SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 30
(Tien Kumalasari)
Hati Arum mencelos. Baru mau nyambung dengan suaminya, bu Suryo muncul.
Bram menutup kembali ponselnya.
"Sabar ya bu Arum."
Arum menghela nafas sedih.
"Jangan bilang kita omong-omong tentang pak Aryo ya. Nanti kita pikirkan lagi langkah selanjutnya. Saya akan membantu sebisa saya."
Sementara itu mobil bu Suryo sudah berhenti. Bram turun dan mendekati.
"Ternyata sudah ketemu Arum?"
"Ketemu dijalan, lalu kami jalan-jalan menyusuri jalanan desa bu."
"Nak Bram nggak ngomong apa-apa kan?"
"Nggak bu, ibu duluan, saya ngikutin dari belakang."
Bram berharap dalam perjalanan sampai kerumah masih bisa menelpon Aryo, lalu menyambungkannya dengan Arum. Tapi tiba-tiba..
"TUnggu, saya ikut di mobilnya nak Bram ya, keburu ingin ngobrol," kata bu Suryo sambil turun dari mobil..
Yaah, gagal lagi deh. Keluh Bramasto dalam hati.
Bram membukakan pintu untuk bu Suryo.
"Kamu beli pulsa mau menelpon siapa?" tanya bu Suryo begitu duduk.
"Mau menelpon... ibu saya," kata Arum. Beruntung, tidak kencan tapi jawabannya cocog dengan jawaban yu Siti.
"Sudah dapat pulsanya?"
"Belum. Keburu ketemu dokter Bram, lalu diajak jalan-jalan.
"Hm, baguslah, tapi kamu itu gimana, keluar rumah pakai pakaian seperti itu. Itu kan pakaian rumahan," tegur bu Suryo.
"Sedianya cuma jalan sedikit, kan dekat bu."
Mobil Bram meluncur tenang. Tapi tidak begitu dengan hatinya. Rasa kecewa karena gagal mempertemukan Arum dan suaminya terus menghantuinya. Mungkin demikian juga yang dirasakan Arum.
"Kalau mau menelpon ibu kamu, tunggu saya kan bisa."
"Iya bu, nanti saja."
"Ibu jadi ingat, dari kemarin ada telephone berkali-kali menelpone, tapi begitu saya jawab, lalu ditutup kembali. Siapa orang itu, mengganggu saja."
Bram yang mendengarnya hanya diam. Dia tau siapa yang menelpone, tapi tak perlu dia mengatakannya. Bram justru berfikir, bagaimana melepaskan Arum dari ikatan hutang budi ini dari bu Suryo. Ia tau Arum segan karena merasa berhutang budi.
***
Begitu ssmpai, Bramasto langsung dibawa keruang makan oleh bu Suryo.
Bram sangat kagum. Ini rumah kecil didesa, tapi ditata apik dengan perabotan yang mahal. Diruang tamu tadi Bram melihat sofa cantik , disudut ada jam dinding yang walau tidak begitu besar tapi tergantung didinding, yang mengeluarkan dentang setiap seperempat jam. Ruang makan dengan meja yang tidak terlalu besar, dengan kursi ukir berjumlah empat mengelilinginya. Meja makan itu sudah dipenuhi dengan nasi dengan lauk yang bermacam-macam.
"Ayo nak, silahkan..." kata bu Suryo mempersilahkan Bram duduk disebuah kursi.
"Arum kamu disitu, dekat nak Bram, saya sama yu Siti disini," kata bu Suryo mengatur, dan tak seorangpun membantahnya.
"Rumah ini bagus sekali," gumam Bram sambil duduk.
"Hanya rumah dusun."
"Kalau ibu tidak pulang, siapa yang menunggui?"
"Saya banyak punya orang-orang disini. Mereka mengerjakan sawah-sawah saya, mengurusnya, dan menjaga serta membersihkan rumah ini setiap dua hari sekali."
Bramasto mengangguk angguk. Tak heran bu Suryo bisa hidup layak, ia banyak punya sawah didesa ini, entah berapa hektar, Bram tak ingin menanyakannya.
