MIMPI LESTARI 30
(Tien Kumalasari)
Seseorang turun dari mobil. Mendekati yang punya rumah sambil kepalanya melongok-longok kedalam.
"Anda mencari siapa?"
"Eh..anu.. saya mencari seseorang.. lari dari saya.. apa dia datang kemari?"
"Siapa ya?"
"Seorang gadis, hati-hati, dia itu pembohong, jangan sampai sampeyan terkecoh. Ini kan rumah pertama setelah dia kabur.. jadi... saya kira dia kemari."
"Oh, tidak ada gadis pembohong masuk kemari."
"Tadi seperti ada perempuan didalam sana.. berjalan kearah belakang."
"Tidak ada.. itu isteri saya..."
"Tapi bajunya kok..."
"Tidak ada yang bapak cari, jadi mohon tinggalkan rumah saya, mobil anda menghalangi isteri saya mengentas kerupuk-kerupuk itu."
Pakde melongok lagi kedalam, seperti tidak percaya pada keterangan si empunya rumah, lalu membalikkan tubuhnya, masuk kedalam mobil dan menyuruh Triman memundurkan mobilnya untuk keluar dari halaman.
"Kita kemana lagi pak? Saya harus kembali kerumah sakit, saya juga belum mengabari isteri-isterinya." kata Triman.
"Sebentar, aku mencurigai rumah itu. Sepertinya ada seorang perempuan didalam, bajunya seperti baju Desy, aku ingat sekali baju yang dia pakai."
"Lalu bagaimana?"
"Berhenti agak menjauh, tapi terus mengawasi rumah itu, suatu sa'at pasti dia keluar juga."
"Kelamaan pak.. kalau memang bapak yakin Desy ada disitu, langsung masuk saja."
"Itu yang punya rumah, berkacak pinggang didepan pintu, bagaimana aku bisa masuk?"
"Kalau tidak segera , bisa-bisa dia duluan yang melapor ke polisi."
Pakde kebingungan, yang dikatakan Triman ada benarnya. Dia harus nekat kalau ingin selamat. Lalu dia kembali masuk ke halaman rumah itu. Seorang perempuan sedang mengentas kerupuk-kerupuk yang dijemur.
"Tuh, yang ini pasti isterinya, tapi yang aku lihat tadi bajunya berbeda. Itu bajunya Desy," pikir pakde.
Lalu dia semakin mendekat, perempuan itu menoleh.
"Ada apa lagi pak?"
"Bu, tolong, ijinkan saya membawa gadis itu, dia itu pembohong dan sangat berbahaya."
"Gadis yang mana pak?"
"Saya tau ada gadis berbaju biru tua didalam, dia keponakan saya, agak sinting dia, biarkan saya membawanya."
"Tidak ada gadis berbaju biru."
"Saya melihatnya bu, tolonglah, saya peringatkan ibu, dia itu sangat berbahaya. Jadi jangan biarkan dia berada dirumah ini."
"Itu, suami saya sedang menerima telpon, tanya saja sama dia."
Dan memang pakde melihat laki-laki tadi sedang berbicara di telpon.
"Tidak jauh lagi pak, ada perempatan dimana ada pos ronda, bapak belok kekiri. Ya, bagus, segera pak, orangnya ada disini."
Laki-laki itu mendekati pakde.
"Bagaimana pak, masih belum percaya? Bapak mau menggeledah rumah saya? Ayo pak, silahkan masuk saja, silahkan.."
Pakde heran, karena laki-laki si empunya rumah itu tiba-tiba mempersilahkannya masuk. Iapun masuk mendekati pintu, tapi belum sampai dia masuk lebih dalam, terdengar sirene polisi.
Pakde kebingungan, ia kembali keluar, tapi laki-laki pemilik rumah itu menghadang di pintu.
"Kok kembali pak, silahkan masuk saja, barangkali yang bapak cari ada didalam."
Sebuah mobil person dan mobil polisi berhenti didepan pagar. Tak lama Janto keluar diikuti dua orang polisi. Pakde ketakutan.. Wajahnya pias. Ia ingin kabur, sudah berhasil melangkah cepat ke halaman, tapi Janto memegang tangannya. Tangan kuat Janto mencengkeram lengan pakde, lalu menyerahkannya kepada polisi.
"Ini dia penculiknya pak," kata Janto.
Pakde meronta, tapi seberapa kuat seorang setengah tua ditangan dua polisi kekar?
Desy keluar dari rumah dengan langkah tertatih. Begitu melihat Janto ia menubruknya dan menangis terisak.
"Terimakasih pak."
"Sudah, semuanya sudah berlalu, kamu aman," kata Janto sambil menepuk pundaknya.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada penulong Desy, Janto segera membawa Desy pergi Desy menatap pakdenya yang digelandang masuk ke mobil polisi. Bagaimanapun dia juga darah dagingnya.
***
Setelah memberikan keterangan di kantor polisi, Janto membawa Desy kerumah sakit, takut lukanya terkena infeksi mengingat ada luka sobek dibeberapa tempat.
Sudah jam delapan malam ketika Janto sampai dirumah, dengan membawa Desy pula.
Tari bersyukur Desy selamat dari cengkeraman bandit tambun itu, tapi juga merasa kasihan melihat kaki Desy luka lumayan parah.
"Kamu tinggal disini saja dulu, dan tidak usah ke kantor," kata Tari.
"Tidak bu, saya pulang saja, dan akan berusaha masuk kantor besok pagi."
"Jangan bawel, kamu kan belum bisa berjalan."
"Bisa, biar terpincang pincang sedikit. Badan saya tidak apa-apa."
"Ya sudah, tapi besok pagi saja, ini sudah malam. Tidurlah sama mbak Mamiek. Aku punya baju tidur yang belum pernah aku pakai. Pakai aja."
"Terimakasih banyak ibu."
***
Dua tahun berlalu setelah kejadian itu. Desy benar-benar sudah putus hubungan dengan keluarga pakdenya.
Dia sudah menemukan jodohnya, seorang karyawan baru yang ditempatkan sebagai kepala gudang, yang kemudian menyuruh Desy resign agar benar-benar menjadi ibu rumah tangga.
Tari bersyukur hidupnya berjalan sangat manis. Kemarin dengan diantar Janto Tari memeriksakan kandungannya yang sudah berumur empat bulan.
Haris sudah bisa berlari-lari dan bermain sendiri, tapi belum mau terlepas dari mbak Mamiek yang selalu memanjakannya. Lagipula Haris akan punya adik, dan mbak Mamiek masih diperlukan untuk membantu mengasuh bayinya.
"Ibu, aku mau digendong ibu.." rengek Haris pada suatu pagi.
"Wouw, anak ibu yang ganteng, sekarang Haris tidak boleh minta gendong ibu," kata ayahnya.
"Haris mau gendong ibu.." Haris masih merengek.
"Dengar, didalam perut ibu ini ada adik. Kalau Haris minta gendong juga, nanti adiknya nangis, gimana hayo.."
"Ada adik?" mata Haris berbinar.
"Iya, ada adik, suka nggak Harus punya adik?"
"Haris suka.. haris suka...." lalu Haris berjingkrak-jingkrak.
"Gendong bapak saja ya, huppp!!" kata Janto sambil mengangkat tubuh Haris tinggi-tinggi. Haris terkekeh senang.
"Lagi... lagi..." teriaknya.
"Huppp!!!"
"Lagi.. lagi..."
Berkali-kali Haris mengangkat tubuh Haris dan membuatnya terkekeh-kekeh.
"Sudah... sudah... nanti bapak capek."
Haris turun dan berlari mencari mbak Mamiek yang sedang sibuk dibelakang.
Tari tersenyum senang. Janto duduk disamping isterinya, mengelus perutnya yang mulai membuncit.
"Senang ya kali ini anak kita tidak rewel?"
"Iya mas, tidak begitu rewel seperti ketika mengandung Haris. Anaknya perempuan 'kali ya."
"Memangnya kalau perempuan tidak membuat kehamilan rewel?"
"Ya tidak mas, perempuan itu memang tidak suka rewel. Beda kalau laki-laki, banyak maunya," kata Tari sambil tersenyum menggoda.
"Enak aja. Memangnya aku ini rewel.?"
"Bangeettttt..."
Janto mencubit pipi isterinya dengan gemas.
"Mana sih aku rewel? Dikasih.. aku suka, nggak dikasih.. aku juga minta.."
"Lhaaah... itu kan sama saja?"
"Ooh, sama ya?"
Canda itu terhenti karena ponsel Janto berdering.
"Dari bapak.." bisik Janto sambil mengangkat telponnya.
"Syukurin, kalau disuruh nelpon orang tua susah banget," gerutu Tari.
"Hallo bapak?"
"Apa kabar kamu ?"
"Baik, bapak, bapak dan ibu sehat kan?"
"Sehat, tapi akhir-akhir ini ibumu sedikit rewel."
"Lho, kenapa pak?"
"Kangen sama kamu, kangen sama cucunya. Kamu tidak pernah pulang ke Jakarta dengan membawa anak kamu."
"Oh, iya pak, Janto akan mencari waktu luang untuk ke Jakarta."
"Bener ya, mana Haris, bapak ingin bicara."
"Hariiiiss..." teriak Janto sambil berdiri mencari anaknya.
"Ya bapak.. " Haris berlari mendekati ayahnya.
"Ini, kakek mau bicara, bilang hallo sama kakek.."
"Hallo kakek..."
"Hallo cucu kakek yang ganteng. Kamu lagi ngapain."
"Lagi main mobil-mobilan..."
"Nenek kangen sekali sama kamu, kamu ke Jakarta ya, sama bapak, sama ibumu?"
"Iya.. Haris mau... naik pesawat kan?"
"Iya..iya, nanti kakek jemput di bandara."
Haris mengulurkan ponselnya kepada ayahnya.
"Bapak, Haris mau ke Jakarta, nanti dijemput kakek"
Janto mengangguk angguk.
"Ya bapak, saya cari waktu luang untuk ke Jakarta, secepatnya."
"Anakmu belum tiga tahun bicaranya sudah jelas, nggak cadel sama sekali."
"Iya bapak."
"Ya sudah, sehat-sehat semuanya ya."
"Ibu mana?"
"Tidur, sudah, jangan diganggu, kalau malam sering tidak bisa tidur, jadi kalau siang-siang begini dia tidur, bapak tidak mau mengganggu."
"Iya bapak, semoga sehat-sehat semuanya."
"Mas mau ke Jakarta?" tanya Tari setelah ponsel ditutup.
"Ibu kangen sama kita."
"Besok Sabtu?'
"Iih, kamu senengnya .. kalau mau diajak jalan-jalan..."
"Gimana sih, katanya ibu kangen sama kita.."
"Iya.. iya.. tapi aku tidak bisa hari Sabtu. Ada tamu yang bisanya ketemu besok hari Sabtu siang. Bagaimana kalau kamu berangkat dulu sama mbak Mamiek dan Haris? Aku menyusul hari Minggunya, hari Senin aku tidak kekantor. Tapi kalau rencana Sabtu dibatalkan aku bisa ikut bersama kalian."
"Terserah mas saja, kan mas yang membelikan tiketnya?"
"Tapi kamu tidak apa-apa kan berangkat sendiri? Kandunganmu tidak rewel kan?"
"Tidak mas.. jangan khawatir."
***
"Mbak Mamiek.. mbak Mamiek..." Haris berlari-lari kecil lalu merangkul pengasuhnya dari belakang.
"Ya ampun, mas Haris.. mbaknya sampe kaget.. mbok ya jangan lari-lari.. nanti jatuh kayak kemarin lho."
"Aku nggak jatuh .."
"Iya.. ada apa.. cah bagus?"
"Besok ikut ke Jakarta ya ?"
"Ke Jakarta?"
"Haris mau ketemu kakek sama nenek.. mbak Mamiek ikut ya?"
"mBak Mamiek belum tau, kan bapak sama ibu belum bilang sama mbak Mamiek."
"mBak Mamiek harus ikut..." Haris merengek.
"Iya Haris, nanti mbak Mamiek ikut kok.." kata Tari yang tiba-tiba sudah ada didekat Haris.
"Horeeee!" Haris berjingkrak kegirangan.
"mBak Mamiek, nanti tolong disiapkan baju-baju Haris dan semua perlengkapannya, kita akan ke Jakarta selama dua atau tiga hari.
"Baik bu.."
"mBak Mamiek juga ikut lho, nanti kalau enggak Haris pasti rewel."
"Iya bu.."
"Kalau mas Janto belum tentu, katanya hari Sabtu masih harus ke kantor. Tapi kalau acara kantor bisa diundur ya ikut bareng kita."
"Aku bisa ikut, " tiba-tiba Janto sudah ada diantara mereka.
"Kok mas sudah pulang? Ini jam berapa?"
"Iya, aku lapar.. boleh minta makan bu?" canda Janto sambil mengembangkan tangannya, bermaksud merengkuh isterinya.
"Eiit.. cuci kaki tangan dulu, main sosor aja.."
"Iya.. lupa..."
Janto beranjak kebelakang...dari arah kamar Haris berteriak.
"Bapaaaak..."
"Sebentar, bapak cuci kaki tangan dulu.." katanya sambil masuk kekamar mandi.
"Mbak Mamiek, tolong disiapkan makan siang ya, pak Janto sudah pulang."
"Ya bu, ini sudah.. tinggal mengangkat sayurnya.
mBak Mamiek biarpun tugasnya hanya mengasuh Haris, tapi tak mau berhenti membantu Tari mengurus rumah. Terkadang juga memasak. Janto senang, karena isterinya tak harus bekerja keras mengurus semuanya.
"Masak apa mbak Mamiek hari ini?" tanya Janto yang sudah siap duduk didepan meja makan.
"Tadi ibu hanya menyuruh masak sayur asem sama bacem tahu tempe."
"Hm, enak nih...Hariis, ayo makan bareng bapak."
"Haris mau disuapin mbak Mamiek ajah."
"Iya..iya.. sini.. sama mbak Mamiek."
"Bisa ikut bareng ke Jakarta mas? Acaranya nggak jadi?"
"Diundur hari Senin, jadi aku bisa ikut bareng ke Jakarta."
"Bagus kalau begitu, bisa datang sama-sama, ibu pasti senang."
***
Sabtu siang itu mereka sudah sampai di bandara Suta.. Karena bersama Janto, keluarga di Jakarta tak perlu menjemputnya.
Haris sangat senang, ia berlari kesana kemari, dan tentu saja mbak Mamiek juga ikut berlarian kesana kemari.
"Tari, kamu disini dulu, aku mau mengurus bagasi. Habis itu aku pesan taksi sekalian."
"Ya mas, aku disini, sambil mengawasi Haris tuh."
Tari geleng-geleng kepala melihat kegembiraan Haris. Ia mengawasi sambil tersenyum senyum. Tapi tiba-tiba..
"Tari..." suara panggilan itu mengejutkannya. Suaranya masih seperti dulu, lembut dan ..ya Tuhan.. Tari menahan debar jantungnya.
Nugroho sudah berdiri didepannya. Menatapnya tak berkedip. Ada rindu memercik disana, yang disambutnya dengan getaran yang sama. Sebuah peccikan api menyadarkan Tari.
"Mas Nugroho,"
"Tari.."
Tari menyadari, ada cinta yang mengendap didasar hatinya, yang disimpannya demi keikhlasan cintanya kepada keluarga.
"Mas, kok disini?" akhirnya Tari bisa mengucapkan kata itu, setelah berhasil menguasai gejolak jantungnya.
"Aku sekarang ada di Jakarta. Tadi mengantarkan Asty pulang ke Magelang, karena ibu kangen sama cucu-cucunya."
"Mas tidak ikut?"
"Aku tak bisa meninggalkan bisnisku disini. Mungkin menyusul lain hari."
"Owh.."
"Kamu sama siapa? Ngapain disini?"
"Aku baru sampai, orang tua mas Janto juga kangen sama cucunya. Aku juga sama mas Janto, dia lagi mengurus bagasi.
"Ibuuu..." tiba-tiba Haris memeluk kaki ibunya."
"Haris, beri salam sama om Nug.."
Haris mengulurkan tangannya.
"Wow.. ini Haris, sudah besar, anak ganteng.. cium dulu dong.." Nugroho mengangkat Haris dan mencium pipinya dengan gemas.
"Tari.. mengapa ya, aku tak bisa melupakan kamu?"
"Mas, tidak melupakan itu bagus, kita sudah menjalani hidup kita masing-masing. Mari kita endapkan segala rasa yang barangkali dulu terasa indah, tapi sekarang kita harus memasukkannya kedalam album kenangan. Aku bahagia, dan aku harap mas Nugrohopun demikian."
"Iya Tari, " jawab Nugroho sendu.
"Aku sedang mengandung anak keduaku mas."
"Iya, aku tau, perutmu sudah tampak membuncit, dan itu membuat kamu bertambah cantik."
Tari mencoba tertawa, dan mencoba menganggap ucapan itu hanya sebuah gurauan.
"Baiklah, aku pergi dulu Tari, salam buat mas Janto."
Tari memandangi punggung laki-laki tegap itu, dan mencoba mengikis habis semua kenangan tentang dia, tentang cintanya, karena ia selalu memimpikan hidup tenteram, yang penuh wangi sorga, tanpa cela, tanpa noda.
"Ibu... "
Suara Haris mengejutkan lamunannya. Tari berjongkok dan mencium pipi anaknya, miliknya yang sangat berharga.
"Tari.. Haris rewel?"
"Tidak mas, sudah selesai?"
"Sudah."
"Tadi ada mas Nugroho.."
Janto menatap isterinya.
"Dia mengantarkan Asty yang mau pulang menengok mertuanya, tapi tergesa pergi karena ada urusan. Dia titip salam sama kamu." kata Tari yang tak mau menyembunyikan apapun dari suaminya.
"Oh, dia tinggal disini sekarang?"
"Katanya, tapi aku tidak bertanya dimana. Ayo mas.. sudah pesen taksi?"
"Sudah. Haris.. sini sama bapak.."
Janto menggendong anaknya, dan sebelah tangannya lagi merangkul isterinya.
mBak Mamiek yang menarik kopor dibelakang mereka menatapnya sambil tersenyum.
"Sebuah keluarga yang bahagia," gumamnya.
***T A M A T***
No comments:
Post a Comment