SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 32
(Tien Kumalasari)
Mata licik itu menyipit, memandangi wajah dua wanita dihadapannya yang nyaris tak ada bedanya. Tapi yang bersama Angga, Rini yakin itu bukan Arum, karena Arum berada ditempat lain. Makanya Rini berani berkata kasar dan mengejeknya. Namun ia surut ketika seorang lagi datang dan menghardiknya.
Ratih terpaku seperti melihat bayangan dirinya di cermin. Angga menatap heran tanpa ber-kata-kata. Ia menempel dipinggang Ratih.
"Mau apa kamu? Haa? Katakan kamu mau apa?"
"Mm... ma'af, tapi ingat, saya kan.. isterinya pak.. Aryo?" kata Rini yang masih ingat bahwa Arum mengatakan bahwa dirinya telah dinikahi Aryo. Tapi sambil mendekat dan menuding kearah wajahnya, Arum menghardiknya.
Apa? Kamu isterinya pak Aryo? Kamu mimpi bukan? Kamu yang tergila-gila pada suamiku, lalu kamu menggodanya, sekarang kamu ingin mengatakan bahwa kamu sudah jadi isterinya? Mana sudi suamiku punya isteri macam kamu. Perempuan murahan !!"
"Tt..tapi...kan.. bu Arum...yang..sudah tau bahwa.."
"Pergi dari sini atau aku menyeret kamu keluar!!"
Rini benar-benar pucat, ia mundur lalu membalikkan tubuhnya.
"Jangan sekali lagi mendekati keluargaku !!" teriak Arum.
Ratih masih terpana melihat kejadian itu. Ia sadar ketika Arum menatapnya lembut, sambil tersenyum.
Dan tiba-tiba juga Angga berteriak.
"Ibu peri ???"
Arum merengkuh Angga dan mendekapnya erat didadanya. Air matanya berlinang. Dengan gemas diciuminya Angga.
"Ibu peri sudah datang lagi," kata Angga.
Beberapa sa'at lamanya Arum baru melepaskan anaknya. Kedua wanita kembar itu berpandangan. Apakah saya kembar? Pikir kedua wanita itu. Tapi tak seorangpun merasa kembar karena memang mereka bukan kembar.
"Bu Arum?" akhirnya Ratih mengulurkan tangannya.
"Ini bu Ratih bukan?"
Ratih tidak heran. Aryo sudah bertemu Arum di telephone, pasti sudah mengatakan siapa dirinya.
"Bukankah itu ibu peri bu?"
"Ibu peri?" Arum menatap Ratih dengan lucu, tapi Ratih mengerjapkan sebelah matanya. Arum tau ada yang disembunyikannya
"Ayo kita bicara sambil makan," kata Arum sambil menarik tangan Ratih dan juga menggandeng Angga dengan sebelah tangannya lagi.
"Ibu .. benar kata ibu, kalau aku nggak nakal, ibu peri akan datang lagi," celoteh Angga sambil memandangi Ratih.
Arum menatap Ratih, lalu sekali lagi Ratih mengerjapkan sebelah matanya.
Apa sih, Arum tidak mengerti, Tapi kemudian keduanya tersenyum lucu. Pertemuan itu sangat membahagiakan. Arum tak menyangka bisa ketemu Angga. Ratih tak menyangka bisa bertemu Arum.
Mereka sudah duduk disebuah meja dirumah makan yang ada di mal itu. Arum memesan makan dan minum, dan Angga minta es krim dan nasi ayam.
Sebelum pesanan datang, Arum menelpone Pono.
"Pono, sabar ya, saya lagi pesen makanan dan lagi dimasak, agak lama jadinya."
"Ibu bersama sopir?"
"Sopirnya bu Suryo. Sebenarnya dia akan mengantarkan saya kerumah ibu, tapi saya harus membeli oleh-oleh dulu. Nah, ini malah ketemu anak ganteng."
"Apa ibu peri doyan makanan manusia?"
"Ratih menutup mulutnya. Ia harus mengatakan sesuatu pada Arum, tapi jangan sampai Angga mendengarnya. Lalu dibukanya tasnya, ada buku catatan kecil yang kemudian diambilnya. Ia menuliskan sesuatu. Tentang mengapa Angga menganggapnya ibu peri. Singkat tapi semoga Arum bisa mengeri.
"Ibu peri itu, kata ibu makanannya bunga," lanjut Angga sambil tak henti-hentinya menatap ibu peri.
"Enakkah rasanya bunga?" lanjut Angga.
"Oh, iya,enak, tapi sekarang lagi pengin makanan seperti makanan manusia," jawab Arum yang tanggap, bahwa pastinya dirinya dianggap ibu peri, walau Ratih belum menceritakannya.
"Makanan manusia itu enak, ibu peri. Angga suka telur ceplok, ayam goreng, lalu buah-buahan juga suka. Kata ibu, kalau suka makan buah, kita akan sehat."
Arum mengangguk angguk. Dia senang Ratih mengajarkan yang baik-baik pada anaknya. Sementara itu Ratih sudah selesai menulis, lalu disodorkannya pada Arum.
"ketika bu Arum datang ke sekolah, Angga bingung mengapa ibunya ada dua. Lalu saya bilang bahwa yang datang adalah ibu peri yang mirip dengan ibunya, karena dia anak baik."
Aaah.. Arum tersenyum, gadis ini sungguh pintar.
"Apakah mas Aryo tidak pernah tertarik padanya? Dengan wajah yang mirip diriku pula?" Batin Arum. Tuh kan, walau sedikit ada juga rasa cemburu dihatinya.
Makanan yang dipesan telah datang, ketika Angga asyik makan, dengan berbisik-bisik Ratih menceritakan bagaimana ketemu Angga yang kemudian menganggapnya sebagai ibunya karena kemiripan wajah. Dia juga bilang pernah ketemu Aryo yang sambil memohon mohon menganggapnya Arum. Itu sebelum ketemu Angga.
"Jadi selama ini bu Ratih selalu datang kerumah pagi hari dan pulang ketika Angga sudah tidur di malam harinya?"
"Iya benar."
"Angga pasti bertanya-tanya karena ibunya tidak selalu tinggal dirumah."
"Saya bilang harus bekerja dan tidak bisa diam dirumah.
Arum mengangguk senang. Lega rasanya anak semata wayangnya tidak merasa kehilangan ibu.
"Apa hari ini bu Arum akan pulang kerumah?"
"Tidak, belum dulu, saya akan kerumah ibu."
"Saya bisa menelpone pak Aryo supaya datang kemari."
"Tidak, saya akan menelponnya nanti dari rumah ibu. Saya tidak bisa lama karena takut ibu Suryo curiga."
Mereka menghabiskan makan dan minumnya, lalu berpisah. Tapi sebelumnya Arum memesan sekotak es krim untuk diberikan kepada Angga.
"Belum sa'atnya kami bersatu, karena saya harus membuat bu Suryo mengerti," bisik Arum ketika mereka berpisah.
"Ibu peri akan datang lagi?" tanya Angga.
"Iya sayang, ibu peri pasti akan datang lagi. Sini, peluk ibu peri dulu."
"Bilang terimakasih pada ibu peri karena sudah membelikan es krim," kata Ratih kepada Angga.
"Ibu peri, terimakasih ya."
Arum memeluk Angga erat-erat. Rasa haru membuatnya tak bisa menyembunyikan air matanya.
"Mengapa ibu peri selalu menangis ketika memeluk Angga?' tanya Angga dalam perjalanan pulang.
"Itu karena ibu peri sayang sama Angga, dan sedih karena harus meninggalkan Angga."
"Ibu peri akan mengunjungi anak-anak baik lainnya bukan?"
"Benar Angga. sekarang pulang ya, kan sudah dapat es krimnya tadi?"
"Iya, Angga segera ingin bilang sama eyang kalau ketemu ibu peri."
***
Bu Martono sangat gembira melihat anaknya datang. Ia memeluk dan lama sekali tak ingin melepaskannya. Setahun mereka berpisan dan Arum hanya mengirimkan pesan-pesan singkat serta tak bersedia dihubunginya.
"Mengapa kamu tidak mau ibu menghubungi kamu Rum? Kamu tau nggak, ibu sangat sedih karena kehilangan kamu. Hanya saja untunglah Aryo sering kemari bersama Angga, jadi ibu agak terhibur."
"Ma'af bu, Arum belum ingin ketemu ibu bukan karena tak sayang. Ada hal-hal yang Arum sembunyikan dari ibu. Tapi sekarang sa'atnya Arum akan kembali bu."
"Akan kembali? Jadi bukan sekarang?"
"Belum bu, ceritanya panjang. Ibu masak apa?" kata Arum sambil melangkah kebelakang. Rumah itu masih seperti dulu ketika dia pergi dari rumah Aryo. Walau hidup sendirian, rumahnya selalu tampak bersih dan rapi. Ada kamar yang dulu adalah kamarnya, masih tertata rapi, walau dia sudah menikah. Ia dan Angga sering tidur dirumah itu setiap kangen pada ibunya.
"Ibu tidak masak banyak, hanya sayur lodeh masakan kemarin, dan ikan bandeng presto yang ibu goreng. Ibu hidup sendiri, mau masak apa dan untuk siapa..kamu lapar?"
"Sebetulnya tidak, hanya ingin makan masakan ibu saja. Arum mau sayur lodehnya bu. Tapi biar Arum ambil sendiri ya."
Keduanya masuk kedalam ruang makan. Bu Martono mengambil sayur lodeh diatas panci yang masih berada diatas kompor, lalu diletakkannya dimeja. Bandeng goreng dikeluarkannya dari dalam lemari makan.
"Hanya ini, dan kerupuk."
"Hm, Arum suka. Tapi ini Arum membawa makanan untuk ibu. Nanti boleh ibu pakai untuk makan malam atau sama besok paginya."
"Apa ini?"
"Pokoknya lauk pauk. Ada rendang, ada daging terik, pokoknya semua kesukaan ibu."
"Ya sudah ayo dimakan sekarang sama-sama."
"Enggak bu, Arum ini saja. Sebentar ya bu, Arum mau menelpone mas Aryo dulu. Atau mengirim pesan saja. Mungkin disela sela tugasnya dia bisa datang kemari. Arum ingin bicara."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Ibu bingung sama kalian.
"Sebentar bu, Arum akan menceritakan semuanya. Tapi Arum mengirimkan dulu pesan untuk mas Aryo."
Arum menuliskan pesan singkat untuk suaminya.
"Kamu tau nggak, ada gadis yang sangat mirip kamu, yang membuat Angga menganggapnya sebagai ibunya."
"Ibu pernah melihatnya?"
"Kalau Angga datang kemari bersama ayahnya, dia pasti ikut, karena Angga tak mau berpisah dengannya. Ibu heran, bagaimana bisa ada wajah persis seperti itu."
"Arum bukan anak kembar kan bu?"
"Bukan.. kamu anak ibu satu-satunya."
"Tadi Arum ketemu dia dan Angga, sedang jalan-jalan."
"Oh, bagus sekali,mengapa kamu tidak mengajaknya kemari?"
"Belum sa'atnya bu, ini nanti Arum juga harus segera kembali. Membutuhkan waktu untuk membuat bu Suryo mengerti."
"Siapa bu Suryo?"
"Wanita baik hati yang menolong Arum," kata Arum sambil menikmati nasi dan sayur lodeh masakan ibunya. Walau tadi sudah makan bersama Ratih, tapi rasa rindu akan masakan ibunya membuatnya tak merasa kenyang.
Arum menceritakan perjalanan hidupnya sejak pergi dari rumah suaminya, sampai kemudian dianggap anak oleh wanita kaya bernama Bu Suryo Winoto. Tapi ada kekecewaan dihati Arum karena bu Suryo menghalangi kembalinya disisi suaminya.
"Sebenarnya dia tak berhak menghalangi. Mengapa kamu diam saja?"
"Bukan diam bu, Arum masih sungkan. Arum merasa berhutang budi, bahkan berhutang nyawa karena dia telah menyelamatkan Arum dari kematian."
"Tapi ini adalah hidupmu Rum."
"Benar bu, Arum butuh waktu untuk memberinya pengertian. Sekarang ini bahkan dia akan mengajak Arum keluar negri."
"Waduh..kamu mau?"
"Tidak bu, Arum sedang mau bicara sama bu Suryo. Dia sangat menyayangi Arum bu, Arum tak sampai hati menolaknya. Tapi Arum akan mengatakannya pelan-pelan agar tidak melukainya."
"Sebetulnya apa maksudnya menghalangi kamu kembali sama suami kamu?"
"Bu Suryo menghendaki Arum menikah dengan seorang dokter. Dia yang mengoperasi Arum bu."
"Mengapa begitu memaksakan kehendak?"
"Menurut Arum, bu Suryo merasa bahwa dokter Bram itu baik, dan bu Suryo berharap Arum akan bahagia bersamanya."
Bu Martono menghela nafas. Tak disangkanya peristiwa menjadi sepelik ini. Seorang isteri yang ingin kembali kepada suaminya, terjerat budi baik seseorang. Aduhai..
***
"Mengapa Arum lama sekali ya yu?" keluh bu Suryo ketika menjelang sore Arum belum pulang juga.
"Namanya ketemu orang tua, mungkin tidak cukup hanya sebentar bu," jawab yu Siti sedikit kesal.
"Tapi aku butuh Pono yu."
"Kalau begitu ibu panggil Pono saja suruh pulang, nanti kalau nak Arum mau pulang Pono disuruh jemput."
"Oh, gitu ya?"
"Sebaiknya begitu bu.."
Bu Suryo memutar nomor ponsel Pono.
"Ya bu," suara Pono dari seberang sana..
"Kamu dimana?"
"Masih di ibunya bu Arum bu.. ini lagi makan."
"Wah, enak bener disuguhin makan segala No."
"Iya bu,habisnya dipaksa -paksa.. Ada apa bu?"
"Apa Arum masih lama?"
"Waduh .. saya nggak tau bu, akan saya tanyakan dulu."
"Kalau kamu sudah selesai makan, dan Arum masih akan lama, tolong pulang dulu No, aku butuh kamu."
"Baik bu, ini hampir selesai makannya. Saya tanyakan ke bu Arum."
Bu Suryo menutup ponselnya, duduk didepan meja makan, wajahnya muram.
"Pantesan lama, pakai disuguhin makan segala."
"Iya lah bu, kan sudah waktunya makan. Lagian dirumah orang tua sendiri mana mungkin sebentar. Mereka pasti juga kangen-kangenan, sudah setahun tidak ketemu."
"Iya sih. Kamu tau yu, aku tuh sudah merasa bahwa Arum itu anakku sendiri. Aku sangat menyayangi dia."
"Iya bu, yu Siti juga sangat sayang pada nak Arum. Dan saya yakin nak Arum juga menyayangi ibu, juga saya."
"Anak baik. Harusnya dia mendapatkan suami yang bisa membahagiakannya, bukan melukainya."
"Terkadang manusia bisa khilaf bu."
"Khilaf itu bisa keterusan."
"Saya kira tidak selalu begitu bu, orang bersalah bisa saja bertobat, kemudian bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik."
"Bagaimana menurut pendapatmu yu, apakah salah kalau aku menjodohkan Arum dengan dokter Bramasto?"
"Menurut saya tidak salah, karena ibu memilihkan yang terbaik untuk nak Arum. Cuma saja, apakah nak Arum mau, dan apakah pak dokter juga mau? Sa'at ini nak Arum baru dalam proses perceraian yang hasilnya entah bagaimana. Lalu apakah pak dokter belum punya calon? Selama ini ibu belum pernah menanyakannya bukan?"
Bu Suryo termenung.
"Iya juga ya, apa nak Bram sudah punya calon? Seorang dokter sebaik itu, seganteng itu, masa sih belum punya calon ya yu?"
"Baiknya ibu tanyakan dulu, karena dengan belum menjawab tawaran ibu, mungkin dia sungkan mengatakannya."
"Ya, aku lupa itu. Aku hanya menilai perhatiannya yang besar sama Arum."
"Itu Pono kelihatannya sudah datang bu," kata yu Siti ketika mendengar suara mobil masuk ke halaman.
"Iya, baiklah, saya akan bertanya ke petugas imigrasi bagaimana mendapatkan paspor bagi Arum, kalau masih bersuami kan diminta surat nikahnya kalau tidak salah. Jadi harus menunggu statusnya apa ya. Setelah surat cerai itu keluar mungkin."
Waduh, masih nekat mau membawa keluar negeri? Keluh yu Siti dalam hati.
***
Aryo masih dikantornya, dia tidak segera pulang karena ada yang dicari-carinya.
"Dimana ponselku? Dari tadi tidak mempergunakannya," keluhn ya bingung.
Ia bertanya kepada sekretarisnya, tapi jawabannya adalah gelengan kepala.
"Tidak tau pak, saya juga tidak melihat bapak mempergunakannya sejak tadi.
Aryo menelpone ibunya yang ada dirumah dengan telephone kantor.
"Nggak ada Yo, mana.. dikamarmu, dimeja yang biasa kamu meletakkan ponselmu, kok nggak ada semua. Tadi pagi sepertinya kamu telpone-telpone sama siapa gitu."
"Iya bu, tapi Aryo cari di saku nggak ada, di tas kerja juga nggak ada."
"Jatuh di mobil barangkali.."
***
"Kok nak Aryo belum datang juga?" tanya bu Martono yang menemani Arum duduk di teras, sementara Pono sudah pulang duluan.
"Iya bu, pesannya kayaknya juga belum terbaca, apa mungkin dia masih sibuk di kantornya ya?"
"Mungkin Rum, kamu tungguin saja dulu, kamu tidak tergesa pengin kembali ke rumah bu Suryo kan?"
"Tunggu kalau sudah bertemu mas Aryo bu."
"Bagus, yang terbaik adalah bicara, agar semua segera selesai."
Arum mencoba menelpone, tapi tak ada jawaban.
Bersambung
No comments:
Post a Comment