Sunday, July 19, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 27

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  27
(Tien Kumalasari)

"Bu Arum, sudah ketemu pak Aryo?" tanya dokter Bram.
"Apa?"
Tiba-tiba bu Suryo keluar, mengikuti orang-orang desa yang berjumlah empat orang. Rupanya pembicaraan sudah selesai. Barangkali tentang pembelian pupuk, atau bagi hasil yang harus dirembug lagi.
"Itu nak dokter masih ngomong? Mana saya tadi belum sempat bicara. Ponsel yang dipegang Arum diminta oleh bu Suryo. Arum mengulurkannya sambil bertanya dalam hati, mengapa dokter Bram bertanya tentang Aryo? Apa Aryo bilang mau ketemu dia?  Untuk apa ketemu? Ah, paling tentang perceraian itu. Perceraian yang ditolak Aryo. Entahlah, Arum tiba-tiba merasa bingung sendiri. Tapi ia harus memastikan tentang apa yang dimaksud dokter Bram. Ganjalan yang utama yang membuatnya ragu  adalah karena adanya Rini yang dianggapnya telah menjadi isteri Aryo.
"Iya nak dokter, itu benar, kami sedang berlibur."
Terdengar tawa renyah bu Suryo ketika bicara dengan dokter Bram.
Arum dan yu Siti masih duduk didepan rumah. Yu Siti melihat wajah Arum murung, tapi segan menanyakannya. Ia hanya merasa iba. Tanpa sadar sebelah tangannya menggenggam tangan Arum yang diletakkan dipangkuannya. Arum menoleh, menatap yu Siti sambil tersenyum. Arum tau yu Siti sangat memperhatikannya. Barangkali yu Siti juga bisa merasakan gundah yang dirasakannya.
"Tadi ada yang mau membawakan jagung muda kemari. Nanti kita bisa membakarnya sebagian, atau untuk campuran sayur asem besok, atau .. ah ya.. nak Arum suka bakwan jagung?" kata yu Siti, mungkin untuk mengalihkan rasa gundah yang tampak diwajah Arum.
"Oh, bakwan jagung? Suka bu, suka, besok Arum bantuin masaknya ya.." 
"Iya, baguslah..'
Didengar oleh Arum, suara bu Suryo terdengar semakin jauh, mungkin masuk kedalam, sehingga tak ada yang tau apa yang dibicarakannya. Arum juga tak ingin mengetahui, apakah itu.
"Oh, iya.. besok kan hari libur, saya tunggu nak dokter, pasti enak makan makanan orang dusun. Iya, itu alamatnya sudah saya sebutkan tadi. Baiklah, ini Arum. Tapi ingat pesan saya tadi ya nak dokter.." kata bu Suryo, seperti menyembunyikan sesuatu.
Bu Suryo mengulurkan ponsel kearah Arum.
"Ini, nak dokter ingin bicara sama kamu."
Bu Suryo duduk disamping yu Siti. Duduk berderet bertiga. Tampak sekali bu Suryo ingin mendengar apa yang dibicarakan Arum dan dokter Bram.
"Ya, dokter, bagaimana?" sapa Arum.
"Saya sudah bicara sama ibu. Besok boleh menyusul kemari kan?"
"Tentu saja boleh, sudah tau tempatnya?"
"Sudah, ibu sudah memberi tau tadi."
"Baguslah dokter. Sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan."
Bu Suryo menatap Arum, tatapan itu membuat Arum sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Tentang apa bu Arum?"
"Ooh, itu.. tentang obat yang harus saya minum.." kata Arum meralat kata-katanya. Ia tahu bahwa bu Suryo tak menyukai pembicaraan tentang Aryo, padahal Arum ingin bertanya tentang apa yang dikatakan dokter Bram tadi. Tepatnya pertanyaannya tentang apakah dia bertemu Aryo. Mengapa dokter Bram bertanya begitu? Tapi Arum berjanji akan menanyakannya besok pagi kalau dokter ganteng itu datang.
"Obat? Bukankah sudah saya terangkan semuanya?"
"Besok saya akan menanyakannya lagi. Ada yang terasa nggak enak kalau diminum." lagi-lagi Arum berbohong.
"Baiklah bu Arum, sampai besok ya."
"Terimakasih banyak dokter, selamat sore."
***

Malam itu, dirumahnya, dokter Bram merenung sendirian. Tadi ia bicara dengan bu Suryo, tapi sebenarnya dia kurang suka atas sikap bu Suryo terhadap hubungan Arum dan suaminya. Tampak sekali bu Suryo menghalangi kalau Arum kembali bersatu dengan suaminya, padahal jalan itu sudah ada.
Dokter Bram menyesal  tadi menceritakan pertemuannya dengan Aryo. Dia mengira bu Suryo akan senang karena sesungguhnya Arum salah sangka, mengira suaminya menikah dengan Rini, padahal tidak. Tapi sikap yang dilihatnya adalah bu Suryo menentang rujuknya kedua pasangan itu. Bram tidak setuju.

Masih terngiang ditelinganya ketika ia mengatakan bahwa Aryo sesungguhnya tidak menikahi Rini.
"Nak dokter jangan percaya. Dia bilang begitu karena ingin agar Arum kembali. Kasihan Arum kalau nanti disakiti lagi."
"Tapi pak Aryo berkata dengan sungguh-sungguh bu."
"Mengapa kita harus percaya kepada kata-katanya? Dia sudah menghianati isterinya, berarti apa yang dikatakannya tidak bisa dipercaya. Laki-laki memang mau menang sendiri."
Aduh, waktu itu Bram juga merasa tersinggung. Dia kan juga laki-laki?
"Nak Bram menyusul saja kesini, nanti kita bicara lebih banyak. Dan ingat, jangan sampai Arum tau bahwa nak dokter ketemu suami Arum."
"Oh, hanya itu jawaban Bram, bingung."
"Tadi pagi si Aryo itu datang kerumah, tapi saya bilang bahwa Arum tak ada. Jangan sampai ketemu, lalu dia akan menyakiti hatinya lagi. Kasihan Arum."
Dokter Bram akhirnya sudah bisa menangkap, jadi kepergian bu Suryo kerumahnya yang didesa, adalah untuk mencegah Arum bertemu suaminya. Sungguh kejam bu Suryo, tapi bagaimana aku harus bersikap? kata hati dokter Bram.
Lalu bu Suryo memberikan alamat dimana mereka sekarang berada. Tapi kemudian  ia minta bicara sama Arum, tapi tampaknya Arum juga ragu-ragu untuk bicara. Seperti ada perasaan yang tertahan. Tapi Bram berjanji, besok kalau bertemu akan dicarinya kesempatan untuk bicara.
Tiba-tiba dokter Bram terkejut. Sebuah mobil berhenti dijalan depan rumahnya.
  "Aduh, itu kan mobilnya pak Aryo. Bagaimana aku harus menjawabnya nanti," gumam Bram yang kemudian berdiri menyambut tamunya.
"Selamat malam," sapa Aryo.
"Selamat malam, ayo silahkan masuk."
"Terimakasih dokter."
"Sebenarnya jangan memanggil saya begitu, panggil saja nama saya, Bram, begitu."
"Ah, baiklah pak Bram."
Keduanya duduk berhadapan. Bram menata batinnya, dan memikirkan apa yang harus dijawabnya nanti, karena dia tau apa yang akan ditanyakan Aryo . Pasti karena tidak ketemu Arum, lalu bertanya kepadanya, mungkin nomor ponselnya, atau kira-kira dia ada dimana.
Bram berdiri untuk mengambilkan minuman untuk tamunya.
Aryo menunggu. Ia berharap akan mendapatkan sesuatu dari dokter Bram.
"Silahkan diminum. Ma'af pak Aryo, ini rumah bujangan, jadi tak ada tersedia teh hangat atau semacamnya. Semua tinggal minum, nggak ingin terlalu repot."
"Tidak apa-apa pak Bram, apalagi kan pak Bram sudah capek melayani pasien."
"Benar, tapi terkadang saya suka masak sendiri. Masak yang gampang-gampang saja. Misalnya ca sayur, bakso kuah, bukan yang rumit-rumit."
"Baguslah kalau masih sempat memasak."
Lalu keduanya diam sejenak. Masing-masing sedang berfikir, satunya bagaimana mulai bertanya, satunya kalau bertanya akan dijawab bagaimana.
"Oh ya, tadi pagi saya sudah kerumah bu Suryo," kata Aryo pada akhirnya.
"Oh, benarkah? Tidak kesasar?"
"Tidak, alamatnya kan jelas dan rumahnya gampa ng ditemukan."
"Mm... sudah.. sudah.. ketemu?" tuh, pertanyaan itu yang terlontar padahal dia sudah tau kalau tidaak ketemu.
"Tidak."
"Oh..."
"Dia pergi, tapi tampaknya bu Suryo menghalangi saya ketemu Arum," kata Aryo pilu.
"Oh... mengapa ya?"
"Pak Bram, apakah pak Bram tau kemana mereka pergi?"
"Oh..." tiba-tiba dokter Bram merasa bahwa  dia kebanyakan bilang 'oh'.
"Taukah?"
"Ma'af, saya... tidak tau.."
"Kalau nomor telephone Arum? Kemarin saya lupa menanyakannya."
"Oh...." lagi-lagi.. 'oh'..
"nomor telephone.... tidak.." lanjut dokter Bram.
"Tidak punya?"
"Setau saya, bu Arum tidak punya nomor.. eh.. ponsel... eh.. maksud saya.. tidak .. saya tidak punya.. biasanya saya .. menelphone bu Suryo." jawab Bram terbata. Tapi itu benar, karena Arum tidak pernah menerima telephone. Ponsel yang diberi oleh bu Suryo tidsk pernah digunakan, jadi kalau Bram menelpone, itu adalah nomor bu Suryo.
"Adanya nomor bu Suryo?"
Bram mengangguk.
Aryo putus asa. Kalau itu nomornya bu Suryo, sama saja dia tak akan bisa menghbungi Arum. Lalu apa yang harus dilakukannya? Bram yang menatap Aryo merasa iba. Laki-laki gagah suaminya Arum ini sebenarnya patut dikasihani, tapi Bram agak segan melangkah. Ia harus mencari kesempatan baik untuk menolong sepasang seami isteri ini.
"Pak Aryo, bersabar dulu ya, saya akan mencari informasi tentang bu Arum. Tapi nomor kontaknya bu Suryo ini akan saya berikan. Mungkin ... . siapa tau tiba-tiba bu Arum yang menerima."
"Terimakasih banyak pak Bram."
"Saya akan membantu pak Aryo, sebisa saya, agar bisa bersatu lagi dengan bu Arum."
"Terimakasih pak Bram," kata Aryo, sedikit bergetar karena haru. Ia mencatat nomor ponsel bu Suryo yang diberikan dokter Bram.

"Tapi... tunggu pak Aryo," tiba-tiba dokter Bram teringat sesuatu.
"Ya pak Bram?"
"Tadi siang saya melihat pak Aryo dirumah sakit."
"Oh, iya, mengantarkan saudara periksa. Mau menemui pak Bram sekaliyan takut mengganggu."
"Tidak, waktu pak Aryo pulang, saya juga sudah mau pulang, saya melihat pak Aryo diparkiran, tapi saya merasa aneh."
"Ya, aneh bagaimana ?"
"Waktu itu pak Aryo bersama seorang wanita, yang wajahnya persis sekali sama bu Arum. Saya pernah melihat wanita itu disebuah toko buku, dia sedang bersama seorang anak kecil."
"Oh, itu namanya Ratih, gurunya Angga anak saya. Saya juga heran, wajahnya persis seperti Arum. Dan itu sebabnya Angga menganggap bahwa dia itu ibunya."
"Ya Tuhan..."
"Karena gurunya itulah Angga tidak terlalu rewel, karena bu Ratih sangat bisa menghiburnya. Pokoknya dia bisa bersikap seperti ibunya."
"Aneh ya. Bukan saudara kembar?"
"Bukan, Arum anak tunggal, tidak punya saudara kembar."
"Aneh, seperti pinang dibelah dua."
"Baiklah pak Bram, saya mohon pamit.
Aryo pulang hanya membawa nomor kontak bu Suryo, perempuan yang dianggapnya nyinyir tak berperasaan itu. Baiklah, mungkin ada gunanya, gumam Aryo sambil mengendarai mobilnya, pulang.
***

Malam itu entah mengapa Arum tidak bisa tidur. Ia selalu teringat tentang pertanyaan  dokter Bram. Apakah Aryo memang ingin menemuinya? Ada perasaan tak peduli, tapi ada perasaan ingin tau, untuk apa menemuinya. 
Bayangan masa lalu, ketika hari-harinya masih dipenuhi dengan suasana manis, penuh kasih sayang dan cinta, kembali menghiasi angan-angannya.
"Benarkahkamu mencintai aku?" tanya Aryo ketika itu.
"Ah, pertanyaan macam apa itu?"
"Jawab saja, apa susahnya sih?" kata Aryo sambil memainkan anak rambut yang melingkar-lingkar dikeningnya.
"Apa sikapku selama ini tidak menunjukkan bagaimana isi hatiku?"
"Ingin mendengar saja, agar aku yakin. So'alnya aku mendapatkanmu tidak mudah, banyak saingan."
"Iih, ngaco ah !!"
"Benar kan?" 
"Buktinya aku memilih mas Aryo, itu tandanya bahwa aku cinta sama mas Aryo."
Aryo merasa senang, didekapnya kepala Arum didadanya. Lalu dielusnya rambut ikalnya.
Arum tersenyum membayangkannya. Itu sa'at manis ketika baru beberapa hari menikah. Tak pernah dibayangkannya, kalau sa'at ini dia berada jauh dari suaminya, terpisah oleh amarah yang tak terkendali. Lalu penghianatan berlanjut. Arum terisak.

Yu Siti yang tidur diranjang sebelahnya mendengar isak itu, mengangkat sedikit kepalanya, memandangi Arum yang kemudian memeluk guling. Pasti ia menyembunyikan tangisnya disana.
Yu Siti bangkit, mendekati ranjang Arum, memegang tangannya yang erat memeluk guling.
Arum mengangkat guling itu, matanya yang sembab menatap yu Siti yang memandanginya penuh iba.
"Bu Siti belum tidur?" bisiknya pelan.
"Nak Arum mengapa? Sedih ya?"
"Saya bingung bu, tak tau apa yang harus saya lakukan."
"Tenangkan pikiranmu nak, "
"Salahkah saya kalau menuntut cerai dari mas Aryo?"
"Saya dengan suami nak Arum tidak mau menceraikan nak Arum."
"Katanya juga begitu."
"Berarti dia masih mencintai nak Arum."
"Tapi dia kan sudah punya isteri?"
Menurut yu Siti, sebaiknya nak Arum bertemu nak Aryo. Bukankah selama ini kalian belum pernah bertemu, apalagi bicara? Barangkali disitu nanti nak Arum bisa mengerti semuanya, alasan dia menikah, alasan dia tak mau menceraikan nak Arum, atau mungkin masih banyak hal lainnya yang bisa dibicarakan."
"Tadi dokter Bram bertanya, apakah saya sudah bertemu mas Aryo. Itu menjadi pikiran saya, apa mas Aryo ingin menemui saya? Kok dokter Bram yang bilang, apa mas Aryo ketemu dokter Bram?"
"Tadi kan dokter Bram menelpon, mengapa nak Arum tidak menanyakannya?"
"Saya merasa ibu menghalangi saya untuk bicara banyak. Tampaknya ibu tidak setuju kalau saya kembali pada mas Aryo."
"Tampaknya begitu."
"Ibu ingin nak Arum menikah dengan dokter Bram."
Arum menghela nafas.
"Mudahkah menikah dengan seseorang walau nanti saya sudah bercerai dengan mas Aryo sekalipun? Saya suka dokter itu, karena dia baik, karena dia menjaga saya, memperhatikan saya lebih dari pasien yang lain. Tapi cinta... barangkali saya harus memikirkannya. Lagipula maukah dokter Bram menikah dengan perempuan yang sudah memiliki anak seperti saya? Ibu berpikir terlalu sempit."
"Saya juga berfikir begitu."
"Ini jam berapa bu?"
"Sudah jam sepuluh malam. Mau ke kamar mandi?"
"Tidak, mumpung tidak ada ibu, saya ingin menelpon dokter Bram, tapi bu Siti jangan bilang sama ibu ya."
"Ya nak, silahkan. Tapi sudah jam sepuluh, apakah pak dokter belum tidur?"
Arum yang sudah memegang ponselnya kembali meletakkannya dimeja. Ponsel itu jarang atau hampir tak pernah digunakan.
Yu Siti benar, ini sudah malam. Pasti dokter Bram sudah tidur.
"Besok katanya dokter Bram mau kemari, nanti nak Arum kan bisa bicara banyak."
"Kalau ada ibu?"
"Nanti yu Siti akan buat supaya nak Arum bisa berduaan."
"Bagaimana caranya?"
"Belum tau, yang penting sekarang tidurlah, semoga besok ada waktu yang baik untuk berbincang."
***

Pagi itu hari Minggu. Dengan berharap Angga tak rewel Ratih berjalan kepasar karena harus membelikan kebutuhan-kebutuhan untuk dirinya dan juga untuk ayahnya. Pak Kardi yang sudah merasa  lebih baik, sebetulnya meminta Ratih agar menemui Angga, tapi Ratih harus belanja terlebih dulu.
Disebuah toko, ia membeli sabun, handuk yang dipakai bapaknya sudah usang, oh ya, kaos, celana dalam, harus diganti dengan yang baru. Ratih agak kurang memperhatikan ayahnya karena sibuk merawat Angga. Sekarang, ketika bisa agak lama dirumah karena ayahnya sakit, baru kelihatan barang-barang yang sudah harus diganti yang baru. 
Lalu ia mampir kesebuah toko roti. Harus ada camilan untuk ayahnya. 
Sangat banyak bawaan Ratih.
Tadi pak Kardi berpesan agar perginya jangan terlalu lama.
"Nanti Angga rewel karena kamu kan sudah janji akan datang pagi-pagi," kata pak Kardi
"Iya, hanya belanja beberapa barang."
 Ratih sedang menunggu taksi, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat didepannya. Ratih melangkah menjauhi mobil itu, karena ada taksi kosong sedang mendekat kearahnya. Tapi tiba-tiba...
"Bu Ratih..?" seseorang menyapanya.
Ratih meletakkan bawaannya yang terasa berat. Ia menatap laki-laki ganteng yang baru turun dari mobil. Ia belum pernah mengenalnya.
***
Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER