SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 13
(Tien Kumalasari)
Arum merengkuhnya, anak semata wayangnya, darah dagingnya, menciuminya tanpa henti, sambil berlinangan air mata.
"Anakku, kecintaan ibu, jadilah anak pintar ya Ngga, jadilah anak baik, yang selalu menjadi kebanggan ibu. Anakku, ibu selalu merindukan kamu, ibu menangis karena kamu Ngga, bagaimana caranya agar kita bisa berkumpul kembali? Hati ibu sakit Ngga, kamu milikku, seharusnya kamu dalam asuhanku, cintaku, tak pernah terlepas dari bayangan ibu, wajah gantengmu, kepolosanmu, kecerdasanmua. Sayang.. ibu selalu cinta kamu."
Sepuasnya Arum merengkuh anaknya, mendekapnya dalam dada seakan tak ingin melepaskannya. Angga terdiam, luluh dalam dada perempuan yang juga ibunya. Tak sepatah katapun terucap, karena ia merasa bingung dan sangat bingung. Namun melihat ibunya bercucuran air mata, Angga mengusapnya dengan tangan kecilnya.. Bertambah deras air mata Arum karenanya.
"Ibu jangan menangis ya?"
"Ibu bahagia bisa melihatmu, memelukmu, menciumimu, Angga, anak ibu.."
"Ibu, mengapa Angga punya dua ibu?" tanya Angga polos.
Arum terkejut. Apa Rini sudah menjadi ibunya Angga?
" Ibu, disana ada ibunya Angga juga,"
Arum melepaskan pelukan Angga. Sekilas ada keinginan untuk membawa pergi Angga, tapi ia tak mau membebani bu Suryo, ia sendiri tak berdaya, jadi diurungkannya niyatnya.
"Jadilah anak pintar, kecintaan ibu," bisiknya lirih.
"Masuklah kedalam, lihat teman-teman kamu sedang berbaris untuk masuk kelas."
Angga menoleh kedalam, lalu melangkah perlahan memasuki halaman. Arum mengusap air matanya, kembali menghampiri taksi dan masuk kedalamnya.
"Kemana bu," tanya pengemudi taksi.
"Ke jalan Pisang," singkat kata Arum sambil tak henti mengusap air matanya.
***
Angga berlari kearah teman-temannya, tapi sebentar-sebentar menoleh kejalanan.
"Angga, kenapa Ngga?" tanya Ratih ketika melihat Angga datang belakangan.
"Ada ibu dua.." bisiknya.
Ratih terkejut.
"Ada ibu dua?"
"Disana..."
Ratih melayangkan pandangan kearah jalan, tapi tak ada seorangpun tampak.
"Disana...."
Guru yang lain memimpin muridnya masuk ke kelas, sementara Ratih melangkah keluar halaman. Tak ada siapapun. Kalau itu benar, maka pastilah itu isterinya pak Aryo yang ditunggu tunggu. Ratih kembali ke kelas. Dilihatnya Angga sedang bicara dengan bu Nastiti.
"Benar eyang, Angga nggak bohong," kata Angga meyakinkan.
Bu Nastiti melihat kearah Ratih.
"Saya sudah keluar untuk melihatnya bu, tapi tak ada siapa-siapa disana," kata Ratih.
"Angga... ibu bilang apa?"
"Angga dipeluk, terus ibu menangis.. terus Angga bilang ada ibu dua.. lalu Angga disuruh masuk, terus ibu pergi lagi."
"Ya Tuhan.. " keluh bu Nastiti sedih.
"Eyang kenapa?"
"Ya sudah, Angga masuk dulu ke kelas, tuh, teman-teman pada menggambar didalam," kata Ratih sambil mendorong pelan tubuh Angga. Angga berlari masuk kedalam kelas.
"Bagaimana ini bu?"
"Kalau saja tadi aku melihatnya, aku pasti menahannya supaya tidak pergi."
"Benarkah dia bu Arum?"
"Kemungkinan besar iya. Angga bilang ada ibu dua. Dia memeluk Angga sambil menangis. Ibunya kan mirip nak Arum, jadi dia bilang ada ibu dua."
"Sayang sekali ya bu? Benar sekali, bu Arum belum ingin pulang, tapi kangen sama Angga."
"Aryo pasti kecewa kalau tau tentang hal ini."
"Ikut prihatin ya bu. Begini saja, barangkali dilain hari bu Arum akan kemari lagi, setiap Angga ada diluar, ibu atau saya akan mengawasinya, siapa tau kita bisa membujuknya untuk pulang."
"Iya nak, benar, terimakasih ya nak. Seandainya benar, pasti nak Ratih tidak akan repot karena harus mengasuh Angga yang nakalnya bukan main."
"Tidak bu, saya tidak repot kok, sungguh."
***
Ketika mendengar mobil berhenti, bu Suryo melongok keluar. Dilihatnya sebuah taksi, dan ternyata Arum turun dari dalamnya.
"Kalau tau mau naik taksi kok tadi nggak mau diantar Pono," gumamnya.
Yapi ketika Arum mendekat, dilihatnya wajahnya pucat dan matanya sembab.
"Ada apa Rum?"
"Ibu..." isaknya, lalu dirangkulnya bu Suryo.
"Ada apa ini, kemarin pergi, pulang-pulang nangis, ini lagi.. pergi ..pulang pulang nangis. Ada apa Rum?"
"Tadi Arum ketemu Angga."
"Nah, senang dong, dirumah ?"
"Tidak bu, disekolah, Angga sudah sekolah."
"Menyenangkan bukan?"
"Arum sempat memeluknya, manangisinya."
"Hm... lalu?"
"Tapi dia bilang punya ibu dua.. apakah mas Aryo sudah mengambil Rini sebagai isteri?"
"Apa Angga bilang begitu?"
"Bilang ada ibu dua, satunya disana, katanya sambil menunjuk kedalam. Lalu saya lari bu, saya nggak mau ketemu Rini."
"Sabar ya nak.. sudah, jangan menangis. Nanti kamu jatuh sakit lagi. Ayo ganti bajumu, sudah waktunya makan siang."
"Arum belum lapar bu."
"Tapi kamu harus minum obat. Jangan sampai terlambat."
Arum melangkah kedalam, masih dengan linangan air mata. Hatinya bagai di-remas-remas.
"Untuk apa saya hidup bu, nggak usah minum obat, biarkan saya mati bu," katanya sambil menuju kearah kamar. Bu Suryo yang mendengarnya segera mengejarnya.
"Arum, nggak boleh ngomong begitu."
"Untuk apa saya hidup bu?"
"Mati dan hidup itu bukan kamu yang menentukannya. Kamu harus berserah diri, dan terus memohon agar segera terlepas dari beban ini."
"Bukankah beban akan terlepas ketika saya mati?"
"Tidak Arum, kematian bukan untuk melepaskan beban. Kematian justru membawa beban. Keinginanmu mati itu adalah beban, beban dosa yang harus kamu pertanggungjawabkan dihadapan Tuhan."
"Ibu.." kembali Arum memeluk bu Suryo.
"Kamu harus kuat."
Arum dituntun memasuki kamar karena tampak lemas. Dibalik pintu, yu Siti menatapnya dengan air mata terurai.
***
Aryo terpana mendengar apa yang dikatakan Angga bahwa ibunya ada dua. Mana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan anaknya?
"Mengapa ibunya Angga ada dua? Mengapa yang satunya pergi?"
"Angga, apa itu benar?"
"Bapak.. Angga tidak bohong. Tadi ibu menciumi Angga sambil menangis."
"Angga biarkan ibu pergi?"
"Angga harus masuk kelas, lalu ibu pergi."
Aryo memeluk Angga, tak tau harus menjawab apa.
"Angga sekarang tidur ya, biar bapak gendong sampai kamu tertidur."
"Dimana ibu?"
"Tidurlah Angga.. "
"Aku mau ibu.."
"Ayuk kita jalan-jalan saja..."
"Mencari ibu?"
"Baiklah, mencari ibu, tapi kalau belum ketemu juga, besok lagi ya, Angga nggak boleh rewel."
Angga mengangguk, lalu Aryo menggendongnya sambil mengambil kunci mobil.
"Keluar sebentar bu," Aryo berpamit kepada ibunya yang menanggapinya sambil mengangguk. Ia tau Angga sedang rewel, sementara Ratih sudah pulang ketika Angga tidur siang tadi.
***
Aryo bingung bukan alang kepalaang. Pelan ia menjalankan mobilnya sambil berfikir apa yang akan dikatakan kepada Angga kalau Angga terus mendesaknya. Kalau saja dia tau bahwa Arum akan datang, pasti segalanya akan selesai. Ia akan meminta, kalau perlu menyembah-nyembah agar Arum bersedia pulang.
Dilihatnya Angga duduk disampingnya, menyandarkan kepalanya. Aryo berharap Angga akan tertidur. Tapi tidak, matanya mengawasi jalanan diantara keramaian lalu lintas dimalam hari. Tampaknya ia mencari sesuatu. Aryo menghela nafas.
Karena bingung, sa'at berhenti di sebuah traficlight Aryo mengirim pesan singkat kepada Ratih.
"Saya bingung, Angga rewel mencari ibunya, saja ajak di putar-putar, bolehkah saya melewati rumah bu Ratih, lalu bu Ratih saya mohon kalau tidak keberatan keluar kejalan, pura-pura lagi jalan, gitu. Ma'af merepotkan."
Pesan singkat yang panjang. Mudah-mudahan Ratih membacanya segera.
Aryo terus mengendarai mobilnya pelan, menuju rumah Ratih.
"Nggak ketemu ya bapak?" tiba-tiba Angga bertanya, rupanya dia juga memperhatikan kiri kanan jalan yang dilaluinya.
"Gelap sih, barangkali nggak kelihatan." Aryo menjawab sekenanya.
Angga terdiam.
"Angga nggak capek?"
"Enggak."
"Tapi ngantuk kan?"
"Enggak."
"Kok matanya kelihatan sipit begitu," Aryo mencoba mengajaknya bercanda.
"Nggak kok, nggak sipit.."
Mobil Aryo terus menyusuri jalanan yang ramai. Ia berharap Ratih sudah membacanya. Dipencetnya sekilas ponselnya, ternyata belum terbaca.
***
"Ratih..." panggil pak Pardi yang duduk sendirian sambil menonton televisi.
"Ya bapak.."
"Kemana saja kamu itu,"
"Lagi nyuci piring dibelakang, ada apa pak?"
"Ponselmu bunyi dari tadi, kamu bapak panggil-panggil nggak dengar."
"Oh, mungkin karena mencuci piring itu kan bherisik suaranya, ditambah suara kran yang mengucur. Ada yang menelpone?"
"Lihat saja sendiri."
Ratih menghampiri ponsel yang terletak dimeja didepan ayahnya. Terkejut ketika ada pesan dari Aryo.
"Ya Tuhan.. sebentar ya pak," kata Ratih sambil berlari kekamar, berganti pakaian sekenanya, lalu berpamit pada ayahnya.
"Ratih keluar sebentar ya pak."katanya sambil mengambil ponselnya.
"Ada apa?"
"Angga rewel, mencari ibunya, pak Aryo sedang berjalan kemari, saya akan keluar sebentar."
"Baiklah. Kasihan anak itu."
Ratih setengah berlari pergi kejalan.
"Jangan-jangan sudah lewat, aku terlambat membaca pesannya," keluh Ratih. Lalu ia berjalan kearah kanan, ada warung disana, sambil menunggu akan pura-pura membeli sesuatu. Tapi sebelum sampai diwarung yang dituju, sebuah mobil berhenti tepat disebelahnya.
Ratih berhenti melangkah. Pintu depan terbuka, dan terdengar teriakan Angga.
"Ibuuu... ini bapak, kita ketemu ibu," teriaknya senang.
"Angga.."
"Mengapa ibu pergi?"
"Ma'af ya.." kata Aryo dari belakang kemudi sambil menatar Ratih. Walau dalam gelap, mtatapan itu sempat menghunjam jantungnya. Hm.. selalu begini, keluh Ratih dalam hati.
"Ayo ibu naik kesini," teriak Angga sambil turun dari mobil lalu menarik tangan Ratih.
Ratih menurut, duduk di jok depan, lalu dipangkunya Angga.
Aryo menjalankan mobilnya. Lega melihat Angga tampak senang.
"Ibu harus tidur sama Angga, Angga nggak mau ibu pergi," rengeknya.
"Ya sudah, Angga sekarang tidur, ini sudah dipangku sama ibu." kata Ratih sambil meletakkan kepala Angga didadanya. Sebelum sampai kerumah Angga sudah terlelap dalam dekapan Ratih.
"Nanti setelah dia benar-benar terlelap, saya antar bu Ratih pulang," kata Aryo berbisik.
Ratih hanya mengangguk.
***
Sudah seminggu Rini membantu Wuri dirumah sakit. Lumayan melegakan karena Rini bisa keluar dari rumah yang membuatnya bosan.
"Rini, antarkan berkas ini ke poli bedah ya."
"Apa ini?"
"Antarkan saja, mereka kan sudah tau."
"Aku mau mampir ke kantin ya, lapar aku."
"Ya ampun, sebentar lagi waktunya makan, kita akan makan bersama nanti."
"Tapi aku juga haus."
"Rini, cepatlah, berkas itu ditunggu. Makannya nanti bareng sama aku," jawab Wuri kesal.
"Baiklah, baiklah, juragan," kata Rini sambil bersungut.
Rini membawa berkas itu lalu berjalan kearah poli bedah. Beberapa hari membantu ditempat itu, Rini sudah banyak dikenal, karena dia memang ramah kepada setiap orang.
Ia menyerahkan berkas itu, tapi ia benar-benar haus. Ia harus minum segelas es teh atau es jeruk sebelum kembali menemui Wuri.
Tapi ketika sedang berjalan itu, didepan pintu masuk ruang periksa, ia melihat seseorang yang ditakutinya. Arum. Rini menghentikan langkahnya, namun tampaknya Arum keburu mengenalinya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment