Monday, July 13, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 15

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  15
(Tien Kumalasari)

Rini melepaskan tangan Angga yang sedang menggenggam tangannya. Ia bergegas keluar dari halaman dan menghilang dibalik pagar, setelah melihat sesosok bayangan orang yang dikenalnya, Arum, keluar dari rumah.
Angga heran melihat sikap Rini.
"Angga, ngapain kamu disitu, ayuh sini.. ibu sudah membuat susu untuk Angga."
Angga berlari mendekati Ratin.
"Ibuuu... ada Rini disana.." katanya sambil menun juk kejalan.
"Mana dia sekarang, ibu tadi melihatnya sekilas."
"Sudah pergi lagi."
Ratih teringat nama itu. Rini, yang ketemu disebuah toko mainan, dan Aryo tampak sangat membencinya. Siapa sebenarnya Rini? Terbersit keinginan untuk mengetahuinya. Dan mengapa Aryo sangat membencinya, sementara Angga tampak sangat akrab dengannya.
"Ya sudah, biarkan saja, ayo diminum dulu susunya."
"Mengapa Rini pergi?"
"Mungkin ada keperluan."
"Keperluan itu apa?"
"Keperluan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan. Aduh.. kamu nih, semua-semua ditanyakan, anak pintar, anak ganteng, ayo diminum dulu susunya," kata Ratih yang kemudian menggandeng tangan Angga kedalam rumah.
***

Rini melangkah semakin menjauhi rumah keluarga Aryo, dengan benak penuh pertanyaan. Bukankah Arum terbaring dirumah sakit setelah menjalani operasi? Mengapa tadi ada dirumah? Salahkah ia melihat brankar yang membawa Arum kearah kamar operasi?  Rini terus berjalan, lupa memanggil taksi atau kendaraan lain agar bisa membawanya kembali kerumah Wuri.
"Apa mataku rabun? Dirumah itu ada bu Arum, dirumah sakit ada bu Arum.. apa aku gila karena tergila-gila pada pak Aryo yang guanteng?" gumamnya sepanjang jalan.
Karena bingung Rini melangkah kerumah sakit. Ditemuinya Wuri yang heran melihat kedatangannya.
"Katanya mau ada perlu?"
"Nggak jadi."
"Kok..?"
"Nggak ketemu sama orangnya."
"Hm.. lalu mengapa kamu celingukan kesana kemari?" tanya Wuri karena Rini tampak seperti orang bingung.
"Eh.. dengar.. aku tuh melihat bu  Arum opname disini sehabis operasi. Tapi kok tiba-tiba dia ada dirumah ya?" 
"Tuh kan,.  kamu ijin karena punya maksud yang nggak baik kan? Aku sudah menduga."
"Aduuh, jangan ngomel dulu dong, aku lagi bingung nih."
"Nggak usah bingung, itu bukan urusan kamu. Sekarang sini, catat yang sudah aku tulis itu dibuku, seperti biasa."
"Aku mau ke bangsal pasien rawat inap dulu, boleh kan?"
"Nggak boleh, kalau nekat juga aku akan pecat kamu!" kata Wuri tegas, lalu mengerjakan pekerjaannya yang lain.
"Waduh, kejam amat!"
Wuri tak menjawab. Dia kesal pada ulah sahabatnya.
Namun Rini tak kehabisan akal. Dia berjanji pada dirinya, akan melihat ke bangsal dimana Arum dirawat. Dia harus yakin akan penglihatannya.
***

"Bu Arum.. bagaimana sekarang? Merasa lebih baik?" kata dojter Bram ketika memeriksa Arum sore itu.
Arum tersenyum. Ia merasa setiap kata yang diungkapkan sang dokter selalu bisa menyentuh perasaannya. 
"Bagaimana ?"
"Baik dok,"  jawab Arum pelan.
"Masih ada yang terasa sakit?"
"Disini dok," kata Arum sambil menunjukkan bekas jahitan ditempat yang dioperasi dua hari  lalu.
"Oh, iya.. masih terasa nyeri ya, iyalah pastinya, kan masih baru lukanya. Tapi nanti akan sembuh kok. Merasa pusing?"
"Tidak,"
"Bagus, tekanan darah sudah normal, cuma kurang sedikit, besok pasti lebih baik."
Arum tersenyum lagi. Dan dokter Bram suka menikmati senyum itu. Ada mata yang teduh tapi membuat trenyuh. Ada duka yang entah apa, dipendamnya jauh didasar hatinya. Ingin dokter Bram menanyakannya, tapi sungkan. Mungkin nanti.
"Siapa yang menemani disini ?"
"Ibu, tapi sedang pulang sebentar.."
"Suami bu Arum?"
Arum terdiam, matanya mendadak berkilat oleh air mata yang merebak. Dokter merasa menyesal menanyakannya. Itukah sebabnya maka mata itu seakan menimbulkan trenyuh?
"Ma'af bu Arum, saya tidak bermaksud membuat iby sedih," kata dokter Bram penuh rasa sesal. 
"Tidak apa-apa dokter," jawab Arum lirih
"Baiklah bu Arum, besok dicoba latihan duduk ya? Pasti masih sakit, tapi pelan-pelan harus dicoba."
"Baik."
"Suster, infusnya bisa diganti setelah ini," perintahnya kepada suster yang mengantarkannya.
"Baik dokter."
"Bu Arum sudah bisa makan banyak kan?"
"Sedikit,"
"Kok sedikit, makan yang banyak supaya segera sehat. Ya?"
Arum lagi-lagi mengangguk sambil tersenyum.  Genangan air mata itu masih tampak disana. Dokter Bram ingin mengusapnya. Tidak, itu tidak sopan, pikirnya. Ia mengambil selembar tissue kemudian diberikannya pada Arum. Dia mengangguk sebentar lalu meninggalkan Arum sendirian. 
Arum memandangi tissue yang diulurkan dokter muda itu. Diusapnya setitik air matanya. Pastilah banyak yang bertanya-tanya, mengapa dalam keadaan sakit, habis dioperasi lagi, maka tak tampak suaminya menunggui.  Arum teringat, ketika sebelum operasi, harus suami menandatangani surat pernyataan, bu Suryo mengatakan bahwa suaminya sedang pergi dan dia ibunya yang akan menandatanganinya.  
Mungkin sang dokter mengira bahwa perginya tidak akan lama. Ah, entahlah, Arum tidak akan memikirknnya. 
Tak lama kemudian suster perawat menggantikan infusnya.
"Ada keluhan bu? Ada yang terasa sakit?" perawat itu bertanya.
"Tidak, suster."jawab Arum pelan. Kalau pertanyaannya, apakah hati ibu sakit? Pasti akan dijawabnya..'ya'. Tapi tidak, Arum akan berusaha melupakan semuanya. Suaminya sudah melupakannya, dan menaruh perempuan penghianat itu didalam rumah tangganya, menjadi ibu bagi  anaknya. Tak akan lagi ada sesal seandainya dia tak pulang sekalipun.
***

Ketika Angga sudah tidur  malam itu, Ratih bersiap untuk pulang. Bu Nastiti mengantarkan sampai kedepan sambil mencari-cari Aryo ada dimana.
"Sudah bu, nggak apa-apa, saya pulang sendiri saja," kata Ratih.
"Jangan nak, ini sudah malam. Mana ya Aryo, " kata bu Nastiti sambil melongok ke halaman.
Dibawah pohon mangga dilihatnya Aryo sedang duduk termenung. Tapi ia bangkit ketika melihat ibunya dan Ratih berjalan kearahnya.
"Biar saya pulang sendiri saja pak," kata Ratih.
"Eh, jangan bu, biar saya antar," kata Aryo sambil masuk kedalam rumah untuk mengambil kunci mobil.
"Setiap hari saya merepotkan ya bu," kata Ratih kepada bu Nastiti.
"Bukannya terbalik nak? Kami yang se;a;u merepotkan nak Ratih bukan?"
"Tidak bu, saya tidak merasa repot. Sungguh.."
"Mari bu Ratih," kata Aryo yang sudah mengganti baju dari kaos singlet yang tadi dikenakannya. Ratih melirik sesa'at, lalu mengalihkan pandangan kearah lain.
Aryo membukakan pintu mobil agar Ratih duduk disebelahnya.
Ratih melambaikan tangan kearah bu Nastiti ketika mobil itu berjalan dan keluar dari halaman.
"Angga meletihkan bukan?"
"Tidak pak, dia anak baik. Saya suka."
"Terimakasih untuk semua yang bu Ratih lakukan. Kalau tidak ada bu Ratih, entah bagaimana saya menghadapi anak saya yang kehilangan ibunya."
"Jangan difikirkan pak, asalkan Angga senang, saya juga senang."
"Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih."
"Bolehkah saya menanyakan sesuatu ?" tanya Ratih.
"Silahkan, ada apa?"
"Siapa sebenarnya Rini?"
Aryo menghela nafas berat. Ingatan akan Rini membuat wajahnya muram. Dari dialah awal dari semua kejadian ini.
"Ma'af, kalau keberatan, tidak usah bapak menjawabnya. Kemarin dia datang kerumah, tapi begitu Angga memanggil saya, dan saya keluar, dia tiba-tiba kabur."
"Oh ya?"
"Tampaknya dia mengira bahwa saya adalah bu Arum."
"Pastinya begitu. Mm.. saya akan mengatakan semuanya. Bu Ratih sudah sangat baik kepada keluarga saya, saya tak akan menutupi semua rahasia ini."
Ratih diam, menunggu apa yang akan dikatakan Aryo.
"Ceritanya panjang. Maukah bu Ratih menemani saya sekedar minum disebuah restoran? Saya akan mengatakan semuanya."
Karena terdorong oleh rasa keingin tahuan, Ratih mengangguk.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama."
"Tidak, hanya sekedar minum atau makan sesuatu, agar saya bisa mengatakan semuanya."
Aryo menghentikan mobilnya disebuah rumah makan. Ia memilih tempat duduk yang agak jauh dari beberapa orang lain yang sedang makan disana.
"Bu Ratih mau minum apa?" tanya Aryo ketika mereka sudah duduk.
"Saya lemon tea saja. Yang hangat."
"Sama kalau begitu. Mau makan apa?"
"Nggak usah pak, nanti saya nggak bisa menemani bapak saya makan kalau kekenyangan disini."
"Yang ringan-ringan saja. Oh ya, ada kroket enak disini. Mau ya?"
Aryo memesan minumannya dan kroket dua porsi. Mereka duduk berhadapan. Sesekali mata mereka bertatapan. Ada getar aneh yang mengganggu Aryo ketika menyadari bahwa dia sudah beristeri. Tidak, aku tidak boleh punya perasaan aneh seperti ini. 
Aryo menghela nafas. 
"Pak Aryo jadi mengatakan sesuatu?" tanya Ratih mengingatkan.
"Oh ya.. oh ya, aduuh, saya kok merasa gelisah seperti ini," kata Aryo sambil meletakkan kedua tangan diatas meja.
"Gelisah?"
"Saya teringat isteri saya. Dulu kami sering makan dan minum disini."
Ratih terdiam, barangkali Aryo akan memulai ceritanya dari situ. Ternyata kemudian dia terdiam sambil memainkan kunci mobil yang terletak didepannya. Bahkan sampai pesanan mereka datang, Aryo belum juga mengatakan sesuatu tentang Rini.
"Kalau bapak keberatan, tidak usah dipaksakan. Ma'af kalau rasa keingin tahuan saya mengganggu pak Aryo." 
"Tidak, saya akan menceritakan semuanya. Silahkan diminum," kata Aryo sambil mengaduk minumannya.
Ratih mengikutinya. Dalam udara yang mulai dingin, memang lebih baik minum minuman hangat.
"Sesungguhnya semua ini salah saya. Iman saya kurang teguh, dan mudah tergoda. Situasi sa'at itu memang sangat mendukung. Hujan, dingin, isteri saya sedang pergi membezuk temannya yang lagi sakit. Angga sudah tidur, dan Rini menggoda saya. Entah salah siapa, walau tidak sampai melakukan hal terlarang yang lebih jauh, tapi sesungguhnya itu tidak pantas saya lakukan. Ketika itulah Arum datang dan melihat semuanya."
Ratih tercekat mendengar semuanya. Tidak terlalu panjang, tapi Ratih sudah bisa menangkapnya. Ada sa'at luang, ada situasi mendukung, dan ada setan mengipasi, yang terakhir adalah ada iman yang mudah runtuh.
"Saya sangat menyesal. Isteri saya pergi begitu saja, dan tak pernah kembali. Tapi bahwa dia sempat menemui Angga beberapa bulan yang lalu, saya sedikit lega, artinya dia masih ada dan tak kurang suatu apa. Tadinya saya berfikiran buruk, jangan-jangan dia bunuh diri, jangan-jangan.. ah.. bayangan-bayangan buruk selalu menghantui saya."
Ratih merasa iba menatap wajah Aryo yang berubah sendu. Ia telah melakukan kesalahan, dan ia menyesalinya. Mengapa Arum tak bisa mema'afkannya?
"Saya beruntung bisa bertemu bu Ratih, yang bisa menjadi 'ibu' bagi Angga. Terimakasih banyak," kata Aryo yang kali ini agak tersendat, seperti menahan tangis.
Ratih ingin menghiburnya, tapi bagaimana? Ia tak mungkin menyentuhnya. Ia hanya menetapnya iba.
"Ma'af bu Ratih, saya terbawa perasaan."
"Pak Aryo harus sabar, pada suatu hari nanti bu Arum pasti akan kembali kepada pak Aryo. Tak mungkin selamanya dia melupakan keluarganya."
"Sudah hampir setahun.." keluh Aryo.
Ratih meneguk minumannya. 
"Ah, sudahlah, silahkan dimakan kroketnya." kata Aryo ketika merasa lebih tenang. Ia merasa lega telah mengungkapkan semua yang terjadi kepada Ratih. Ia berhak tau karena dia selalu ada untuk Angga.. dan kalau terjadi Rini datang lagi, Ratih sudah tau bahwa dia membencinya karena sesuatu hal, dan Ratih juga tau bagaimana harus bersikap.
***

"Tadi pagi dokter Bram tidak datang, apa tadi juga tidak kemari?" tanya bu Suryo ketika sudah datang malam itu, bersama yu Siti.
"Datang bu." 
"Syukurlah. Apa katanya?"
"Hanya memeriksa seperti biasa. Katanya besok Arum harus latihan duduk."
"Apa tidak terasa sakit lagi?"
"Tidak begitu sakit, sudah berkurang."
"Syukurlah."
"Bu Siti  nanti tidur disini ?"
"Iya, nanti biar yu Siti tidur disini."
"Ibu dirumah sama siapa?"
"Tidak apa-apa sendiri. Pono ibu suruh tidur di garasi, supaya kalau diperlukan se-waktu-waktu kita tidak usah kelamaan menunggu."
"Saya juga ingin segera pulang."
"Ya jangan tergesa-gesa ingin pulang. Biar dokter yang menentukannya."
"Sedih merepotkan ibu terus."
"Kamu lupa, ibu pernah berkata apa. Kamu itu kan anakku, mana ada orang tua keberatan direpotkan anak?"
"Terimakasih ibu," kata Arum lirih, penuh haru.
"Tapi menurut ibu,kamu juga harus ingat orang tua kamu."
"Saya masih ingat ketika ibu menerima Rini waktu saya mau kesana."
"Kalau begitu telepone saja Rum, mengatakan pada ibu kamu, bahwa kamu baik-baik saja, agar ibumu lega. Sudah hampir setahun ka mu menghilang."
Arum menghela nafas. Sebaiknya begitu, ia akan menelpone ibunya saja. Entah kapan akan datang kesana.
"Ini ponsel kamu." kata bu Suryo sambil menngulurkan ponsel Arum yang semula dibawanya. Bu Suryo juga yang membelikan ponsel itu untuk Arum, agar Arum bisa menghubungi siapa yang ingin dihubunginya. Tapi ternyata Arum hanya mempergunakan untuk berhubungan dengan dirinya, atau Pono kalau akan disuruh melakukan sesuatu.
"Terimakasih bu, ini sudah malam, besok saja Arum menelpone ibu."
"Yu Siti, mengapa kamu diam saja? Tadi kan kamu membawa stup makaroni untuk Arum?"
"Iya bu, habisnya ibu masih bicara sama nak Arum."
"Nggak yu, aku mau pulang sekarang. Biarkan Arum makan masakan kamu itu, biasanya dia suka."
"Iya bu Siti, saya suka, mau dong sedikit." kata Arum sambil tersenyum.
"Sudah ya, ibu pulang dulu. Yu, kamu temani Arum, kalau ada apa-apa telephone saja kerumah."
"Ya bu, kata yu Siti yang sibuk mengeluarkan masakan yang dibuatnya untuk Arum, menyendokkan beberapa sendok setup makaroni kepiring yang sudah disiapkannya.
***

Bu Suryo keluar dari kamar Arum, sambil menelpon Pono yang menunggu diluar.
"No, aku sudah mau pulang, mobilmu diap di lobi ya."
Namun ketika baru beberapa langkah meninggalkan kamar itu, dilihatnya seorang perempuan yang berjalan pelan, sambil membaca setiap nama yang ada dikamar-kamar pasien. Bu Suryo curiga karena perempuan itu berdiri didepan pintu kamar Arum. Ia kembali, dan mendekati perempuan itu. Bu Suryo tak mengenalnya.
"Kamu siapa?" tanyanya tiba-tiba, megejutkan perempuan itu.
"Saya.. saya Rini," jawabnya gugup.
Bu Suryo terkejut. Ia ingat perempuan yang menyebabkan Arum pergi dari rumahnya. Dan kemarahannya memuncak.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER