Saturday, July 18, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 24

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  24
(Tien Kumalasari)

Aryo mengepalkan tangannya. Ingin  memburunya lalu menghajarnya. Tapi dokter itu sudah lenyap ditikungan sana. 
"Suster, suster.. sebentar, mohon tanya," kata Aryo kepada salah seorang perawat yang tadi berjalan dibelakang dokter itu, walau agak jauh.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
"Yang baru saja lewat tadi namanya dokter siapa?"
"Yang mana?"
"Yang barusan lewat tadi, lalu belok kesana."
"O, itu dokter Bramasto, dokter bedah."
"Oh, terimakasih suster."
Dan suster itu berlalu.  Aryo melangkah pelan. Ada sedikit perasaan minder mendengar keterangan perawat itu. 
"Jadi aku bersaing dengan seorang dokter ahli? Spesialis bedah?"gumamnya lirih sambil terus melangkah.
Pastilah Arum akan memilih dia. Gagah, ganteng, lebih keren, dokter bedah. Dan dia? Hanya sarjana biasa saja yang hanya memiliki jabatan wakil direktur diperusahaan dimana dia bekerja. Tapi apakah pekerjaanku lebih rendah? Bukankah aku juga ganteng? Aduhai, perasaan galau mengusik hatinya sampai dia kembali lagi ke kantornya. 
Tapi sesampainya dikantor, timbul keinginannya akan menemui dokter bedah itu. Ia harus bisa menghilangkan rasa cemburu yang mengusiknya, demi sebuah cinta yang harus diperjuangkannya. Tak perduli dokter bedah atau dokter apapun sekalian, ia harus bisa merebut kembali Arum nya.
Dengan pemikiran itu Aryo kemudian berpamit untuk meninggalkan kantor lagi, kembali ke rumah sakit.
***

"Selamat siang," sebuah sapa terdengar didepan pintu. Bu Suryo yang sedang asyik menyulam diteras depan terkejut.
"Lho, nak dokter, ayo silahkan.. silahkan masuk," kata bu Suryo ramah.
"Ma'af mengganggu bu."
"Tidak, sama sekali tidak, silahkan masuk,"
"Disini saja bu, lebih segar udaranya."
"Baiklah, saya panggil Arum terlebih dulu ya," kata bu Suryo  sambil bergegas kebelakang. Dokter Bram  meletakkan bawaannya diatas meja, beberapa buku novel yang akan diberikannya pada Arum.
"Kalau bu Arum tidur jangan dibangunin bu, kasihan."
"Tidak, baru saja dia masuk kedalam setelah omong-omong sama saya disini," kata bu Suryo sambil terus melangkah.
"Arum, ada tamu untuk kamu," terdengar teriakan bu Suryo.
Dokter Bram menunggu. Hal pertama selain memberikan buku novel itu adalah ingin menceriterakan tentang seorang wanita yang mirip dengannya di toko buku itu kemarin sore.
Yu Siti keluar sambil membawa nampan berisi minuman.
"Silahkan diminum pak dokter."
"Terimakasih bu, kok repot-repot sih.
"Nggak pak dokter, sudah ada kok. Silahkan.."
"Terimakasih bu."
Dokter Bram menatap yu Siti, yang walau hanya pembantu tapi selalu berpakaian apik, dan diperlakukan seperti keluarga  oleh bu Suryo. 
"Selamat siang dokter," sapa Arum ramah.
Dokter Bram menatap Arum lekat-lekat. Benar-benar sama wajah itu.
"Dokter dari rumah sakit?"
"Iya, langsung kemari. So'alnya harus segera menyerahkan buku yang saya janjikan."
Dokter mengangsurkan beberapa buku yang sudaah diletakkannya dimeja.
Arum duduk dan meraih buku-buku itu.
"Ya ampuun, dokter kok sampai bersusah payah begini untuk saya, kata Arum sambil menatap buku-buku itu dan melihat judulnya."
"Tampaknya ini  buku-buku tentang cinta semuanya. SEPENGGAL KISAH, SA'AT HATI BICARA, SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA. Wauw.. menarik sekali."
"Bu Arum kan bilang suka buku-buku percintaan."
"Iya benar, saya suka. Terimakasih banyak dokter."
"Asalkan bu Arum suka, saya senang sekali."
"Pastilah saya suka, daripada kesepian tak punya pekerjaan. Habis mau melakukan apa saja dilarang oleh ibu. Padahal saya sudah merasa sehat."
"Sebentar lagi pasti pulih. Bu Arum harus sabar."
"Terimakasih dok, berkat dokter kan. Itu minumannya dokter, silahkan diminum."
"Sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu," kata dokter Bram sambil meneguk minuman yang dihidangkan yu Siti.
Arum berdebar, akan mengatakan apa kira-kira dokter ganteng ini?
"Apa itu dokter."
"Ketika saya beli buku kemarin sore, saya bertemu seseorang. Wanita cantik, bersama seorang anak kecil, yang dipanggilnya dengan nama Angga."
"Apa? "
"Sepertinya anak kecil itu anaknya. Mereka sedang memilih-milih buku."
Wajah Arum muram seketika. Itu Rini dan Angga anaknyakah?"
"Tapi wanita itu wajahnya mirip sekali dengan bu Arum."
"Haa? Masa Rini mirip dengan saya? Ogah aku.." kata Arum keras, dan kesal.
"Rini siapa?" 
"Kalau wanita itu Rini, Angga pastilah anak saya."
"Saya tidak sempat menanyakannya. Anak itu tadinya menabrak saya, sehingga buku-buku ini jatuh ke lantai. Wanita itu membantu memungutinya dan meminta ma'af, lalu mengejar anak kecil itu. Yang saya heran, wajah wanita itu mirip sekali dengan bu Arum.
Arum bingung. Jadi anak itu pasti bukan Angga. Masa wajah Rini mirip wajahnya?  
"Banyak orang mirip satu sama lain didunia ini," gumam Arum pada akhirnya.
"Mengapa sangat mirip ya, seperti pinang dibelah dua."
"Itu karena dokter membeli  buku untuk saya, jadi kebayang wajah saya," canda Arum yang sudah berhasil menghilangkan rasa kesalnya.
"Begitu ya?"
"Nak dokter, mari makan dulu, kebetulan kami juga mau makan siang," tiba-tiba bu Suryo muncul.
"Lho, bu.. kok ada acara makan siang."
"Ada dong,  kebetulan kami mau makan, nak dokter datang. Ayo Rum, ajak nak dokter keruang makan, "
***

Aryo sudah tiba dirumah sakit. Sudah jam 3 siang, ia langsung menanyakan, diruang mana dokter Bram praktek.
"Oh, ma'af pak, dokter Bram sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu," kata petugas kantor .informasi 
"Waduh, dimana ya dia praktek kalau sore hari, misalnya."
"Saya kira dokter Bram tidak praktek dirumah pak. Hanya dirumah sakit ini."
"Oh ya, bisa tau dimana alamatnya?"
"Kalau tidak salah di jalan Merpati pak, tapi saya tidak tau persisnya."
"Baiklah, terimakasih."
Aryo melangkah lunglai. Masih harus ada perjuangan. Mencari rumah dokter Bram. Kalau dia tidak mampir-mampir pasti sudah ada dirumahnya. Aryo meluncur kearah jalan Merpati. Menyusuri sepanjang jalan itu, barangkali ada terpampang nama dr. Bramasto spesialis bedah. Tapi tak ada. Ia kembali menysuri jalan yang sudah dilaluinya. Disebuah warung dia berhenti.
"Mangga mas," sapa penjaga warung.
Aryo harus membeli sesuatu, sungkan kalau hanya bertanya.
"Ada permen?"
"Perman yang mana pak, banyak permen disini."
"Sembarang saja. Yang manis."
Hm.. adakah permen pahit? Asal saja Aryo bicara.
"Ini manis semua. Yang ini ?"
"Ya.. ya.. itu."
Aryo mengulurkan uang dan penjual menyerahkan permen dan kembaliannya."
"Pak, apa bapak tau dimana rumah dokter Bramasto?"
"Dokter Bramasto? Yang ahli bedah itu?"
"Ya..ya.. benar."
"Disana pak, ujung jalan ini, kiri jalan, Rumah kecil, bercat abu-abu."
"Oh, baiklah pak, terimakasih banyak."
Aryo memutar lagi mobilnya. Ujung jalan, rumah kecil bercat abu-abu. Perlahan Aryo mengamati rumah-rumah disepaanjang jalan itu. Oh ya, dari sini kiri jalan. Lalu Aryo menemukannya. Tapi ia melihat rumah itu tertutup rapat. Ada gerbang yang terkunci dari luar. Berarti dokter itu belum pulang.
Aryo masih duduk dibelakang kemudi, berharap yang empunya  rumah segera kembali. Tapi sudah sejam lamanya ia menunggu, sang dokter ganteng belum juga pulang.
"Sebaiknya aku pulang saja dulu, mandi lalu agak malam baru kemari lagi.
Aryo menjalankan lagi mobilnya, menuju pulang. Tak disadarinya mobil dokter Bram datang beberapa menit setelah dia pergi. Barangkali belum sa'atnya untuk bertemu.
***

"Dokter Bram itu besar sekali perhatiannya terhadap kamu Rum."kata bu Suryo setelah dokter itu pulang.
"Iya bu, kan saya itu bekas pasiennya."
"Tapi dia memperlakukanmu dengan sikap yang berbeda. Ibu merasa ada sesutu dihatinya."
"Sesuatu itu apa ?"
 "Sebuah perasaan. Tampaknya cinta."
Arum berdebar mendengarnya. Cinta? Ah, sepertinya masih sangat jauh. Beberapa kali bertemu, sudah merasa jatuh cinta? Tapi cinta pada pandangan pertama itu katanya ada. Ah, Arum ingin segera masuk kekamarnya dan membaca buku-novel yang tadi diterimanya. Tapi bu Suryo masih mengajaknya bicara.
"Arum, kalau seandainya 'iya', bagaimana dengan kamu?"
"Apanya bu?" Arum pura-pura tak tau.
"Perasaan cinta itu, seandainya ada, apakah kamu akan membalasnya?"
Arum termenung beberapa sa'at.
"Dia laki-laki yang baik. Ibu yakin dia akan menjadi suami yang mencintai kamu dengan sepenuh hati. Ibu akan bahagia kalau kamu bisa menjadi isterinya.
"Tapi bu, saya kan masih punya suami."
"Tapi kan pengacara juga sedang membantu memproses perceraian kamu. Setelah kamu bercerai, kamu bebas melakukan apa saja. Mencari suami lagi.. memilih yang terbaik untuk pendamping kamu."
Arum menghela nafas. Ia suka pada dokter Bram, tapi apakah itu cinta? Atau gejala akan tumbuhnya rasa cinta? Tiba-tiba terbayang kembali kenangan bersama suaminya. Suami yang sangat dicintainya. Apakah cinta itu juga masih ada? 
"Dia sudah menyakiti kamu Arum." kata bu Suryo lagi.
"Benar bu."
"Kamu harus membangun kembali hidupmu yang porak poranda gara-gara dia. Apalagi dia sudah punya isteri."
Arum masih termenung. Mencari sampai kedasar hatinya, apakah masih ada cinta yang tersisa? 
"Mengapa aku merasa sakit hati, dan benci sekali sama Rini? Apa itu pertanda aku masih cinta sama mas Aryo? Aduhai, kalau cinta itu tak ada, tak perlu ada rasa cemburu bukan? " kata hati Arum sambil memeluk buku-buku pemberian dokter Bram.
"Apa kamu menyesal telah mengirimkan gugatan cerai untuk suami kamu?"
"Entahlah bu, Arum bingung."
"Sidang itu akan digelar beberapa hari lagi. Kamu mau hadir nanti?"
"Tidak bu, kan sudah ada pengacara," jawab Arum lalu menghela nafas panjang.
"Baiklah, istirahatlah saja dulu. Kamu belum sempat tidur siang tadi."
Arum mengangguk kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamarnya.
"KALAU CINTA ITU TAK ADA LAGI, HARUSNYA TAK ADA RASA CEMBURU"  diselaminya kata-kata itu dalam-dalam. Jadi masihkah dia cinta?
Membaringkan tubuhnya dikamar masih dengan memeluk buku-buku itu, Arum mencoba mencerna kata hatinya. Diletakkan buku-buku itu disampingnya, dan dicobanya untuk mengheningkan rasa dan hatinya. Akan dicarinya rasa cinta itu, Kalau tak ketemu juga, berarti akan berakhirlah rumah tangganya. Pasti menyedihkan, lalu titiklah air matanya.
***

Baru saja datng Aryo sudah mandi dan berpakaian rapi. Bu Nastiti yang merasa heran mendekati anaknya.
"Tumben langsung mandi, mau jalan-jalan sama Angga?"
"Tidak bu, Aryo mau menemui dokter Bram."
Bu Nastiti terkejut. Khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang membuatnya takut.
"Apa yang akan kamu lakukan? Bersikaplah dewasa Yo, jangan hanya menuruti kata hati. Kekerasan itu tak akan membuahkan sesuatu yang baik."
"Ibu, Aryo tidak akan melakukan kekerasan."
"Lalu..?"
"Ibu meminta agar Aryo merebut kembali Arum bukan?"
"Benar, tapi dengan cara apa kamu melakukannya?"
"Pokoknya ibu tenang saja.."
"Yo, kamu itu sok grusa-grusu, disuruh sabar saja susahnya bukan main. Ya sudah ibu ikut kalau begitu."
"Nggak usah bu, aduuh.. ibu nggak usah khawatir lah."
Tapi bu Nastiti masih menampakkan wajah khawatir. Aryo tersenyum dan memeluknya erat. 
"Ibu tak usah khawatir, do'akan saja agar Aryo berhasil ya."
Aryo mengambil sepatu dan mengenakannya. Ia harus tampil rapi, dan ganteng, harus itu, supaya saingannya tau bahwa dia juga ganteng dan bukan hanya dirinya. Ahaiii... itu benar, dan memang itulah yang difikirkan Aryo. Ia pergi kearah cermin besar yang terpampang diruangan tengah. Berputar putar dan meyakinkan bahwa dirinya sudah benar-benar oke.
"Seperti mau ketemu gadis yang baru ditaksir saja," gumam bu Nastiti melihat ulah anaknya.
"Aryo harus tampak ganteng dihadapan dia bu. Bukan hanya dia yang bisa menarik hati Arum, kata Aryo yang tiba-tiba bersikap kekanak-kanakan.
Mau tak mau bu Nastiti tersenyum.
"Bapak mau kemanaa?" teriak Angga yang berlari dari arah depan.
"Mau keluar sebentar."
"Angga ikut ya? Ibuuu... ayo ikut bapak .." teriaknya kepada Ratih.
"Eh, nggak bisa Angga, bapak sedang ada perlu."
"Anak kecil nggak boleh ikut?"
Aryo menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Bapak ganteng ya bu?" lagi-lagi Angga memuji bapaknya.
"Ganteng dong, kan anaknya juga ganteng," kata Aryo sambil mengangkat tubuh anaknya tinggi-tinggi. Angga terkekeh senang.
"Baik-baik dirumah sama ibu ya. Bapak hanya sebentar," katanya sambil menurunkan lagi tubuh Angga.
"Sudah hampir gelap, bermainnya jangan dihalaman Angga." pesan Aryo yang kemudian berpamit pada ibunya dan Ratih, yang menggandeng Angga agar tak berlari lagi kehalaman.
***

Aryo menghentikan mobilnya didepan rumah yang sudah didatanginya tadi sore. Ada mobil terparkir dihalaman. Berarti sang pemilik rumah sudah pulang. Syukurlah, kata hati Aryo. Aryo mematikan mesinnya lalu turun perlahan. Dielusnya kepalanya, khawatir ada rambut yang teracak dan mengurangi ketampanannya. Ehemm.. bener-bener deh.
Namun sebelum ia memencet bel tamu, seseorang keluar dari sana, mengenakan sarung dan kopiah. Aryo mengenal laki-laki itu. Memang dia dokter Bram.
Wajah tampan yang dikenalnya, yang menggandeng tangan isterinya dengan mesra, dan diakui oleh Arum sebegai calon suaminya. Ada sedikit gelegak marah, eh bukan marah, tapi cemburu. 
Mata kedua laki-laki tampan itu bertatapan. Sama-sama tampan dan rupawan. Sama-sama memiliki mata tajam dan penuh pesona. Ada banyak yang dipikirkan keduanya. Bram menerimanya sebagai kemarahan yang akan dilontarkan seperti ketika pernah dia hampir ditempelengnya. Tapi sedikit lega ketika mata itu tak menyemburkan api seperti dulu. Mau apa  dia datang.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER