SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 16
(Tien Kumalasari)
Begitu mendekat, bu Suryo menatap Rini dengan tajam. Ada nyala dimatanya.
"Kamu yang namanya Rini? Aku ingat, sepertinya pernah melihat kamu didepan poliklinik." tanyanya tanpa nada ramah.
"Iy..iya... " jawab Rini gugup menyaksikan sikap ibu-ibu yang tidak ramah. Rini kemudian teringat, wanita inilah yang selalu bersama Arum.
"Mau apa kamu kesini?"
"Be..benarkah yang dirawat adalah bu ..bu Arum?"
"Kalau ya kenapa, kalau tidak juga kenapa? Ada maksud apa kamu datang kemari?"
"Anu bu, kalau.. kalau benar dia.. bu Arum.. saya ingin.. ingin.. membezoeknya.."
"Membesuknya, atau mau mencelakainya?"
"Tidak.. saya.."
"Kamu kan perempuan murahan yang telah merusak rumah tangganya?" mata bu Suryo terus menatap tajam. Ingin sekiranya pantas maka ia menghajar Rini>
"Saya.. saya.. mm.. ma'af.. tidak.. tidak kok.." Rini melangkah mundur, kemudian setengah berlari kabur dari hadapan bu Suryo.
"Wong eddan ! Pengecut !! " umpat bu Suryo yang kemudian masuk kembali kekamar. Dilihatnya yu Siti sedang menyuapi Arum yang memakannya dengan lahap. Bu Suryo tersenyum senang.
"Kok kembali bu?" tanya yu Siti.
"Iya yu, lupa berpesan sama kamu. Kamu harus hati-hati, jangan sampai ada orang asing memasuki kamar ini," tandas kata bu Suryo.
"Iya bu, tapi.. memangnya ada apa?"
"Tidak apa-apa, ninggalin pesan kan boleh saja, kita wajib ber-hati--hati."
"Baiklah bu."
"Arum, makan yang banyak ya, kalau perlu habiskan itu masakan yu Siti."
Arum tersenyum.
"Iya bu, masakan bu Siti sangat enak. Saya makan banyak."
Bu Suryo mengangguk kemudian berlalu. Meninggalkan yu Siti yang sedikit heran, atas pesan bu Suryo yang menyuruhnya berhati-hati.
***
Terengah Rini memasuki kamar kerja Wuri. Dilihatnya Wuri sedang berkemas, karena sa'atnya pulang."
"Dari mana saja kamu? Hampir aku tinggal pulang tadi."
"Iya, minum, mana minum?"
"Ada apa sih? Kamu melihat setan lagi? Buyutnya setan? Atau moyangnya setan?"
"Nggak, nggak ada apa-apa," jawab Rini sambil menenggak habis minumannya."
"Aku nggak mau ya, kalu kamu bertingkah aneh-aneh."
Rini tak menjawab. Dengan mulut terkatup ia membantu membereskan meja Wuri. Ia enggan mengatakan apa yang terjadi [ada dirinya, karena ykin bahwa Wuri pasti akan memarahinya.
"Masukkan saja berkas itu kedalam tas hitam."
Rini melakukannya tanpa menjawab sepatah katapun.
"Kunci pintunya setelah itu, aku menunggu di depan," kata Wuri dingin. Ia yakin Rini pasti melakukan hal yang membuatnya kesal.
Rini membereskan semuanya, mengambil kunci dan menutupkan pitunya. Pikirannya dipenuhi oleh beribu pertanyaan. Jadi benar yang dirawat itu Arum, lalu siapakah Arum yang dilihatnya dirumah juragan ganteng? Ini ajaib, atau mataku sudah nggak bisa melihat jelas? Tapi kan Angga berteriak memanggil 'ibu'. Lalu yang keluar adalah bu Arum. kata batin Rini sambil meyakinkan bahwa pintu ruang kerja sahabatnya sudah terkunci. Kemudian setengah berlari dia keluar, menemui Wuri yang sudah menelpon taksi online.
***
"Rin, aku sudah tau, di ruang VIP I ada pasien bernama Arumsari. Itu kan yang membuat kamu selalu ingin kesana?" kata Wuri ketika mereka beranjak kekamar dan bersiap tidur.
"Kamu kira aku ngapain? Cuma ingin tau saja. Salah??" jawab Rini sambil meringkuk memeluk guling.
"Menurut aku itu salah. Salahnya adalah itu bukan urusan kamu, mengapa sih kamu selalu ribut kalau tentang Arum? Ketemu dia lewat, kamu ribut. Melihat lagi periksa, kamu ribut, sekarang melihat dia opname jamu juga ribut."
Rini memejamkan matanya, tapi kupingnya masih terbuka. Ingin ditutupinya dengan bantal, tapi takut Rini mendampratnya.
"Sebenarnya apa sih yang kamu inginkan? Kamu ingin berbuat jahat apa lagi?"
"Iih, kok nuduhnya begitu," lama-lama Rini ingin membantahnya juga.
"Kalau kamu tidak ingin berbuat jahat, untuk apa kamu memata-matai terus?"
"Dengar ya Wur, sebenarnya aku tuh mau ngomong, tapi takutnya kamu tuh bawaannya marah terus kalau sama aku."
"Aku marah karena mengingatkan kamu. Kamu sudah berbuat salah, jangan menambah kesalahan itu dengan dosa yang lain."
"Bukan begitu, dengar, ketika aku dirumah pak Arya, aku melihat bu Arum, tapi ketika dirumah sakit, aku juga melihat bu Arum. Apa salah kalau aku jadi penasaran?"
"Salahnya adalah karena itu bukan urusan kamu."
"Menurut kamu, bagaimana mungkin ada Arum didua tempat dalam waktu yang bersamaan?"
"Mata bisa saja salah liat."
"Maksud kamu mataku yang salah?"
"Iyalah, kamu itu kapan bisa melakukan hal bener. Bicara juga salah, kelakuan salah. Melihat juga pasti salah."
Rini terdiam. Mungkin juga dirinya salah. Tapi mengapa Angga memanggilnya ibu?"
"Sudah, tidur saja, besok kita dinas pagi, jangan sampai terlambat," kata Wuri sambil menarik selimut lalu memejamkan mata. Membiarkan Rini berperang melawan batinnya sendiri. Sumpah aku masih penasaran. Kata batin Rini.
***
Setelah mendengar penjelasan Aryo tentang kejadian yang menimpa rumah tangganya, hati Ratih merasa trenyuh. Sebuah malapetaka terjadi ketika seseorang tak bisa menahan godaan.
Setiap ia menatap Aryo, dilihatnya mata penuh sesal dan duka yang tersembunyi. Apakah Arum tak mau mema'afkan ketika sesal sudah dikemukakan? Bukankah Aryo sudah berteriak minta ma'af?
Ada rasa ingin mengetahui dimana sebenarnya Arum berada. Aryo sangat mencintainya dan berharap Arum akan kembali. Tapi dimana? Hampir setiap kali Angga sedang bermain dihalaman sekolah, Ratih selalu mengawasinya, barangkali Arum akan datang untuk menemui Angga kembali. Namun berbulan berlalu, hal itu tak pernah terjadi.
Walau Angga tampak telah melupakan kejadian adanya "ibu ada dua' tersebut, tapi Aryo pasti masih mengharapkannya, seperti juga Ratih yang ingin melihat Aryo bahagia kembali.
"Nak Ratih, tadi sebelum berangkat mengantar Angga ke sekolah, saya memasak rendang kesukaan Aryo. Nanti kalau nak Ratih pulang dibawa ya, untuk bapak yang selalu ditinggalkan dirumah." kata bu Nastiti membuyarkan lamunan Ratih. Ia sedang duduk didepan rumah sambil mengawasi Angga yang asyik mengendarai mobil kecilnya.
"Masih pagi, bagaimana ibu sempat memasak rendang?"
"Kemarinnya ibu nitip belanja sama ibu sebelah rumah. Daging dan beberapa bumbu, soalnya ibu nggak sempat belanja kan kemarin itu. Nah, daging sudah ibu presto sampai empuk, pagi tadi tinggal membumbui sampai matang."
"Oh gitu ya bu, ma'af tadi nggak bisa datang pagi karena bapak sedikit masuk angin dan minta dikerokin sebelum Ratih berangkat."
"Nggak apa-apa, untunglah Angga tidak rewel karena bapaknya sendiri yang mengajaknya mandi dan sarapan. Dan karena itu pula ibu sempat memasak."
"Syukurlah bu."
"Sudah ibu taruh didalam rantang, jangan lupa nanti dibawa ya."
"Ibu sudah sering membawakan makanan yang harus dibawa pulang Ratih. Nanti Ratih jadi keenakan karena sering nggak perlu memasak untuk keperluan bapak."
"Ya nggak apa-apa nak, kan nak Ratih juga selalu direpotkan oleh Angga, jadi apa salahnya ibu membantu sedikit saja."
"Terimakasih banyak bu."
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman, dan Angga berteriak senang.
"Horeee... bapak sudah pulang," teriak Angga sambil meminggirkan mobilnya."
Mobil Aryo berhenti. Angga turun dari mobil kecilnya dan menghampiri ayahnya.
"Bapak,kok sudah pulang. Apa ini sudah sore?"
Aryo turun lalu merengkuh anaknya, menggendongnya masuk kedalam rumah. Bu Nastiti berdiri diikuti Ratih.
"Tumben sudah pulang Yo?" tanya bu Nastiti.
"Iya bu, pengin makan siang dirumah, kan ibu tadi masak rendang kesukaan Aryo?"
"Oh, itu sebabnya ya? Baiklah, ayo kita makan sekarang saja. Ibu sudah siapkan dimeja."
"Angga turun dulu ya, bapak mau cuci tangan. Angga juga harus cuci kaki dan tangan sebelum makan," kata Aryo sambil menurunkan Angga.
"Ayo sama ibu.." katanya sambil lari mendekati Ratih dan ditariknya kekamar mandi.
Akhir-akhir ini Angga sudah terbiasa untuk tidak merengek apabi;a Ratih tidak datang dengan alasan bekerja.
Tapi siang itu Angga sangat gembira karena akan makan siang bersama ayahnya juga. Dan kembali Angga mengatur tempat duduk Ratih yang harus berdampingan dengan ayahnya.
"Bapak disini, ibu disini. Angga disini.. eyang disitu.." celotehnya yang tak bisa dibantah oleh Ratih.
Tapi lama kelamaan rasa kikuk Ratih sudah berkurang. Sudah biasa kalau Angga mengatur-ngatur begitu.Ia juga dengan cekatan mengambilkan nasi untuk Aryo dan bu Nastiti, lalu untuk Angga kemudian baru dirinya sendiri.
"Ini sebuah keluarga yang utuh," gumam Aryo tanpa disadari, membuat Ratih kemudian menoleh kepadanya. Tapi Aryo kemudian tersenyum dan meminta ma'af.
"Ma'af, memang seperti itu walau hanya tampaknya."
Ratih tersenyum, hanya tampaknya, memang. Tapi itu menyenangkan buat Ratih, walau Aryo pasti masih merasa bahwa itu hanya bayangannya saja.
"Bapak, kata ibu, Angga besok sudah hampir sekolah beneran."
"Lho, memangnya selama ini Angga sekolah pura-pura?"
"Sekolahnya namanya Taman Kanak Kanak. Iya kan bu?"
"Iya, sayang."
"Berarti Angga sudah semakin besar, dan kalau semakin besar itu kan nggak boleh nakal."
"Angga tidak nakal."
"Bagus kalau begitu."
"Mengapa ya, ibu yang satunya itu tidak datang lagi?" kata Angga tiba-tiba. Mengejutkan semua orang. Ternyata Angga masih memikirkannya. Mungkin ia masih penasaran karena tak pernah mendapat jawaban yang diharapkannya dari ayahnya, neneknya maupun dari 'ibu' Ratih.
"Angga, nanti setelah makan ibu akan menceritakan sesuatu."
"Tentang ibu yang satunya itu?"
Ratih mengangguk.
"Tapi habiskan dulu makannya ya."
***
Begitu Ratih selesai membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor, Angga sudah menunggunya diteras bersama ayahnya.
"Ibuu... sini.." kata Angga sambil melambaikan tangannya.
Ratih mendekat.
"Ibu duduk didekat Angga sini.," lagi-lagi Angga mengatur dimana Ratih harus duduk.
Ratih duduk didekat Angga, sementara Angga berada ditengah tengah, diantara Aryo dan didirnya.
"Ibu bilang mau bercerita tentang 'ibu'"
"Oh, baiklah. Dulu itu kan Angga melihat seorang wanita cantik, yang wajahnya mirip ibu ini kan?"
"Itu ibu."
"Angga pernah mendengar dongeng waktu disekolah tentang seorang peri?"
"Peri itu kan seperti bidadari, cantik, suka menolong. Ya kan?"
"Peri itu suka pada anak baik, anak pintar, dan anak yang suka menurut."
"Iya benar.."
"Nah, ada seorang peri yang sangat suka kepada Angga. Karena Angga lah anak baik yang disukai peri."
"Benarkah?"
"Peri itu sangat sakti. Ia selalu tampak cantik dan bisa berubah ujud menjadi apa saja. Menjadi bunga, menjadi burung, menjadi manusia."
"Hebat ya?"
"Ia juga bisa mengubah wajahnya menjadi seperti ibu."
"Benar?"
"Iya. Nah, yang Angga lihat kemudian menciumi Angga itu, adalah peri yang sangat baik dan sayang kepada Angga."
"Ooh, jadi itu peri ?"
Aryo tertegun. Bagaimana Ratih bisa mendapatkan dongeng seperti itu? Ia gadis yang luar biasa, pikir Aryo.
"Benar. Jadi mulai sekarang jangan bilang lagi bahwa ada ibu dua ya?"
"Dia peri yang baik. Kapan dia datang lagi?"
"Pada suatu hari nanti."
Angga tampak termenung, tapi merasa bahwa apa yang dikatakan Ratih itu benar adanya. Dia didatangi peri cantik, dan itu karena dia anak baik.
"Peri itu baik seperti ibu," kata Angga sambil menjatuhkan kepalanya dipangkuan Ratih. Aryo berdiri sambil mengusap titik air matanya.
***
Siang itu bu Suryo hanya menunggu yu Siti datang menggantikannya menemani Arum. Ia sudah bisa duduk dan wajahnya tampak lebih segar.
Baru saja dokter Bram mengatakan, bahwa satu dua hari lagi Arum sudah bisa pulang.
Bu Suryo senang mendengarnya.
"Tapi bu Arum masih harus sering kontrol, minimal seminggu sekali.' kata dokter Bram. Dan entah mengapa, Arum senang mendengarnya. Eh, senang karena boleh pulang atau senang karena masih bisa bertemu dengan dokter muda yang menawan itu? Arum memarahi batinnya sendiri.
Ketika dokter itu pergi, Arum masih menelan rasa senang itu dalam senyuman yang selalu disunggingkannya.
"Ibu senang melihat kamu sudah lebih segar Arum. Jangan sakit lagi ya? Asalkan kamu selalu merasa gembira, bahagia, bisa melupakan hal-hal buruk yang telah lampau, maka kamu pasti akan sehat."
"Iya bu, semua ini karena ibu. Saya seperti berhutang nyawa pada ibu."
"Jangan lagi bilang begitu. Ibu tidak menghutangkan apa-apa sama kamu."
"Iya ibu, ma'af."
Tiba-tiba pintu terbuka, dan yu Siti masuk.
"Nah, yu Siti sudah datang, ibu pulang dulu ya."
"Iya bu."
"Kamu bawa apa itu yu?"
"Bubur ayam. Nak Arum ingin bubur ayam kemarin, ini sudah saya buatkan."
"Baguslah. Ayo Arum, dihabiskan nanti masakan yu Siti ya."
"Ya ibu," jawab Arum senang.
Bu Suryo keluar dari kamar sambil memanggil Pono melalui ponselnya. Ia bergegas keluar karena ada suatu keperluan.
Ketika hampir sampai di lobi rumah sakit, Rini melihatnya.
"Eh, itu kan ibu-ibu galak yang memarahi aku? Hm, baguslah dia sudah pulang," gumam Rini yang kemudian berjalan kearah ruang dimana Arum dirawat.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment