Monday, July 20, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 29

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  29
(Tien Kumalasari)

Arum terpaku ditempatnya berdiri. Suara Aryo begitu bersemangat ketika tau bahwa dia yang mengangkatnya. Karena gembira bisa menyapanya? Belum sempat mengatakan sesuatu, kecuali hanya sulit menghubungimu. kata Aryo di telephone itu.
Arum kebingungan. Nomor telephone yang menghubungi tadi belum sempat dicatatnya. Mana mungkin mencatat, baru kata sepatah diucapkan, lalu ponsel itu diambil.
Arum setengah berlari masuk kekamarnya. Dipegangnya ponselnya. Aduh, baterynya mati. Diambilnya charger. Tapi ia akan menelpon siapa? Nomor Aryo sudah dibuangnya sejak dia pergi. Dan tadi itu benar nomor Aryo atau bukan? Arum sudah lupa semuanya. 
Ketika ponsel itu menyala, dia membaca semua kontak yang ada. Tak ada .. hanya dua nomor. Nomor bu Suryo, dan nomor ibunya. Yaaa.. mengapa tidak menelpon ibunya saja? Arum mencobanya,.
Tapi.. ya Tuhan, pulsa dalam masa tenggang... mana mungkin bisa menelpone?" Arum melangkah kebelakang.
"Dari siapa nak?" tanya simbok ketika melihat Arum datang dengan wajah keruh.
"Sebetulnya tadi dari mas Aryo."
"Waduh, kok bisa tau nomornya ibu?"
"Saya juga bingung bu.."
"Lha nak Arum bicara apa? "
"Nggak sempat bicara bu. Dia baru mengatakan kalau susah sekali menghubungi saya, lalu tiba-tiba Pono datang dan meminta ponsel itu. "
"O, rupanya ibu sadar kalau ponselnya ketinggalan lalu suruhan Pono untuk mengambilnya?"
"Iya bu, sekarang saya bingung.. Terpikir oleh saya untuk menghubungi ibu saya, tapi saya tidak lagi punya pulsa. Dimana saya bisa beli pulsa bu?"
"O.. agak jauh nak, dekat pasar sana.. mari saya belikan, tapi nanti kalau ibu datang lalu masakan belum selesai bagaimana?"
"Jangan bu, biar saya beli sendiri saja, dimana pasarnya?" Dari rumah ini kearah kiri atau kanan?"
"Kearah kiri nak, tapi agak jauh lho.. "
"Nggak apa-apa bu, saya kan bisa bertanya-tanya."
"Ya sudah, tapi hati-hati ya nak.. kalau saja masaknya sudah selesai pasti yu Siti yang akan membelikan. Ini sayurnya baru mendidih, goreng nila belum selesai. Masih harus buat trancam segala. Ibu itu banyak bangat pesen masaknya."
"Ya sudah nggak apa-apa bu, biar saya beli sendiri saja."
***

"Kanapa pak?" tanya Ratih ketika melihat Aryo murung setelah menelpon.
"Susah sekali."
"Bu Suryo lagi yang menerima?"
"Kebetulan Arum sendiri."
"Bagus dong, mengapa pak Aryo kelihatan murung?"
"Baru sepatah kata dia menjawab, memanggil sama saya, lalu terputus. Tampaknya ponselnya diambil lagi oleh bu Suryo."
"Ah, sayang sekali ya, apa bu Arum tidak punya ponsel sendiri?"

"Kata dokter Bram Arum tidak pernah membuka ponselnya."
Ratih merasa kasihan melihat wajah tampan itu tampak murung. Ia ingin menghiburnya, tapi dengan cara apa? Aryo bukanlah Angga yang kalau rewel bisa dibujuk dengan mainan atau cerita-cerita ringan.
"Ada satu cara," tiba-tiba kata Ratih.
Aryo menatap Ratih, menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Kalau pak Aryo kebetulan ada bersama pak Bram, minta saja agar pak Bram menelpon bu Suryo, tapi kemudian minta bertemu dengan bu Arum. Setelah bu Arum bicara, suruh pak Bram memberikan ponselnya pada pak Aryo."
Mata Aryo berkejap. 
"Itu masuk akal juga bu Ratih.Kalau begitu sekarang saja saya menelpon pak Bram. Kalau dia lagi dirumah saya akan kesana.
Ratih tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Hallo, ini pak Aryo?"
"Ya pak Bram, ini saya."
Oh, ada apa pak Aryo?"
"Apa pak Bram sedang dirumah?"
"Tidak pak, saya lagi.. bepergian. "
"Oh, ya sudah, nanti sore kalau pak Bram sudah ada dirumah saya akan kesana."
"Oh, baiklah, mudah-mudahan sore nanti sudah pulang. Nanti pak Aryo saya kabari ." 
***

 Bramasto masih dalam perjalanan menuju kerumah bu Suryo yang ada didesa. Sebentar lagi sampai. Tapi telephone dari Aryo tiba-tiba mengganggunya. Ada apa pak Aryo ingin menemui dirinya? Apa lagi yang akan ditanyakan? Pikir Bramasto.
Dokter Bram sudah berjanji akan berusaha bicara dengan Arum. Ia tau bu Suryo akan menghalanginya, tapi dia tak bisa membiarkan sejoli ini tak bisa bersatu.
Dokter Bram sudah sampai didesa yang dimaksud, tapi ia belum menemukan persisnya rumah yang ditunjukkan bu Suryo ketika menelpone kemarin. Ia terus menjalankan mobilnya, menyusuri jalan berdebu yang kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon jagung yang siap dipanen.
Bram tidak menyangka, rasa ketertarikannya pada Arum yang pernah menjadi pasiennya, membuatnya terlibat dalam kemelut rumah tangganya. Memang benar, dia suka, lebih daripada sukanya seorang teman, atau sahabat, tapi melihat situasi seperti ini ia justru ingin membantunya. 
"Mungkin  bu Arum juga masih mencintai suaminya," gumam Bram.
Mobil Bram hampir memasuki kerumunan orang yang tampaknya pasar, ketika dilihatnya seseorang sedang berjalan.
"Itu kan bu Arum?"
Bram menghentikan mobilnya tepat dihadapan Arum berjalan, membuat perempuan cantik itu terkejut.
"Ya ampun, aku hampir ketabrak, " omelnya kesal.
Tapi ketika seseorang turun dari mobil itu, wajah kesal itu berubah sumringah. 
"Dokter?" pekiknya.
"Terkejut ya?"
"Iya lah, dokter hampir menabrak saya."
"Darimana kok jalan sendiri?"
"Dari mencari yang jualan pulsa, "
"Mau beli pulsa? Sudah dapat?"
"Toko yang biasanya jual, tutup, sedang mau mencari kearah sana," katanya sambil menun juk kesatu arah.
"Ayo naik dulu, saya antar, saya juga mau bicara," kata dokter  Bram sambil membukakan pintu untuk Arum.

Arum naik kedalam. Keinginan untuk beli pulsa itu sirna, karena sudah bertemu dokter Bram. Banyak yang ingin ditanyakannya.
Mobil Aryo berjalan perlahan.
"Dimana harus beli pulsa?"
"Nggak jadi."
"Mengapa nggak jadi?"
"Sudah ketemu dokter."
"Lho, memang tadinya mau menelpon saya?"
"Diantaranya .. ya."
"Diantaranya?"
"Oh ya, kemana kita harus pergi? Lurus kedepan, atau harus balik kesana?"
"Lurus saja dok..."
"Oh, baiklah."
Arum menghela nafas lega. Tapi darimana dia harus memulainya?"
"Sebelum kita bicara, bagaimana kalau tidak memanggil saya dokter?"
"Lalu..?"
"Panggil saya Bramasto, itu nama saya."
"Nggak enak ah."
"Kok nggak enak, panggilan 'dokter' itu terasa seakan ada jarak diantara kita."
"Oh, baiklah.. mas Bram."
"Haaa.. itu terdengar lebih manis."
Arum tersenyum. Menatap laki-laki ganteng yang duduk menyetir disampingnya. Wajah itu tampak teduh dan membuat hatinya tenang.
"Kita lurus?" tanya Bram ketika didepan ada perempatan.
"Ya, lurus saja. Eh bukan, belok kiri saja."
Bram tertawa. 
"Sebenarnya hafal jalannya nggak sih?"
"Enggak..." jawab Arum sekenanya.
Bram menoleh kearah perempuan disampingnya. Wajah itu tampak lugas, tanpa make up sama sekali. Dia juga hanya berpakaian seadanya. Mungkin karena ada didesa jadi tak perlu bersolek seperti apabila bepergian dikota, walau tujuannya dekat sekalipun.
Tapi wajah lugas itu tetap menampakkan kecantikannya. Wajah bersih,  hidung mancung.. mata bening, bibir tipis... Bram menikmatinya ketika Arum menoleh kearahnya.
"Kita nyasar tidak?" tanya Bram.
"Entahlah, sesungguhnya saya lupa jalan." jawab Arum seenaknya.
Bram terkejut.
"Bu Arum bagaimana sih?"
"Biar nyasar, biar jauh, supaya saya bisa bertanya banyak."
Lalu Bram tersenyum. Bagaimana kalau nyasarnya keujung dunia? Dulu ia tertarik pada Arum. Ia merasa Arum sangat menarik. Cantiksederhana, tidak dandan  berlebihan. Kata-katanya selalu lembut. Pada awalnya selalu gugup setiap berhadapan dengannya. Tapi rasa itu tidak berlanjut. Ia sadar tak berhak memilikinya. Ada Aryo yang mengharapkannya. Tapi rasa suka itu berubah menjadi simpati, lalu ada rasa trenyuh, lalu ingin membuatnya bahagia. Apa sebenarnya Arum masih mencintai suaminya? Masih atau tidak, Bram tak ingin berharap. Lalu angannya kembali kearah Ratih. Aduh.. kemiripan yang menakjubkan padahal bukan kembar.
 
Bram sudah hampir membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa tadi bertemu gadis yang sangat mirip dengannya, ketika tiba-tiba Arum lebih dulu membuka pembicaraan yang semula terdiam beberapa sa'at lamanya.
"Mm.. mas Bram.."
"Ya."
"Mengapa mas Bram kemarin menanyakan apakah saya sudah bertemu mas Aryo?"
"Oh, itu..."
"Kapan mas Bram ketemu mas Aryo ?"
Bram terdiam sejenak. Sebenarnya kemarin dia sudah mengatakan semuanya pada bu Suryo, tapi rupanya bu Suryo melarang  mengatakannya pada Arum. Bram bingung, apa sekarang harus mengatakannya, atau harus menutupinya?
"Pernah ketemu? Dia masih kasar sama mas Bram?"
"Begini...."
Arum menunggu, tapi dokter muda itu tidak segera mengatakan apapun. Arum merasa tidak sabar.
"Apa mas Aryo melarang mengatakannya pada saya?"
"Bukan, bukan pak Aryo melarang saya."
Mobil Bram terus menyusuri jalanan desa yang berkelok-kelok. 
"Ini masih jauhkah?"
"Entahlah, saya juga bingung."
Bram menatap Arum, Arum juga sedang menatapnya, lalu tersenyum lucu. Sekarang Bram merasa bahwa mereka benar-benar tersesat. Mobil itu sudah berjalan jauh, dan tadi Arum mengatakan bahwa mau membeli pulsa, tak mungkin ia berjalan sejauh ini. 
"Ini benar-benar tersesat?"
"Saya sengaja menyesatkan diri," kata Arum seenaknya.
"Serius?"
"Kan tadi saya sudah mengatakannya."
"Oh..." Bram tersenyum.
"Mas Bram belum menjawab pertanyaan saya."
Aduh, apakah sebaiknya saya berterus terang saja? Masa saya harus membela bu Suryo? Pendapat yang salah, keinginan yang keliru, mengapa ia harus menurutinya? Pikir Bramasto.
 "Mas Bram.. kalau tidak mau jawab, turunkan saja saya disini." kata Arum kesal karena Bram tampak tak mau menjawab.,
Bram menghela nafas. Ia merasa harus mengatakannya.
***

Pono menghentikan mobilnya tepat didepan rumah, karena bu Suryo membawa banyak belanjaan.
"Kok masih sepi, rupanya dokter Bram belum datang," gumamnya sambil turun dari mobil.
"No, bawa belanjaan kebelakang ya," perintahnya kepada Pono, lalu ia masuk kedalam rumah.
"Yu Siti, aduuh.. bau masakannya membuat aku lapar nih," teriaknya sambil melangkah kedapur.
Yu Siti sedang menata semua makanan dimeja. Berdebar hatinya karena bu Suryo sudah pulang, sedangkan Arum belum juga kembali.
"Hm.. sudah siap semuanya. Nak dokter kok belum datang ya," celetuknya sambil mencomot sepotong bakwan jagung.
"Arruum.." teriaknya.
"Bu, nak Arum sedang keluar," kata yu Siti sambil menuangkan air putih dalam gelas-gelas, lalu ditatanya juga diatas meja makan.
"Keluar? Keluar kemana? Sendirian? Atau sama nak Bram?"
"Tadi... sendirian bu."
"Kemana? Memangnya dia tau jalan? Mau apa dia keluar sendirian. Kamu tidak mengantarnya kalau dia ingin beli sesuatu?"
"Tadi saya masih memasak bu, lagian dia cuma mau beli pulsa."
Bu Suryo berhenti mengunyah bakwannya.
"Beli pulsa? Untuk apa?"
Yu Siti kebingungan. Ia tak tau harus berkata apa.
"Dia bilang tidak yu, tadi mau menelpon siapa?"
"Tadi.... sepertinya... oh.. mungkin ingin menelpon ibunya.. nak Arum bilang kangen tadi," akhirnya yu Siti menemukan jawaban.
"Mengapa tidak menunggu aku, biasanya pakai ponselku.
"Kangen sekali kayaknya. Ini bu, sudah siap, ada yang kurang?"
"Sudah yu. Bagus, tapi kok nak Bram belum datang ya? "
"Masih dijalan barangkali."
"Arum perginya sudah lama?"
"Mm.. belum lama bu, saya tunjukkan toko yang menjual pulsa. Dekat situ."
Tapi yu Siti juga merasa was-was. Kepergian Arum sudah sangat lama. Kalau hanya kedekat pasar pasti sudah kembali. Jangan-jangan dia pergi ketempat lain.
"Kemana ya Arum perginya?"
"Tadi cuma saya kasih tau toko terdekat bu. Lagian nak Arum tidak ganti baju, saya kira tidak akan lama."
"No, ayo antarkan aku lagi No," kata bu Suryo ketika Pono meletakkan belanjaan.
"Baik bu," jawab Pono sambil berjalan keluar.
"Yu, ini tolong ditata dipiring. Di almari ada toples, keripik ini masukkan dalam toples saja. Aku mau menyusul Arum. Bagaimana kalau dia tersesat?"
-Yu Siti mendekati bungkusan-bungkusan dan membongkarnya, sementara bu Suryo keluar menuju ke mobilnya.
  "Nanti kalau nak Bram datang, segera buatkan minuman dan keluarkan semua makanan ya yu?" teriak bu Suryo dari luar.
"Baik bu."
Tapi yu Sitipun juga berdebar-debar. Sesungguhnya Arum pergi sudah sangat lama.
***

  Mobil Bramasto terus menyusuri jalanan perdesaan. Ia sudah mengatakan bagaimana bertemu Aryo, lalu Bram mengatakan semuanya. Arum gemetar mendengarnya. 
"Jadi mas Aryo tidak menikahi Rini?"
"Pak Aryo mengusirnya malam itu juga."
"Aku tidak tau, aku tidak mengira," bisiknya terisak.
"Darimana bu Arum tau bahwa pak Aryo menikahi Rini? Rini mengatakannya?"
"Tidak."
"Lalu, mengapa bu Arum mengira begitu?"
"Hanya asumsi saya saja."
"Bagaimana urusan sebesar ini dipastikan hanya karena asumsi?"
"Waktu itu saya mau ketemu ibu, diantar Pono. Tapi ketika hampir tiba, saya melihat mas Aryo turun, lalu Angga, dan ada seorang perempuan yang baru saya lihat kakinya juga turun dari sana. Saya sakit hati, mengira itu Rini."
"Belum jelas siapa, tapi sudah mengira itu Rini?"
"Ketika saya menemui Angga disekolah, dia berteriak, mengapa ibuku ada dua?"
Saya sakit hati, lalu menangis disepanjang jalan.
Bram menghentikan mobilnya, lalu memutar arah.
"Kembali?"
"Kita sudah terlalu jauh, nanti bisa benar-benar kesasar. Masih banyak yang bisa dibicarakan sambil pulang."
Arum terdiam, tenggelam dalam sesal yang terus menghantuinya.
"Tapi saya mohon, jangan bilang bu Suryo bahwa saya telah mengatakan semua ini pada bu Arum. Karena dia melarangnya," lanjut Bramasto.
"Ya Tuhan, mengapa ibu sekejam itu?"
Mobilnya terus berjalan, beruntung Bram tidak lupa dari mana tadi dia berbelok, dan arah mana yang harus dilalui untuk sampai ketempat dimana dia bertemu Arum tadi.
Arum  masih terisak pelan.
"Bukankah bu Arum masih mencintai pak Aryo?"
Sekarang Arum mengangguk dengan rasa sangat yakin. Ini kesalah fahaman yang sangat fatal. Hanya karena tak pernah ada pembicaraan.
"Bu Arum ingin bicara dengan pak Aryo?"
"Bisakah?"
"Saya punya nomornya."
  Bramasto memutar nomor tilpun Aryo. Berdebar hati Arum.
Tapi tiba-tiba sebuah klakson bertalu terdengar, dan Arum serta Bram melihat mobil bu Suryo dari arah depan.
***

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER