SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 19
(Tien Kumalasari)
Masih gemetar tangan Aryo ketika memegang lembaran surat itu.
"Bagaimana Yo?" tanya bu Nastiti yang sudah menduga, tapi belum yakin akan isinya.
"Arum menggugat cerai," kata Aryo lemah.
"Ya Ampun, Arum, mengapa kamu setega itu?"
"Kalau saja kami bisa berkomunikasi .. pasti tidak akan seperti ini jadinya. Ia terlalu terburu-buru. Setahun lamanya dia pergi, sekali saja dia menemui Angga dan kita tidak bisa berbicara dengannya."
"Mengapa kita tidak bisa menemukannya? Kalau dia ada disekitar kota ini, pasti sesekali kita akan bertemu dengannya."
"Dia sengaja tidak mau menemui kita. Kepada ibunya saja dia hanya mengirimkan pesan, Dan kemudian tak pernah lagi menghidupkan ponselnya."
"Apa kamu akan menceraikannya?"
"Tidak bu, Aryo tidak akan menceraikannya.."
Kegelisahan Aryo terbawa ketika malam itu mengantarkan Ratih pulang. Ratih yang tanggap tak berani menanyakan apapun. Tapi ketika berkali-kali ia hampir menabrak kendaraan didepannya, terpaksa Ratih menanyakannya.
"Pak Aryo tampak sedang gelisah. Saya jadi nggak enak merepotkan."
"Tidak bu Ratih, saya nggak apa-apa."
" Tapi kelihatan pak Aryo sedang tidak tenang."
Aryo menghela nafas panjang.
"Hati-hati nyetirnya ya."
"Arum mengajukan gugatan cerai," meluncur begitu saja kata-kata itu, mengejutkan Ratih.
"Oh, mengapa ya bu Arum tiba-tiba memutuskan itu? Harusnya bertemu dan berkomunikasi dulu, baru memutuskan."
"Saya juga nggak tau. Susah bertemu dia."
"Kalau nanti di pengadilan agama bisa bertemu, barangkali pak Aryo masih bisa berbicara."
"Bagaimana kalau tidak ketemu? Selama ini dia seakan tak mau bertemu sama saya lgi."
"Apakah dalam perceraian nanti tidak harus bertemu di pengadilan?"
"Entahlah, saya tidak mengerti so'al itu."
"Apakah pak Aryo ingin mengabulkannya?"
"Tidak,, saya tak ingin bercerai."
"Bagus pak, demi Angga. Angga harus bersatu kembali dengan ibu peri, bukan ibu Ratih kan?"
Aryo tersenyum. Setiap kali teringat kata 'ibu peri', selalu dirasakannya bagaimana cerdasnya gadis ayu yang duduk disamping kirinya. Ah, berkali-kali ada kekaguman yang selalu dikibaskannya, karena takut bahwa kekaguman itu berubah menjadi sayang. Tidak.. masih ada Arum yang masih juga dicintainya. Tapi tak bisa ditampiknya, gadis ini memang istimewa.
Mobil Aryo melaju perlahan, dan keduaanya tenggelam dalam lamunan masing-masin. Ratih terkejut ketika tiba-tiba disadarinya bahwa jalan kearah rumahnya sudah terlewat.
"Pak Aryo, kita kebablasan."
Serta merta Aryo mengerem mobilnya.
"Aduh.. kok bisa terlewat. Padahal ini jalan satu arah."
"Iya pak, saya juga nggak sadar tadi."
"Rupanya kita sedang ngelamun ya bu Ratih."
"Iya pak, mikirin bu Arum."
"Harus memutar nih, jadi agak jauh ya bu?"
"Ya sudah nggak apa-apa, daripada nggak sampai dirumah."
***
Pagi hari itu bu Suryo mengantarkan Arum untuk kontrol. Walau masih tertatih, tapi Arum sudah bisa berjalan sendiri. Menunggu antrian, bu Suryo melihat Arum tampak lebih banyak berdiam diri.
"Ada apa Rum? Kamu menyesal telah mengajukan gugatan cerai untuk suami kamu?"
Arum menghela nafas. Bagaimanapun hal itu sesungguhnya tak pernah diinginkannya. Tapi menyadari bahwa Aryo telah menikahi Rini, Arum merasa bahwa langkah itu sudah tepat.
"Kamu tidak usah menyesalinya. Toh suami kamu sudah memiliki isteri lagi."
"Iya bu/"
"Kamu bisa membangun hidup kamu dengan lebih baik. Bisa menemukan orang yang tepat, yang bisa melindungi kamu dan membahagiakan kamu. Ya kan?"
"Iya bu."
"Sudah, jangan sedih. Kamu tak akan kehilangan cinta. Kamu adalah anakku, dan aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan kamu."
Arum menyandarkan kepalanya dibahu bu Suryo. Rasa nyaman perlahan merayapi batinnya. Benar, ia tak akan pernah kehilangan cinta.
"Ibu Arumsari," perawat memanggil, lalu keduanya bangkit, perlahan memasuki ruang dokter Bram. Berdebar Arum ketika dokter muda itu menatapnya hangat.
"Selamat pagi bu Suryo, selamat pagi bu Arum.." sapanya ramah/.
"Pagi dokter," sambut mereka hampir bersamaan.
"Bagaimana keadaan bu Arum?"
"Lebih baik dokter, Terimakasih banyak atas bunganya," kata Arum sambil tersenyum, menatap sang dokter yang juga sedang menatapnya. Ada getar yang tak mereka ketahui darimana datangnya.
"Oh, bu Arum suka?"\
"Suka, sekali lagi terimakasih."
Perawat yang berdiri disudut ruangan menatap dokternya sambil tersenyum dalam hati. Oo, pak dokter mengirim bunga? Hm, pasiennya cantik sih, pikirnya.
"Bagus, lain kali saya akan mengirim yang lebih bagus."
"Ah, dokter," Arum tersipu.
"Ayo sekarang berbaring disana, biar mbak perawat memeriksa tensi ibu.
Arum berdiri, perawat itu mendekat dan menyiapkan alat deteksi tensinya.
"Ibu, bu Arum sudah bisa makan banyak?"
"Sudah lumayan dojter."
"Syukurlah. Lukanya sudah mengering bukan?"
"Sudah mulai mengering dok.."
Dokter Bram berdiri mendekati Arum. Ia menoleh kearah catatan perawat. 115/72.
"Masih kurang sedikit ya bu.," kata dokter Bram sambil menyentukkan stetoskup kedada Arum. Memeriksa mata, dan mengangguk angguk.
"Saya tuliskan kembali resepnya ya bu," katanya setelah kembali duduk, diikuti Arum yang kemudian duduk disamping bu Suryo.
"Salepnya masih ada?"
"Tinggal sedikit dok."
"Saya tuliskan lagi disini, diganti verbandnya setiap pagi dan sore."
"Baik dok.'
"Obatnya boleh diambil di apotik mana saja. Semuanya diminum setelah makan."
Bu Suryo menerima resep itu.
"Terimakasih banyak dokter," kata bu Suryo sambil mengajak Arum berdiri.
"Ibu, undangan makan siang masih berlaku?" tiba-tiba tanya dokter Bram.
"Oh, masih nak dokter, kami menunggu setiap sa'at. Bilang saja kapan mau datang, biar ibu masak yang enak untuk nak dokter," kata bu Suryo dengan bersemangat.
"Iya ibu, nanti saya kabari."
Dokter Bram mengantarkan sampai kepintu. Setelah pintu ditutup kembali, dokter Bram menoleh kearah perawat yang berdehem sambil tersenyum.
"Ada apa sih? Kok tiba-tiba terbatuk-batuk?" tanya dojter Bram.
"Saya senang dokter Bram mendekati seseorang. Tidak baik lama-lama membujang lho dok," kata perawat yang kemudian membuka pintu lalu memanggil pasian di antrian berikutnya.
Dokter Bram duduk dikursinya. Benarkah dia sedang mendekati seseorang? Arumkah perempuan yang mengena dihatinya? Tapi dia kan masih bersuami. Lamunan terhenti karena pasien sudah datang dan duduk dikursi dihadapannya.
***
Sejak menerima surat gugatan cerai itu Aryo tampak sering termenung. Begitu dangkal cinta Arum kepadanya. Kesalahan yang dibuatnya, dia sudah meminta ma'af. Apakah tak ada lagi ma'af untuk dirinya? Aku masih mencintainya.. bisiknya dalam hati. Aku khilaf, bodoh, keterlaluan!!
"Aku janji, hal itu tak akan terulang Arum... kembalilah.." bisiknya perlahan.
Ratih yang sedang menemani Angga bermain sangat iba melihat keadaan Aryo.
"Semoga 'ibu peri' bersedia kembali," bisiknya juga, lirih sambil mengutak atik ponselnya.
"Ibuu.. kapan kita beli tas untuk sekolah?" tiba-tiba Angga berteriak.
"Oh, kapan ya, tunggu kalau bapak sudah ada waktu ya?"
Angga berlari kearah ayahnya.
"Bapak menangis?" cetus Angga ketika melihat ada yang menggenang dipelupuk mata ayahnya.
"Oh, enggak...bapak.. agak mengantuk," katanya sambil merengkuh Angga, didekapnya erat. Tak urung genangan itu meloncat keluar, mengalir disepanjang pipinga, yang kemudian cepat diusapnya. Takut Angga sempat melihatnya.
"Kalau bapak mengantuk, tidur saja, biar ibu menemani, ya?"
"Oh, tidak, ibu kan menemani Angga, bapak mau tidur sendiri saja," katanya sambil menurunkan Angga, kemudian melangkah kedalam kamarnya, untuk menumpahkan tangisnya disana.
"Angga, sini !!" panggil Ratih ketika Angga tampak bengong melihat tingkah ayahnya.
"Angga belum jadi bertanya, bapak keburu ngantuk," gumamnya.
"Iya, bapak kecapean, jadi biarkan tidur ya.
"Nanti saja kalau bapak sudah bangun akan Angga tanyakan kapan beli tas buat Angga."
"Iya, nanti saja kalau bapak sudah bangun ya."
"Sama buku-buku kan?"
"Iya.."
"Sama pensil untuk menggambar.."
"Iya, pokoknya semuanya."
Angga berlari lagi dan asyik dengan mainannya.
***
"Tidak Arum, aku tidak akan menceraikan kamu. Kamu harus kembali Arum, anakmu membutuhkan kamu. Ia menemukan ibu semu, bukan ibu sejatinya, apa kamu tidak kasihan Arum. Kamu boleh benci sama aku, tapi kembalilah untuk anak kamu." tangis Aryo meledak ledak, sambil memeluk guling erat-erat. Guling yang basah oleh air matanya.
Sesal dan sedih memenuhi benaknya. Ia mengutuk malam penuh hujan itu, dan mengutuk setan perempuan yang mengganggunya. Dan mengutuk kelakuannya sendiri yang mudah tergoda. Walau tak terlampau jauh, tapi kelakuannya bersama Rini sungguh tak pantas. Ia tak menyalahkan Arum yang marah ketika itu.
"Aku lemah, aku khilaf.. Ya Tuhan, ini adalah hukuman dari dosa yang hamba lakukan."
***
"Pak Aryo harus sabar ya, percayahalah bahwa bu Arum pasti akan kembali." kata Ratih ketika Aryo mengantarkannya pulang.
"Yakin ?"
"Ia boleh tega sama suaminya, tapi ia akan luluh kalau dihadapkan dengan buah hatinya."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Selalu berharap dan berdo'a pak, saya akan membantunya," kata Ratih tulus.
"Terimakasih bu Ratih.."
"Jangan kelihatan sedih dihadapan Angga, dia akan bertanya-tanya."
"Benar bu, terkadang saya merasa sulit menyembunyikan kesedihan saya. Sesungguhnya saya berharap hanya untuk Angga."
"Angga tidak boleh ikut sedih."
"Baiklah bu guru yang baik, yang bijak, yang cantik."
"Haaa..."
Ratih berdebar. Tiba-tiba Aryo memujinya cantik. Ia berjanji, kalau sampai dirumah nanti ia akan berdiri didepan kaca, untuk meyakinkan dirinya bahwa dia benar-benar cantik.
"Itu benar," kata Aryo bersungguh-sungguh.
"Kalau tak ada bu Ratih, entah bagaimana saya menghadapi Angga. Rupanya Tuhan mengirimkan bu Ratih untuk menggantikan Arum. Mm.. maksud saya.. untuk Angga," lanjut Aryo yang kemudian meralat kata-katanya, takut bu Ratih tersinggung.
Tapi Ratih justru tersenyum.
"Saya senang bisa melakukannya. Saya sangat berharap bisa bertemu dengan bu Arum pada suatu hari nanti."
"Semoga bisa terjadi ya bu."
"Awas pak, perempatan didepan itu belok ke kanan, jangan kebablasan lagi," teriakEatih
"Oh, iya, hampir saya kebablasan bu." jawab Aryo sambil tersenyum.
***
"Siang hari itu bu Suryo menyuruh yu Siti memasak yang lain dari biasanya. Akan ada tamu istimewa yang akan makan siang disana.
Ada semur daging, ayam goreng, perkedel, ca sawi udang, kerupuk, ada beberapa macam lagi.
"Aduh, seperti direstoran saja," gumam yu Siti sambil tersenyum.
"Ini tamu istimewa yu," kata bu Suryo sambil membantu membumbui disana sini.
"Apakah dokter itu suka sama nak Arum?"
"Entahlah yu, aku berharap begitu."
"Dokter itu sangat baik bukan?"
"Sangat baik. Arum harus segera menemukan kebahagiaannya setelah bercerai dari suaminya. Yu Siti harus ikut mendo'akan ya."
"Pasti bu, saya juga menyayangi nak Arum, saya berharap nak Arum akan segera menemukan kebahagiaannya.
"Sebentar lagi nak dokter akan datang, saya akan menata meja makan dulu."
"Biar saya saja bu, ini kan bisa ditinggal, sudah matang semuanya.'
"Baiklah, aku menemui Arum dulu."
Bu Suryo melangkah kekamar Arum. Dilihatnya Arum duduk ditepi pembaringan.
"Tiduran saja dulu, jangan kelamaan duduk."
"Bu, saya ingin jalan-jalan, capek dirumah terus."
"Apa? Kamu kan belum sehat benar. Nanti aku bilang sama dokter Bram, biar kamu dimarahin."
Arum tersenyum.
"Saya hanya ingin ketoko buku, membeli sesuatu untuk dibaca-baca, supaya nggak jenuh dikamar bu."
"Nanti biar ibu belikan."
"Tapi Arum ingin memilih sendiri bu."
"Nanti ibu tanya dulu sama dokternya."
Dering bel tamu terdengar.
"Tuh, nak dokter pasti sudah datang," kata bu Suryo yang kemudian keluar dari kamar Arum. Ia melangkah keluar, dilihatnya dokter Bram berdiri didepan pintu.
"Waduh nak, sudah ditunggu-tunggu nih, silahkan masuk nak," sapa bu Suryo ramah.
"Bu Arum bagaimana?"
"Masih dikamar, sudah jauh lebih baik. Bisa mandi sendiri, makan sudah tidak dikamar."
"Syukurlah bu, boleh saya ke kamarnya? Saya ingin memberikan ini," kata dokter Bram sambil membawakan seikat kembang mawar segar.
"Wadduuh.. pasti Arum senang. Ayo nak, itu kamarnya."
Dokter Bram mengikuti bu Suryo yang mengantarkannya kekamar Arum.
Arum yang masih duduk ditepi pembaringan, terkejut melihat dokter Bram.
"Selamat siang bu Arum."
"Eh, dokter.. "Arum berdiri menyambut.
"Sudah disitu saja, saya hanya ingin memberikan ini," kata dokter Bram sambil mengulurkan seikat mawar berwarna warni. Arum menerimanya dengan gemetar.
"Ini.. indah sekali," kata Arum yang segera menciumi mawar-mawar itu.
"Biar yu Siti menatanya kedalam vas," kata bu Suryo.
"Bisa keruang makan Rum? Menemani nak Bram makan siang. Yu Siti sudah menatanya."
"Ya bu, saya akan kesana."
"Ayo nak Bram," kata bu Suryo sambil menarik tangan dokter Bram.
"Kok langsung sih bu, memangnya kelihatan ya kalau saya sudah sangat lapar?" canda dokter Bram.
"Bukan begitu, memang sudah ditata dari tadi. Nah, lihat, ayo silahkan duduk. Yu Siti, ayo ikut makan disini," teriak bu Suryo kepada yu Siti.
"Dokter Bram duduk dikursi yang sudah disediakan. Tak lama Arum muncul, sudah berganti pakaian. Bawahan berwarna biru kembang dan atasan polos putih dengan sulaman bunga-bunga kecil didadanya.
Dokter Bram menatapnya tanpa berkedip. Walau masih sedikit pucat, tapi diakuinya Arum memang cantik. Arum tersipu karena dokter Bram menatapnya tajam, penuh pesona.
"Dia itu dok, tadi sudah minta ijin mau jalan-jalan," kata bu Suryo seperti mengadu.
"Oh ya?"
"Katanya ingin baca-baca buku, tapi nggak mau kalau aku yang membelikannya. Maksudnya mau memilih sendiri. Nekat kan?"
Dokter Bram menatap Arum lagi, yang sudah duduk disamping bu Suryo. Ia tersenyum mendengar bu Suryo mengadu kepada sang dokter muda.
"Sudah pengin jalan-jalan ya?"
Arum hanya tersenyum.
"Nggak apa-apa kok bu, asal jangan lama-lama milihnya, kemudian berbutar putar mencari diseluruh toko. Biar nanti saya mengantarnya."
"Nak dokter mau?"
"Mau saja bu, supaya bu Arum bisa lebih hati-hati."
"Tuh Rum, ya sudah nggak apa-apa kalau nak dokter mengijinkan, dan mau mengantar pula."
Arum menatap bu Suryo, tapi bu Suryo mengangguk. Ada bunga menari-nari dihatinya.
"Ayo silahkan nak. Yu Siti.. ayo ikut makan sekalian," teriak bu Suryo ketika yu Siti tidak muncul juga.
"Ya bu, saya menaruh bunga ini dulu dikamar," jawab yu Siti dari kejauhan, Rupanya ia sedang menata seikat bunga yang beru saja diberikan oleh sang dokter muda.
***
Sore itu Aryo pulang dari kantor. Ia baru saja membeli susu untuk Angga karena Ratih mengatakan susunya hampir habis. Ia juga membeli roti untuk camilan.
Aryo baru saja naik keatas mobilnya dan meletakkan belanjaan di jok disampingnya, lalu siap menstarter mobilnya, ketika didepannya berhenti sebuah mobil. Si pengemudi seorang laki-laki gagah, berjalan memutar kedepan untuk membukakan pintu samping kiri.
Aryo urung menjalankan mobilnya, menunggu sampai mobil didepannya tertutup kembali pintunya.
Tiba-tiba matanya nanap menatap siapa yang turun dari mobil itu. Perempuan yang sangat dikenalnya, dicintainya dan dirindukannya. Arum.
Hancur hatinya melihat laki-laki gagah itu memegang tangan Arum dan membantunya turun, tetap menggenggam tangannya sambil menutupkan lagi pintunya.
Ada darah menggelegak, ada panas membara, ada amarah tak terhingga.
"Itu sebabnya kamu menggugat cerai ?? Umpatnya geram.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment