SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 20
(Tien Kumalasari)
Aryo mengepalkan tangannya. Mobil yang sudah distarternya dimatikannya, lalu dia turun. Bergegas dikejarnya bayangan sejoli yang memanaskan hatinya, dengan tangan masih mengepal.
"Arum !" teriaknya.
Seketika langkah keduanya terhenti. Mereka membalikkan tubuh dengan dokter Bram masih memegangi lengan Arum.
Aryo mengayunkan tangannya kepelipis dokter Bram, tapi dengan tangkas ditahannya dengan sebelah lengannya.
"Mas Aryo !! Arum menjerit, atau tepatnya membentak.
"Apa maksudmu mas?"
"Kamu masih isteriku !!"
"Hampir menjadi bekas isteri kamu. Jangan membuat keributan disini mas, malu!"
"Siapa laki-laki ini?" hardik Aryo dengan mata menyala.
"Dia calon suamiku." kata Arum tanpa ragu.
"Kamu ??"
"Kalau kamu bisa berbuat semau kamu, mengapa aku tidak? Pergilah, hubungan kita hampir berakhir."
Arum menarik tangan dokter Bram, mengajaknya kembali kemobil. Meninggalkan Aryo terpana dan tak mampu bersuara. Ketika mobil dokter Bram berlalu, Aryo baru sadar bahwa beberapa pasang mata memandang kearahnya. Aryo melangkah gontai kemobilnya, memasuki dan duduk lemas dibelakang kemudi.Ada keinginan untuk mengejar mereka, tapi mobil itu sudah lenyap entah kemana. Lagian untuk apa? Toh Arum sudah menemukan calon suami baru. Aryo terkulai beberapa sa'at, sampai bisa menenagkan hatinya lalu menjalankan mobilnya, pulang.
***
"Ma'af dokter, tadi saya mengatakan bahwa dokter adalah calon suami saya." kata Arum terbata ketika Bram sudah membawanya pergi.
"Tidak apa-apa bu Arum, saya tau bu Arum hanya ingin menghentikan kemarahan... mm.. suami bu Arum."
"Saya sungguh minta ma'af."
"Hentikan permintaan ma'af itu, sudah, semuanya sudah berlalu."
"Dia hampir menghajar dokter tadi. Itu sebabnya saya mengatakan itu."
"Iya, saya tau kok," kata dokter Bram sambil memandangi Arum yang tampak berlinangan air mata.
"Dia suami saya. Saya sudah menggugat cerai dia."
"Oh...Apakah bu Arum tidak bisa mema'afkan suami ibu, seandainya dia punya salah?"
"Kesalahan pertama hampir saya ma'afkan. Tapi kemudian dia mengambil perempuan yang merusak rumah tangga kami, menjadi isterinya."
Dokter Bram menghela nafas. Bu Suryo sudah menceritakan semuanya, namun dihadapan Arum dia pura-pura tidak tau.
"Dia melakukan hal yang sangat menyakiti saya," Arum mulai terisak.
"Bu Arum, sudahlah, bu Arum baru sembuh dari sakit, jangan memikirkan hal yang membuat sedih ya," kata dokter Bram sambil menarik sebuah tissue yang tersedia disana, lalu diberikannya pada Arum.
"Terimakasih dokter."
"Jadi beli buku tidak?" tanya dokter Bram mengalihkan suasana.
"Tidak dok, tiba-tiba saya merasa letih."
"Ya sudah, kita pulang saja ya. Memang sebaiknya bu Arum banyak istirahat. Nanti saya akan coba membeli buku untuk bu Arum."
"Terimakasih dok."
"Buku seperti apa yang bu Arum suka? Novel? Yang ilmiah? Atau.."
"Novel saja."
"Horor? Percintaan?"
"Yang ringan-ringan saja."
"Baiklah, besok saya akan mencari dan membawanya kehadapan bu Arum."
"Terimakasih, saya sangat merepotkan.."
"Tidak, biasa saja kok. Saya suka kalau bu Arum juga suka."
Arum tersenyum. Sejenak kesedihannya berkurang. Ia merasa selalu ada pertolongan setiap dia tertimpa masalah. Benar bu Suryo, banyak cinta disekelilingnya.
***
Aryo memasuki rumahnya tanpa menoleh kepada Angga dan Ratih yang sedang duduk didepan rumah.
"Bapaaak!!" Angga berteriak, tapi Aryo tak menggubrisnya.
Angga menatap Ratih penuh pertanyaan.
"Apa bapak marah?"
"Tidak Angga, bapak tidak pernah marah."
"Mengapa diam saja ketika Angga panggil?"
"Bapak sangat lelah bekerja, jadi ingin segera beristirahat. Jadi jangan diganggu dulu ya."
Angga mengangguk, tapi ia terus menatap kedalam rumah. Tak biasanya bapaknya bersikap seperti itu.
"Aryo, kok diam saja, tuh anakmu memanggil kamu."tegur bu Nastiti yang mendengar teriakan Angga.
Aryo tak menjawab. Dia melepas sepatunya lalu masuk kedalam kamar. Penasaran bu Nastiti mengejarnya.
"Ada apa le?"
Aryo merebahkan tubuhnya tanpa melepaskan baju kerjanya.
"Ada apa Yo?"
"Besok Aryo akan mencari pengacara."
"Pengacara untuk apa?"
"Menyelesaikan hal perceraian itu."
"Apa maksudmu Yo?"
"Aryo akan menceraikan Arum, seperti yang dia minta."
"Yo, kok tiba-tiba begitu? Kamu tidak ingat anakmu? Kamu harus berusaha agar Arum kembali Yo, jangan sampai kalian bercerai."
"Maksud Aryo juga begitu bu..tapi Arum sudah punya calon suami."
Bu Nastiti menutup mulutnya, matanya terbelalak menatap Aryo yang berbaring sambil memandangi langit-langit.
"Darimana kamu tau Yo?"
"Tadi saya bertemu dia."
"Arum?"
"Bersama calon suaminya."
"Ya Tuhan. Dia berkata begitu?"
"Iya bu, semuanya sudah selesai, kita tidak usah menunggu dia lagi."
"Kamu tau dimana dia tinggal? Ibu ingin bicara dengannya."
"Tadi terbersit keinginan untuk membuntutinya supaya tau dimana dia tinggal bu, tapi kemudian terpikir oleh Aryo, untuk apa, toh Arum sudah tak ingin bersuamikan Aryo lagi." katanya pilu.
"Mengapa jadi begini, ya Tuhan."
Bu Nastiti menangis lirih, duduk ditepi pembaringan anaknya.
"Ibu, jangan lagi ditangisi. Dia tak perduli kepada kita."kata Aryo sambil memeluk pinggang ibunya.
"Bagaimana dengan Angga?"
"Angga sudah menemukan ibunya."
"Apa selamanya nak Ratih harus berkorban untuk kita?"
"Kalau perlu Aryo akan mengambilnya sebagai isteri. Semoga dia mau." kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti ada yang mendorongnya.
Bu Nastiti menatap puteranya lembut. Kalaulah itu terjadi, barangkali akan menjadikan keluaarga ini utuh kembali. Kata hatinya.Tapi semudah itukah?
***
Bu Suryo heran melihat Aeum kembali begitu cepat. Begitu turun dari mobil, dokter Bram menuntunnya masuk kedalam rumah. Wajah Arum pucat, ada sembab bekas menangis. Bu Suryo merasa khawatir.
"Kenapa Arum?" tanyanya sambil memegang tangan Arum, menuntunya masuk kedalam kamar.
"Yu Siti..," teriaknya kepada yu Siti.
Yu Siti yang datang dengan terbirit-birit juga heran melihat Arum sudah kembali.
"Nak Arum kesakitan?"
"Yu, ganti pakaian dia dan suruh istirahat dulu."
"Baik bu," jawab yu Siti yang kemudian membawa Arum ke pembaringan. Yu Siti sangat cemas. Diambilnya ganti untuk Arum, kemudian menuntunnya kekamar mandi untuk mencuci kaki tangannya.
Arum masih membisu sampai ia selesai berganti pakaian rumah, dan berbaring di pembaringan.
"Ada yang sakit?"
"Tidak bu," jawab Arum lemah.
"Tidak jadi membeli buku? Karena kesakitan dijalan?"
"Tidak."
Kenapa nak, nak Arum habis menangis? Dokter itu menyakiti nak Arum?"
"Tidak."
Seribu pertanyaan dengan jawaban tidak itu membingungkan yu Siti. Ia mengambilkan air minum yang selalu tersedia dimeja itu, membantu Arum duduk dan meminta dia meminumnya. Arum meneguknya beberapa teguk, lalu kembali berbaring. Pertemuan dengan suaminya membuat luka dihatinya kembali berdarah. Ia tak bisa membayangkan Aryo yang marah-marah melihat dia sedang bersama dokter Bram, sementara dia sendiri dengan nikmat sudah memiliki isteri lagi. Dan isterinya adalah perempuan laknat yang membuatnya harus pergi dari rumah.
Yu Siti duduk ditepi pembaringan, memijit-mijit kaki Arum. Duka yang tersirat diwajah Arum seperti mengguratkan juga duka dihatinya.
"Katakan nak, ada apa?"
"Saya tadi bertemu mas Aryo," katanya pelan.
"Oh, suami nak Arum? Mengapa dia? Apa yang dilakukannya?"
"Dia hampir menghajar dokter Bram."
"Ya Tuhan, mengapa?"
"Dia marah melihat saya bersama dokter Bram."
"Berarti dia masih mencintai nak Arum."
"Tidak bu, itu hanya karena egonya saja. Dia masih menganggap saya isterinya. Tak rela isterinya bersama laki-laki lain. Tapi dia endiri bagaimana?" air mata Arum menetes mengalir membasahi pipinya.
Yu Siti mengambil tissue dan menghapus air mata itu.
"Lalu bagaimana setelah dia hampir menghajar pak dokter?"
"Saya marahi dia, lalu mengajak dokter Bram pergi."
"Pasti dia membuntuti sampai disini."
"Tampaknya tidak bu."
"Ya sudah, jangan dipikirkan lagi. Nak Arum baru sembuh dari sakit, jangan lagi menambah rasa sakit itu dengan sakit yang lain. Disini kami menghawatirkan nak Arum, menjaga nak Arum. Kalau nak Arum masih sedih juga, bu Suryo juga pasti akan sedih dan kecewa."
Yu Siti terus memijit-mijit kaki Arum. Arum merasa nyaman dengan pijitan itu. Seakan dari tangan yu Siti ada kekuatan yang membuatnya segera kembali tegar. Arum menatap wajah yu Siti yang masih tampak kecantikannya. Perempuan itu pasti merasa seperti menemukan anaknya kembali setelah berpisah ketika anak itu masih bayi. Duka yang disandangnya pasti lebih berat dari dukanya sendiri. Rasa iba yang tiba-tiba merebak, membuat Arum bangkit kemudian merangkul yu Siti erat-erat.
Yu Siti terkejut melihat perubahan sikap Arum. Ia merasakan degup jantung Arum seperti menghentak dadanya. Bahunya basah oleh air mata. Dielusnya punggung Arum dengan kasih sayang.
"Sudah nak Arum, jangan sedih ya," bisiknya lembut ditelinga Arum.
Air mata Arum terburai lebih deras mendengar bisikan itu.
"Bu Siti.. terimakasih atas kasih sayang ini ya bu," isakn ya.
Tak tau apa yang harus dikatakannya, yu Siti justru ikut terguguk dalam tangisnya.Ada kekuatan yang menyatu, ada jiwa terjalin dalam pelukan itu.
"Sudah ya, jangan sedih.."
"Saya tak akan merasa sedih selama ada bu Siti didekat saya."
Yu Siti mempererat pelukannya.
***
Dokter Bram segera pamit setelah menceritakan semua yang dialaminya bersama Arum.
"Terimakasih banyak ya nak, sudah merepotkan."
"Tidak bu, saya senang kok. Lain kali saya akan kemari lagi."
"Datanglah kemari seperti datang kerumah sendiri nak, pintu ini selalu terbuka," kata bu Suryo ramah.
"Terimakasih ibu."
"Ibulah yang harusnya berterimakasih."
"Semoga bu Arum segera tenang."
"Iya nak, kasihan saya. Heran juga mendengar bahwa suaminya masih marah melihat Arum sedang bersama nak dokter."
"Mungkin suaminya masih mencintainya bu."
"Mana ada cinta sepertiitu. Kalau cinta pasti dia tak akan begitu cepat punya isteri lagi. Dan isterinya adalah perempuan murahan itu."
"Iya juga sih bu."
"Ya sudah nak, hati-hati dijalan."
Bu Suryo segera masuk kedalam begitu dokter Bram pergi. Ketika membuka pintu kamar Arum, dilihatnya yu Siti masih memeluk Arum sambil bertangisan.
"Sudah yu, kamu malah ikut-ikutan menangis, nanti Arum bertambah sedih."
Yu Siti melepaskan pelukannya. Mengusap sisa air mata Arum dengan telapak tangannya.
"Ibu sudah tau semuanya, ya sudah jangan dipikirkan lagi ya."
Arum mengangguk, lalu dibaringkannya lagi tubuhnya.
"Ayo yu, biarkan Arum beristirahat," kata bu Suryo sambil menggamit tangan yu Siti.
Kedua ibu yang mengasihi Arum itu keluar dari kamarnya, meninggalkan Arum tenggelam dalam lamunannya.
Tapi Arum kemudian membayangkan lagi sa'at pertemuannya dengan Aro. Pertemuan yang tak terduka, yang membuatnya kembali marah.
"Mas Aryo masih seperti dulu.." bisiknya pelan.
"Mengapa tega menyakiti aku mas?" lalu air matanya kembali menitik.
"Mengapa masih marah melihat aku bersama dokter Bram?"
Tiba-tiba Arum menyadari, bahwa rasa cinta kepada suaminya itu masih ada. Tapi rasa sakit hati menutupi rasa itu.
***
"Bu Ratih, saya ingin mengatakan sesuatu," kata Aryo ketika malam itu mengantarkan Ratih pulang.
"Oh ya, ada apa pak?"
"Saya ..." Aryo ragu-ragu mengatakannya. Ia bingung sendiri, sesungguhnya ingin mengatakan apa.
Ratih menatap laki-laki ganteng disebelah kanannya. Ia menatap lurus kedepan, dan menjalankan mobilnya pelan.
"Bapak harus tenang."
"Ya, saya tenang."
"Bapak ingin mengatakan apa?"
"Saya sudah memutuskan, akan bercerai dengan Arum."
Ratih terkejut.
"Itu benar."
"Mengapa pak Aryo berubah pikiran?"
"Dia tiudak mencintai suaminya lagi."
"Itu karena dia sedang marah. Tak ada komunikasi diantara pak Aryo dan bu Arum. Seharusnya pak Aryo dan bu Arum bertemu, lalu berbicara. Selama ini tak ada komunikasi itu. Salah paham bisa saja terjadi."
Aryo tercengang mendengar kata-kata Ratih. Memang benar, tak ada komunikasi selama ini diantara mereka berdua. Tak pernah bicara empat mata.
"Kalau bisa berkomunikasi, pasti keadaannya akan lain."
"Beberaapa hari yang lalu saya bertemu Arum."
"Bagus lah, bapak bisa bicara?"
"Tidak."
"Mengapa?"
"Dia berjalan bersama seorang laki-laki, gagah, tampan."
"Tapi..."
"Arum mengatakan bahwa laki-laki itu calon suaminya."
"Ya Tuhan, sudah sejauh itu..." kata Ratih seperti mengeluh.
"Saya harus bagaimana? Malu kalau saya harus merebutnya."
"Tapi kalau pak Aryo masih mencintainya, pak Aryo harus melakukan itu."
"Kalau dia sudah memutuskan begitu, berarti dia sudah tidak lagi perduli sama saya. Untuk apa saya merebutnya?
"Bukankah bapak masih mencintainya?"
"Saya masih mencintainya. Bagaimana kalau dia tidak? Kalau dia memutuskan untuk mencari suami lagi, berarti sudah tidak mau lagi sama saya."
"Lalu apa yang akan bapak lakukan?"
"Aku sudah menyewa pengacara, yang akan mengurus perceraian itu. Tampaknya sudah berjalan. Biar saja. Aku tak akan datang ke persidangan."
Ratih menatap Aryo dengan rasa iba.
"Maukah bu Ratih menjadi ibunya Angga?"
"Apa?"
"Bukan ibu pura-pura, tapi ibu yang sesungguhnya, yang tak pernah meninggalkannya."
Ratih merasa sedanag melayang diudara, kemudian terhempas ditanah yang berbatu.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment