SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 22
(Tien Kumalasari)
Bu Nastiti menatap anaknya, ada rasa syukur tersirat disana. Ia berharap perpisahan itu tak terjadi.
"Iya Yo, ibu setuju.. Angga harus mendapatkan ibunya kembali. Tidak baik perpisahan itu."
"Tapi bagaimana kalau Arum tetep minta cerai bu, so'alnya dia sudah punya calon, gagah, ganteng, mobilnya lebih bagus dari mobil Aryo.," kata Aryo sedih.
"Usahakan untuk bertemu. Atau sebaiknya ketika persidangan nanti kamu ikut hadir, disana kalian bisa berkomunikasi dengan baik. Ingatkan dia akan Angga. Tak mungkin dia bisa melupakan Angga begitu saja."
Aryo termenung. Begitu mudahkah? . Tapi ia masih teringat ketika bertemu, Arum menatapnya penuh kebencian. Dan lagi-lagi Aryo merasa kemarahannya memuncak setiap kali ia teringat akan tangan laki-laki yang menggandeng Arum dengan mesra. Menggandengnya sejak turun dari mobil sampai berjalan ditrotoar yang kemudian Aryo mengejar dan hampir menempeleng pelipisnya.
"Laki-laki setan itu akan merebut isteriku," gumamnya dengan geram.
"Sudah Yo, nggak usah diingat ingat lagi. Selama ini kalian belum pernah bertemu, apalagi bicara. Ibu masih berharap kalian bisa berbaikan. Kalau saja ibu bisa bertemu dia, barangkali ibu bisa membantu untuk bicara.Semangat Aryo, Rebut lagi isterimu !!!."
"Aryo akan menemui pengacara itu dulu bu, do'akan semoga semuanya menjadi baik."
"Ibu selalu mendo'akan demi kebaikan kalian Yo. Jangan patah semangat hanya karena ada laki-laki yang melebihi semuanya denganmu. Siapa tau masih ada cinta yang tersisa dihati Arum, demi anak semata wayangnuya."
"Bapaaaak, ayo kita berangkaat," teriak Angga dari arah depan."
Aryo tersenyum melihat jagoan kecilnya sudah rapi dan berjalan sambil menarik tas kecil dengan roda dibawahnya.
***
"Bu Siti... lagi masak apa?" kata Arum yang tiba-tiba masuk kedapur.
"Lho, nak Arum ini bagaimana, wong disuruh banyak istirahat kok malah masuk kedapur."
"Ya capek bu, masa disuruh tiduran terus, aku kan sudah tidak apa-apa."
"Kalau capek tiduran ya duduk didepan teve, nanti yu Siti buatkan camilan.."
"Saya ingin membantu masak bu Siti."
"Jangan nak, sudah, biar yu Siti menyelesaikan sendiri, ini sudah hampir selesai."
"Masak apa sih bu?"
"Cuma sayur asem, pecel, ceplok terur, tahu tempe bacem. Ini sudah hampir selesai, tinggal goreng telurnya."
"Kalau begitu biar saya duduk disini saja.. Haa.. tahu bacemnya sudah matang, boleh ngicipin?"
"Boleh.. boleh.. rasakan.. barangkali kurang manis atau asin.."
"Hm, sudah enak kok bu, bu Siti ini memang jago memasak."
"Walaah, kok mujinya kebangeten begitu.. ya. Semua perempuan pasti bisa masak. Nak Arum kalau dirumah sendiri kan juga masak? Atau ada pembantu?"
"Nggak punya bu, saya masak sendiri, tapi masakan dari lain tangan itu beda rasanya lho bu, biar bumbunya sama."
"Ah, nak Arum ada-ada saja. Pasti memang pengin buat hati yu Siti senang kan?"
"Bu Siti tuh, beneran bu, enak kok."
"Syukurlah kalau nak Arum suka."
"Bu, kira-kira ibu perginya lama nggak ya?"
"Ibu tadi bilang mau ke bank. Biasanya lama, apalagi kalau mampir-mampir, beli ini.. beli itu.."
"Saya ingin bu Siti cerita."
"Cerita apa nak?"
"Cerita tentang anak ibu itu."
"Ah, susah ngomongnya nak, namanya orang lagi kepepet, bingung, nggak tau harus bagaimana, ya itulah yang terjadi nak. Anak sendiri dikasihkan ke orang."
"Jadi kedua anak kembar itu ibu kasihkan ke satu orang?"
"Tidak begitu nak, tapi janji ya, nak Arum jangan cerita ini sama bu Suryo, nanti saya dimarah-marahi lagi."
"Iya, janji bu.."
"Saya ini memang bodoh, atau keterlaluan, atau gampang putus asa, entahlah.. Keadaan ketika itu membuat saya bingung. Saya mencintai anak-anak saya, tapi terpaksa melepaskannya. Tak lain karena ingin anak-anak itu hidup layak. Kalau masih bersama ibunya, entah bagaimana anak-anak itu. Pasti kurus, sakit-sakitan, kurang makan..sedangkan saya saja kadang bisa makan kadang tidak. Dengan kedua anak kembar, bagaimana saya bisa mencari uang untuk hidup?"
Wajah itu mendadak redup. Telur yang digoreng sudah siap lalu diletakkannya diatas meja. Setelah mematikan kompor dan mencuci tangan, yu Siti duduk dihadapan Arum yang mendengarkan kata-katanya penuh perhatian.
"Saya tidak membuang anak itu, sungguh, saya hanya ingin mereka hidup layak," katanya setengah terisak.
Arum menepuk nepuk tangan yu Siti.
"Iya bu, saya bisa mengerti."
"Ketika itu, keadaan sangat membingungkan saya. Saya tak tau harus berbuat apa. Saya miskin, janda yang ditinggal mati suami. Tak berdaya..."
Arum mengangguk angguk sambil terus menepuk-nepuk tangan yu Siti.
Lalu ia menceritakan bagaimana ia menyerahkan anaknya kepada seorang wanita, untuk membayar biaya persalinan.
"Apakah bu Siti tau dimana rumah wanita itu?"
"Awalnya saya diajak kerumahnya, diberinya makan dan uang untuk membayar beaya persalinan."
"Berarti bu Siti tau dimana rumahnya kan? Kalau ingin bertemu anak bu Siti kan tidak susah?"
"Ketika itu dia mengatakan bahwa bayi itu sudah menjadi anaknya, dan saya tak boleh menemuinya. Beberapa bulan kemudian ketika saya lewat dirumah itu, dia sudah pindah entah kemana."
"Oh, ya ampuun.."
"Ya sudah, saya iklaskan, karena tampaknya dia wanita yang baik."
"Bagaimana dengan bayi satunya?"
"Setelah saya bayarkan beaya rumah sakit itu, mereka mengijinkan saya membawa anak saya. Tapi saya tidak punya rumah lagi karena tidak kuat membayar sewanya.Ketika itu saya jatuh sakit, terkulai ditepi jalan, dengan bayi masih dalam gendongan. Dan lagi-lagi seorang wanita mendekati saya.
"mBak, anakmu menangis, mungkin lapar.."
"Tangan lemah saya menarik kepala bayi saya dan menyusuinya, dengan bersandar pada tembok dan mata terpejam.
"Sampeyan sakit?"
Saya hanya mengangguk lemah.
Wanita itu pergi, tapi tak lama dia kembali membawa bungkusan.
"Ini nasi, makanlah mbak. Anaknya cantik, biar saya menggendongnya sebentar," kata wanita itu, yang lalu meraih bayi saya dan digendongnya. Ketika itu bayi itu sudah tidak lagi menangis, pulas dalam gendomgan wanita itu.
"Makanlah mbak, biar saya bawakan dulu anak ini."
"Terimakasih banyak."
Lalu saya memakan beberapa suap nasi yang dibawakannya. Tidak tertelan, badan saya gemetar.
"Kamu sakit mbak? Mau saya antar ke dokter?"
"Tidak bu, maukah ibu merawat anak saya?"
"Maksudnya?"
"Saya tak kuat lagi bu, saya tak akan bisa merawatnya, kasihanilah dia."
"Ya Tuhan, saya tidak punya anak seorangpun, suami saya pasti senang. Saya akan membayarnya mbak."
"Tidak.. tidak.. saya tidak menjualnya, tolong rawat dia dengan baik."
"Saya janji, saya akan merawatnya seperti anak kandung saya mbak. Tapi mbak sakit, saya antar ke dokter."
"Tidak usah, jangan pikirkan saya."
Tapi wanita itu meletakkan beberapa uang ratusan, diletakkan didekat saya.
"Pergilah berobat mbak, pakai uang ini."
"Saya tak mampu menolak, dia pergi dengan membawa buah hati saya."
Lalu yu Siti menangis terisak isak.
Arum ikut berlinangan air mata mendengar kisah menyedihkan itu. Digenggamnya erat tangan yu Siti.
Ketika itulah saya bertemu bu Suryo. Ketika saya berdiri tertatih dan ingin membeli obat, bu Suryo sedang berjalan sendirian. Saya berjalan sempoyongan, lalu bu Suryo menangkap tubuh saya. Ia wanita yang baik. Dengan mobilnya saya dibawa kerumah sakit. Saya mendapat obat dan dirawat dirumahnya, sampai sembuh, dan sampai sekarang ini saya masih mengabdi kepada penolong saya.
Arum yang berilinangan air mata sangat terharu mendengar kisah memilukan itu. Rupanya ada yang lebih menderita daripada dirinya. Bu Siti, memendam duka selamapuluhan tahun karena harus melepaskan kedua anak kembarnya.
"Saya tak tau siapa yang membawa anak-anak saya, dimana rumahnya..entahlah."
"Bu Siti, sudahlah, anggap saya sebagai anak bu Siti yang hilang ya. Saya suka bisa menjadi anak bu Siti. Ini membahagiakan saya."
Yu Siti menatap Arum lekat-lekat, lalu ia teringat tahi lalat didekat pusar Arum, yang mengingatkan dia akan anaknya. Ada getaran yang tak dimengertinya ketika mereka bertatapan, seperti ada ikatan yang tak disadari oleh keduanya.
***
"Rupanya dia sudah pulang," gumam Rini ketika sedang melakukan tugasnya.
"Dia siapa?"
"Bu Arum.."
"Itu lagi...? Nggak bosan kamu memata-matai dia terus ?"
"Bukan memata-matai, aku pas lewat, katanya sudah pulang."
"Kalau ada yang jawab berarti kamu bertanya dong."
"Kamu itu nggak tau ya Wur, mengapa aku selalu mengamati dia. Dia itu ada kembarannya, tau."
"Memangnya dia anak kembar?"
"Setauku tidak."
"Mengapa kamu bilang ada kembarannya?"
"Aku melihat wanita yang wajahnya seperti bu Arum, dirumah pak Aryo. Kamu selalu memarahi aku kalau aku bicara tentang hal itu. Tapi keanehan itu belum terjawab dan aku terus penasaran."
"Ya kalau penasaran memangnya kamu itu kenapa, bukan urusanmu kan?"
"Bukan sih... tapi aku kangen sama dia."
"Tuh kan, kumat gilanya.."
"Kamu itu tidak pernah tertarik sama orang ganteng ya?"
"Kalau aku tertarik ya pasti bukan suami orang lah.. beda sama kamu."
Rini termenung, dia sedang mencari jalan untuk bertemu Aryo dan menanyakan adanya wanita kembar itu. Sekaligus berharap, barangkali ia bisa mendapatkan uang.
"Bagaimana ya caranya?" gumamnya lirih.
"Cara untuk apa?" rupanya Wuri mendengarnya.
"Nggak.. nggak apa-apa.."
"Awas ya, jangan berulah macam-macam kamu."
***
"Bu Ratih, maukan menemani Angga beli tas sore ini?"tanya Aryo sepulang dari kantor. Ia pulang agak sorean karena tak banyak yang dikerjakannya.
"Terserah pak Aryo saja. Angga juga sudah mandi."
"Kalau begitu bu Ratih juga sudah mandi?"
"Ya sudah lah pak, saya itu disini kan malah seperti dirumah sendiri, datang, makan,mandi.. main-main."
"Ya iyalah bu, saya senang kalau bu Ratih bisa menganggap rumah ini rumah sendiri. Kalau begitu saya juga mau mandi sebentar," kata Aryo sambil masuk kekamarnya.
"Angga, sini," teriak Ratih memanggil Angga.
"Jadi mau beli tas sekolah tidak?"
"Iya dong bu? Kapan?"
"Bagaimana kalau sekarang?"
"Sekarang? Horeeee... Angga mau..." teriak Angga kegirangan.
"Kalau begitu ayo ganti baju kamu dulu."
Angga ber;lari masuk kekamar, membuka baju dan memilih-milih mana yang akan dikenakannya.
"Ibu mau ikut tidak?" tanya Ratih pada bu Nastiti.
"Kemana?"
"Pak Aryo mengajak beli tas sekolah buat Angga, mungkin karena sedang tak banyak pekerjaan dikantornya."
"Oh, baguslah. Tapi ibu nggak usah ikut saja. Capek nanti ngikutin Angga lari-lari kemana-mana."
"Iya ibu benar. Saya menggantikn bajunya dulu ya bu."
"Ya baiklah, ibu mau bersih-bersih kamar ibu saja, dari kemarin belum sempat,"
Begitu selesai ganti pakaian, Angga sudah berteriak-teriak.
"Bapaaak, Angga sudah selesai.. "
"Ya, bapak tinggal ganti baju."
"Angga ganteng sekali nih, pinter milih bajunya.." kata Ratih sambil mencium pipi Angga.
Alangkah senangnya hati Angga, karena bisa belanja keperluannya sendiri bersama ayah dan 'ibunya'.
"Nanti Angga mau minta tas sekolah, buku-buku gambar, buku-buku yang ada ceritanya, ya kan bu?"
"Iya sayang, banyak buku yang bisa Angga pilih nanti. Duuh... senengnya..."
"Kata bapak, nanti kalau Angga sudah pindah sekolah, ibu tidak lagi mengajari Angga, apa benar bu?"
"Iya sayang. Kalau Angga sudah pindah sekolah, berarti Angga sudah lebih besar. Berarti juga gurunya berbeda."
"Kalau begitu Angga nggak jadi saja.."
"Lho, nggak jadi apa?"
"Nggak jadi pindah sekolah saja. Biar ada ibu terus."
"Tidak sayang, kalau kamu tetap disekolah yang lama, kamu tidak akan bertambah pintar. Nanti disekolah baru Angga akan dijarin menulis, membaca. Jadi lebih banyak yang bisa Angga ketahui. Kalau disekolah lama, Angga akan tetap seperti anak kecil. Mau pintar nggak?"
Angga mengangguk.
"Nah, kalau mau pintar harus pindah sekolah, tapi kan sekolahnya tidak jauh-jauh dari ibu. Kalau istirahat, ibu bisa kesekolah Angga yang baru."
"Benar?"
Ratih mengangguk sambil tersenyum.
"Sudah siap? Kita berangkat?" tiba-tiba Aryo sudah berada diantara mereka, dengan pakaian rapi dan siap untuk pergi.
"Eh.. bapak sudah siap, bapak ganteng juga kan bu?" celoteh Angga sambil menatap bapaknya.
Ratih tersenyum, sambil melirik sekilas kearah Aryo.
Aryo tertawa senang.
"Ganteng dong, bapaknya siapa dulu."
"Bapaknya Anggaaaa," kata Angga sambil berjingkrak.
"Bu, kami pergi dulu ya,"
***
Angga berlari kesana kemari ditoko buku itu. Ia sudah memilih tas merah bersetrip biru, ada gambar-gambar bintang-bintang kartun kesayangannya. Ia melihat-lihat buku, menuding dan minta agar Ratih mengambilnya lalu ditaruh didalam tas belanjaan.
Angga masih berlari kesana kemarin, sementara Aryo hanya melangkah perlahan sambil mengikuti mereka tapi terkadang berhenti apabila ada yang menarik hatinya.
Disudut yang lain, dokter Bram sedang mmilih-milih buku novel yang akan diberikannya pada Arum. Ia ingat, Arum minta novel dengan cerita-cerita ringan. Kisah percintaan. Ia sedang memilih-milih lalu mengambil beberapa buku ketika seorang anak kecil menabraknya.
Dokter Bram terkejut, buku yang baru saja diambilnya jatuh kelantai. Serta merta Ratih berteriak.
"Eeh.. ma'af.. ma'af ya pak. Aduuh... Angga nakal ya?"
Ratih membantu mengambil buku dokter Bram yang terserak.
"Ma'af ya pak.." Kemudian dia melangkah cepat memburu Angga yang sudah berlari kearah lain.
Dokter Bram terpana. Ia sempat menatap wajah cantik itu, wajah yang sangat dikenalnya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment