SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 14
(Tien Kumalasari)
Rini mundur kebelakang, menabrak gerobag dorong yang membawa seabreg obat-obatan.
"Rini !!" teriak Arum.
Tapi Rini terus berlalu, setengah berlari dan mendapat ketuntungan karena gerobag obat-obatan itu berhenti. Pendorongnya memunguti beberapa box obat yang terjatuh akibat tertabrak olehnya, dan itu menutupi penglihatan Arum atas dirinya.Tak perduli pendorongny mengomel dengan wajah geram melihat Rini bukannya membantu malah berlari sepeti dikejar setan.
"Siapa Rum?" tanya bu Suryo yang duduk disebelah Arum.
"Saya melihat Rini bu, tapi baru saya panggil dia sudah lari ketakutan," kata Arum kesal.
"Dia pegawai rumah sakit ini?"
"Sepertinya bukan, dia tidak memakai seragam seperti karyawan lainnya. Mungkin juga sedang berobat. Entah sakit apa."
"Ya sudah, biarkan saja. Siapa menanam dia akan memetik buahnya."
Arum merasa lemas, badannya sedang tidak begitu sehat, ditambah bertemu dengan Rini yeng menyulut kembali kemarahannya.
Disandarkannya kepalanya kepundak bu Suryo, yang mengelusnya lengannya agar Arum lebih tenang.
"Bu, lama sekali tidak segera dipanggil, Arum sangat letih."
"Sebentar lagi pasti dipanggil. Sabar sebentar ya."
"Sakit apa saya ini bu?"
"Kamu terlalu banyak pikiran, itu saja kok. Oleh sebab itu kamu harus tenang, lepaskan semua pikiran yang membuatmu sedih. Percayalah, kamu akan segera sehat, dan mendapatkan kebahagiaanmu kembali."
"Ibu Arumsari..! teriak perawat memanggil nama Arum.
Bu Suryo membantu Arum berdiri, dan menuntunnya kedalam ruangan praktek.Dilihatnya seorang dokter duduk menunggu. Bukan dokter yang biasanya merawat Arum. Ini dokter muda, dan .. sedikit handsome.. Dengan wajah resik dan senyum simpatik, dan tatapan mata tajam yang menenangkan, dipersilahkannya Arum dan bu Suryo duduk.
"Selamat siang, ibu," sapanya ramah.
"Selamat siang dok. Kok dokternya ganti?" tanya bu Suryo.
"Saya menggantikan dokter Seno, yang dipindahkan ke rumah sakit pusat. Saya dokter Bram. Bramasto."
Arum menatap dokter muda itu tanpa mengucapkan sesuatu. Ia merasa lemas, tak bertenaga.
"Menurut catatan yang saya baca, ibu Arum sehat kok. Tapi mengapa tampak seperti orang sakit? Banyak pikiran barangkali?"
Arum tersenyum, tipis.
"Apa yang ibu pikirkan ?"
Masih sambil tersenyum tipis Arum menatap dojter muda itu. Dokter itu membalasnya dengan tatapan tajam.
"Banyak dok yang dipikirkan anak saya. Baru mendapat cobaan," kata bu Suryo menerangkan.
"Oh, baiklah, tapi semua cobaan kan harus dihadapi ya bu, tidak harus patah semangat. Apa ibu tau? Pikiran yang terlalu berat bisa menimbulkan penyakit?"
Arum menundukkan kepalanya. Begitu lembut dokter itu berkata dan sedikit menenangkannya.
"Sekarang apa yang ibu rasakan?"
"Hanya lemas," jawab Arum lirih.
"Baiklah, saya akan memeriksa ibu lagi. Silahkan berbaring
Arum berdiri, seorang perawat membantunya berbaring/ Lalu memeriksa tekanan darah Arum.
"Tolonglah dok, beri dia semangat untuk hidup," kata bu Suryo berbisik.
"Separah itu?"
Bu Suryo mengangguk.
"Kalau keadaannya sudah sehat, maka siap dioperasi ya bu," kata dokter Bram.
Perawat sedang mengajaknya bicara, sehingga Arum tak bisa menangkap pembicaraan bu Suryo dan dokter Bram.
"Masih rendah bu, " kata perawat itu kepada Arum. Ketika perawat itu mundur, dokter Bram berdiri dan melakukan tugasnya memeriksa Arum.
"Bu Arum harus makan yang banyak, pikiran tenang, dan jangan lupa obatnya ya." kata dokter Bram yang memeriksa dengan stetoskop nya.
Arum mengangguk pelan. Dan lagi-lagi tatapan mata tajam pak dokter bagai menusuk jantungnya.
"Saya tuliskan resepnya ya bu," kata dokter Bram setelah memeriksa Arum.
"Tekanan darah masih rendah, jantung sedikit lemah. Rutin diminum obatnya ya." katanya sambil menatap Arum.
Arum mengangguk.
"Kalau semuanya sudah baik, maka bu Arum siap dioperasi."
Arum terkejut. Ia tak pernah tau apapun tentang penyakitnya, dan sekarang akan dioperasi?
***
Wuri jengkel karena Rini pergi lama sekali. Begitu datang, ia terengah engah seprti baru saja menyelesaikan lomba lari maraton seribu kilo.
"Kamu dari mana sih? Jadi makan duluan ya?"
"Nggak.. boro-boro makan, minum juga nggak sempat." katanya sambil terengah.
"Kamu kenapa sih?"
"Mana air minum punya aku tadi?" tanyanya kemudian mengambil botol minuman mineral yang airnya masih tersisa setengahnya, lalu diteguknya habis.
"Kamu kenapa sih? Dikejar setan?"
"Bukan cuma setan. Ini sih buyutnya setan. Haduuuh... "
"Tadi mana berkasnya? Jangan-jangan jatuh entah dimana karena kamu kabur dari buyutnya setan."
"Sudaaah... sudah beres. Ayo sekarang makan, semua sudah pada pergi makan tuh."
"Ya, sebentar. Tapi katakan tadi kenapa?"
"Aku melihat bu Arum."
"Aduuh, bu Arum lagi?"
"Eh, tau nggak, tadi aku pas mau menghindar, eh.. dia malah melihat aku. Dia memanggil aku, lalu aku kabur."
"Orang kalau punya dosa ya begitu itu. Sudah ayo makan," kata Wuri sambil berjalan keluar dari ruang kerjanya. Rini mengikutinya.
"Jangan lewat situ, ayo lewat sini saja."
"Kenapa sih, jauh, tau, katanya keburu lapar."
"Iya sih, tapi dia masih disana."
"Dimana?"
" Di klinik bedah," kata Rini sambil menarik Wuri agar melewati jalan lain.
"Dia mau operasi?"
"Ya nggak tau, mendekat saja tidak."
"Sakit apa dia? Sama suaminya?"
"Nggak, sama ibu-ibu, tapi itu bukan ibunya sendiri, aku kan kenal sama bu Martono, ibunya bu Arum."
"Mungkin pembantunya."
"Ihh, bukan, pembantu pakaiannya glamour begitu. Pasti orang kaya dia."
"Oh, saudaranya barangkali."
"Ketika aku melihatnya pertama kali, juga sama ibu-ibu itu. Tapi ketika aku melihat ditoko mainan beberapa minggu yang lalu itu, bu Arum kelihatan segar lho, tidak seperti orang sakit."
"Bisa jadi ketika itu pas merasa badannya segar, tidak merasakan sakit."
"Seandainya bisa ketemu pak Aryo, tapi kalau pas sendiri lho, aku mau menanyakan, sakit apa isterinya."
"Ada apa sih, kau mau tau urusan orang. Kamu sudah hampir merusak rumah tangganya, masih usil saja."
"Nggak apa-apa, iseng saja. Lagian aku kangen melihat wajah gantengnya."
"Nggak waras-waras juga nih orang."
"Nggak tau kenapa, aku ingin mengganggunya."
Wuri terdiam, wajahnya muram, tampak bahwa ia sangat marah pada sahabatnya.
"Halloooowww... aku hanya bercanda, kok marahnya beneran sih?"
***
Ketika disepanjang perjalanan pulang itu Arum hanya terdiam, tapi begitu sampai dirumah, ia tak tahan lagi untuk bertanya kepada bu Suryo.
"Ibu, sebenarnya saya sakit apa?"
"Pono !!" teriak bu Suryo memanggil Pono.
Pono mendekat, bu Suryo mengulurkan selembar resep dan beberapa lembar uang ratusan ribu.
"Tolong belikan obat ini di apotik yang biasa ya No, tadi mau sekalian mampir, bu Arum tampaknya sangat lelah."
"Baik bu," jawabnya kemudian berlalu. Yu Siti, tolong siapkan baju ganti untuk Arum ya."
Yu Siti menatap Arum.
"Nak Arum sudah sehat?"
"Sudah, nanti kita bicara lagi, sekarang biar Arum cuci kaki tangan dan berganti pakaian."
Yu Siti pergi kekamar Arum dan mengambil pakaian ganti untuk Arum, kemudian diketuknya pintu kamar mandi .
"Nak Arum, ini baju ganti untuk nak Arum."
Arum membuka pintu kamar mandi, menerima baju yang dibawa yu Siti lalu menutupnya lagi. Ia sama sekali tak pernah diberitau tentang penyakitnya, dan tiba=tiba akan dioperasi? Sakit apa aku ini?
Bu Suryo selama ini memang menyembunyikan penyakit yang diderita Arum. Tak berani mengatakannya karena khawatir akan menambah kesedihan Arum.
"Yu Siti, Arum hanya menghabiskan obat yang tadi diberikan dokter, untuk sebulan. Setelah itu kalau kondisinya sudah kuat, akan segera dioperasi."
"Apa itu bahaya bu?" tanya yu Siti dengan nada khawatir."
"Tidak yu, justru kalau tidak dioperasi akan menjadi bahaya. Aku belum pernah membicarakan tentang penyakitnya ini kepada Arum yu, khawatir kalau dia shock.. kondisinya masih seperti itu. Apalagi kalau teringat akan anaknya."
"Sangat memprihatinkan ya bu, saya sering menangis kalau memikirkan keadaan nak Arum. Nasibnya sungguh buruk."
Arum sudah keluar dari kamar mandi. Bu Suryo siap mengatakan tentang operasi itu, karena memang sudah sa'atnya dia tau. Ia mengikuti Arum masuk kedalam kamarnya.
"Arum, istirahatlah sebentar. Yu Siti akan menyiapkan makan siang, sementara itu Pono pasti sudah kembali dari membelikan obat untuk kamu."
"Ibu, mengapa saya harus dioperasi?"
"Sebenarnya ibu sudah lama ingin mengatakannya. Tapi ibu menghawatirkan keadaan kamu yang masih lemah. Bukan hanya lemah raga, tapi juga jiwa kamu."
"Setiap saya bertanya, ibu selalu menjawab saya tidak apa-apa."
"Benar. Setiap ibu konsultasi dengan dokter, ibu selalu mengatakan tidak apa-apa. Habis pemeriksaan apapun selalu ibu merahasiakannya. Ibu kgawatir kamu bertambah sedih mendengarnya. Tapi akhirnya ibu harus mengatakannya, karena bagaimanapun kamu harus menjalaninya."
Arum duduk ditepi pembaringan, menatap bu Suryo yang duduk dikusi didekatnya.
"Berbaringlah, kamu tadi merasa lemas bukan?"
Arum menurut, dibaringkannya tubuhnya, lalu bu Surryo memijit kakinya perlahan.
"Tapi kamu tidak usah khawatir. Kamu akan ditangani oleh ahlinya."
"Penyakit saya apa?" tanyanya lirih, dengan hati berdebar-debar.
"Ada tumor dirahim kamu."
"Oh, itu ganas? Apa saya akan mati?"
"Mengapa kamu berkata begitu? Kamu aku bawa ke dokter, biar diobati, biar kamu sehat, dan aku tak akan membiarkan hal buruk terjadi sama kamu."
"Sudah diperiksa, itu tumor jinak. Kamu nggak usah takut. Justru kamu dioperasi supaya kamu sehat."
Arum sangat terharu, begitu besar perhatian bu Suryo kepada dirinya. Ia menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk dirinya. Lagi-lagi air matanya berlinang. Lalu bu Suryo mengusapnya lembut.
"Apa yang harus saya lakukan untuk membalas semua kebaikan ibu?"
"Apa maksudmu? Kamu itu anakku, dan merawat anak bukan sebuah kebaikan, tapi sebuah kewajiban. Lupakan semua itu, dan aku hanya ingin kamu segera menemukan kebahagiaan. Jadi kamu harus sehat, dan raih kebahagiaan itu."
***
Sebulan berlalu, Ratih mengisi hari-harinya dengan selalu menghibur Angga, dan berusaha melupakan 'ibu yang satunya'. Ia mengajaknya bermain, dan terkadang mendongeng sa'at Angga mau tidur.
Terkadang Ratih harus tidur juga dirumah keluarga Aryo kalau Angga sangat rewel. Dan lama kelamaan sang 'ibu yang satunya' tidak lagi ditanyakannya.
Lama kelamaan Aryo juga terbiasa dengan kehadiran Ratih, dan mereka tampak semakin akrap. Rasa rikuh yang tadinya memenuhi perasaan mereka lenyap digilas hari demi hari yang terkadang melelahkan.
Penantian Ratih akan datangnya Arum pada suatu hari disekolah Angga, pupus sudah. Karena Arum tak pernah lagi kembali kesana.
Aryo yang berharap akan kembalinya Arum, perlahan meletakkan gundah dan gelisahnya akibat kehilangan seorang isteri yang dicintainya. Nyatanya hanya sekali Arum datang menemui Angga. Dan tak perduli lagi setelahnya.
Seandainya Aryo tau, hari itu Arum sedang menjalani operasi tumor yang dideritanya. Hanya bu Suryo, yu Siti dan terkadang Pono yang menungguinya.
***
Celakanya, Rini mendengar perihal Arum yang dioperasi. Kemudian timbullah niyat untuk mengganggu Aryo.
Ketika itu ia sedang berjalan kearah ruang kerja Wuri setelah menjalankan tugas yang diberikan Wuri. Tiba-tiba ia harus menepi karena sebuah brankar sedang didorong kearah ruang operasi. Sebenarnya Rini tak perduli, tapi wanita yang berjalan dibelakang brankar itu dikenalnya. Ia adalah ibu-ibu yang selalu mengantar Arum.
Rini memperlambat langkahnya, melongok kearah brankar itu, dan ia terkejut karena Arumlah yang ada diatas brankar itu. Ketika sampai diruang kerja Wuri, ia sengaja tak mengatakan apapun yang dilihatnya, karena sebal dengan omelan-omelan sahabatnya itu.
***
"Aku besok dinas sore, jadi jangan tidur siang kalau tak ingin terlambat," kata Wuri pagi itu.
"Aku besok minta ijin ya, sorenya ada perlu."
"Ada perlu apa sih? Tumben-tumbenan punya perlu segala."
"Aku akan menemui saudara ibuku yang katanya sedang ada dikota ini."
"Oh ya? Ya sudah nggak apa-apa, tapi sehari saja, karena aku lagi banyak pekerjaan."
"Iya, sehari saja, pelit amat sih."
***
Rini turun dari taksi yang ditumpanginya, tak jauh dari rumah Aryo. Ia berjalan pelan, melewati rumah bekas majikan gantengnya. Ia melongok kearah halaman, tapirumah itu tampak sepi.
"Apakah pak Aryo menunggui isterinya dirumah sakit? Jam segini biasanya baru pulang dari kantor." gumam Rini.
Lalu Rini melewati rumah Aryo, dan setelah kira-kira duaratus meter dia kembali lagi untuk melewatinya.
Tapi ketika ia berada tepat didepan rumah itu, tiba-tiba terdengar teriakan.
"Riniii!!"
Rini terkejut, dan bersorak gembira karena punya alasan untuk berhenti disana.
Ia berhenti, dan Angga berlari mendekatinya. Begitu dekat Rini langsung merangkulnya lalu mengangkatnya sera menggendongnya.
"Adduh, Angga sudah besar, Rini nggak kuat lagi nih, ayuh turun !!"
Angga merosot turun.
"Bapak mana?" bisik Rini ditelunga Angga.
"Belum pulang," jawab Angga.
Kemudian ia berteriak.
"Ibuuuu... ada Riniii !!"
Rini terkejut setengah mati.
Bersambung
No comments:
Post a Comment