"Ayo silahkan, aduh Arum, mengapa diam saja, layani tamu kita dong."
Arum menyendokkan nasi dipiring Bram, menawarkan lauk mana yang dia pilih.
"Biar bu Arum, biar saya mengambilnya sendiri. Bingung saya, begitu banyak lauk disini.
"Ini lauknya orang desa. Sayur bobor.. ini bakwan jagung, tadi Arum yang menggorengnya, ikan nila goreng, sambel bajak ya yu, lalu trancam. Cuma itu nak Bram."
"Ini makanan mewah, bukan makanan desa."
"Dikota jarang menemukan sayur bobor. Dari daun bayam, kates muda... cobain deh.."
"Arum, mengapa diam saja, ayo ambilkan lauknya."
"Sudah bu, saya ambil sendiri saja. Hm, sayur bobornya enak kayaknya."
Arum tak banyak bicara, ia hanya menjawab apabila bu Suryo mengajaknya bicara. Hatinya masih dipenuhi rasa sesal karena gagal bisa menelpone Aryo. Ia bingung bagaimana harus bersikap. Kalau harus berterus terang pada bu Suryo, ia tak berani, atau lebih tepatnya sungkan. Rasa berhutang itu alangkah berat.
"Hm, sayur bobor ini enak, Boleh tau bu Siti, bumbunya apa?"
"Wah.. itu gampang pak dokter. Tapi masa pak dokter mau masak sendiri sih?"tanya bu Siti.
"Benar bu, saya sering masak sendiri kalau lagi pengin. Ini saya ingin buat, sungguh.
"Bumbunya itu bawang merah, bawang putih, kencur salam laos, lalu ada tempe bosok, dikasih santan juga nanti setelah sayurnya empuk.
"Tempe bosok itu apa?"
"Tempe bosok itu tempe yang sudah kelewat jadi, kalau orang Jawa bilang sudah besem-besem gitu, tapi cuma sedikit saja tempe bosoknya. Nah kalau untuk sambal tumbang, tempe bosoknya banyak, nyaris semua dari tembe bosok."
"Hm, namanya bosok itu busuk kan bu, tapi enak buat bumbu ya.?
"Begitulah pak dokter."
"Makanya, nak Bram, segera cari isteri, supaya nggak ribet mikir bumbu masak," kata bu Suryo sambil melirik kearah Arum. Arum pura-pura tak mendengar, menyibukkan diri dengan menyendok nasi yang sesungguhnya terasa berat ditelannya.
"Iya bu, besok kalau ada yang mau sama saya."
"Bagaimana kalau ibu carikan?" kata bu Suryo lagi sambil melirik Arum.
Bu Siti agak kesal mendengar candaan bu Suryo. Pasti maksudnya adalah Arum. Dilihatnya Arum tak bergeming. Mengunyah bakwan yang baru saja digigitnya seperti tanpa perasaan. Dokter Bram asyik menikmati sayur bobor yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
"Enak bu Siti, suatu hari nanti saya akan bikin sendiri."
Bu Siti tak menjawab, tapi mengacungkan jempolnya, karena mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.
***
"Nak dokter, dengar.. saya mau bicara." kata bu Suryo setengah berbisik, ketika Arum tidak ada didekatnya.
"Ya bu, ada apa?"
"Nak dokter tau, mengapa saya menghalangi Arum kembali sama suaminya? Pertama saya tidak percaya, karena sekali dia berkhianat maka nanti di lain hari pasti akan melakukannya. Kedua, saya ingin nak dokter bisa menjadi jodohnya Arum."
Bramasto terpaku ditempat duduknya. Dipandanginya bu Suryo seakan tak percaya.
"Memang sih, nantinya Arum akan menjadi janda. Tapi dia wanita yang baik. Dia akan menjadi pendamping yang tidak akan mengecewakan."
Bram menyandarkan tubuhnya disofa.
"Bukan masalah saya tidak bisa menerima seorang janda bu, tapi bu Arum kan masih menjadi isterinya pak Aryo."
"Bukankah proses perceraian sedang berjalan?"
"Saya kira mereka masih saling mencintai."
"Ah, masa? Arum sudah tidakperduli kok sama suaminya."
Bisa saja bu Suryo ini, bagaimana dia bisa mengetahui isi hatinya Arum? Itu kan yang punya mau bu Suryo sendiri. Kata Bramasto dalam hati.
"Tapi nak Bram boleh berpikir-pikir dulu kok. Jawabannya tidak harus sekarang. Lagi pula proses perceraian juga sedang berjalan. "
"Tapi saya dengar pak Aryo menolak menceraikan bu Arum. Itu tandanya dia masih mencintai isterinya."
"Lha cinta macam apa kalau Arum itu cuma dijadikan permainan?"
"Satu kesalahan kan tidak bisa dipakai untuk menuduh betapa buruknya dia bu. Kalau dia sudah bertobat, bukankah kita juga harus mema'afkan?"
"Boleh saja mema'afkan, tapi jangan harap kata ma'af itu bisa menyatukan mereka."
Rupanya Bram tak ingin berdebat terlampau jauh. Ia tak menjawab. Diteguknya setengah gelas minuman yang tersisa.
"Bu, bolehkah saya mengajak bu Arum jalan-jalan?"
"Jalan-jalan kemana?"
"Saya ingin melihat-lihat disekitar desa ini. Saya ingin bu Arum menemani saya." kata Bramasto dengan harapan akan bisa melanjutkan perbincangannya dengan Arum, dan menyambungkannya dengan Aryo agar bisa bicara.
"Bagus nak, tampaknya nak Bram sudah ingin memulai pendekatan yang lebih dalam dengan Arum."
Bramasto tersenyum.
"Sebentar saya panggilkan Arum. Tapi saya juga mau ikut ya nak dokter," kata bu Suryo sambil menjauh.
Lhaaahh? Ikut? Aduuh.. Bram menghempaskan lagi tubuhnya ke sandaran sofa. Kecewa. Belum terpikirkan lagi harus melakukan apa.
***
Hari sudah sore, Aryo tampak menunggu sesuatu, gelisah sambil memegangi ponselnya, berjalan kesana kemari. Ratih yang sedang menunggui Angga bermain memperhatikannya. Gerah oleh tanda tanya yang memenuhi benaknya, dia mendekati Aryo.
"Pak Aryo.. "
Aryo menoleh kearah Ratih. Ia tau Ratih ingin menanyakan sesuatu tentang sikapnya.
"Kelihatan ya kalau saya lagi bingung?" tanya Aryo.
"Mengapa bingung pak?"
"Dokter Bram mengatakan bahwa kalau sudah sampai dirumah akan menelpon, tapi kok belum menelpone juga ya."
"Berarti dia belum sampai rumah. Sepertinya tadi mau keluar kota."
"Oh iya, bu Ratih tadi ketemu ya?"
"Iya, kan saya sudah bilang tadi sama pak Aryo."
"Benar. Mungkin dia belum sampai rumah."
"Coba saja pak Aryo menelpone. jadi bisa tau dia sampai dimana. Kalau hanya ditunggu pasti pak Aryo bin gung."
Benar juga, pikir Aryo. Hati yang bingung membuat semua pikiran jadi mampet.
"Hallo.." telephone Aryo segera bersambut. Bram menerimanya dengan cepat.
"Pak Bram sudah dirumah?"
"Oh, belum, mun gkin sebentar lagi, kira-kira sejam atau lebih, saya akan mengabari ya."
"Baiklah, terimakasih, ma'af saya mengganggu."
"Tidak apa-apa, ini sedang mengantarkan saudara."
Aryo menghela nafas lega. Semua selalu Ratih yang mengingatkan. Dipandanginya Ratih yang menatapnya dengan iba.
"Terimakasih bu Ratih. Memang benar, belum sampai rumah."
"Tampaknya semua akan segera selesai dengan baik, karena ada dokter Bram yang akan membantu."
Ya bu Ratih. Saya sangat gelisah setelah mengerti perso'alannya. Arum mengira saya menikahi Rini. Apa saya sudah gila?"
"Sangat disesalkan kenapa bu Arum tidak mau komunikasi dengan pak Aryo ya, semuanya jadi kacau. "
" Benar, susah menghubungi dia. Bagaimana bisa klarifikasi? "
"Ya sudah, ini sudah terlanjur, yang penting bu Arum segera bisa mengetahui kejadian sebenarnya, sehingga bisa menerima pak Aryo kembali."
"Aamiin. Sekarang saya mau mandi dulu, jadi se-waktu-waktu pak Bram mengabari, saya siap berangkat kesana."
"Silahkan pak."
"Nitip ponsel saya ya bu, nanti kalau dokter Bram menelpone bu Ratih bisa menjawabnya. Katakan saya sedang bersiap kerumahnya."
"Baiklah pak."
Ratih memasukkan ponselnya ke saku bajunya, lalu mendekati Angga.
"Ayo, bermainnya sudah ya, sa'atnya mandi," teriak Ratih sambil mendekati Angga.
"Apa kita mau pergi?"
"Tidak, pergi kemana?"
"Tadi bapak bilang mau mandi."
Ratih tertawa.
"Memangnya kita mandi hanya kalau mau pergi? Kan ini sudah sore, sa'atnya bersih-bersih badan."
"Baiklah, Angga simpan dulu mobilnya."
"Bagus, simpan di 'garasi' ya.."
Angga membawa mobilnya. Ada tempat disudut teras yang mereka namakan garasi. Itu tempat mobil kecil Angga setiap tidak sedang digunakan.
Angga berlari kebelakang, mendahului Ratih. Ratih menghela nafas, tak lama lagi dia tak akan bisa berbagi ceria dengan si kecil ganteng yang menggemaskan ini. Sekilas ada air mengembang dipelupuk matanya. Bagaimanapun Angga seperti sudah menjadi bagian dari hari-harinya, dan perpisahan pasti akan menyedihkan.
"Ibu peri akan segera tiba", gumam Ratih pelan.
"Ibu bilang apa?" ternyata Angga mendengar bisikan itu.
"Apa sih? Ibu nggak bilang apa-apa."
"Tadi ibu bilang ibu peri. Angga mendengar kok."
"O, maksud ibu, kalau Angga selalu menurut, nanti ibu peri akan segera datang."
"Benar ?"
Ratih mengangguk sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak ingin air matanya menetes dan Angga melihatnya.
***
Ketika Bramasto menerima telephone dari Aryo, bu Suryo yang duduk dibelakang memperhatikannya. Mereka hanya berputar-putar disekitar desa, dan bu Suryo mengatakan, yang mana saja sawah-sawah miliknya. Ternyata sangat luas, berpuluh hektare. Tapi dengan tak bisa berkomunikasi dengan Arum hanya berdua saja, membuat Bram segera memutar mobilnya kembali.
"Kita pulang? Sebelah sana, diujung, masih ada kebun buah milik saya. Ada mangga dan rambutan."
"Mungkin lain kali saya akan kemari lagi dan melihat desa ini lebih tenang. Hari sudah sore dan saya harus segera pulang."
"Oh, nak Bram praktek sore hari? Ini kan Minggu?" tanya bu Suryo.
"Tidak bu, bukan masalah praktek, saya tidak praktek dirumah, sudah capek."
"Lalu mengapa sepertinya tergesa pulang?"
"Saya ada janji dengan teman," kata Bram sambil melirik Arum disebelahnya.
Arum menatapnya, dan melihat dokter Bram mengedipkan sebelah matanya. Apakah dokter Bram berkencan dengan suaminya?
"Oh, yang tadi menelpon itu ya nak?"
"Iya bu, yang tadi menelpone."
"Oh, baiklah. Kapan nak Bram kemari lagi?"
"Kalau ada waktu senggang bu."
"Ma'af lho, kalau banyak yang mengecewakan dalam ibu menyambut nak Bram, maklumlah, sambutan orang desa."
"Ibu, saya senang sekali. Saya merasa menjadi tamu istimewa. Terimakasih banyak bu.Sama sekali tak ada yang mengecewakan. Lain kali saya pasti datang kemari."
"Terimakasih ya nak, semoga kita benar-benar bisa menjadi keluarga."
Ucapan terakhir ini tidak dijawab oleh Bramasto. Permintaan yang dianggap mengada-ada, sementara Arum masih ada suaminya.
"Arum dari tadi kok diam saja? Kamu sakit?" tanya bu Suryo karena dari tadi tidak bicara.
"Tidak apa-apa bu, kan mas Bram sudah banyak bicara. Takut saingan," kata Arum mencoba bercanda.
"Iya, nanti saya mendapat saingan kalau bu Arum ikut bicara."
"Ya sudah kalau tidak apa-apa, ibu takut kamu merasa pusing atau apa."
"Arum hanya lelah bu."
"Nanti sampai dirumah harus langsung beristirahat."
"Baiklah bu," memang itulah maksud Arum, supaya nanti bu Suryo tidak lagi mengajaknya bicara yang macam-macam.
"Bolehkah saya mengetahui nomor ponsel bu Arum?" tanya BRam.
"Boleh mas saya akan catatkan."
"Lha apa itu perlu, nak Bram bisa menghubungi Arum lewat nomor saya kan?" sanggah bu Suryo.
"Tapi kalau kelamaan nomor bu Arum mati bisa hangus bu, nanti saya bantu mengisinya kalau sudah sampai dirumah."
Bram mengulurkan ponselnya kepada Arum, dan meminta agar Arum menuliskan nomor ponselnya. Bu Suryo diam, tak bisa membantah kata-kata Bramasto.
***
Bramasto sudah mandi dan sudah wangi ketika menyambut Aryo dirumahnya. Kedua laki-laki ganteng yang sudah menjadi sahabat walau baru sekali dua kali ketemu itu tampak sangat akrab.
Ia menceritakan pertemuannya dengan Arum, dan mengapa Arum mengira Aryo sudak menikahi Rini. Hanya asumsi, hanya perkiraan dan dijadikan alasan untuk bercerai. Aryo sedih mendengarnya.
"Tapi saya bersyukur pak Bram sudah mengatakan semuanya. Semua kebenaran itu."
"Saya malah belum sempat menceritakan pertemuan saya dengan bu Ratih, karena cerita tentang pak Aryo belum selesai, dan saya hampir menelpon pak Aryo agar bisa bicara dengan bu Arum, tapi bu Suryo keburu datang.
"Apa sebabnya dia menghalangi kami untuk bersatu?"
"Pak Aryo, ma'af, ini bukan kemauan saya. Rupanya bu Suryo ingin agar saya menikahi bu Arum."
Aryo tertegun.
"Tampaknya dia menghalangi pak Aryo untuk bersatu kembali dengan bu Arum, walau saya sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Dia malah melarang saya mengatakannya pada bu Arum. Tapi saya sudah menceritakan semuanya pada bu Arum."
"Saya baru saja mengisi pulsanya, sehingga kita bisa berkomunikasi langsung. Tapi pak Aryo harus hati-hati, kalau bu Suryo mendengar dering telepone bu Arum pasti akan curiga.dan seribu cara akan dilakukan bu Suryo untuk menghalanginya."
Bramasto segera memberikan nomor ponsel Arum.
"Barangkali kalau tengah malam saya bisa menghubunginya, semoga kamarnya berbeda dengan kamar bu Suryo."
Bram mengangguk setuju.
Tapi tiba-tiba ponsel Bramasto berdering. Bukan telpone tapi sebuah pesan singkat, dari Arum.
"Mas Bram, tolong saya, ibu berencana mau mengajak Arum keluar negri."
Bersambung
No comments:
Post a Comment