SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 25
(Tien Kumalasari)
Tatapan itu masih terlekat. Tak seorangpun mendahului menyapa, karena sedang bergolak beribu rasa yang ada dikepala mereka. Tapi Aryo segera bisa menguasai dirinya.
"Selamat sore," sapanya pelan.
"Selamat sore," akhirnya dokter Bram menjawa juga
"Saya ingin bertemu dokter."
"Baiklah, tapi saya mau ke masjid dulu, sudah sa'atnya sholat maghrib. Kalau anda mau menunggu, saya akan bukakan pintu dan silahkan duduk dulu."
Aryo merasa terpukul. Karena gelisah ia justru melupakan ibadah.
"Bolehkah saya ikut?"
"Silahkan, masjidnya tidak jauh."
Pembicaraan itu mulai lancar. Segala rasa yang entah apa, sedikit mencair. Barangkali setelah merunduk dan memohon pertolonganNya, semua kemelut akan berakhir.
Ada do'a ketika bersujud, ada pinta ketika bersembah. Pastilah Allah mendengarkannya. Apalagi ketika air mata sempat titik ketika memujaNya.
***
Aryo duduk dikursi tamu, sedikit sungkan merasakan kehangatan yang disuguhkan oleh 'pesaing' nya.
"Kita belum berkenalan bukan? Nama saya Bramasto," kata dokter Bram sambil mengulurkan tangannya.
Aryo menyambutnya. Pasti dokter Bram merasa bahwa telapak tangan tamunya sedikit berkeringat.
"Aryo," kata Aryo singkat.
"Kita pernah bertemu bukan?"
"Ma'af, dalam situasi yang tidak menyenangkan. "
"Saya bisa mengerti."
"Arum masih isteri saya."
"Ya, saya juga tau."
"Apakah.. dokter adalah... calon suaminya?"
Dokter Bram ragu untuk menjawabnya. Ia tau ketika Arum mengatakan itu, adalah hanya untuk menghentikan pertikaian, atau lebih tepatnya mencegah kemarahan Bram yang kelewat batas. Tapi kalau dia mengatakan 'bukan', apakah Arum tidak akan memarahinya?
"Benarkah dokter adalah...?" Aryo mengulang pertanyaannya dengan menyimpan cemburu yang membakarnya.
"Sebenarnya begini," dokter Bram menyandarkan tubuhnya disandaran sofa, tampak sedang menata apa yang harus dikatakannya. Aryo menunggu dengan hati berdebar.
"Saya kenal dengan bu Arum karena dia pasien saya. Belum lama ini dia dioperasi karena ada tumor di rahimnya."
"Tumor? " Aryo tampak terkejut. Ia tak menyangka Arum memiliki penyakit itu.
"Tapi tidak ganas, sudah diangkat dan hasilnya baik."
Aryo bernafas lega.
"Syukurlah, menyesal saya sampai tidak mengerti akan hal itu," keluh Aryo.
"Saya banyak mendengar dari bu Suryo tentang bu Arum."
"Bu Suryo?"
"Ibunya bu Arum?"
"Ibunya Arum itu bu Martono, mertua saya."
"Oh, saya tidak tau, mungkin bu Suryo itu ibu angkatnya yang kemudian menganggapnya sebagai puterinya, entahlah."
"Dia pergi dari rumah, karena saya melakukan kesalahan yang kemudian saya sangat menyesalinya," kata Aryo lirih,
"Ya, bu Suryo sudah mengatakannya pada saya."
"Saya ingin dia kembali kerumah, demi Angga, tapi...." Aryo tak melanjutkan kata-katanya. Ia ingin berkata bahwa 'tapi Arum telah memilih calon suami baru'.
"Tapi apa? Karena anda menjadikan wanita itu sebagai isteri anda?"
Aryo terperanjat.
"Apa maksud dokter?" meninggi suara Aryo ketika mengucapkannya.
"Anda menikahi perempuan penggoda itu bukan?"
"Tidak. Siapa mengatakan itu?" Aryo mengangkat tubuhnya dari yang semula bersandar di sandaran sofa.
"Saya mendengar dari bu Suryo."
"Bohong !!" kata Aryo hampir berteriak.
Dokter Bram membelalakkan matanya.
"Bohong?"
"Itu tidak benar. Ada yang memfitnah saya !!"
"Tidak benar?"
"Saya mengusir perempuan itu malam itu juga."
Sekarang dokter Bram terkejut. Mengapa beritanya berbeda dengan kenyataannya?"
"Sebentar, saya akan mengambilkan minum," kata dokter Bram. Bukan hanya karena lupa menyuguhkan minum kepada tamunya, tapi ia juga merasa tiba-tiba tenggorokannya merasa kering.
Aryo ingin menolaknya, tapi dokter Bram keburu menghilang dibalik pintu, lalu keluar lagi sambil membawa dua botol minuman dingin.
"Silahkan pak," katanya sambil membukakan botolnya dan mengangsurkannya pada tamunya, dan menyerahkan sedotan yang dibawa bersama minuman itu.
"Terimakasih," sambut Aryo sambil meraih botol itu dan meminumnya pelan.
"Saya tidak mengerti," gumam Aryo.
"Saya juga tidak mengerti, mengapa bisa ada cerita tersebut."
"Itu sebabnya dia menggugat cerai saya?"
"Mungkin, saya tidak begitu menyelami situasi yang menimpa bu Arum."
Aryo sedikit lega, mendengar dokter Bram menyebut Arum dengan sebutan 'bu", bukan panggilan akrab seorang calon suami. Atau kerena sungkan kepada dirinya?
"Dan karena akan segera menikah dengan dokter?"
Dokter Bram tercengang. Kalau demikian halnya dia harus mengatakan yang sebenarnya. Dia tak ingin menjadi penyebab terburainya rumah tangga Arum, wanita yang dikaguminya.
"Itu tidak benar.."
"Apa yang tidak benar?"
"Saya bukan calon suami bu Arum."
Dada yang semula menyesak tiba-tiba menjadi longgar. Nafas yang tersengal dipicu kecemburuan perlahan melemah. Aryo kembali menyandarkan tubuhnya.
"Mengapa Arum mengatakan itu ketika bertemu saya."
"Mungkin dia ingin menghindar dari anda. Atau agar tak terjadi keributan disana."
"Oh.. " lalu Aryo menyadari bahwa kalau tidak dicegah pastilah akan ada 'pertarungan' disana, karena hatinya kelewat panas.
"Ketika itu bu Arum ingin membeli buku bacaan, karena merasa kesepian dirumah. Dia ingin membelinya sendiri, lalu saya mengantarkannya. Ibunya takut kenapa-kenapa, karena sesungguhnya dia belum sembuh benar."
Aryo merasa telah jatuh tersungkur dilantai. Tangan laki-laki yang menggandeng isterinya bukanlah gandengan mesra seorang calon suami, tapi gandengan seorang dokter yang menjaganya agar tidak terjatuh.
"Saya minta ma'af."
"Lupakanlah, saya bisa memahami perasaan anda."
"Bolehkah saya menemui Arum?"
"Lho, kok minta ijin kepada saya? Anda suaminya, bebas dong kalau mau menemui dia."
"Maksud saya, alamat dimana Arum tinggal. Selama ini sangat susah menghubungi dia."
"Oh, baiklah. "
Hari sudah malam ketika Aryo menuju pulang dengan menggenggam alamat dimana Arum tinggal. Ada mimpi-mimpi dan harapan yang memenuhi benaknya. Yaitu kembalinya ibu peri di kehidupan Angga. Walau didalam hati ia masih bertanya-tanya, siapa mengatakan bahwa dirinya telah menikahi Rini? Jangan-jangan perempuan gila itu. Pikirnya.
**
Ketika Aryo memasukkan mobilnya kehalaman, dilihatnya ibunya duduk sendirian di teras. Pasti bu Nastiti khawatir, bahwa kepergian Aryo kerumah dokter Bram akan membawa permasalahan baru apabila Aryo bersikap kasar.
Tapi begitu masuk rumah lalu mencium tangan ibunya, Aryo menampakkan wajah cerah.Walau begitu bu Nastiti masih merasa curiga.
"Bagaimana ?"
"Baik bu."
"Baik bagaimana? Kamu apakan dia?"
"Ibu, apa ibu merasa bahwa Aryo ini seorang tukang pukul?" katanya sambil tersenyum.
"Lalu...?"
"Aryo sudah mendapatkan alamat Arum. Besok Aryo akan menemui dia. Kalau sekarang sudah malam, nggak enak, dia kan habis sakit."
"Sakit? Sakit apa?"
"Aryo bicara banyak sama dia. Dia baik, menerima Aryo dengan baik juga."
"Mereka akan menikah?"
"Tidak. Arum hanya pasiennya. Dia kan dokter yang merawat Arum."
"Arum sakit apa?"
"Belum lama ini dia operasi tumor."
"Tumor?" bu Nastiti terbelalak.
"Tapi tumor jinak dan sudah diangkat. Sekarang Aryo sudah menemukan jawaban mengapa Arum menggugat cerai."
"Lha iya, karena mau menikah sama dokter itu?"
"Bukan bu, karena dia mengira Aryo menikahi Rini, apa Aryo sudah gila?"
"Darimana berita itu?"
"Aryo belum tahu, mungkin Rini sendiri, besok Aryo akan memaki-maki dia."
"Perempuan gendeng itu.."
"Tapi Aryo akan menemui Arum dulu, besok pagi."
"Baiklah, semoga Arum segera kembali."
Lalu Aryo melangkah kedalam rumah, dengan langkah yang lebih ringan.
Ketika melongok kearah kamar Angga, dilihatnya Angga sedang mendengarkan dongeng yang diceritakan Ratih. Aryo mendekat.
"Apakah itu dongeng tentang ibu peri ? tanya Aryo.
"Bapak sudah pulang ?" teriak Angga.
"Iya, sudah.. bobuk saja, kasihan ibu, pasti capek."
"Ibu sedang mendongeng tentang pinokio. Bapak tau nggak, kalau kita berbohong, hidung kita akan bertambah panjang."
"Iya benar, jadi Angga tidak boleh berbohong ya?"
"Iya. Lanjutin bu.."
Aryo kembali kekamarnya, membersihkan diri lalu berganti baju yang lebih santai. Setelah Angga tidur ia harus mengantar Ratih pulang. Semoga ibu perinya Angga segera kembali sehingga tak perlu terlalu merepotkan Ratih lagi.
***
Arum mulai membaca novel kiriman dari dr. Bram. Ada yang ikhlas kehilangan cinta demi kesehatan saudaranya. Aduhai. Mudahkah mengikhlaskan cinta?
Arum meletakkan bukunya, lalu berbaring diranjang. Kata-kata bu Suryo terngiang kembali ditelinganya. Kalau dokter Bram cinta, bisakah dia menyambutnya? Entahlah. Dokter Bram itu cakep, ganteng, pintar, baik, penuh perhatian, apa yang kurang? Ia suka, tapi cinta? Rasanya harus ditimbang-timbang dulu, karena rasa suka berbeda dengan cinta.
"Arum," tiba-tiba bu Suryo masuk kekamar.
"Ya ibu," kata Arum sambil bangkit.
"Pengacara kamu menelpone ibu."
"Ada apa bu?"
"Katanya pengacaranya Aryo menemui dia. Intinya Aryo menolak menceraikan kamu."
Arum terdiam.
"Mengapa mas Aryo menolak bu? Arum tidak mau punya madu, apalagi Rini."
"Ibu juga heran, apa maksudnya dia menolak? Enak saja, sudah punya isteri lagi, masih tidak mau menceraikan kamu."
"Lalu Arum harus bagaimana bu?"
"Sebaiknya kalian bercerai. ada dokter Bram yang lebih baik dari suami kamu."
Arum terdiam. Apakah kebaikan seseorang boleh dilihat hanya dari awal pertemuan? Dulu Aryo juga sangat baik, sangat penuh cinta, sangat perhatian, seperti tak ada celanya. Tapi sesuatu juga bisa menggelincirkannya kearah perbuatan yang tidak terpuji.
"Mengapa kamu tampak ragu Arum?"
"Arum bingung bu."
"Apa kamu masih mencintai suami kamu?"
Arum menggeleng lemah, gelengan yang tidak diyakininya sebagai kebenaran. Ia terus mencari barangkali ada cinta yang tersisa, karena tiba-tiba ia merasa ragu dengan keputusannya. Tapi kalau dia tidak bercerai, lalu sebagai apa dirinya ini? Isteri tua? Aduhai... tidak..
"Kalau begitu jangan lagi memikirkan suami kamu. Teruslah menuntut cerai."
Bu Suryo meninggalkan kamar Arum dengan wajah kurang senang ketika melihat keraguannya. Arum menghela nafas, lalu kembali membaringkan tubuhnya. Matanya menerawang kearah langit-langit kamar,
Malam itu entah mengapa ia teringat Aryo suaminya. Ketika bertemu itu, dilihatnya Aryo agak sedikit kurus, tapi masih tetap gagah dan ganteng. Matanya tajam, tapi ketika itu Arum melihat api menyala disana. Ada kemarahan yang tak terbendung. Arum tidak mengerti, dia bisa mengambil isteri lagi, mengapa dia marah ketika melihat dirinya sedang bersama dokter Bram? Apakah dia masih mencintainya? Ini sungguh rumit untuk dicerna. Ada rindu yang tiba-tiba melintas. Tapi segera dikibaskannya. Seandainya tidak ada perempuan murahan itu.. akan sempurnalah rindu mendekap kalbu.
***
Pagi itu Aryo menelpone ke kantor, ia akan datang lebih siang karena ada yang harus dikerjakannya. Ia sudah pulang dari mengantarkan Angga ke sekolah.
"Kamu mau kesana?"
"Iya bu, Aryo harus ketemu Arum dan mengajaknya bicara."
"Ibu boleh ikut?"
"Jangan dulu bu, nanti akan tiba sa'atnya akan bertemu ibu juga. Aryo harus bicara banyak. Meluruskan hal-hal yang tidak benar. Arum harus mengerti semuanya."
"Ya sudah, hati-hati bicaranya, takutnya dia masih marah sama kamu, lalu suasana jadi tambah panas."
"Nggak bu, nanti Aryo akan bicara maniis... Ibu tidak perlu khawatir. Kalaupaun dia masih marah, Aryo tetap akan menanggapinya dengan senyum.
Bu Nastiti mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang penuh harapan baik.
Aryo masuk kekamarnya, ia membuka almari dan memilih kemeja yang akan dikenakannya. Nah, ini dia, kemeja warna kuning muda ini dulu Arum yang membelikannya. Lalu celana abu-abu muda sepertinya ini dulu Arum juga yang memilihkan warnanya. Aryo mengambilnya dari gantungan. diletakkannya diatas pembaringan.
"Hm, bagus," gumamnya.
Selesai dikenakan, Aryo mematut dirinya didepan cermin.
"Bukankah aku ganteng?" gumamnya lagi, lalu berputar didepan kaca. Ia bergaya seperti seorang peragawan, memasukkan kedua tangannya kedalam saku, lalu tersenyum-senyum sendiri.
"Kayak orang lagi mau pacaran saja," akhirnya Aryo merasa cukup, lalu dikenakannya sepatu. Kembali kedepan cermin untuk memastikan penampilannya sudah sempurna. Baru kemudian ia keluar kamar dan mencari ibunya.
"Ibu, Aryo berangkat dulu ya," lalu diciumnya tangan ibunya.
"Anakku ganteng bener.." katanya sambil memegangi kedua lengan Aryo.
"Do'akan Aryo ya bu."
"Ibu selalu mendo'akan kamu Yo."
Aryo menuju kearah mobilnya. Kembali menatap wajahnya didepan spion, aduh, lebay sekali tampaknya.
Mobil Aryo melaju pelan. Ada senandung lirih terdengar dari bibirnya. Sebuah lagu cinta, ketika pertama kali ia akan melamar Arum. Kali ini suasananya kok mirip seperti itu ya. pikir Aryo.
Sekarang dia sudah sampai di alamat yang diberikan dokter Bram. Jalan Tanjung nomor 15. Aryo menghentikan mobilnya.
Dihalaman seorang laki-laki sedang mencuci mobil. Aryo turun dan mendekat. Dadanya berdebar kencang. Ia mendekati laki-laki itu. Tapi sebelum bertanya sesuatu, seorang wanita keluar dari pintu depan.
"No, antarkan yu Siti dulu kepasar ya," kata wanita itu.
"Baik bu."
Aryo mendekati rumah. Wanita itu menatap Aryo tak berkedip,
Aryo merasa, pastilah ini wanita yang disebut dokter Bram sebagai ibunya Arum. Kalau tidak salah namanya bu Suryo.
"Selamat pagi," sapa Aryo sambil mengangguk hormat.
"Anda siapa?" tanya wanita itu.
"Nama saya Aryo."
Bu Suryo menatap Aryo lekat-lekat. Jadi ini suaminya Arum?
"Ada perlu apa ya?"
"Saya mau ketemu Arum, saya suaminya."
Wajah wanita itu mendadak gelap, seperti langit tertutup mendung.
"Dia tidak ada." jawab bu Suryo dingin.
Aryo tertegun.
Bersambung
No comments:
Post a Comment