SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 28
(Tien Kumalasari)
Ratih menatap laki-laki ganteng itu. Berwajah bersih bermata tajam, dan memandanginya tanpa berkedip. Bagaimana si ganteng ini bisa tau namanya? Ayah salah satu muridnya?
"Benar bu Ratih bukan?" laki-laki itu semakin dekat.
Ratih hanya mengangguk, tapi terus memandanginya dengan penuh tanda tanya.
"Kenalkan, nama saya Bramasto," kata dokter Bram sambil mengulurkan tangannya.
Ragu Ratih mengangkat tangannya menyambut tangan laki-laki itu.
"Anak bapak menjadi murid saya?" tanya Ratih pelan.
"Bukan, saya masih bujangan," kata Bram sambil tertawa tipis.
"Oh.. lalu..."
"Apa saya tampak seperti bapak-bapak?" kata Bram sambil tersenyum.
Ratih terdiam, ia masih bingung bagaimana dia bisa mengenal namanya. Tapi ia harus buru-buru, diambilnya belanjaan yang tadi diletakkannya begitu saja.
"Ma'af, saya harus buru-buru. Saya sedang menunggu taksi."
"Tunggu bu Ratih, kalau boleh tau bu Ratih mau kemana? Saya sedang akan bepergian, barangkali kita bisa bersama-sama."
Hm, lancang sekali laki-laki tampan ini. Baru ketemu sudah mau main antar? Pasti dia golongan laki-laki mata keranjang yang mengandalkan wajah tampannya. No way. Ratih tak menjawab, ia melongok kesana kemari, mencari taksi. Taksi yang tadi sudah lewat ketika dia disapa laki-laki ganteng ini.
"Bu Arum... eh.. bu Ratih.. mengapa bu Ratih tidak menanyakan bagaimana saya mengetahui nama bu Ratih?"
Ratih menatap laki-laki itu lagi. Oh ya, namanya Bramasto, memang dia belum pernah melihatnya, bagaimana dia bisa mengetahui namanya? Lalu mengapa tadi keliru menyebut nama Arum?
"Saya sahabatnya pak Aryo," kata Bram sambil tersenyum. Agak kecut senyum itu karena merasa Ratih mencurigainya.
Ratih menatap Bram.
"Saya tau tentang bu Arum, dan juga tau tentang bu Ratih yang gurunya Angga."
"Oh, ma'af, saya tidak tau."
"Apa sekarang bu Ratih percaya? Atau mau menelpone pak Aryo dulu untuk meyakinkan?"
Ratih melongok lagi kearah jalan, tak ada taksi melintas. Laki-laki ini sedikit nekat, entah mengapa Ratih mempercayainya, dan merasa tak enak untuk menolaknya.
"Kalau bu Ratih percaya saya akan mengantar bu Ratih, tapi kalau tidak, saya tidak memaksa. Bu Ratih mau pulang, atau kerumah pak Aryo?"
"Saya mau pulang dulu."
"Dimana?"
"Kampung sewu, nggak jauh sebenarnya."
"Baiklah, kebetulan saya mau keluar kota. Jadi bisa lewat sana. Bagaimana?"
Akhirnya Ratih mengangguk. Melihat matanya memang dia bukan orang jahat. Kalau dia melakukan hal yang tidak baik ia bisa berteriak. Yang menarik dia juga mengenal Arum. Tiba-tiba terbersit keinginannya untuk mengetahui tentang Arum.
Bram membukakan pintu, dan mempersilahkan Ratih masuk.
***
"Bapak mengenal bu Arum?" tanya Ratih.
"Dia pasien saya. Saya mengoperasi tumor yang ada dirahimnya."
Oh, jadi si ganteng ini dokter? Dia tidak bohong.bu Nastiti pernah bilang tentang penyakit bu Arum. Kata batin Ratih.
"Oh.. " hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Kemarin siang saya melihat bu Ratih dirumah sakit, bersama pak Aryo juga."
"Iya, ayah saya sakit."
"Pak Aryo mengatakan nama bu Ratih, ketika saya menanyakannya kemarin. Bu Ratih gurunya Angga bukan?"
"Iya.. benar."
"Kita pernah bertemu ditoko buku, ketika Angga menabrak saya lalu bu Ratih membantu memunguti buku yang terjatuh."
"Oooo itu pak Bram? Aduh.. saya kurang memperhatikan waktu itu, habisnya Angga lari kesana kemari."
"Waktu itu saya ingin ketemu bu Ratih, karena wajah bu Ratih mirip pasien saya, bu Arum. Tapi tidak ketemu."
"Mungkin karena Angga lari kesana kemari."
"Salut kepada bu Ratih yang bisa menggantikan peran bu Arum. Nanti akan saya sampaikan semuanya kepada bu Arum."
"Berarti pak Bram tau dimana bu Arum?"
"Bu Arum bersama ibunya, eh, ibu angkatnya. Sa'at ini pak Aryo sedang berusaha menghubunginya. Agak susah karena ibu angkatnya tampaknya mencegah bersatunya kembali antara pak Aryo dan bu Arum."
"Oh, kasihan pak Aryo. Dia sangat sedih."
"Semoga saya bisa membantunya."
Pembicaraan itu terputus karena Ratih minta berhenti disebuah gang yang menuju kearah rumahnya.
"Terimakasih banyak, pak Bram."
"Sama-sama bu Ratih, sampaikan salam saya kepada pak Aryo."
"Nanti akan saya sampaikan."
Ketika Ratih sudah turun, tak henti-hentinya dokter Bram mengagumi kemiripan wajah antara Arum dan Ratih. Nyaris tak ada bedanya. Hanya tahi lalat kecil diatas bibir itu yang membedakannya. Bagaimana mungkin, bukan saudara kembar tapi sangat mirip?
"Nanti akan saya katakan semua ini kepada bu Arum. Tapi jangan sampai bu Suryo mendengarnya. Semoga ada kesempatan untuk bicara." gumam dokter Bram sambil memacu mobilnya, kearah rumah peristirahatan bu Suryo.
***
Aryo senang ketika Ratih mengatakan bahwa tadi bertemu dokter Bram.
"Kebetulan yang menyenangkan. Ia tiba-tiba menjadi sangat dekat, ia baik dan ramah. Saya menyesal dulu hampir menghajarnya."
"Tadinya saya mengira dia laki-laki yang suka mengganggu perempuan."
"Bagaimana tiba-tiba bu Ratih mempercayainya?"
"Dia mengatakan bahwa sahabatnya pak Aryo. Dia juga semula memanggil saya Arum, jadi saya mengira dia bukan orang asing bagi pak Aryo. Ternyata dia dokter yang telah mengoperasi bu Arum."
"Benar. Mudah-mudahan dia berjodoh dengan bu Ratih."
"Apa?" kata Ratih terkejut. Tapi Aryo hanya tertawa.
"Apa dia tidak menarik? Ganteng, pintar, baik hati. "
"Pak Aryo ada-ada saja," jawab Ratih tersipu, tapi dalam hati dia meng'iya'kan kata Aryo tadi. Ganteng, menarik, baik hati. ..hm..
"Oh ya, bagaimana dengan bapak? Sudah baikan?"
"Sudah pak Aryo, tekanan darahnya sudah normal tampaknya, sudah tidak merasa pusing, malah menyuruh saya cepat-cepat kemari, katanya nanti Angga rewel."
"Bapak seperti bu Ratih, sangat perhatian kepada Angga."
"Suatu hari nanti akan saya ajak Angga menemui bapak. Tapi tidak sekarang, nanti Angga bingung. Semoga bu Arum segera kembali ya pak."
"Do'akan ya bu Ratih, itu harapan kita semua bukan?"
Ratih mengangguk. Tapi ada rasa sedih sih, kalau Arum kembali, ia tak akan bisa bertemu Angga setiap hari.
"Ada apa bu?" tanya Aryo karena melihat wajah Ratih tiba-tiba tampak murung.
"Kalau bu Arum pulang, saya tidak akam bisa lagi bertemu Angga. Saya terlanjur menyayangi dia," katanya sendu.
"Mengapa begitu bu Ratih, walau ada Arum, tapi bu Ratih akan tetap menjadi ibunya Angga, dan boleh saja setiap sa'at datang kemari."
"Benarkah?"
"Benar bu Ratih, bu Ratih sudah menjadi bagian dari keluarga kami."
"Terimakasih pak Aryo."
"Tapi untuk meminta Arum kembali, tampaknya masih harus ada perjuangan."
"Maksudnya?"
"Bu Suryo seakan menghalangi saya bertemu Arum. Entah karena apa."
"Mun gkin karena sudah menganggap bu Arum sebagai anaknya, jadi takut kehilangan bu Arum."
"Mungkin juga.." kata Aryo yang kemudian matanya menerawang jauh.
Tiba-tiba Aryo teringat nomor ponsel itu. Ia ingin mencoba menelponnya. Laludiambilnya ponsel itu.
"Hallo, ma'af ini siapa ya?" suara dari seberang menyapanya, tapi Aryo mengenali suara itu. Suara ketus yang terdengar sangat mengiris kembali perasaannya. Ia menutup ponselnya dengan wajah kecewa.
"Dia lagi.." keluhnya.
"Siapa pak?"
"Pak Bram memberikan saya nomor ponsel bu Suryo, katanya Arum tidak pernah mempergunakan ponselnya sendiri."
"Itu tadi bu Suryo?"
"Saya berharap bu Suryo sedang tidak ada didekat ponselnya, lalu Arum yang menerimanya."
"Bu Suryo yang menerimanya?"
Aryo mengangguk.
"Barangkali bisa diulang lagi nanti, siapa tau bisa nyambung.
"Bapaaak, mengapa mobil Angga tidak bisa berjalan?"
"Oh, masa sih?"
"Iya bapak, lihat tuh, mogok.."
"Baiklah, akan bapak lihat dulu, barangkali baterynya mati," kata Aryo sambil mendekat.
***
"Sudah bu... ini sudah dibumbui kan? Biar saya goreng sekarang. ya bu?" kata Arum didapur ketika memasak bersama yu Siti.
"Iya, goremg saja dulu, sementara saya bumbui dulu ikannya."
"Hm, kayaknya enak .. sudah lama saya tidak makan bakwan jagung."
"Iya, selama dirumah kok yu Siti nggak bikin ya. "
"Iya bu, dulu drumah saya sering bikin, so'alnya mas Aryo suka banget bakwan jagung. "
"Oh ya? Waah, gara-gara bakwan jagung jadi ingat suami ya nak."
Arum menghela nafas.
Entah mengapa, semakin dekat sidang perceraian itu, rasa ragu dihati Arum selalu mengganggunya. Rupanya perceraian bukan hal mudah untuk diterima. Rasa cemburu dan ditambah lagi anjuran bu Suryo yang bertubi-tubi, membuat Arum menyetujui gugatan cerai diajukan kepada suaminya. Pertimbangan bahwa suaminya sudah memiliki isteri lagi, memang membuatnya menyetujui saran bu Suryo. Tapi sekarang Arum seperti terganggu dengan gugatan itu.
"Nak, cepat dibalik, gosong tuh!!" tegur yu Siti yang telah selesai membumbui ikan tuna yang siap digoreng setelahnya.
"Oh..!" pekik Arum yang segera membalikkan bakwan yang nyaris hangus.
"Nak Arum menggorengnya sambil melamun bukan?"
Arum tersipu.
"Ma'af bu tidak lagi," katanya lirih.
Yu Siti bisa menangkap bahwa akhir-akhir ini Arum tampak sangat gelisah.
"Nak Arum, kalau nak Arum tidak ingin bercerai, bilang saja pada ibu," kata yu Siti berbisik ditelinga Arum.
Bilang pada ibu? Begitu mudahkah? Arum tiba-tiba merasa bahwa kebaikan bu Suryo selama ini telah menjeratnya untuk tidak bisa berbuat banyak, walau itu untuk hidupnya.
"Bilang saja begitu," bisiknya lagi sambil meletakkan piring yang akan dipakai untuk mengentas gorengan yang sudah matang.
"Saya bingung bu."
"Bersikaplah seperti apa kata hati nak Arum."
"Tapi alasan menggugat cerai itu sangat kuat bu, mas Aryo sudah menikah."
"Kalau nak Arum bisa bertemu pak Aryo, barangkali akan ada jalan yang lebih baik. Terbukti kata pak pengacara yang mengatakan bahwa katanya pak Aryo akan menolak gugatan itu, pasti ada sesuatu yang membuatnya berbuat begitu."kata yu Siti masih dengan suara lirih, takut bu Suryo mendengarnya.
" Misalnya apa?"
"Mungkin pak Aryo akan menceraikan perempuan itu, atau malah sudah dilakukannya. Sebuah peristiwa tanpa ada komunikasi itu menjadi rumit, karena satu sama lain akan berfikir sendiri-sendiri, tanpa tau apa yang sesungguhnya terjadi."
"Aduh baunya, sudah matang bakwannya?" tiba-tiba bu Suryo masuk kedapur.
Yu Siti terkejut, lalu menjauh dari Arum, dan mencuci sayuran yang sudah disiapkan.
"Ada apa kok bicaranya berbisik-bisik?"
"Oh, itu bu, nak Arum minta saya mencicipi bakwannya dulu, tapi masih panas," jawab yu Siti sekenanya.
"Baunya sudah enak, aku juga ingin mencicipi, tapi karena masih panas ya nanti saja."
"Saya ambilkan dipiring kecil ya bu."
"Iya, tapi taruh dulu disitu, aku sama Pono mau keluar sebentar, Sayurnya apa tuh yu?"
Tadi ibu bilang ingin sayur bobor. Saya sudah memetik bayam dari kebun, dan juga ada kates muda untuk ditambahkan."
"Hm, iya, sudah lama juga tidak makan pakai sayur bobor. Ya sudah, aku mau pergi sebentar ya."
"Oh, ibu mau kerumah pak Kromo?"
"Bukan, mau cari toko kue-kue, nanti kan nak dokter mau kemari, rasanya kok kurang lengkap makanan yang disuguhkan."
"Sudah ada nogosari sama pis pohung bu," kata Arum.
"Iya, ibu mau nambahin makanan lagi, belum tau apa, mungkin keripik garut, atau apalah, coba ibu lihat nanti." kata bu Suryo sambil menjauh.
Yu Siti mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Untung ibu tidak mendengar apa yang saya katakan. Kalau mendengar bisa dimaki-maki saya," kata yu Siti sambil mengentas bayam yang tadi dipethiknya dikebun belakang.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah depan.
"Lho, ibu lupa membawa ponselnya ," kata Arum.
"Iya nak, coba terima saja, biar yu Siti melanjutkan menggoreng.
Arum berlari kedepan, ponsel itu masih berdering. Dilihatnya nomor penelpon yang tak ada namanya. Arum mengangkatnya.
"Hallo.." sapanya.
"Hallo, ini Arum?" suara bergetar dari seberang.
Arum terkejut. Itu suara yang sangat dikenalnya.
"Mas Aryo?"
"Arum, susah sekali menemui kamu."
"Mas Aryo..."
Tiba-tiba terdengar suara orang berlari mendekat.
"Bu Arum.. ponsel ibu ketinggalan. Oh, itu ya."
Arum terkejut, ia harus bicara dengan Aryo, tapi Pono meminta ponsel itu.
"Ibu menunggu disana, saya disuruh cepat."
Arum menutup pembicaraan itu dan mengulurkan ponselnya kepada Pono.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment