Wednesday, July 15, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 18

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  18
(Tien Kumalasari)
 
Rini terkejut, mundur selangkah untuk memberi jalan bu Suryo masuk. Ia ingin segera kabur tapi bu Suryo berdiri menghadang jalan.
"Kamu lagi? Berani-beraninya kamu memasuki kamar anakku."
"Ma'af, hanya ingin membezoek kok," katanya lirih.
"Arum, apa yang dia lakukan disini?" tanya bu Suryo kepada Arum.
"Biarkan dia pergi ibu, eneg melihat wajahnya."
"Perempuan tak tau malu." umpat bu Suryo kemudian memberi jalan agar Rini keluar dari sana.
Rini melengkah cepat. Ia tak menduga Arum mengira dia menikah dengan Aryo.
"Aduhai, alangkah senangnya kalau itu benar. Bodoh !! Biar saja dia menganggapnya begitu," gumamnya sambil terus melangkah.
***

Ia tiba diruang kerja Wuri sambil tersenyum senyum sendiri. Senang sekali rasanya mendengat Arum mengatakan bahwa dia sudah menjadi isteri Aryo. Tapi tak habis pikir dia. Itu tadi benar Arum kan? Mengapa dirumah Aryo juga ada Arum? Sama-sama galak dan menatapnya penuh kebencian. Siapa dia? Mana yang asli? Yang tadi itu benar Arum, tapi kok ibunya beda? Rini memukul-mukul kepalanya sendiri. 
"Kenapa kamu? Kenapa pula kepalamu?" tanya Wuri heran.
"Jangan tanya, paling juga kamu akan mengomeli aku," jawab Rini sambil menuju kemeja kerja Wuri, melanjutkan apa yang tadi dikerjakan.
"Kalau kelakuan kamu nggak bener, ya pastilah aku akan mengomeli kamu."
"Yang nggak bener itu yang mana, aku hanya menyelidiki tentang sebuah kebenaran."
"Kebenaran apa?"
"Ada yang kembar."
"Apa maksudmu?"
Rini diam, tapi ia sudah terlanjur keceplosan.
"Oo.. itu..."
"Itu apa?"
"Kamu masih penasaran tentang bu Arum? Menurutmu dia kembar?"
"Tuh kan, akhirnya kamu ingin tau juga kan?"
"Nggak, aku nggak ingin  tau, bukan urusanku."
"Tapi ini sungguh menarik. Dia mengira aku sudah menjadi isterinya pak Aryo," katanya sambil tersenyum senang.
"Apa? Hanya orang yang nggak waras yang mau mengambil kamu isteri."
"Eeh, menghina ya.."
"Habisnya, kamu kan setengah gila."
"Wuri, jangan begitu dong, apa aku ini sudah menjadi sehina-hinanya orang?"
"Tanya saja pada hati kamu sendiri. Bagaimana kelakuan kamu, bagaimana polah tingkah kamu. Masa nggak sadar sih? Kamu tergila-gila sama orang yang nggak mungkin suka sama kamu."
"Ee.. bohong itu. Dia pernah suka sama aku lho."
"Suka karena kamu menggodanya. Dia hanya khilaf, tak mungkin suka beneran sama kamu."
"Eeh, nyakitin ya kata-kata kamu."
"Kalau dia suka beneran sama kamu, ya sudah pastilah kamu sudah diambilnya sebagai isteri. Kan kamu sudah pernah berhubungan jauh sampai....."
"Tidaaak, nggak sampai begitu lah, aku masih perawan, tau !! 
 "Baguslah kalau begitu."
"Dengar, permasalahannya sekarang bukan karena aku ingin berbuat tidak baik, aku tuh penasaran, bagaimana mungkin ada dua orang yang sama, dengan posisi yang juga sama, tapi ditempat yang berbeda."
"Posisi yang sama bagaimana?"
"Dua-duanya itu bu Arum, isterinya pak Aryo, ibunya Angga. Tapi yang satu dirumah, satunya lagi dirumah sakit."
"Kembar barangkali."
"Nggak, aku sudah tau keluarganya bu Arum. Dan ibunya bu Arum yang dirumah sakit itu beda lho. Bukan ibunya yang sering aku lihat ada di keluarganya pak Aryo."
"Ya sudah, aku pusing, pekerjaanku lagi banyak. Selesaikan pekerjaan kamu, karena sebelum pulang sudah harus siap."
"Huh, galak  bener."
***

"Apa yang dia lakukan tadi?" tanya  bu Suryo begitu mendekati Arum.
 "Nggak tau ibu, dia datang dan bertanya ini bu Arum..   berkali-kali. Tapi saya mendampratnya lalu dia pergi. Kebetulan bertemu ibu tadi.
"Orang tak tau malu, berkali kali datang dan diusir masih saja datang kemari."
"Biarkan saja ibu, kan dia sudah pergi."
"Iya sih. Kamu sudah siap? Semuanya sudah selesai. Sebentar lagi Pono akan datang menjemput."
"Sudah ibu."
Tiba-tiba dokter muda itu masuk kedalam. Bu Suryo dan Arum terkejut.
"Bu Arum sudah siap?"
"Sudah dokter."
"Saya menulis resep ini, tadi saya lupa menyerahkannya pada perawat," katanya sambil mengulurkan selembar resep yang diterima bu Suryo.
"Nanti langsung saya belikan di apotik dokter. Disini kelamaan nunggunya, kasihan Arum."
"Iya bu, nggak apa-apa. Jangan lupa kontrol seminggu lagi ya bu Arum,  itu obatnya untuk seminggu."
"Baiklah dokter," jawab Arum sambil tersenyum, mengimbangi senyum pak dokter yang teramat manis siang itu.
"Ibu mau pulang sama siapa? Kebetulan saya juga mau pulang, boleh saya antar sekalian?"
"Oh, terimakasih banyak dokter, saya dijemput sopir saya, dia sedang menuju kemari."
"Oh, baguslah kalau begitu. Selamat ya bu Arum, selamat pulang kerumah, dan selamat atas kesembuhannya.
"Terimakasih banyak dokter."
Dokter itu meninggalkan ruangan Arum, dan lagi-lagi meninggalkan senyum yang membekas dihati Arum.  
***

Sesampai dirumah yu Siti telah menata kamar Arum dengan amat apik. Seprei baru, sarung bantal guling yang baru, ada bunga dalam vas besar terletah ditengah meja kamar. Itu bunga sedap malam.
"Hmm..."
Arum menghirup wanginya dengan nikmat. Didekatinya rangkaian bunga itu.
"Bu Siti sempat membeli bunga yang demikian harum dan indah?" tanya Arum kepada yu Siti.
"Bukan saya yang beli nak, ada yang mengirim kemari belum lama."
"Ada yang mengirim ?"
Arum mengamati lagi rangkaian bunga sedap malam itu, Oh ya, ada sebuah kartu terselip disana, bertalikan pita merah. Mengapa dia tadi tak melihatnya? Mungkin karena terbuai oleh harumnya.
Perlahan ditariknya kartu itu.
"Selamat menikmati hari-hari bahagia dirumah, semoga segera pulih. Dari Bramasto"
Aduhao. Hati Arum bagai terbang ke awang. Sebegitu jauh perhatian dokter Bram kepadanya. Apakah dia memperlakukan semua pasiennya seperti ini? Diciumnya bunga itu sambil memejamkan matanya. 
"Arum, itu bunga dari siapa?" tiba-tiba bu Suryo muncul dikamar, mengejutkan Arum.
"Ini, ibu.." Arum menunjukkan kartu itu.
Bu Suryo tersenyum mebacanya.
"Tampaknya dokter ganteng itu punya perhatian khusus sama kamu."
"Perhatian khusus bagaimana bu?" tanya Arum dengan hati berdebar.
"Jangan-jangan dia suka sama kamu. Buktinya dia mengirimkan bunga segala."
"Mungkin dia melakukan hal itu kepada semua pasiennya bu. Dia memang dokter yang baik," Arum mencoba membantahnya.
"Tidak mungkin. Setiap hari ada banyak pasien yang disembuhkannya, mana sempat dia membeli bunga-bunga untuk mereka semua?"
Arum tersenyum. Iya ya.. benarkah? Bisik batinnya.
Yu Siti masuk kedalam sambil membawa senampan makan siang. 
"Wah, masak apa yu? Baunya sedap sekali."
"Soto ayam bu, ada perkedel, dan bakwan jagung," katanya sambil meletakkan makanan itu demeja kecil.
"Bu Siti, saya makan diruang makan saja."
"Tidak Arum, kamu cuci kaki tangan dan ganti bajumu, lalu kembali tiduran. Kamu belum pulih benar."
"Mari nak, yu Siti bantu, sudah ada air hangat untuk mandi."
"Hati-hati yu, jangan sampai luka bekas operasi basah terkena air," 
"Baiklah bu.." 
"Gantikan verbandnya, dan obatnya sudah kamu siapkan belum yu?"
"Sudah semua bu."
"Baiklah, hati-hati jangan sampai lukanya tidak tertangani. Dan obat-obat yang harus diminum juga jangan sampai kelupaan."
 Bu Suryo sangat menjaga dan memperhatikan Arum  disetiap detail yang harus mendapat perhatian. Arum merasa bahwa bu Suryo memperlakukannya lebih dari seseorang yang baru setahunan ditemukannya. Ia merasa benar-benar menjadi anak kandung yang diguyur dengan kasih sayang. Itulah sebabnya dia bisa sedikit demi sedikit melupakan penderitaannya.
***

Siang itu bu Suryo sedang belanja disebuah supermarket. Banyak yang harus dibelinya untuk keperluan dapur dan lainnya. Biasanya ada yu Siti yang menemaninya, tapi karena yu Siti bertugas menemani Arum, maka bu Suryo berangkat sendiri. Ia sedang memilih-milih sayuran ketika tiba-tiba seseorang menyapanya.
"Belanja bu?" sapanya.
Bu Suryo menatap siapa yang menegurnya. Agak heran melihat seorang laki-laki muda tampan sedang mendorong sebuah troli yang berisi banyak sayur serta buah-buahan.
"Dokter Bram?" 
Dokter Bram tertawa melihat bu Suryo menatapnya dengan pandangan sedikit keheranan, tampak pada matanya yang terbelalak.
"Iya ibu, ini saya. Ibu menatap saya seperti menatap orang asing?"
 "Ya Ampun, nak dokter... apa-apaan ini?"
"Apanya ibu?" tanya dokter Bram masih dengan tawanya.
"Dokter belanja sayuran?"
"Iya, apa itu aneh?"
"Aneh lah,mengapa dokter belanja sendiri?"
"Ibu, saya selalu belanja sendiri, dan memasak semuanya  sendiri. Maklum bu, saya kan bujangan yang nggak laku-laku."
"Mengapa nggak segera cari isteri?"
"Belum ada yang mau bu."
"Masa?"
"Ibu lihat sendiri kan, buktinya saya masih melakukan semuanya sendiri."
"Jangan terlalu memilih, nanti jadi bujang lapuk," goda bu Suryo.
Lagi-lagi dokter Bram tertawa.
"Oh iya nak dokter, terimakasih banyak atas bunganya untuk Arum."
\"Oh iya, sukakah bu Arum?"
"Suka sekali, diciuminya bunga itu tanpa henti."
Mata sang dokter terbuka lebar, ada rona bahagia disana.
"Itu benar," kata bu Suryo meyakinkan.
"Senang mendengarnya."
"Kasihan dia itu, " gumam bu Suryo lirih, sambil mendorong troli kearah tempat yang lebih lapang karena takut menghalangi para pembelanja lainnya. Dokter Bram mengikuti, tampak mengharapkan kelanjutan kata-kata bu Suryo yang menggumamkan kata 'kasihan'
"Mengapa kasihan bu?"
"Ceritanya panjang."
Dokter Bram masih menunggu.
"Suaminya selingkuh dengan perawat anaknya."
Dokter Bram kembali membelalakkan matanya.
"Ia lari dari rumahnya, sudah setahun. Kabarnya suaminya sudah menikahi perempuan laknat itu."
Dokter Bram menghela nafas.
"Saya ikut prihatin bu," katanya lirih. Tampaknya ia benar-benar iba atas kejadian yang menimpa Arum.
"Ah, sudahlah nak, kok jadi cerita macam-macam, nanti nak dokter masak kesiangan."
"Nggak bu, cuma masak untuk sendiri saja, nggak harus terburu-buru."
"Atau kerumah saya saja, nanti makan siang dirumah saya."
"Terimakasih banyak ibu, lain kali kalau ada waktu luang saya akan datang kerumah ibu, dan menghabiskan masakan ibu."
"Benar?"
"Janji, ibu."
"Saya tunggu ya."
Mereka berpisah karena bu Suryo masih mau membeli beberapa barang.
***

"Ibu tadi ketemu dokter Bram," kata bu Suryo kepada Arum setelah meletakkan semua belanjaan didapur.
"Oh ya? Dimana?"
"Di mal, lagi belanja dia."
"Belanja apa bu?"
"Belanja sayur dan buah, dan entah apa lagi."
"Belanja sendiri?"
"Iya, dia bilang belanja sendiri, masak sendiri..maklum masih bujang."
"Kasihan."
"Ibu mengundangnya makan siang disini, tapi dia bilang lain kali saja."
"Saya lupa mengucapkan terimakasih sudah diberi bunga."
"Ibu sudah mengucapkannya tadi. Ibu bilang kamu suka bunganya. Tampaknya dia senang."
"Syukurlah bu, maksud saya mengucapkan terimakasih kalau nanti saya kontrol."
"Nggak apa-apa seandainya kamu menelponnya. Kamu mencatat nomornya bukan?"
"Nggah ah bu, nggak enak. Tapi kan ibu sudah mengucapkannya, ya sudah."
"Arum, bagaimana kalau seandainya dokter Bram suka sama kamu?"
Arum terkejut.
"Mengapa ibu bilang begitu?"
"Barangkali saja, kemungkinan itu kan ada, melihat bagaimana perhatiannya sama kamu."
"Ya nggak mungkin kan bu, saya kan perempuan bersuami/"
"Lhah suami yang tidak setia, tega menyakiti isterinya, apa masih kamu anggap dia suami kamu?"
Arum terdiam. Benarkah dia masih punya suami, dan nyatanya dia begitu cepat mengambil isteri orang yang tega menyakitinya?
"Ya sudahlah, lupakan saja semuanya. Bagaimana perasaanmu sekarang? Masih terasa sakitkah lukanya?"
"Nggak bu, sedikit gatal, tapi sepertinya sudah mulai mengering."
"Syukurlah. Dua hari lagi kontrol, jangan lupa."
"Iya bu, saya ingat."
***

Aryo baru saja memasuki rumahnya ketika bu Nastiti menyambutnya dengan wajah gelisah.
"Ada apa bu?"
"Kemari, duduklah disini dulu," kata bu Nastiti sambil menarik Aryo duduk di teras.
"Tadi ada surat untuk kamu."
"Surat? Dari siapa?
Bu Nastiti mengulurkan surat yang ternyata disembunyikan dibawah taplak meja diteras itu.
"Ini? Dari Kantor Pengadilan Agama?"
Aryo gemetar membuka surat itu. Arum menggugat cerai.
***
Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER