Tuesday, July 21, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 31

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  31
(Tien Kumalasari)

Bramasto memegangi ponselnya dengan tangan gemetar. Tampak geram membacanya. Ia kemudian mengulurkan ponsel itu kepada Aryo.
"Coba pak Aryo baca ini."
Aryo menerima dan membacanya. Wajahnya merah padam menahan amarah.
"Apa-apaan ini? Saya akan laporkan pada polisi," kata Aryo geram.
"Sebentar pak, lebih baik kita berfikir jernih. "
"Ini sudah keterlaluan. Dia seperti menculik isteri saya. Biar saya telephone Arum."
"Jangan sekarang pak, Ini masih sore. Kalau bu Suryo mendengarnya kita justru akan gagal berbicara dengan bu Arum."
Aryo menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Tangannya mengepal menahan amarah.
"Saya akan kesana, tolong pak Bram kasih alamatnya."
"Pak Aryo, sabar dulu."
Bramasto menulis pesan singkat membalas pesan Arum.
"Bu Arum, kalau waktu mengijinkan, bisa telephone saya ya."
Pesan itu terkirim, lalu ada balasan singkat.
"Belum sekarang."
Lalu ponsel itu dimatikan. Bram tau bahwa pasti karena ada bu Suryo mendekati Arum. Dan itu memang benar.
"Pak Aryo sabar ya, bagaimanapun bu Suryolah yang telah menolong bu Arum ketika dia dalam keadaan sedih, bimbang dan bahkan sakit. Walau kesal kita juga harus mengingat kebaikannya. Barangkali yang harus kita lakukan hanyalah mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak benar. "
"Bukankah pak Bram sudah mengatakan apa yang terjadi sebenarnya? Dan dia tak mau mendengar juga?"
"Benar, saya sedang memikirkan cara untuk menyadarkan bu Suryo. Kalau dia sadar, pasti semuanya bisa dibicarakan dengan baik.
***
 
Arum menghapus semua pesan ketika dilihatnya bu Suryo mendekat.
"Mau menelpon siapa Rum?"
"Ini bu.. mau menelpon... ibu saya.. dari tadi tidak bisa nyambung.."
"Mungkin sedang tidak aktif."
"Mungkin bu.. nanti akan saya coba lagi. Beruntung mas Bram sudah mengirimi saya pulsa."
"Iya, dia memang sangat baik.Itu sebabnya saya selalu bilang bahwa kamu harus memikirkan tawaran ibu tentang nak Bram."
"Belum saya pikirkan bu."
"Ajakan ibu untuk kita pergi keluar negeri itu serius lho Rum, besok saya akan suruh Pono untuk mengurus semuanya."
"Mengapa harus keluar negeri bu?"
"Kamu kan habis sakit, harus banyak istirahat, harus lebih tenang, harus banyak bersenang-senang, ya kan? Dengan begitu kamu bisa segera pulih."
Kata-kata yang penuh berisi perhatian seakan sangat menyayanginya, bukan membuatnya bahagia tapi membuatnya teriris sedih. Bu Suryo seperti sedang menjauhkannya dari suaminya. Tidak, Arum harus berjuang untuk bisa kembali. Tapi rasa sungkan menolak menyelubungi perasaannya.
 
"Tapi saya sudah merasa tenang, saya kira berlebihan kalau harus istirahat diluar negri," kata Arum pelan, sedikit takut kalau melukai hati bu Suryo.
"Arum, kamu kan belum pernah keluar negri. Nggak usah jauh-jauh lah, ke Singgapur dulu, atau ke Jepang? Ini musim sakura berkembang. Kalau musim semi semuanya tampak lebih indah. Bagaimana?"
Arum terdiam. Tak ada yang menarik hatinya, kalau itu benar-benar ditawarkan. Bukankah tawaran bisa ditolak?
"Ibu, bukankah proses perceraian saya sedang berlangsung?"
"Mengapa kamu memikirkan itu, semuanya sudah ibu serahkan ke pengacara.. Kita tau beres lah. Intinya kan surat cerai akan sampai ditangan kamu."
Arum teriris mendengarnya. Ia hampir menjerit karena kesal yang tak tersalurkan.
Bagaimana harus menentang orang yang bahkan seakan membuatnya berhutang nyawa?
"Tapi apakah dengan itu aku harus pasrah? Tidak, aku harus menolakny,". Jerit batin Arum.
 "Arum, tak ada yang harus dikhawatirkan."
"Tapi bu, ijinkan saya ... bertemu mas Aryo terlebih dulu."
"Untuk apa Arum? Memeluknya yang terakhir kali? Apa itu ada gunanya?"
Sekarang Arum ingin menangis. Ia merasa telah menjadi seorang tawanan yang tak berhak keluar dari jeruji besi yang dibuat oleh penolongnya.
Tangis itu tumpah ketika dimalam hari hanya berdua saja bersama yu Siti dikamarnya. Teriris hati yu Siti mendengar tangis Arum yang disembunyikan dibalik bantalnya.
"Nak Arum, sudahlah, jangan menangis lagi. Lebih baik kita memikirkan jalan terbaik untuk bisa keluar dari masalah ini," kata yu Siti sambil mengelus kepala Arum, lembut.
"Saya harus bagaimana bu, saya tidak berani menentang kata-kata bu Suryo. Saya sungkan bu, saya kan seperti berhutang nyawa sama ibu."
"Itulah, rasa berhutang itu memang bisa menjerat kita untuk tidak berani melangkah. Tapi nak, ingatlah bahwa ini hidupnya nak Arum. Harus nak Arum sendiri yang menentukannya."
"Saya harus mengatakan apa?"
"Bilang ingin ketemu pak Aryo."
"Saya sudah bilang bu, ibu malah mengejek saya, katanya apa saya ingin memberikan pelukan terakhir? Sakit hati saya bu." kata Arum kembali terisak.
"Sabar ya nak, coba pelan-pelan nanti yu Siti akan mencoba bicara."
"Jangan bu, nanti ibu malah mendapat marah. Saya akan mengatakannya sendiri."
"Bagus nak, lebih baik memang begitu. Nak Arum harus berani menentang. Apalagi nak Arum mau diajak keluar negri segala. Saya kira ibu cuma ingin menjauhkan nak Arum dari pak Aryo."
"Oh iya bu, sudah malam begitu, tadi saya janji mau menelpone mas Bram."
"Mungkin sudah tidur, tapi ada baiknya nak Arum mencoba. Apalagi kalau masalahnya penting."
"Tolong dikunci pintunya bu, takutnya ibu tiba-tiba masuk."
"Sudah, sudah saya kunci begitu masuk kekamar."
"Terimakasih bu."
Arum memutar nomor dokter Bram. Agak lama tak ada jawaban. Arum mematikannya.
"Aduh, pasti sudah tidur bu, sungkan Arum."
"Iya nak, habisnya ini sudah malam."
Tapi tiba-tiba ponsel Arum bergetar. Dia memang men silent bunyi panggilan di ponselnya, khawatir bu Suryo mendengarnya. Dari dokter Bramasto, Arum segera mengangkatnya.
"Hallo, ma'af saya mengganggu," kata Arum pelan.
"Tidak apa-apa bu Arum, saya sedang menunggu telephone dari bu Arum." kata Bram dari seberang sana.
"Saya dikamar sama bu Siti, ibu mungkin sudah tidur. Ma'af baru bisa menghubungi. Apa yang ingin mas Bram katakan?"
"Pak Aryo masih ada disini."
"Masih disini? Selarut ini?"
"Tadi pamit sebentar untuk mengantarkan bu Ratih, lalu kembali lagi kemari. "
"Siapa bu Ratih ?"
"Bu Ratih itu ibu gurunya Angga. "
"Oh... "
"Setiap hari bu Ratih melayani Angga, karena Angga merasa dia adalah ibunya."
"Oh... bagaimana bisa begitu?"
"Saya belum sempat cerita, bu Ratih itu wajahnya persis dengan bu Arum. Itu sebabnya Angga menganggapnya ibu."
"Masa?"
"Saya hampir keliru .. baru tadi ketemu. Tapi tidak sempat mengatakan pada bu Arum karena terburu waktu."
"Oh.. ya ampuun... persis saya sampai Angga menganggapnya ibu? Itukah sebabnya dia mengatakan 'mengapa ibuku ada dua' waktu itu?"

"Benar, ini pak Aryo, silahkan bicara. Beliau kemari sampai malam karena saya yang memintanya. Bukankah bu Arum janji mau menelpone?"
"Arum ?" sapa Aryo dari seberang.
"Mas Aryo... mas Aryo...," belum-belum Arum sudah terisak.
"Arum, kami merindukan kamu. Mengapa kamu meminta cerai dari aku? Setahun aku mencarimu dan hampir tertutup kemungkinan untuk bertemu, ketika tiba-tiba saja kamu menggugat cerai."
"Ma'af mas, aku mengira kamu menikahi Rini."
"Ya sudah, aku sudah tau semuanya, dan bukankah pak Bram juga sudah menceritakan semuanya?"
"Sekarang aku bingung. Harus bagaimana aku mas."
"Kamu harus berani menentangnya Arum, katakan bahwa kamu mau kembali bersama aku."
"Aku berhutang nyawa mas."
"Apa karena itu kamu harus menuruti semua keinginannya?"
Tiba-tiba terdengar ketukan dipintu.
"Arum.. Arum.. !!
Arum terkejut, lalu mematikan ponselnya, dan disembunyikannya dibawah bantal.
"Arum.. sudah malam, kamu bicara sama siapa?" suara bu Suryo dari balik pintu.
"Bicara sama saya bu," yu Siti berteriak.
"Sudah malam mengapa belum tidur?"
"Iya bu, nak Arum banyak bertanya tentang.. tentang bumbu-bumbu masakan," jawab yu Siti sekenanya.
"Ya sudah, tidurlah, ini sudah malam."
Terdengar langkah menjauh, yu Siti dan Arum merasa lega. Tapi Arum tidak berani lagi menelpon. Rupanya tadi karena emosi lalu Arum bicara agak keras, sehingga bu Suryo dari kamar sebelah mendengarnya. Namun ada kekuatan yang kemudian merambati hatinya. Bisa berbicara dengan suaminya, yang ternyata masih mencintainya. Arum bertanya kepada hatinya, masihkah dia mencintai Aryo? Jawabnya adalah masih. Cinta tersisa yang dikaisnya dari dasar hati ternyata masih utuh, gemerlap bagai mutiara. Aduhai cinta. Padahal tadi Arum ingin menanyakan tentang Ratih. Kalau dia mirip dirinya, masa Aryo tak tertarik padanya? Nah, cinta selalu menjinjing rasa cemburu bukan?
***

 Pagi itu wajah Arum tampak lebih cerah. Minum secangkir teh hangat didapur bersama yu Siti, sangat terasa nikmat. Yu Siti menyajikan jagung rebus sisa kemarin yang masih disimpannya di kulkas.
Arum memungutnya, mengigit biji-biji manis yang sangat dinikmatinya.
"Ini seperti main harmonika ya bu?" katanya sambil tertawa.
"Senang melihat nak Arum tertawa. "
"Iya bu, so'alnya jagungnya enak sekali."
"Karena hati nak Arum juga sudah terasa lebih enak bukan?"
"Iya bu, semalam sudah bicara sama mas Aryo. Saya rindu sekali bu, bagaimana caranya supaya bisa ketemu dia?"
"Wah, agak susah nak..bu Suryo pasti menolaknya."
"Ssssh..." Arum menutupkan jari telunjuknya ke bibirnya. Takut bu Suryo mendengarnya.
"Dia masih tidur,"  bisik yu Siti sambil tersenyum.
"Gimana caranya ketemu mas Aryo?" tanya Arum masih dengan berbisik.
"Minta pergi kerumah ibu, ketemuan disana.."jawab bu Siti masih dengan berbisik.
"Haaa... benaaar... " yang ini Arum agak berteriak.
"Sssh..." yu Siti gantian menutupkan jari telunjuknya dibibir.
Dan benar, teriakan itu membangunkan bu Suryo. Dengan rambut masih awut-awutan bu Suryo memasuki dapur.
"Ada apa ini? Arum sampai teriak-teriak."
"Ah, ma'af membangunkan ibu," kata Arum  masih dengan memegangi jagungnya.
"Nggak apa-apa, mengapa tadi berteriak?"
"Iya, saya bilang jagungnya enak, manis.."
"Hm, namanya juga jagung manis, ya pasti manis lah.." kata bu Suryo sambil membalikkan badan, menuju kamar mandi.
*** 

Pagi itu juga Aryo tampak gembira. Walau pembicaraan tak tuntas, tapi ada seberkas harap yang akan memenuhi impiannya. Masih ada cinta dihati Arum.
Dengan senandung kecil ia keluar dari kamarnya, sudah dengan pakaian rapi.
Angga yang sudah selesai sarapan memasang tas sekolah dipundaknya, dibantu bu Ratih.
"Bapak, bolehkah setelah pulang nanti Angga bermain bersama bu Ratih?"
"Oh, mau bermain kemana?"
"Jalan jalan saja, beli es krim."
"Kok nggak nungguin bapak pulang saja."
"Bapak kelamaan sih.. pulang sore."
"Iya sih, bapak lagi mau ketemu ibu peri," jawab Aryo sambil tersenyum.
Angga mendekati ayahnya, memegangi tangannya dan mendongak menatap ayahnya.
"Bapak mau ketemu ibu peri?"
"Iya, memangnya cuma kamu yang punya ibu peri?"
"Apa ibu peri punya bapak juga cantik seperti ibu?"
"Iya lah, dimana-mana yang namanya ibu peri itu pasti cantik, iya kan bu Ratih?"
Bu Ratih mengangguk sambil tersenyum. Direngkuhnya Angga dalam pelukannya. Pembicaraan tentang ibu peri oleh Arya seperti menyiratkan bahwa dia akan segera berpisah dengan si ganteng kecil kesayangannya.
"Sudah selesai ya urusannya?" Tanya Ratih lirih.
"Baru limapuluh persen."
"Kok.."
Baru bisa bicara sebentar di telephone, belum tuntas."
"Lho..
"Ibunya keburu datang."
"Aduhh.."
"Ya lah, sabar dulu, aku sedang berfikir bagaimana caranya supaya bisa ketemu dan bicara lebih lebar.
Ponsel Aryo berdering.
"Sebentar, dari pengacara saya." lalu Aryo membuka ponselnya.
"Hallo pak, bagaimana? Apa? Tetap menuntut cerai? Katakan sama dia, saya juga tetap tak akan menceraikan. Itu saja. Nggak akan, . bapak tau bagaimana caranya. Ya.. begitu saja. Terimakasih banyak pak."
"Bapaak, ayo kita berangkat," teriak Angga.
"Ya baiklah." kata Aryo sambil berjalan kedepan.
"Itu dari pengacara saya, besok sidang akan digelar, kata pengacaranya Arum, atau tepatnya pengacara bu Suryo,  bilang akan tetap minta cerai. Tapi saya bilang tetap tak akan menceraikan dia."
"Bagus pak. Saya dukung bapak."
"Bapaaaaak.." teriak Angga yang sudah berada didepan mobil. Dilihatnya bu Nastiti membantu membuka pintu mobil dan Angga melompat kedalamnya. 
Aryo memberikan beberapa lembar ratusan ribu kepada Ratih.
"Bu Ratih, ini buat naik taksi, dan buat beli sesuatu, barangkali nanti Angga memintanya."
"Banyak sekali."
"Nggak apa-apa, Angga kan sukanya minta yang aneh-aneh."
Ratih mengangguk, memasukkan uang kedalam dompetnya dan masuk kedalam mobil.
***
 
"Ibu, hari ini saya mau kerumah ibu. Boleh kan?" tanya Arum yang sudah berpakaian rapi.
"Boleh saja, mau saya antar?"
"Jangan bu, saya harus cerita-cerita dulu sama ibu, suatu hari nanti pasti ibu akan saya kenalkan dengan ibu saya."
"Yu Siti, panggil Pono, suruh mengantar Arum kerumah ibunya."
Tak perlu diulang dua kali yu Siti sudah bergegas keluar menemui Pono. Banyak harapan dalam hatinya ketika nanti Arum menemui ibunya. Semoga sejoli yang masih saling mencinta itu bisa bersatu kembali.
"Hati-hati ya, ini uang, kalau mau beli oleh-oleh buat ibu."
"Saya masih punya bu, ibu kan sering memberi uang saku untuk Arum."
"Nggak apa-apa, bawa saja, barangkali kurang. Beli oleh-oleh yang pantas, makanan yang enak, supaya ibu kamu mengerti bahwa kamu hidup tidak kekurangan."
Arum mengangguk sambil menerima uang pemberian bu Suryo.
***

Angga ternyata tidak hanya minta beli es krim, ia menarik tangan Ratih untuk masuk kesebuah mal. Hm, untung pak Aryo memberi uang banyak, kalau tidak, lalu Angga minta yang mahal-mahal, bisa repot dia.
"Ibu, minum es krimnya nanti didalam situ saja, ayo lihat-lihat mainan dulu," kata Angga sambil menarik-narik tangan Ratih.
Ratih terpaksa mengikutinya,  Karena setiap kali ada maunya, pasti dia berlarian kesana kemari mencari apa yang diinginkannya.
Tiba-tiba seseorang menangkap tubuh kecil itu dan menggendongnya.
"Rini ?" teriak Angga.
Tak pernah ada rasa benci dihati Angga terhadap Rini karena ia tak memiliki alasannya. Gembira sekali digendong Rini.
"Rini kemana saja?"
"Rini sekarang jauh, kangen sama Angga. Mana bapak?"
"Bapak nggak ikut." jawab Angga sambil mempermainkan rambut Rini.
Tiba-tiba Ratih mendekat. Wajahnya muram, dan meminta Angga untuk turun.
"Angga, mau beli apa, ayo kita cari," kata Ratih sambil matanya menatap tajam Rini.
Tapi Rini tak bergeming. Ia tau itu bukan Arum, dan dia berani menghardiknya.
"Memangnya ibu ini siapa? Paling-paling kan cuma perawat penjaganya Angga? Ibu tak berhak melarang saya .Dia momongan saya." katanya kethus sambil membelalakkan matanya.
Ratih sangat marah. Perempuan itu benar-benar kurangajar.
"Kamu tidak berhak membenci saya, karena kamu bukan bu Arum."
"Saya bu Arum!! " suara keras itu seperti membentak, dan membuat Rini surut beberapa langkah.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER