SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 21
(Tien Kumalasari)
Ratih diam, benarkah apa yang didengarnya? Aryo akan menjadikannya ibunya Angga? Ibu yang sesungguhnya dan itu berarti Aryo melamarnya? Aduhai. Memang benar Ratih suka, atau memang memendam rasa suka kepada laki-laki ganteng disampingnya, tapi ucapan yang serta merta itu sama sekali tidak membuatnya bahagia. Belum lama Aryo mengatakan bahwa dia masih mencintai Arum, dan beberapa menit kemudiaan melamarnya menjadi isteri? Tidak, Ratih tidak suka itu. Cinta akan indah apabila didasari saling suka yang tulus. Ia yakin Aryo tidak tulus. Artinya dirinya hanyalah sebagai pelarian dari kegagalaan rumah tangganya bersama Arum.
"Ma'af, kalau saya terlalu lancang, "
Ratih menoleh kearah Aryo. Dilihatnya wajah penuh luka yang membuatnya iba.
"Anggap saja saya tak pernah mengucapkannya. Sekali lagi ma'af.." kata Aryo penuh sesal.
"Tidak apa-apa. Permasalahannya bukan saya mau atau tidak, berkenan atau tidak. Saya hanya minta agar pak Aryo tidak terburu nafsu. Kegagalan dan kesedihan yang bapak rasakan harus dituntaskan terlebih dulu. Jalan untuk mencapai kebahagiaan itu pasti ada. Endapkan pikiran pak Aryo, biar Angga saya yang tangani."
Aryo terpana mendengar kata-kata Ratih. Ratih benar-benar perempuan yang luar biasa. Ia sempurna untuk menjadi ibu, sempurna menjadi sahabat, dan sempurna menjadi ibu guru.
"Ma'afkan saya."
"Sudah, tidak ada yang perlu dima'afkan. Yang penting pak Aryo harus bisa menenangkan pikiran, dan menghadapinya dengan hati yang bersih."
"Terimakasih bu Ratih, terimakasih banyak."
"Ma'af kalau saya lancang."
"Tidak, saya justru merasa seperti seorang murid yang sedang menerima petuah guru." kata Aryo sambil tersenyum.
"Nyindir ya, mentang-mentang saya guru."
"Itu benar, saya tidak bercanda. Dan saya juga merasa menemukan sahabat yang benar-benar sahabat. Yang mengerti akan saya, anak saya, keluarga saya dan semua situasi yang melingkupinya."
"Itu karena saya 'ibunya Angga' bukan?"
"Semoga ibunya Angga yang sejati bisa berfikir seperti bu Ratih."
"Pasti dia juga punya pikiran yang sama. Situasilah yang menyebabkan dia seperti itu. Menurut saya, coba temuilah bu Arum dan ajak dia bicara."
"Dimana saya bisa menemuinya? Saya menyesal kemarin tidak mengikutinya. Semuanya jadi seperti kacau."
"Tenang pak Aryo. Pasti nanti ada jalan yang terbaik untuk semuanya."
***
"Nak Arum, kok sudah bangun?" kata yu Siti yang sedang membuat teh pagi haru itu.
"Saya ingin minum teh disini bu, dimeja dapur." kata Arum sambil duduk didepan meja.
"Oh, ya nggak apa-apa nak, ini sudah saya buatkan. Tampaknya ibu belum bangun."
"Iya bu."
"Ini tehnya, yu Siti juga membuat singkong rebus lho, baru saja diangkat, masih panas."
"Wah, enak sekali itu bu, saya suka."
"Ya sudah, tehnya diminum dulu, ini singkongnya, ditunggu kalau sudah dingin."
"Baunya sedap benar."
'Itu saya kasih daun salam sama sedikit garam, rasanya jadi gurih."
"Iya, sudah kelihatan dari aromanya."
"Bagaimana lukanya, sudah kering nak, beberapa hari nak Arum mengganti sendiri verbannya, sehingga yu Siti tidak tau bagaimana perkembangannya."
"Sudah kering bu, agak gatal-gatal sedikit. Tapi lambat laun rasa gatal itu ilang sendiri."
"Biasanya luka itu kalau mau sembuh pasti terasa gatal-gatal begitu. Tapi awas ya, jangan digaruk."
"Nggak bu, saya sudah tau kok. Sini, bu Siti duduk didekat Arum sini."
"Baiklah, yu Siti matikan kompornya dulu. Nanti kalau ibu bangun simbok mau ke pasar dulu."
"Kan masih nanti bu, duduk dulu disini menemani makan singkong rebusnya."
Yu Siti duduk dihadapan Arum. Dipandanginya wajah cantik yang sudah tidak begitu pucat seperti kemarin. Berdesir hati yu Siti. Wajah itu seperti sangat dikenalnya.
"Mengapa bu Siti memandangi saya seperti itu?" Ada yang aneh? Bedak celemotan ya?"
Yu Siti tersenyum.
"Tidak nak, nak Arum cantik."
"Ah, sudah sering bu Siti mengatakan itu. Pasti ada sesuatu yang bu Siti pikirkan, tentang saya?"
"Saya teringat anak saya nak."
"Oh, ya Tuhan," kata Arum iba, lalu ditepuk-tepuknya tangan yu Siti yang terletak diatas meja.
"Kalau dia masih hidup, pasti sudah seumur nak Arum."
"Jangan sedih bu, anggap saja Arum ini anaknya bu Siti. Ya?"
Yu Siti mengangguk, batinnya teriris.
"Sebenarnya saya melahirkan anak kembar,"kata yu Siti pelan, ia menoleh kearah dalam rumah, seperti takut ada yang mendengarnya.
"Kembar?" hampir berteriak Arum mengatakannya, dan bu Siti menutupkan jari telunjuknya kemulut, memberi isyarat agar Arum tak berisik.
"Mengapa?" tanya Arum lirih.
"Saya tidak bilang kepada bu Suryo bahwa anak saya kembar."
"Mengapa?"
"Saya bilang anak saya diambil orang saja bu Suryo sudah memarahi saya, apalagi kalau anak saya ada dua."
Arum mengangguk-angguk, ikut menyayangkan mengapa yu Siti harus melepaskan kedua anaknya.
Yu Siti tercenung dengan menopangkan kedua tangan dikepalanya. Ia teringat kejadian puluhan tahun lalu, ketika ia harus melepaskan anaknya karena keadaan.
Ketika itu ia baru keluar dari rumah sakit, suaminya meninggal karena kecelakaan.
Terpaku karena tak bisa membayar beaya persalinan. Ia meminta waktu kepada pengurus rumah sakit agar memberinya waktu untuk mengambil bayinya. Ia diijinkan membawa salah satu dari bayinya.
Sambil menggendong bayi, yu Siti termenung ditepi jalan. Darimana ia harus membayar beaya persalinan itu? Ia hanya buruh kecil yang bekerja apa saja asalkan dapat uang. Suaminya tak meninggalkan apapun yang berharga. Rumah yang ditempatinya ha nyalah bilik kecil yang disewa setiap minggu, karena suaminya buruh kasar yang mendapat gaji setiap akhir minggu. Lalu ketika suaminya meninggal, apa yang harus diandalkan? Ia tak mungkin meminjam dari tetangga. Mana mungkin orang mau memberi pinjaman kepada orang miskin yang tak jelas kapan bisa mengembalikannya?
"Ia duduk dibawah sebuah pohon, sambil merangkul bayinya. Karena pikirannya kemana-mana ia tak memperhatikan bayinya yang menangis keras. Seorang ibu yang ketika itu lewat, berhenti dan mengingatkannya.
"mBak, anakmu menngis, kok didiamkan saja?"
"Oh, iya.. " lalu terburu-buru yu Siti menyusukan bayinya. Tak perduli dijalan dan dilihat banyak orang,, ia terus menyusukannya.
"Anakmu cantik, itu perempuan kan?" kata seorang wanita yang rupanya memperhatikannya.
"Iya bu."
"Senangnya bisa punya anak. Sudah lama saya menikah, belum diberikan keturunan. Kata dokter saya mandul. " kata wanita itu yang kemudian duduk disampung yu Siti, memperhatikan betapa lahap bayi itu menyusu.
"Rumahnya dimana mbak?"
"Dikampung sebelah bu, tapi itu bukan rumah saya, hanya menyewa saja belum sempat saya bayar sewanya." keluh yu Siti sambil berlinangan air mata.
Wanita itu merasa kasihan, lalu memberikan dua lembar puluhan ribu untuk yu Siti.
"Tidak bu, terimakasih."
"Kasihan anak kamu itu mbak, udara begini panas, kamu ajak dia duduk disini."
"Habis mau duduk dimana bu, saya juga sedang bingung. "
"Terimalah uang ini, tak seberapa, tapi bisa untuk membeli sesuatu."
"Tidak bu, kalau ibu mau menerima anak ini dan merawatnya dengan baik, saya akan sangat berterimakasih," kata yu Siti dengan berlinangan air mata.
"Ya Tuhan, benarkah?" wanita itu melonjak kegirangan.
Yu Siti mengangguk. Pilu rasanya bisa mengucapkan kata-kata itu. Barangkali itu yang terbaik, agar anaknya mendapat perawatan yang layak. Ia menyadari tak akan mampu, lalu dia juga membayangkan, bagaimana nanti bayi yang satunya lagi, yang masih ditinggalkannnya di klinik bersalin itu.
"Benarkah mbak? Boleh saya minta anak mbak?"
"Saya hanya berharap, anak saya mendapat perawatan yang layak. Saya tak berdaya bu," isak yu Siti.
"Saya senang sekali, saya akan mengasihi seperti anak kandung saya sendiri mbak, yakinlah. Saya ini seorang janda, ditinggalkan suami karena tidak bisa melahirkan anak mbak," ucap wanita itu dengan wajah sedih.
"Dengan adanya anak ini saya tidak akan kesepian, terimakasih banyak ya mbak.. akhirnya aku dapat anak..Lalu.. berapa saya harus membayarnya mbak? Saya bukan janda kaya yang punya uang berlimpah, tapi saya punya uang dari warisan orang tua yang cukup untuk hidup layak. Anak mbak akan melengkapi hidup saya dengan kebahagiaan. Saya janji akan merawatnya dengan tanpa kekurangan."
"Terimakasih bu," jawab yu Siti pilu.
"Katakan berapa saya harus membayarnya mbak?"
"Saya tidak menjual anak saya. Saya hanya butuh uang untuk membayar biaya persalinan."
"Baiklah, saya akan membayarnya. Katakan berapa mbak."
Yu Siti mengeluarkan catatan yang diberikan rumah sakit. Catatan yang berisi jumlah uang yang harus dibayae.Perih hati yu Siti membayangkan bahwa catatan itu akan menjadi lantaran perpisahannya dengan bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya.
"Baiklah mbak, tunggu sebentar, saya harus mengambilnya di bank. Atau mbak ikut saya saja ke bank, itu didepan, disana kan hawanya dingin, kasihan anak mbak ini."
Yu Siti mengikuti wanita itu kearah bank yang ditunjuk, menunggu disana, Termenung sedih sambil menciumi anaknya, karena tak lama lagi harus berpisah.
Akhirnya bayi itu diberikan Uang yang diterimanya hanya cukup untuk membayar beaya persalinan, yu Siti tak mau lebih, agar dia tak dianggap menjual bayinya.
" Waduh, kok sudah pada enak-enakan makan singkong rebus disini?" tiba-tiba bu Suryo muncul, membuyarkan lamunan yu Siti.
"Ibu, ini singkongnya, masih hangat, gurih dan harum." kata Arum sambil mencomot seiris singkong.
"Kamu suka? Kemarin aku menyuruh yu Siti membeli singkong."
"Suka sekali bu, yu Siti memasaknya dengan sangat nikmat."
"Iya, dengan daun salam kan?" kata bu Suryo sambil ikut duduk diantara mereka.
"Lho, mengapa yu Siti menangis?"
Yu Siti tersenyum sambil berdiri.
"Saya kalau melihat nak Arum, jadi teringat anak saya bu."
"Ya sudah, tak usah disesali, semoga suatu haru nanti kamu bisa ketemu anakmu. Lha kok malah berdiri, duduk saja disini."
"Saya ambilkah dulu teh untuk ibu."
Arum mengunyah singkong rebusnya dengan nikmat, tapi pikirannya melayang kearah kata-kata bu Siti. Benarkah anak yu Siti yang diberikan kepada orang itu kembar? Arum penasaran dan ingin mendengar ceritanya. Namun mengingat tampaknya yu Siti menyembunyikan perihal anak kembar itu, Arum mencari waktu agar yu Siti mau menceritakannya.
Rasa iba kembali merebak ketika melihat yu Siti membawa baki berisi teh hangat untuk bu Suryo. Tampak ada duka yang terpendam diwajah setengah tua yang masih tetap cantik itu. Baru kali ini Arum memperhatikannya.
***
"Aryo, saya pikir kamu sudah tidur," sapa bu Nastiti ketika melihat Aryo duduk sendirian diteras malam itu.
"Belum mengantuk bu."
"Kamu terlalu banyak pikiran, makanya susah tidur."
Aryo menghela nafas. Kata-kata Ratih ketika diantarkannya pulang tadi terus membekas dibenaknya. Hatinya gundah, tidak mengendap, lalu memutuskan sesuatu yang ditolaak oleh Ratih. Iya sih, masa tiba-tiba melamarnya?
"Saya tadi melamar Ratih.." katanya seperti bergumam pada dirinya sendiri.
"Kamu? Melamar Ratih? Diterima?"
"Tidak bu..."
"Tuh kan, tidak gampang melamar orang. Lagipula kamu terburu-buru."
"Hati saya panas bu, teringat bagaimana laki-laki itu menggandeng Arum."
"Ibu bisa mengerti.."
"Aryo masih mencintainya bu, Aryo masih berharap dia kembali. Tapi mengapa dia sudah punya calon suami? Ketika itu Aryo hampir menghajarnya."
"Ya ampun Aryo, jangan sampai hal itu terjadi. Bisa beda urusan itu kalau sampai kamu melakukannya."
"Hati Aryo panas bu."
"Salah kamu adalah, ketika itu mengapa kamu tidak membuntutinya. Kalau kamu membuntutinya, kamu kan bisa tau dimana dia tinggal."
"Aryo begitu terpukul. Ketika sadar mobil yang membawanya sudah tidak kelihatan lagi."
"Ya sudah, tenangkan saja pikiranmu, besok kita cari jalan terbaik agar semuanya menjadi seperti harapan kita."
Aryo berdiri diikuti bu Nastiti masuk kerumah. Tiba-tiba terdengar Angga menangis. Spontan keduanya lari kekamar Angga. Dilihatnya tangan Angga melambai-lambai sambil berteriak.
"Ibu peri.. ibu peri... aku mau ibu peri..." rupanya Angga bermimpi. Aryo merebahkan tubuhnya merangkul Angga.
"Angga...ssh..shh... bobuk lagi ya."
"Ibu peri mana, aku mau ibu peri..."
Aryo menepuk nepuk pantat anaknya, berharap Angga tertidur kembali.
***
Pagi harinya ketika Ratih datang, Angga bercerita tentang mimpinya.
"Ibu tau nggak, semalam Angga didatangi ibu peri."
"Oh ya?"
"Ibu peri selalu datang seperti ibu ini. Aku dipeluk, diajaknya berlari-lari dihalaman."
"Hm, senangnya...."
"Mengapa ibu peri pergi lagi?"
"Angga lupa ya. ibu kan pernah bilang, didunia ini banyak sekali anak baik yang harus didatangi dan disayang ibu peri. Nah.. karena anaknya banyaaak... bngeeet.. jadi lama ibu peri bisanya datang lagi kemari."
"Tapi nanti akan datang kan?"
"Iya dong, asalkan Angga selalu jadi anak baik, pintar dan penurut."
"Berapa jumlahnya anak baik itu bu?"
"Banyak sekali Angga, dunia ini kan luas.. jadi ya banyak anak-anak baik.."
"Segini ya bu.." kata Angga sambil membentangkan tangannya..."
"Waah.. iya.. lebih banyak lagi. Sudah, ayo makan paginya dihabiskan, nanti keburu telat masuk sekolahnya."
Aryo menatap keakrapan itu dengan trenyuh. Seandainya Angga tau bahwa Ratih bukan ibunya, bagaimana ia harus bersikap? Ratih masih gadis, tapi cara dia mengemong anak kecil sungguh memuatnya kagum. Barangkali karena Ratih adalah seorang guru. Atau karena memang dia penyayang anak Entahlah, Aryo segera mandi karena ada yang ingin dilakukannya pagi itu.
"Tumben kamu sudah mandi, biasanya mandinya setelah mengantarkan Angga," tegur bu Nastiti.
"Aryo mau menemui pengacara bu."
"Yang akan mengurus perceraian kalian?"
"Menurut ibu bagaimana?"
"Pikirkanlah lagi, apa benar kamu ingin menceraikan dia."
"Sudah Aryo pikirkan bu, pengacara nanti akan menolak gugatan cerai itu, Aryo yang memintanya."
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment