SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 17
(Tien Kumalasari)
Ia terus melangkah, tak perduli nanti mendapat marah. Ia hanya penasaran, bagaimana mungkin Arum bisa ada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan?
Begitu tiba didepan kamar yang diketahuinya adalah kamar Arum, ia berhenti melangkah. Khawatir kalau ibu-ibu galak itu kembali datang dan memaki-makinya.
Ia menoleh kesana kemari. Sepi.. karena siang itu sudah lepas waktu bezoek. Namun ketika ia hampir memegang gerendel pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka. Dan lagi seorang ibu keluar dari dalamnya. Ibu itu adalah yu Siti.
Rini surut beberapa langkah, dan yu Siti teringat pesan bu Suryo yang menyuruhnya berhati-hati. Ia belum pernah melihat wanita yang tampak terkejut begitu ia keluar, dan ia menjadi curiga.
"Anda siapa?" tanya yu Siti.
"Saya... Murni." meluncur begitu saja kata-kata itu, karena ia tak berani lagi mengatakan nama aslinya.
"Murni? Mau apa?"
"Mm.. mau membezuk bu Arum.."
"Tapi ini bukan jam bezoek."
"Saua sudah minta ijin dari petugas kok, so'alnya saya dari luar kota."
Yu Siti walau tidak berpendidikan tinggi tapi ia tau gelagat mencurigakan dari orang yang ditemuinya. Apalagi kemarin bu Suryo sudah berpesan wanti-wanti agar berhati-hati dan tidak mengijinkan orang asing menemui Arum. Dan didepannya adalah orang asing baginya.
"Petugas sudah mengijinkan anda masuk, tapi saya tidak," katanya tegas.
"Tapi bu.."
"Ma'af, bu Arum sedang tidur, dan dokter tidak mengijinkan siapapun menemuinya."
"Oh.. begitu ya."
Yu Siti mengangguk, dan menunggu sampai Rini pergi jauh dari situ, lalu masuk lagi kekamar Arum.
"Bu, kok cepat sekali sudah kembali, katanya mau beli wedang jahe di depan?"
"Nggak jadi nak. Minum teh saja, tadi lupa sudah membawa bekal untuk minum."
"Kan beda?"
"Iya. Nak Arum kenal sama yang namanya Murni?"
Arum mengerutkan keningnya, mengingat-ingat. Murni..Murni.. Murni.. tidak, ada ibu-ibu di apotik langganan yang namanya Murni.
"Masa mbak Murni mau membezoek aku?"
"Jadi nakArum kenal sama yang namanya Murni?"
"Dia pegawai apotik?"
"Dia bilang dari luar kota, tapi saya kok curiga sama dia."
"Dari luar kota? Nggak bu Siti, saya nggak kenal."
"Ya sudah, sudah saya usir tadi."
"Diusir?"
"Ibu bilang harus berhati-hati, dan jangan membiarkan orang asing masuk. Karena dia asing bagi saya maka saya tidak mengijinkan dia masuk.Dan dia langsung pergi."
"Siapa ya kira-kita?"
"Orangnya sih cantik, tapi matanya seperti bukan mata orang baik-baik. Seperti gugup ketika melihat saya keluar dari kamar. Tapi dia tau bu Arum, begitu."
"Jangan-jangan dia."
"Dia siapa ya?"
"Rini.."
Yu Siti terkejut. Ia sudah tau perihal Rini dan kelakuannya, yang membuat Arum pergi dari rumah, karena bu Suryo selalu berbincang dengannya. Hanya yu Siti temannya berbincang dalam keluh dan suka hatinya.
"Oh, nama itu seperti yang pernah bu Suryo ceritakan pada saya. Perempuan genit yang kurangajar. Baguslah, tadi saya mengusirnya. Mau apa dia kemari. Pasti punya niyat yang tidak baik."
"Mungkin juga bu. Untunglah bu Siti sudah mengusirnya. Mudah-mudahan dia tidak akan kembali lagi kemari."
***
"Bapak, Angga mau dibelikan tas untuk sekolah bulan depan ya?" kata Angga pada suatu sore ketika ayahnya pulang dari kantor.
"Baiklah, nanti bapak belikan."
"Bolehkah Angga memilih sendiri?"
"Maksudnya .. Angga mau agar belinya sama Angga?"
"Iya bapak, sama ibu juga kan?"
Ratih yang ada didekatnya melirik sebentar, lalu pura-pura mengutak atik ponselnya.
"Tanya ibu, maukah ikut bersama kita.."
"Ibu.. mau kan? Beli tas buat Angga?"
"Mengapa terburu-buru? Kan masih bulan depan?"
"Masih lama?"
Ratih mengangguk.
"Jadi kapan boleh belinya?"
"Nanti ya, Kalau bapak bisa pulang agak siang."
"Besok?"
"Belum tau, nanti bapak kasih tau. Ya, sekarang bapak mau mandi dulu. Angga sudah mandi?"
"Sudah bapak. Ayo ibu, kita bermain mobil-mobilan lagi. Ibu tungguin disana."
"Sebentar saja ya, tadi kan sudah.."
Lalu Angga berlari-lari mengambil mobil kecilnya..
Dan tiba-tiba juga seseorang melintas sambil berjalan kaki, menatap kearah halaman. Angga yang asyik bermain tak memperhatikannya. Tapi Ratih melihatnya. Ia ingat gadis itu, namanya Rini, yang sudah menggoda Aryo dan membuat Arum pergi dari rumah.
Ratih berdiri, menatap tajam gadis itu. Tapi kemudian dilihatnya Rini melangkah cepat pergi dari sana.
"Tampaknya dia mengira aku adalah bu Arum. Tampak sekali dia ketakutan, seperti ketika dia menggendong Angga lalu melihat diriku,, kemudian lari terbirit -birit. Tiga kali sudah aku mengalaminya. " bisik Ratih sambil kembali duduk, mengamati Angga yang asyik bermain mobil-mobilan.
***
"Darimana saja kamu? Jangan bilang nemuin bu Arum.. atau orang yang kata kamu mirip dengannya," tegur Wuri ketika Rini masuk rumah dengan wajah masam.
"Nggak, cuma jalan-jalan saja kok," katanya berbohong. Ia bosan mendengar omelan sahabatnya yang selalu menyalahkannya.
"Ngapain ? Beli sesuatu.."
"Maksudnya iya, tapi dompetku ketinggalan."
"Mau beli apa sih?"
"Sabun," jawab Rini sekenanya.
"Dirumah masih ada sabun, mau beli sabun yang seperti apa lagi?"
"Iya aku lupa."
"Tiap hari dipakai kok bisa lupa."
"Namanya manusia ya bisa saja lupa."
"Ya sudah, bantuin angkat sayurnya, kemudian goreng tempenya ya, aku mau bersih-bersih rumah."
"Belum selesai masaknya?"
"Habisnya aku masak sendirian kamu malah pergi."
Dengan bersungut-sungut Rini pergi kedapur. Tapi pikirannya masih melayang kearah apa yang dilihatnya. Sudah jelas Arum ada disana, bersama Angga. Lalu yang dirumah sakit siapa?
"Aku harus berusaha melihat bu Arum yang dirumah sakit. Penasaran aku," gumamnya sambil mengentas sayur yang sudah matang dari atas kompor.
***
"Selamat pagi bu Arum.." sapa lembut itu mengejutkan Arum yang sedang merasa gelisah. Kata dokter dia segera boleh pulang, tapi belum diijinkan juga. Ia menoleh kearah dokter Bram yang menatapnya tajam sambil tersenyum. Entah mengapa, Arum suka tatapan itu. Ah, tidak, dia hanya seorang dokter, dia akan bersikap sama seperti kepada pasien lainnya. Tatapan yang sama, senyuman yang sama.
"Selamat pagi bu Arum, dokter itu mengulang sapaannya, karena dilihatnya Arum hanya bengong menatapnya.
"Oh.. eh.. ma.. ma'af dokter.. selamat.. pagi.." jawabnya gugup.
"Lagi mikirin apa?"
"Nggak dokter, mm.. lagi.. mikirin.. kapan saya boleh pulang?"
"Iya, justru sekarang saya mau memeriksa keadaan bu Arum, supaya saya bisa memastikan kapan bu Arum bisa pulang."
"Terimakasih dokter."
"Nggak kerasan ya, lama-lama disini?" goda dokter Bram sambil memasang stetoskupnya.
"Ah, dokter..." dan Arum pun tersenyum. Entah mengapa Arum merasa bahwa senyum yang disunggingkannya adalah senyum yang benar-benar terbawa perasaan lega.
"Kok nggak ada yang kerasan berlama-lama disini? Padahal dokternya baik lho."
Arum tertawa lirih.
"Hm, bagus semuanya, dan catatan yang saya baca juga bagus. Besok ya pulangnya? Nanti kalau infusnya habis sudah nggak usah dipasang lagi."
"Terimakasih dokter."
"Siapa yang nungguin hari ini?"
"Itu.. bu Siti.."
"Oh, baguslah. Makan yang banyak ya.. "
"Baik dokter."
Dan dokter itu pergi, meninggalkan senyum khasnya, yang terasa sangat menyejukkannya.
"Bagimana nak Arum, pak dokter bilang sudah boleh pulang?" kata yu Siti sambil mendekat.
"Iya bu, katanya besok sudah boleh pulang."
"Hm, lega saya nak, nanti kalau bu Suryo atau Pono kemari, saya akan membawa baju-baju dan semua yang sudah tidak diperlukan disini. Biar besok kalau pulang nggak kebanyakan bawanya."
"Iya bu, tinggalkan dua baju saja, untuk nanti sore dan besok."
"Benar nak, biar saya kemasi sekarang."
"Ibu kemarin bilang akan ke bank dulu, tapi nggak usah ditungguin, biar Pono menjemput saya kemari. Tapi kok belum sampai ya?"
"Mungkin sebentar lagi bu."
"Nanti Pono kan disuruh ngantar saya ke pasar sekaliyan, lalu menjemput ibu, lalu mengantar ibu kemari."
"Sebetulnya saya nggak perlu ditungguin bu, kan saya sudah baikan."
"Ibu nggak ngijinin nak, harus selalu ada yang bersama nak Arum. Takutnya ada orang jahat masuk kemari dan mencelakakan nak Arum."
"Oh, iya bu, tapi itu berlebihan kan, masa saya mau dicelakain, memangnya saya salah apa?"
"Namanya orang jahat ya nggak tau lah nak, tapi yang penting kan kita harus hati-hati."
"Benar bu."
Ponsel yu Siti berbunyi.
"Nah, ini Pono sudah siap nak."
"Hallo No, iya sebentar, aku sekalian ngepak baju2nya bu Arum. Tungguin," kata yu Siti kepada Pono melalui ponselnya.
Yu Siti membenahi semua yang bisa dibawa sekarang, menyisakan kebutuhan hanya untuk sore nanti dan besok pagi.
"Sudah nak, ini saya bawa dulu ya," kata yu Siti yang kemudian mencium kening Arum, lalu keluar dari ruangan.
Arum mengangguk terharu. Banyak cinta didapatkan dari keluarga bu Suryo, membuat segala derita yang dirasakannyaa menjadi ringan.
Kemudian Arum teringat akan ibunya sendiri. Ia belum ingin datang kesana. Ia tak mau Aryo mengetahui keberadaannya. Dan ia juga merasa sakit karena mengira ibunya menerima Rini sebagai pengganti dirinya. Kalau tidak, mengapa ibunya mau menerima kedatangan Rini ketika ia mau mengunjunginya dulu?
Tapi ia hanya akan mengabarkan keadaannya saja. Jadi ia cukup akan mengirim pesan.
"IBU, ARUM BAIK-BAIK SAJA DAN BERADA DITEMPAT YANG AMAN. IBU TAK PERLU MENGHAWATIRKAN ARUM. ARUM KANGEN SAMA IBU, TAPI BELUM SA'ATNYA ARUM PULANG. SALAM HORMAT DARI PUTERI IBU YANG SANGAT MENYAYANGI IBU. ARUM"
Itu bunyi pesan singkat yang dikirimkannya, kemudian ia mematikan ponselnya.
***
Aryo bergegas datang menemui bu Martono ketika mertuanya itu memanggilnya.
"Ada apa bu? Ada berita tentang Arum ?" tanyanya begitu bertemu.
"Tadi Arum mengirim pesan singkat."
"Dia mengatakan ada dimana sekarang?"
"Tidak, sebentar, ini bacalah," Bu Martono membuka ponselnya, lalu menyerahkannya pada Aryo.
"Ibu bisa menghubunginya kalau begitu," kata Aryo begitu selesai membaca pesan itu.
"Sudah ibu coba, tapi ponselnya dimatikan. Berkali-kali ibu mencoba tidak pernah berhasil. Tampaknya dia memang tak mau dihubungi.
Aryo mencatat nomor yang tertera, lalu menciba menelponnya.
"Tidak bisa bu, ponselnya dimatikan," kata Aryo putus asa.
"Mengapa dia begitu? Bilang kangen tapi belum mau menemui ibu."
"Mungkin dia takut kalau ibu mengetahui keberadaannya, lalu mengatakannya pada saya."
"Mungkin juga nak," kata bu Martono sedih.
"Dia benar-benar membenci saya, dan tak mau kembali pada saya."
"Kalau saja saya bisa berkomunikasi, tapi tidak, dia tak mau berkomunikasi.
"Apa yang harus saya lakukan bu?"
"Hanya menunggu sampai terbuka hatinya."
"Sampai kapan?"
"Kita harus bersabar nak, tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali Tuhan sudah berkenan mempertemukan kita dengannya."
***
Aryo mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedih. Pesan singkat yang diutarakan kepada ibunya, menunjukkan bahwa Arum memang tak mau lagi kembali. Sudah hampir setahun. Tak ada tanda-tanda Arum akan kembali. Ia juga hanya sekali menemui Angga, yang pada awalnya membuat dia bingung.
"Kapan lagi ibu peri menemui Angga?"
masih terngiang ditelinganya ketika Ratih membuat dongeng tentang ibu peri, dan mengatakan bahwa yang datang menemuinya adalah ibu peri yang berwajah sama dengan ibunya.
Aduhai. Aryo sangat mengagumi Ratih yang dengan tepat bisa mengalihkan perhatian Angga ketika bingung karena ditemui ibunya.
"Mengapa ibuku ada dua?"
Tapi pertanyaan itu tak lagi diutarakannya. Pertanyaannya berganti menjadi 'kapan ibu peri datang lagi' dan itu tak susah menjawabnya.
"Banyak anak-anak baik didunia ini yang harus ditemui ibu peri, jadi tidak setiap sa'at ibu peri bisa datang menemui Angga," jawab Ratih waktu itu.
Aryo merasa, tanpa ada Ratih, alangkah susahnya menghibur Angga yang merasa kehilangan ibunya.
"Apakah aku harus terus-terusan berharap pada Ratih? Maukah Ratih benar-benar menjadi ibunya Angga?" bisik hatinya yang kemudian ditepisnya jauh-jauh.
"Arum masih isteriku."
***
Pagi hari itu Arum sedang sendiri. Bu Suryo sedang menyelesaikan administrasi karena hari itu ia akan pulang.
Arum membereskan meja dan isi almarinya, barangkali ada yang ketinggalan. Ia bisa berjalan pelan, mengumpulkan barang-barang yang tersisa dan menaruhnya didalam keranjang yang ditinggalkan yu Siti.
Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul dihadapannya.
"Rini?"
"Apa ini bu Arum?"
Kemarahan Arum memuncak.
"Mengapa kamu datang kemari?"
"Ini bu Arum bukan?"
"Pergilah dari sini !! Apa kamu pura-pura tidak mengenal aku setelah kamu menjadi isteri Aryo?"
Rini hampir kabur ketika Arum mengusirnya. Ia yakin bahwa dia memang Arum. Tapi ia terkejut mendengar bahwa Arum mengira bahwa dia sudah menjadi isteri Aryo. Ini mengejutkannya, tapi membuatnya bersorak dalam hati.
Rini melangkah keluar, tapi sebelum pintu dibukanya, bu Suryo muncul dari sana.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment