SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 23
(Tien Kumalasari)
Bram mengawasi kemana gadis itu pergi, aduh.. menghilang kemana dia. Bram melangkah mengitari tuku buku yang sangat luas itu. Tadi ada anak kecil berlari lari. Tapi Bram kehilangan jejak.
"Aneh, kok wajahnya seperti bu Arum ya?" gumamnya sambil menuju kearah kasir.
Ia keluar dari toko buku itu, tapi sambil berputar sekali lagi, tapi gadis itu tak juga ditemukannya. Dokter Bram pulang dengan rasa penasaran.
"Ibuu.. aku juga mau ini..."
"Angga.. ini sudah banyak, besok lagi ya.. "
"Satu ini, yang gambar pinokio, nanti ibu ndongeng buat Angga..."
Ratih terpaksa mengambil buku itu, sambil menoleh kearah Aryo yang sudah sampai didekatnya. Entahlah tadi dia pergi kemana.
"Ya, baiklah, sudah cukup? Mana bu Ratih, biar saya bawa ke kasir," kata Aryo sambil meminta tas belanjaan berisi buku-buku.
"Waduuh, banyak sekali Angga.."
"Iya, ada buku dongeng bapak, nanti ibu mau mendongeng buat Angga."
"Hm... baiklah."
Aryo membayar semua belanjaan Angga.
"Kita pulang?"
"Boleh minta es krim?" tanya Angga.
"Tuh, kan, sudah beli buku banyak, masih mau minta es krim juga."
"Satu saja bapak..."
"Baiklah, biar bapak bayar dulu belanjaan kamu ini ya.."
***
Dirumah makan itu mereka hanya minum, dan makan makanan ringan.
"Kasihan ibu sudah masak buat makan malam," kata Aryo.
"Iya, tadi eyang masak ayam goreng kesukaan Angga."
Angga yang semula asyik melahap es krimnya, tiba-tiba menggamit Ratih.
"Ibu, Angga pengin pipis.."
"Ayo pipis sama bapak saja ya," kata Aryo sambil berdiri.
"Nggak mau, Angga mau sama ibu."
"Aduuh, Angga mengapa nggak mau sama bapak?"
"Ya sudah nggak apa-apa, ayo kekamar mandi," kata Ratih sambil menggandeng tangan Angga.
Aryo menatap punggung keduanya dengan menggeleng gelengkan kepalanya. Angga sudah terlalu bergantung pada Ratih, dan itu membuatnya was-was. Ia ingin Arum segera kembali, dan pengacara sudah berjanji akan mengusahakannya.
Tiba-tiba seseorang menepuk lengannya. Aryo menoleh dan seketika matanya melotot marah.
"Mau apa kamu ?"
"Aduh, pak Aryo galak bener sih kalau sama Rini, nggak ingat ya, kala malam itu kita..."
"Tutup mulut kamu dan pergi dari sini," hardik Aryo.
"Tunggu pak,ada sebuah informasi penting."
"Jangan bohong dan mengada-ada, aku tak butuh informasi apapun dari kamu."
"Ini benar, apa bapak sadar bahwa ada dua Arum dikehidupan bapak?"
"Apa??"
"Saya tau itu."
"Kamu tau darimana?"
"Ada pokoknya, dan informasi ini akurat."
"Kamu tau dimana Arum?"
"Saya butuh uang untuk makan pak."
"Kurangajar, kamu ingin memeras saya?"
"Ya sudah kalau nggak mau."
"Riniiii..." tiba-tiba Angga yang digandeng Ratih berteriak memanggil.
"Pergilah."
"Tapi pak."
"Pergiiii!!" hardiknya penuh amarah.
"Pak.. kalau bapak ingin informasi lebih lengkap, telephone saya. Ini nomornya. Tapi ini tidak gratis, kata Rini sambil meletakkan sesobek kertas bertuliskan nomor ponselnya.
"Pergii!!" hardik Aryo lagi.
Dan Rini pun membalikkan tubuh lalu melangkah pergi.
"Itu yang namanya Rini?" tanya Ratih begitu sampai didekat Aryo.
"Mengapa Rini pergi lagi?" kata Angga sambil menatap punggung Rini yang keluar dari rumah makan itu.
"Rini sudah tidak mau bersama kita. Sudah, habiskan es krim kamu, lalu kita pulang."
Ratih melihat sorot mata dingin yang membuatnya sedikit takut. Ia membantu Angga menyendok es krimnya. Dilihatnya Aryo meremas kertas yang tadi dia lihat diletakkan Rini diatas meja.
"Mengapa diremas-remas?"
"Nomor telepone tidak berguna. Dia hanya ingin memeras saya."
"Jangan pak, biar saya simpan, siapa tau berguna disuatu hari nanti," kata Ratih sambil mengambil remasan kertas itu, lalu dimasukkannya kedalam tasnya.
***
Tapi malam itu Aryo teringat kembali kata-kata Rini, bahwa dia tau ada dua Arum. Dua wanita berwajah sama. Kalau begitu Rini tau tentang Arum. Jangan-jangan dia tau banyak tentang Arum. Ia harus menghubungi Rini, menanyakan semuanya, tapi nomor telpone itu telah diremasnya dan.. oh tidak.. Aryo ingat .. Ratih telah menyimpan remasan kertas berisi nomor telephone itu. Lagi-lagi Aryo memuji Rini. Gadis itu luar biasa. Lalu ia ingin menelpone Ratih dan menanyakan tentang nomor telephone itu, tapi sudah malam. Hampir jam duabelas, pasti Ratih telah tertidur.
"Lebih baik besok pagi saja. Pagi-pagi Ratih pasti sudah datang kemari, membantu Angga bersiap kesekolah,"gumamnya.
Aryo mencoba memejamkan matanya, malam sudah larut, tapi alangkah sulitnya terlelap. Bayangan demi bayangan menari dikepalanya. Dan bayangan paling menyakitkan adalah ketika melihat tangan laki-laki ganteng menggandeng tangan Arum, begitu hamgat, penuh perhatian. Aduhai, apakah ini balasan dari kelakuan yang pernah dilakukannya bersama Rini? Aryo mencoba mema'afkan laki-laki itu, seperti dia juga berharao agar Arum juga mema'afkan perbuatan tak senonohnya.
"Bapaaaak," teriakan Angga menyadarkannya.
Aryo bangkit dan setengah berlari menuju kamar Angga yang memang bersebelahan dengan kamarnya. Dilihatnya Angga sudah terduduk sambil menangis.
"Angga.. sayang... ayo bobuk lagi ya, biar bapak tidur disini, ayo bobuk."
"Mana ibu peri..."
"Ssh..shh... bobuk ya," kata Aryo sambil menepuk-nepuk pantat Angga.
"Ibu peri..." katanya lirih, sambil kembali memejamkan matanya.
"Ibu peri akan datang kemari, bapak janji.." bisiknya ditelinga Angga yang kembali terlelap.
Trenyuh Aryo, berlinang air matanya sambil mengelur kepala Angga dengan rambut ikalnya. Aryo teringat, ketika sa'at-sa'at manis bersama Arum, ia suka sekali mempermainkan rambut ikalnya yang tergerai didahi. Mengelusnya kebelakang, lalu kembali lagi, dielusnya lagi..
"Kembalilah Arum, demi anak kamu.. demi aku.. demi cinta kita dan hari-hari yang pernah kita lalui," bisiknya.
***
Pagi itu Aryo bangun kesiangan. Ratih yang penuh pengertian melarang bu Nastiti membangunkannya.
"Bu, tampaknya pak Aryo kecapean, biar saya sama Angga naik taksi saja."
"Kasihan nak Ratih kalau harus buang-buang uang, kalau begitu biar ibu yang membayar taksinya.
"Bu, uang gaji saya hampit utuh, karena setiap hari ketika saya pulang ibu selalu membawakan nasi beserta lauk pauknya buat bapak."
"Ya tidak apa-apa to nak, kan nak Ratih tidak pernah sempat memasak buat bapak, karena sibuk mengurusi Angga."
"Sungguh saya jadi nggak per nah masak bu. Itu sebabnya uang saya hampir utuh. Jafi biar saja saya yang membayar taksinya."
"Angga pengin naik becak saja, boleh?" tiba-tiba Angga berteriak.
"Oh ya, bagus kalau begitu, ibu lihat banyak becak mangjkal dluar sana."
"Horeee... asyiik.."
"Klau begitu kita berangkat sekarang yuk. Ambil tas kamu, dan pamit sama eyang."
Bu Nastiti menatap kepergian mereka dengan rasa terharu. Ratih sangat pintar menyenangkan hati Angga. Ketika ia masuk kerumah setelah mengantarkannya sampai kejalan, dilihatnya Aryo baru keluar dari kamarnya.
"Lho, kok sudah sepi?"
"Baru saja berangkat, Angga ingin naik becak."
"Mengapa Aryo tidak dibangunkan bu?"
"Nak Ratih melarang. Kasihan katanya. Mungkin ia tau kamu sedang banak pikiran."
Aryo menghela nafas, lalu duduk dimeja. Diraihnya cawan minumnya lalu dihirupnya perlahan.
"Sudah dingin."
"Biar ibu buatkan lagi yang hanyat Yo."
"Nggak usah bu.. ini sudah cukup."
"Mandi dan sarapan sana, sudah ibu siapkan dimeja."
"Sebentar bu. Aduh, terlambat ya aku."
"Ini masihpagi, kalau kamu segera mandi dan sarapan tidak akan terlambat."
"Bukan, terlambat ketemu bu Ratih."
"Memangnya ada apa?"
"Dia menyimpan nomor kontaknya Rini."
"Kok bisa?"
Lalu Aryo menceritakan perihal pertemuannya dengan Rini dirumah makan itu, dan catatan nomor ponsel yang nyaris dibuangnya tapi kemudian disimpan oleh Ratih.
"Kamu mau menghubungi Rini? Nanti malah jadi panjang urusannya. Anak itu kan suka bikin heboh."
"Dia tau kalau ada dua orang yang mirip Arum, berarti dia tau tentang Arum, atau mungkin pernah bertemu Arum."
"Pasti ada sesuatu yang diinginkannya."
"Ya bu, uang.. Tapi kalau benar dia bisa memberitahu tentang Arum, Aryo akan membayarnya seperti yang dia minta."
"Tapi mengapa harus tergantung Rini? Beberapa hari lagi ada sidang. Siapa tau dalam sidang nanti Arum akan datang?"
"Masih beberapa hari lagi, Aryo nggak sabar menunggu bu."
"Jadi orang itu harus sabar to Yo, kamu malah membuat senang hati Rini. Nanti dia keterusan membuat berita-berita tentang Arum yang nggak jelas ujung pangkalnya.
***
Tapi Aryo sungguh tidak sabaran. Ie menghubungi Rini yang mengencaninya disebuah rumah makan, setelah mendapatkan nomor ponselnya dari Ratih. Sebel Aryo sebenarnya.
Disebuah rumah makan itu Rini makan dengan lahap. Beberapa porsi makanan dipesannya, dan dilahapnya habis. Aryo muak melihatnya, dan merasa bahwa Rini sedang memperpanjang waktu pertemuan.
"Mengapa pak Aryo tidak makan?" kata Rini dengan mulut penuh makanan.
"Nggak, melihat kamu makan seperti orang kelaparan sudah mual perutku." sahut Aryo tanpa melihat kearahnya.
Aryo makan sama sekali tidak memesan minuman apapun.
"Segera katakan apa yang ingin kamu katakan."
"Saya butuh uang," katanya setelah memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Ya aku tau, tapi jangan mengharpkan uangnya sebelum aku mendengar seberapa berharganya informasi itu."
"Oh, pasti pak Aryo senang mendengarnya."
"Cepat jangan berlama-lama. Waktuku tidak banyak."
"Taukah pak Aryo bahwa bu Arum belum lama ini menjalani operasi dirumah sakit?"
"Apa?"
"Entah yang mana yang bu Arum asli, tapi saya sering melihatnya bersama seorang perempuan yang kelihatannya kaya, tapi galaknya seperti setan. Saya pernah didampratnya."
"Arum operasi dirumah sakit?"
"Iya, tapi sekarang sudah pulang."
"Alamatnya ?"
"Kalau bapak mau bertanya kerumah sakit, pasti bapak akan mengetahui alamatnya."
"Rumah sakit pusat?"
"Ya, dimana lagi? Sekarang saya sudah kenyang, dan saya minta uang yang bapak janjikan."
Aryo mengeluarkan dua lembar uang ratusan. Rini mencibir. Cibiran yang sama sekali tidak mempercantik wajahnya.
"Apa maksudmu?"
"Informasi ini sangat berharga, mengapa hanya duaratus ribu?"
"Berapa?"
"Satu juta."
"Kamu sudah gila !!"
Aryo meletakkan lima lembar ratusan ribu lalu berdiri dan melangkah keluar.
"Hanya itu, dan sekalian buat bayar makananmu itu!!" katanya sambil berlalu.
Rini memunguti uang yang terserak dimeja karena Aryo meletakkannya dengan kasar. Dengan mengomel panjang pandek pergi kearah kasir untuk membayar makanannya.
***
Siang itu juga Aryo pergi kerumah sakit. Dia menghubungi perawat di klinik bedah. Dan mendapat keterangan memang benar Arumsari pernah operasi disana.
"Bisakah saya tau dimana alamatnya?"
"Sebentar saya cari ya pak.."
Aryo menunggu dengan harap-harap cemas. Ia yakin kali ini akan bisa menemui isterinya. Ia menunggu tak lama karena perawat itu sudah mengatakan dimana alamat Arumsari. Tapi celakanya, alamat yang tercantum adalah alamat rumahnya sendiri. Alamat dimana Arum dan dirinya tinggal.
Aryo mengucapkan terimakasih dengan perasaan kecewa. Informasi dari Rini memang benar, tapi ia tetap belum bisa menemukan alamatnya. Benar kata ibunya, bahwa ia harus bersabar.
Aryo melangkah keluar, dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tampan dengan atribut dokter bersimpangan dengannya. Aryo mengingat ingat. Astaga, bukankah dia laki-laki yang menggandeng Arum itu?
Aryo berdiri terpaku.
"Rupanya dia seorang dokter," gumamnya perlahan. Perasaan cemburu kembali mengusik batinnya.
***
Berambung
No comments:
Post a Comment