apa. Rasa prihatin seorang ibu, ketika menyaksikan rumah tangga anaknya berantakan, ditahannya. Untunglah Angga tidak begitu rewel asalkan tidak sedang teringat ibunya.
***
Malam itu disebuah kamar Rini sedang berbincang dengan Wuri, temannya ketika masih bersekolah perawat. Mereka berhasil lulus dan Wuri bekerja disebuah rumah sakit, tapi Rini merasa senang menjadi baby sitter. Dia sering mengatakan bahwa bekerja dirumah Aryo sangat menyenangkan.
"Tau nggak sih, yang namanya pak Aryo itu ganteng bangeeett... " katanya ketika itu.
"Kamu itu bilang menyukai pekerjaan kamu, karena ada bos ganteng, atau karena sayang anak?"
"Aku tuh sayang anaknya, tapi juga sayang bapaknya," katanya cengengesan.
"Gila !"
"Aduh, kamu bilang begitu karena belum pernah melihat yang namanya pak Aryo sih."
"Seperti apa sih ?"
"Besok aku fotoin dia ya, aku tunjukin nanti ke kamu, tapi awas ya, jangan sampai kamu jatuh cinta, dia itu milikku."
"Apa? Bukankah dia punya isteri?"
"Punya sih, cantik, sabar, hm.. terlalu sabar itu kurang menyenangkan. Siapa tau pak Aryo lebih suka gadis yang ganas seperti aku." lalu Rini terkekeh senang.
"Dasar wong eddan !" sungut Wuri. Sebenarnya mereka bersahabat, tapi Wuri kurang suka pada sifat Rini yang genit. Dan ketika Rini keluar dari pekerjaannya, Wuri menduga, pasti Rini telah melakukan kesalahan.
Malam itu sebelum tidur Wuri menanyakannya.
"Sebenarnya mengapa kamu keluar dari pekerjaan kamu. Katanya kamu suka bekerja disana."
"Iya, isterinya itu pencemburu. Ia cemburu sama aku, jadi aku diusirnya," bual Rini sambil matanya menerawang menataplangit-langit rumah.
"Kalau seorang isteri cemburu pada perempuan lain, pasti karena perempuan itu terlalu genit pada suaminya, atau justru menggoda suaminya," tuduh Wuri.
"Bukan Wuri, pak Aryo yang suka sama aku."
"Oh ya? Bagaimana mungkin seorang laki-laki beristeri cantik, suka sama perawat anaknya?"
"Kamu itu belum tau ya, bagaimana seorang laki-laki. Menurut aku, laki-laki itu seperti kucing."
"Maksudnya?"
"Kucing itu, sudah dikasih makanan enak, tapi melihat ikan asin juga dia masih rakur kok."
"Ikan asinnya kamu?"
Rini terbahak bahak.
"Rini, aku kasih tau ya, jangan suka mengganggu laki-laki yang sudah beristeri. Nggak bagus itu. Buktinya kamu kehilangan pekerjaan gara-gara kamu genit sama majikan."
"Aduh, aku sama dia itu saling mengganggu, tau!"
"Gimana sih saling mengganggu?"
"Dia suka nyuri-nyuri pandang gitu sama aku, dan aku juga tergoda oleh gantengnya, sorot matanya, kumisnya, eh.. kumisnya yang tipis itu sangat menambah manis wajahnya lho. Aduh, seandainya aku bisa menjadi isterinya.."
"Mimpi 'kali."
"Bagaimana kalau aku berhasil?"
"Mimpi !!"
"Taruhan?!"
"Paling menang aku. Mana mungkin kamu bisa merebut suami orang."
"Bagaimana kalau bisa?"
"Aku akan membenci kamu seumur hidup!" ancam Wuri.
"Yah, jangan gitu Wuri, masa sahabatnya punya cita-cita kok nggak didukung."
"Cita-cita edan, siapa yang mau mendukung?"
Rini kembali terbahak.
"Oh iya Wuri, kamu jadi nyariin aku pekerjaan kan?"
"Ada, merawat kakek-kakek tua, dan sakit-sakitan. Kalau mau aku kasih tau alamatnya."
Bersambung
No comments:
Post a Comment