SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 12
(Tien Kumalasari)
Mobil yang membawa Arum berbalik arah.
"Kita kemana mbak?" tanya Pono bingung.
"Pulang saja mas."
"Pulang? Nggak jadi kerumah ibu?"
"Nggak."
"Karena kelihatannya banyak tamu itu ya?"
"Ya.." singkat semua jawaban Arum. Rasa kesal, hati panas, dan kecewa, bercanpur aduk menjadi kemarahan yang menyala-nyala..
Pono yang mengerti bahwa Arum sedang kesal tak melanjutkan percakapan,. Hanya diam sampai kemudian tiba kembali dirumah bu Suryo.
Begitu memasuki rumah, bu Suryo menyambutnya dengan heran.
"Kok sudah kembali? Nggak ketemu ibu?"
Arum tak menjawab, tapi merangkul bu Suryo sambil menangis. Tak tahan menanggung amarah yang telah membakar jiwa raganya pagi itu.
"Ada apa ini? Ayo duduklah dan ceritakan semuanya."
Arum melepaskan pelukannya, bu Suryo merangkulnya dan mengajaknya duduk disofa.
"Ada apa? Ibu pergi? Rumah kosong? Atau kamu malah dimarahi ibumu?"
Arum menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Lalu apa nak? Wajahmu pucat, tapi matamu memancarkan kemarahan."
"Ketika saya datang, mobil suami saya juga kebetulan baru datang."
"Wah, kebetulan dong. Atau karena itu kamu marah pada suami kamu, lalu kamu langsung pulang? Anakmu ada?"
"Saya hampir turun dan berlari untuk memeluknya,"
"Nah, kenapa enggak?"
"Ada perempuan itu bersama mereka." Lalu pecahlah tangisnya.
"Ya Tuhan, mengapa suamimu masih bersama perempuan itu ?" kata bu Suryo penuh sesal, sambil merengkuh pundak Arum.
"Ya sudah, kamu harus sabar. Teruslah berdo'a agar suamimu sadar akan kesalahannya. Lalu kalian bisa membangun kehidupan yang bahagia bersama anak dan suami kamu."
Yu Siti yang berdiri dibalik pintu, mendengarkan keluhan Arum, bagai teriris hatinya mendengar tangisnya yang mengharu biru. Kemudian ia masuk kedapur, mengambil segelas air dan dibawanya kedepan.
"Nak Arum, minumlah agar hatimu tenang."
Bu Suryo menerima gelas itu, lalu diangsurkannya kepada Arum.
"Minumlah barang seteguk, agar hati kamu lebih tenang."
Arum menerimanya lalu meneguknya.
"Ayo kita kebelakang, yu Siti tadi masak kolak pisang, baunya saja sudah tercium sedaaaap sekali."
"Iya nak, ayo.. tapi cuci tangan dan kakimu dulu, yu Siti siapkan semuanya dimeja makan. "
Bu Suryo menarik tangan Arum, menuntunnya kekamar mandi.
"Mau ganti baju dulu? Yu Siti, siapkan baju ganti untuk Arum."
Tanpa diperintah dua kali yu Siti sudah menghambur kekamar Arum, memilihkan baju rumahan yang bersih agar Arum merasa nyaman memakainya.
Arum merasa sedikit terhibur atas perlakukan bu Suryo dan yu Siti yang sangat memperhatikannya. Bahkan Arum merasa seakan dirinya adalah puteri raja yang segalanya harus dilayani. Terkadang sungkan juga menghadapi kebaikan mereka, tapi mereka selalu memaksa.
"Yu Siti, nanti sehabis makan kolak, kamu ke pasarnya sama Pono saja, nggak usah naik becak. Kan Pono sudah kembali," kata bu Suryo ketika mereka sedang menyantap kolak pisang buatan yu Siti. Yu Siti yang juga duduk semeja mengangguk
"Ya bu."
Yu Siti memang bukan pembantu biasa. Artinya bu Suryo menganggapnya sebagai keluarga. Mereka makan semeja, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan saling bantu.
"Enak bukan, kolak buatan yu Siti?" tanya bu Suryo kepada Arum, ketika dilihatnya Arum seperti enggan memasukkan kolak itu kemulutnya. Mungkin karena hatinya masih diliputi kemarahan, jadi makan apapun terasa tak enak.
"Ketika makan, jangan memikirkan hal lain, apalagi hal yang membuat kesal. Nikmatilah apa yang bisa kamu santap."
Arum mengangguk, lalu memasukkan sesendok kolak kemulutnya.
"Enakkah?
"Enak bu, enak sekali."
"Yu Siti, apakah ada obat yang harus diminum Arum pagi hari?"
"Ada bu, tapi sudah diminum tadi setelah sarapan."
"Oh, syukurlah."
"Catatan belanjaan ditaruh ibu dimana?"
"Oh, aku lupa yu, masih dikamar, sebentar aku habiskan ini dulu. Kok kamu sudah selesai yu? Masakannya sendiri ya harus banyak makannya."
"Sudah kenyang bu, nanti lagi. Saya ambil tas belanjaan dulu bu," kata yu Siti sambil berdiri.
***
Bu Martono memeluk Aryo, bu Nastiti dan Angga bergantian. Matanya berkaca-kaca melihat menantu, besan dan cucunya berdatangan. Tapi ketika Ratih mengulurkan tangan lalu menciumnya, bu Martono tertegun. Inikah yang dikira Angga adalah ibunya? Angga tidaak salah. Gadis ini sangat mirip anaknya. Aneh.
"Bagaimana mungkin ada kejadian seaneh ini? Menurutku Arum tidak dilahirkan kembar," kata bu Martono sambil menatap Ratih lekat-lekat.
Ratih hanya tersenyum, tersipu.
"Eyang, kok tidak memeluk ibu? Apa eyang tidak sayang sama anaknya?" tuh, si kecil cerdas sudah memprotes.
Bu Martono yang sedang menatap Ratih terkejut. Ia lupa pada pesan Aryo bahwa Angga mengira Ratih adalah ibunya. Segera begitu mendengar teriakan Angga, bu Martono memeluk Ratih dengan hangat.
"Ibu kangen sama kamu," bisiknya.
"Saya juga kangen sama ibu."
Hm, Ratih benar-benar pintar bersandiwara, guna menyenangkan 'anak' nya.
"Ayo.. ayo.. kok pada berdiri saja. Duduk. Itu semuanya sudah ibu siapkan. Minuman hangat, camilan pisang goreng. Itu pisang dari kebun sendiri lho. Baru tiga hari yang lalu ditebang oleh tukang kebunku."
"Waah.. ini pisang kepok kuning, rasanya sangat legit," timpal bu Nastiti.
"Ayo diminum dulu dan habiskan pisang gorengnya. Nanti makan siang disini kan? Ibu sudah masak buat kalian."
"Wah, ibu masak apa nih?" kata Aryo.
"Ada rendang kesukaan kamu, sayur bening tempe mendoan, eh.. ayam goreng untuk cucuku yang ganteng."
"Kalau kesukaan ibu apa eyang?"
"Oh, ibumu.. ibumu itu..." bu Martono tampak berfikir, sambil menatap Ratih minta bantuan.
"Angga, sama seperti kamu, ibu juga suka ayam goreng." kata Ratih yang tanggap akan kebingungan bu Martono.
"Naaah, itu.. ayam goreng kesukaan ibu kamu juga. Itu sebabnya eyang menggoreng ayam agak banyak."
"Ibu juga pinter masak lho eyang."
"Oh iya, dulu eyang yang mengajarinya."
"Ibu, nanti kita jalan-jalan dikebun seperti dulu ya? Apa pohon mangga eyang ada buahnya?"
"Oh, ini belum musim mangga lagi, adanya jambu, Angga suka jambu?"
"Nggak suka eyang, Angga suka mangga."
"Yaa, besok kalau musim mangga pasti Angga eyang kirimin yang buanyak."
Sangat akrap mereka berbincang, tapi Ratih yang merasa asing disana tidak banyak bicara kecuali Angga mengajaknya.
Bu Martono suka dengan sikap Ratih yang sopan dan tidak berlebihan. Sangat mirip dengan Arum. Hanya Arum mitu lebih banyak bicara, cerewet, dan terkadang galak. Ah, rundunya aku sama Arum, bisik batin bu Martono.
Ketika sa'atnya makan siang, Ratih ikut menata meja dan mengatur tatanan dimeja makan. Seperti biasa Angga minta Ratih duduk disamping ayahnya.
"Kenapa ibu seperti malu sama bapak? Apa bapak suka marah sama ibu?"
"Enggak kok, ibu nggak malu. Bapak nggak pernah marah sama ibu," kata Aryo.
Ratih mengangguk sambil tersenyum.
"Ibu, ambilkan nasi untuk bapak ya," sambung Aryo lagi. Dan kembali dengan gemetar Ratih menyendokkan nasi kepiring Aryo.Untunglah kali ini tidak tercecer, karena Aryo sudah lebih dulu mendekatkan piringnya kedekat mangkuk nasi.
"Ayam goreng eyang enak, seperti masakan ibu," celetuk Angga.
"Angga, kan eyanag sudah bilang kalau lagi makan jangan banyak bicara. Ayo dihabiskan makannya dulu. Nanti kalau sudah selesai makan, kamu boleh ngomong sesuka kamu," tegur bu Nastiti.
Angga mengangguk angguk sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung dikursi makan.
Bu Martono senang, Ratih ikut membersihkan meja makan dengan bterampil, lalu mencuci semua piring kotor didapur.
Bu Martono mengejarnya ke dapur.
"Sudah nak, nanti ada simbok yang akan mencuci semuanya."
"Bu, biar Ratih saja, supaya Angga tidak curiga kalau saya bersikap seperti tamu."
"Anak baik, terimakasih telah membuat cucuku bahagia dan merasa mendapatkan ibunya kembali." kata bu Martono sambil mengelus punggung Ratih.
***
Seharian mereka ada dirumah bu Martono. Aryo mengajak pulang ketika hari menjelang sore. Ia merasa tak enak dihari Minggu Ratih juga harus momong anaknya, sementara dia punya seorang bapak yang juga butuh perhatiannya.
"Sering-seringlah datang kemari, agar ibu tidak kesepian."
"Baik ibu."
Tapi dalam perjalanan pulang Angga merengek meminta Ratih agar tidur dirumahnya.
"Mengapa ibu tidak pernah tidur dirumah?" protesnya.
"Angga, ibu punya banyak tugas yang dikerjakannya setiap malam."kata Aryo.
"Tugas disekolah?"
"Iya. Kalau ibu tidak besok paginya anak-anak tidak bisa bermain dengaan sangat menyenangkan. Iya kan bu?"
Ratih deg-degan karena Aryo meliriknya dari spion didepannya, sambil tersenyum. Memanggil 'bu' lagi, seperti benar-benar memanggil isterinya.
"Iya tidak bu?" Aryo mengulangnya karena Ratih diam dan justru menundukkan kepala.
"Iya," jawabnya singkat sambil mengelus kepala Angga."
"Tapi kasihan kan, setiap hari bapak tidur sendiri."
Tuh kan, si kecil itu memang cerewet. Kadang-kadang apa yang diungkapkannya membuat jengkel tapi juga membau Ratih berdebar-debar.
"Bapak kan sudah besar. Ya nggak apa-apa tidur sendiri. Kan Angga juga tidur sendiri."
"Tapi kamar Angga kan kecil, kamarnya bapak besar."
Ah, perkataan apa lagi tuh. Kemudian tak ada yang menanggapi, karena mobil sudah memasuki halaman rumah.
"Ibu boleh pergi sekarang?" tanya Ratih lembut.
"Mengapa sekarang? Angga kan belum mandi."
"Angga, hari ini bapak ingin sekali memandikan Angga. Sudah lama kan Angga tidak dimandiin bapak?" kata Aryo merayu anaknya.
"Iya sih,"
"Nah, bapak ngiri dong sama ibu, masa semua-semua ibu, mana bagian bapak memanjakan Angga?"
"Trus ibu mau kemana?"
"Kalau hari Minggu malam itu, pekerjaan ibu banyak, harus dikerjakan sejak sore," lanjut Aryo dengan sedikit khawatir kalau nanti Angga menolak usulnya.
"Benar ibu?" tanya Angga sambil menatap ibunya.
"Benar Angga," kata Ratih sambil mencium pipi Angga.
"Anak baik, harus nurut sama orang tua kan?" lanjutnya.
Angga akhirnya mengangguk, dan Aryo merasa lega.
"Sekarang Angga masuk rumah dulu sama eyang, bapak mau mengantar ibu. Ya?" rayu Aryo lagi.
"Ayo, sama eyang, nanti eyang buatkan susu dulu buat Angga, siang tadi belum minum susu kan?" bu Nastiti menarik tangan Angga.
Angga melambaikan tangan kecilnya, membuat Ratih terharu.
"Pak Aryo, mengapa harus mengantar saya? Biar saya pulang sendiri," kata Ratih.
"Tidak bu, saya hanya mengantarkan pulang saja, masa nggak boleh, sedangkan bu Ratih telah berbuat banyak kepada keluarga saya."
"Tapi saya suka melakukannya."
"Saya biarkan bu Ratih suka melakukannya, tapi biarkan juga saya suka melakukannya. Mengatar bu Ratih setiap hari. Hanya mengantar, kata Aryo sambil menarik lengan bu Ratih untuk naik kemobilnya.
Aduhai, mengapa sih pegang-pegang lengan segala? kata batin Ratih sambil menahan debaran jantungnya.
***
Hari itu Wuri pulang agak sore, karena pekerjaan belum terselesaikan. Jadi dia lembur beberapa jam. Rini menunggunya sambil cemberut.
:Jam segini baru pulang, ya ampuun.. pasti mampir-mampir." keluh Rini.sambil cemberut.
"Enak aja, pekerjaanku banyak, tau!"
"Hm, kasihan, habisnya dibantuin nggak mau."
"Eh siapa bilang nggak mau, aku baru minta ijin kepala bagian, dan baru diijinkan hari ini."
"Benarkah?"
"Benar, mulai besok kamu bisa ikut aku ke pekerjaan."
"Aduuh, terimakasih banyak ya, kamu memang sahabatku yang paliiing cantik."
"Hm, kalau begini baru tuh, muji-muji aku."
"Ngomong-ngomong aku lapar nih."
"Kan tadi pagi kita masak banyak."
"Habis untuk aku makan siang. Sore ini jangan harap ada makanan untuk disantap, kecuali nasi dan kecap."
"Ya sudah, nggak apa-apa, nasi sama kecap kan juga enak."
"Ya nggak enak. masa sama kecap aja. Aku sebetulnya mau menggoreng telur. Tapi telur simpanan juga sudah habis."
"Ya ampuun, apa nggak bisa beli diwarung?"
"Ogah aku, penjualnya sudah tua, galak lagi."
"Dasar kamu itu malas."
Wuri meninggalkan Rini yang bersungut-sungut karena Wuri memarahinya. Tapi dia senang kalau besok bisa ikut ke rumah sakit dan membantu Wuri.
***
"Ibu, bolehkah saya berjalan jalan sebentar?" kata Arum kepada bu Suryo.
"Mau jalan-jalan kemana? Biar Pono mengantar kamu."
"Tidak bu, hanya jalan saja sih penginnya."
"Baiklah, jangan jauh-jauh jalannya," pesan bu Suryo.
Sesungguhnya Arum ingin pergi kerumah ibunya, tapi diurungkannya. Rasa kesal karena melihat Rini, yang pasti diterima ibunya dengan baik karena ibunya tak tau permasalahannya, membuatnya enggan datang kesana.
Arum hanya ingin berjalan jalan saja. Tapi ketika kakinya terasa penat, dia memanggil taksi.
"Mau kemana mbak?" tanya pengemudi taksi.
"Jalan saja pak, saya memang ingin jalan-jalan." kata Arum sekenanya.
Taksi itu memutari kota dan entah sudah berapa lama ia satu persatu jalan dilaluinya. Tiba-tiba Arum minta pengemudi taksi menghentikan mobilnya.
Arum berdebar, karena ketika melewati sebuah sekolah ia seperti melihat Angga.
"Mundur sedikit pak," perintahnya kepa pengemudi taksi. Taksi itu dimundurkan.
Arum membuka jendela, dan mengamati anak-anak kecil berlarian disana.
"Mana dia, aku tadi melihat Angga," bisiknya.
Lalu Arum mebuka pintu taksi dan turun, mendekati pagar sekolah. Diamatinya lagi hingar bingar anak-anak berlarian.
"Oh itu dia, Angga," bisiknya.
Arum mendekat. Dan entah oleh kekuatan apa, Angga tiba-tiba menoleh kearahnya. Angga berhenti berlari. Seperti bermimpi melihat sesosok perempuan yang dikenalnya.
"Ibuuu," Angga berteriak.
Bersambung
No comments:
Post a Comment