SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU 01
(Tien Kumalasari)
Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Bayangan perempuan yang tadi dilihatnya harus terkejar olehnya. Sudah lama dia menunggu untuk bertemu.
"Arum... Arum... tunggu Arum.." pangggilnya berkali-kali.
Perempuan tinggi semampai berbaju biru kembang-kembang itu hampir terkejar olehnya.
"Arum...!!"
Perempuan itu menoleh. Aryo melompat kedepannya dan menghentkan langkahnya.
Perempuan itu terbelalak, marah.
"Arum, jangan pergi, sudah lama aku menunggu bisa bertemu denganmu, Aku minta ma'af Arum, aku khilaf. Jangan pergi."
"Anda salah orang," jawabnya dengan pandangan kesal.
"Jangan begitu Arum, aku tau itu kamu."
"Saya bukan Arum," katanya sambil menghindar.
"Arum, tunggu Arum, kamu tidak kangen sama anakmu? Angga sudah mau masuk sekolah sekarang, ia kangen sama ibunya," kata Aryo sambil memegangi tangannya.
Perempuan itu cantik, kulitnya putih bersih, pandangan matanya tajam, mulutnya yang tipis pasti akan bertambah manis kalau tersenyum, tapi senyum itu tak ada disana. Ia mengibaskan tangannya dan berjalan cepat meninggalkan Aryo kebingungan. Sebuah taksi lewat, si cantik melambaikan tangannya. Lalu masuk kedalamnya dan berlalu.
Aryo termenung ditepi jalan. Ada sebuah bangku yang mungkin milik pedagang apalah, yang teronggok disana, lalu Aryo duduk sambil memandangi lalu lintas yang hiruk pikuk karena sa'atnya orang pergi bekerja.
"Mengapa dia pergi ? Aku yakin dia Arum. Mengapa tak mengakuinya? Begitu bencikah dia padaku sehingga tidak mau mengakui bahwa dirinya adalah Arum?"
Aryo memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Terbayang kejadian setahun lalu, ketika sang isteri sedang pamit untuk mengunjungi temannya yang sedang sakit. Ia dirumah hanya bersama Angga dan Rini perawatnya. Sebenarnya Arum tidak suka pada Rini. Gadis itu terlalu pesolek dan sedikit genit. Namun dia pintar merawat anak keil, dan rajin, sehingga Arum terpaksa menerimanya.
Malam itu hujan sangat deras. Memang baru pukul delapan ketika itu, namun tiba-tiba lampu padam. Aryo mencari korek api dan menyalakan lilin. Ia pergi kekamar Angga, dengan membawa lilin yang masih menyala. Tak terdengar suara karena Rini tadi sudah mengatakan bahwa Angga sudah tidur. Ia meletakkan lilin diatas meja, agar kalau terbangun nanti Anga tidak menjerit jerit ketakutan seperti biasa kalau tiba-tiba kamarnya gelap.
Remang didalam kamar itu, sepertinya Angga harus menyalakan satu buah lilin lagi. Tiba-tiba tertangkap olehnya pemandangan yang membuatnya terpana. Rini tergolek diranjang, disebelah Angga tertidur. Walau udara dingin, tapi Rini tidur tanpa selimut, dengan pakaian yang tak pantas dilihat mata, apalagi mata lelaki seperti dirinya.
Aryo melangkah keluar dengan debar yang tak diketahui apa penyebabnya. Ia meraba -raba keatas meja dan mengambil lagi sebuah lilin.
Ketika ia memasukkan lagi lilin kedalam kamar, dilihatnya Rini menggeliat, lalu turun dari atas ranjang.
"Pak Aryo, kepala saya tiba-tiba pusing," kata Rini.
"Ambil saja obat di almari, kamu kan tau tempatnya, kata Aryo sambil berjalan kearah ruang tengah. Hanya satu buah lilin menyala disana. Aryo ingin menelpon isterinya karena tak kunjung pulang ketika tiba-tiba Rini mendekat lalu duduk disebelahnya. Masih dengan pakaian minim yang sesungguhnya tidak pantas dilakukannya, apalagi ketika sedang mendekati seorang laki-laki yang bukan apa-apanya.
"Ada aoa?"
"Pak, tolonglah, saya harus menggosokkan minyak gosok ini ke leher saya. Tolong pak, pusing sekali rasanya," kata Rini sambil mengulurkan sebotol minyak gosok.
Aryo bingung. Mau dilakukan, rasanya kok tidak pantas, tapi kalau tidak dilakukan, masa sih, ada orang kesakitan minta tolong tidak mau menolongnya?
Aryo menerima botol itu, membukanya dan menggosokkannya di leher Rini.
Rini membungkukan badannya, dan aroma parfum kemudian berbaur dengan aroma minyak gosok yang dibalurkan ketubuh Rini..
Setan sibuk mengipasi hati manusia, dan mengatakan bahwa dosa itu nikmat. tergodalah iman iman yang lemah, dan dengan nyaman menjilat maksiat.
Tak terasa oleh mereka hujan telah berhenti, dan tiba-tiba seseorang muncul disana. Arum.
Terbelalak matanya melihat pemandangan tak pantas diatas sofa.
Menggelegak darah disekujur tubuhnya, dan menyalalah api sampai keujung kepalanya.
Rini berlari kebelakang, Aryo terpaku diatas sofa.
Arum tak mengucapkan kata sepatahpun. Apa yang dilihatnya cukup mengatakan apa yang terjadi, dan itu tidak terma'afkan. Ucapan tak akan merubah segalanya, dan apa yang terjadi tak bisa diputar ulangnya kembali. Arum membalikkan tubuhnya dan langsung keluar dari rumah. Hujan telah berhenti, tapi gerimis masih rajin meneteskan air.
"Arum tunggu Arum, ma'afkan aku Arum.. aku khilaf.. Arum !!" teriak Aryo sambil mengejar keluar.
Tapi Arum terus saja melangkah, menembus dinginnya alam dan gelapnya malam, entah kemana.
"Aruuum, tunggu Arum !!"
Aryo berlari keluar, mengejar sampai kejalan, tapi bayangan isterinya tak tampak lagi. Hilang ditelan kegelapan.
Aryo melangkah kerumah dengan lunglai. Inilah nikmat sesa'at yang akan menjadi petaka. Ia sudah mencoba menelpon tapi tidak diangkat, mencari kerumah orang tuanya tjuga tidak ada.
Aryo memasuki kamar anaknya, bocah mungil itu masih terlelap. Didengarnya isak tertahan dikamar itu, tapi Aryo tak perduli.
Ketika setan bersorak penuh kemenangan, maka amarah dan penyesalanlah yang menyelimuti hati dan jiwanya.
Malam itu juga Aryo mengusir Rini.
Rini menangis terisak sambil memegangi kakinya.
"Jangan mencoba merayu aku lagi," hardik Aryo.
"Bukankah bapak juga mengingininya?" sanggahnya tanpa malu-malu.
"Pokoknya lebih baik kamu pergi dan jangan pernah menampakkan wajahmu didepanku lagi," kata Aryo sambil memalingkan muka, tak ingin melihat wajah memelas yang diperlihatkan Rini.
***
Tapi celakanya Angga rewel pada keesokan harinya, karena tak melihat Rini didekatnya. Tertarih berjalan keluar, dan menemui ayahnya yang sedang termenung didepan kamar.
"Bapak..." panggil Angga sambil menangis.
Aryo terkejut dan menoleh. Karena hatinya kacau ia sampai tak melihat ketika Angga menangis didalam kamarnya.
"Oh, kamu sudah bangun ?" katanya sambil menggendong Angga dan diajaknya kedepan.
"Mana Rini..."
"Rini pergi nak, jangan menangis ya.."
"Mana Rini... ?"
"Rini sudah pergi, ayo mencari ibu saja ya?"
"Mana ibu..." Anga masih menangis.
"Tungu, mandi dulu minum susu lalu mencari ibu ya.."
Aryo membawa Angga ke kamar mandi, dan memandikannya dengan air hangat. Agak kikuk karena tak biasa melakukannya. Ia mengambilkan baju sekenanya yang diprotes Angga.
"Bukan ini celananya.." katanya sambil melemparkan celana yang akan dipakaikannya. Aeyo bingung, kaos merah dengan gambar pesepak bola kesayangannya itu memang harus dipadu dengan celama merah. Ia mengaduk aduk semuaa pakaian Angga.
"Ituuu.. bapaak." teriak Angga ketika melihat celana yang dimaksud."
"Oh, iya, ma'af bapak lupa."
"Belum pakai bedak dan minyak !" Angga berteriak lagi.
Adduh... rupanya tidak gampang merawat anak. Aryo mengambil bedak, membedaki tubuh Arya dan menggosokkan minyak telon ketubuhnya. Aroma sedap menebar kedalam ruangan itu.
"Kemana ibumu pergi?" bissik Aryo sedih.
"Kemana ibu pergi?" Kata Angga menirukan kata-kata ayahnya.
Arya menggendong anaknya dan mendudukkannya dikursi. Ia bersiap membuat susu untuk Angga. Aduh.. berapa ukurannya. Aryo sibuk membaca aturan minum pada kaleng itu, baru bisa membuatnya lalu menyerahkannya pada Angga.
"Mana Rini?" astaga.. Angga bertanya lagi. Aryo tak menjawab. Rasa sesal memenuhi dadanya. Ini bukan sepenuhnya kesalahan Rini. Kalau Rini menggoda, apa salahnya kalau dia menghindar? Atau mengusirnya pergi menjauh. Tapi setan berkata bahwa dosa itu nikmat, dan Aryo menjilat dosa itu. Sesal kemudiann tak ada gunanya. Itu benar bukan?
Sekarang dia merasakan betapa susah nya hidup merawat anak tanpa perempuan.
Berhari-hari lamanya sampai melupakan pekerjaannya, Aryo mencari Arum, tapi isterinya benar-benar menjauh darinya. Ia tak pulang kerumah orang tua, tak menumpang dirumah saudara atau teman.
"Kemana dia?" Aryo masih termenung diatas bangku dipinggir jalan raya itu. Angga dititipkan dirumah orang tuanya, dan dijemput ketika sore hari ketika dia pulang bekerja,
Mendung tampak menggantung, pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Aryo berdiri, lalu menyeberang jalan untuk mengambil mobilnya. Ia baru saja naik keatas mobil dan belum sempat menutup pintunya ketika tiba-tiba seseorang menghampiri.
"Pak Aryo.."
Aryo menoleh, dan kemarahannya memuncak. Rini berdiri dan memegangi pintu mobil erat-erat, takut Aryo memaksa menutupnya.
"Apa maksudmu? Lepaskan tangan itu," hardik Aryo.
"Jangan begitu pak, ijinkan saya menumpang sampai ke terminal, saya mau pulang kerumah orang tua saya."
Aryo ingin mendorong Rini supaya menjauh, ketika gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Lalu hujanpun tiba-tiba turun bagai tercurah dari langit.
"Tolong pak," rengek Rini sambil berlinang air mata.
Aryo menyerah, hujan yang turun sudah membasahkan baju Rini. Keterlaluan kalau dia tak mau menolongnya. Ia membukakan pintu samping dari belakang kemudi, lalu Rini berlari lalu naik keatas.
Aryo menjalankan mobilnya, tanpa menoleh kesamping. Ia tak perduli Rini basah kuyup dan seperti menggigil disampingnya.
Suasana hujan mengingatkannya kembali kepada malam kelam yang membuatnya terjerumus kedalam kubangan dosa. Wajahnya muram.
"Dingin sekali pak," kata Rini sambil menggigil.
Aryo tak bergeming. Ia terus menjalankan mobilnya kearah terminal seperti tadi dikatakan Rini.
"Rasanya badan saya panas," bisiknya lagi.
Tak sepatah katapun Aryo menjawabnya. Sebentar lagi akan sampai di terminal.
"Saya butuh obat pak, bapak punya?"
"Tidak." jawab Aryo singkat.
Terdengar suara lemah, menggigil kedinginan. Aryo masih tak perduli. Mobil itu sudah sampai di terminal. Aryo meminggirkannya, ketempat yang dekat dengan emperan sebuah toko.
"Sudah sampai terminal, sekarang turunlah," perintahnya tanpa menoleh.
"Bapak tega..." bisik Rini menggigil, lalu membuka pintu mobil dan turun.
Aryo meraih pintu sebelah kiri dengan tangannya dan menutupkannya karena Rini membiarkannya terbuka dan tas yang tadi dibawanya tertinggal di jok yang tadi didudukinya.
Ketika mobil akan dijalankan, tiba-tiba terdengar teriakan orang.
"Mas !! Mas..! mBaknya terjatuh !!"
Aryo terkejut, urung menjalankan mobilnya. Ia menggeser duduknya kesamping dan melongok keluar. Dilihatnya Rini tergolek disana.
"Ya Tuhan, apa lagi ini," keluh Aryo yang segera turun.
Mana mungkin membiarkan seseorang terbaring tanpa daya ditengah hujan seperti ini? Semarah apapun hati Aryo, tetap tak tega membarkannya. Ia turun dan mengangkat tubuh Rini, lalu dibawanya masuk kembali kemobilnya.
Satu-satunya jalan adalah membawanya kerumah sakit.
Disepanjang jalan itu Rini terkulai lemah, matanya terpejam. Aryo memegang keningnya, terasa panas.
"Rini.." panggil Aryo.
Tapi Rini tak menjawab sepatah katapun.
Aryo memacu mobilnya terus kerumah sakit, dan menurunkannya disana. Seorang petugas membawanya dengan brankar, keruang IGD. Aryo pergi ketempat pendaftaran, meninggalkan sejumlah uang.
Ia beranya kepada dokter yang merawatnya, tentang seberat apa penyakitnya. Dokter mengatakan bahwa Rini kena radang karena penyakit flu yang dideritanya.
"Biarkan dia beristirahat selama satu dua hari, kemungkinan dia sudah baik."kata dokter.
"Saya menemukan dia dijalan, tapi saya sudah meninggalkan sejumlah uang untuk perawatannya. Kalau uang itu sisa, berikan saja padanya. Kalau kurang ini ada nomor tilpun saya," kata Aryo kepada perawat.
Tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Setelah menitipkan tas Rini yang tadi dibawanya keperawat, Aryo pergi meninggalkannya.
***
Ketika sampai dirumah orang tuanya, dilihatnya Angga dan neneknya sudah menunggu di teras. Hujan mulai reda. Angga berlari menyambut ayahnya.
"Bapak, sudah ketemu ibu?" itu pertanyaan yang selalu dilontarkannya setiapa kali Aryo menjemputnya.
"Belum nak," kata Aryo sambil mengangkat tubuh Angga, lalu direngkuhnya erat kedadanya.
Trenyuh hatinya menyaksikan sikap Angga yang tampak sangat rindu pada ibunya.
"Bapak ketemu Rini?"
"Tidak nak, Rini tidak akan kembali, sudah kedesa bersama orang tuanya" jawab Aryo sambil membawanya masuk.
"Hujan sangat deras tadi," ujar bu Nastiti ibunya Arya.
"Iya bu, Angga tidak hujan-hujanan kan?"
"Enggak bapak, Angga tidak nakal kok, ya kan eyang?"
"Betul, Angga anak baik dan pintar," kata bu Nastiti.
" Ayo kita pulang.."
"Tidak makan saja dulu Aryo, Angga tadi juga sudah makan kok."
"Iya bu, sebenarnya Aryo juga lapar."
"Kalau begitu ayo makan dulu, sudah ibu tata dimeja. Angga mau makan lagi?"
"Nggak, Angga mau minum susu saja."
"Baiklah, sementara bapak makan, eyang buatkan susu dulu buat Angga."
Bu Nastiti masuk kedalam. Sedih sebenarnya memikirkan keadaan rumah tangga anaknya seperti itu. Aryo sudah mengatakan semuanya, dan mengakui kekhilafannya.
"Semoga Arum segera bisa ditemukan," gumamnya sambil mengaduk susu dalam gelas."
***
Setiaphari sepulang dari kantor Aryo selalu berputar putar mengelilingi setiap sudut kota, barangkali bisa melihat Arum. Ia lebih mengawasi jalan dimana dia pernah melihat wanita cantik yang menurutnya Arum, tapi tidak mau mengakuinya. Tapi tak pernah lagi dia bertemu si cantik itu.
Sore hari ketika membawa pulang Angga, selalu dengan perasaan yang mengiris dadanya. Lebih-lebih kalau Angga bertanya :" Sudah ketemu ibu?"
Aduhai, kemana perginya Arum? Apakah kata ma'af tetap tak bisa meluluhkan hatinya? Aryo tau, dosanya terlalu besar. Mungkin tak terma'afkan, tapi tak adakah rasa rindu kepada anak semata wayangnya?
Sore itu Aryo menggendong Angga turun dari mobil karena dia tertidur, ketika sudah sampai dirumah. Tiba-tiba diteras rumah dilihatnya seorang wanita, duduk membelakangi halaman, sambil menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi yang didudukinya.
Aryo hampir bersorak karena mengira dia Arum. Ia melangkah cepat dan menaki teras dengan wajah berseri. Ia akan meletakkan tubuh Angga kepangkuannya agar tersentuh hatinya bertemu anaknya. Tapi sebelum itu dilakukannya, Angga terbangun. Aryo menuding kearah wanita yang sepertinya tertidur itu, sambil tangannya diletakkan dibibir, sebagai isyarat agar Angga tak berisik. Aryo hampir meletakkan Angga ke pangkuannya ketika tiba-tiba Angga berteriak.
"Rini !!"
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment