SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 11
(Tien Kumalasari)
Keluar dari rumah sakit itu Aryo terus berfikir. Ke poliklinik apa ya kalau Arum benar-benar berobat? Banyak poliklinik dengan pengobatan bagi penyakit tertentu . Apakah Arum mengidap suatu penyakit? Mungkin hanya sakit biasa. Atau harus mengatakan bahwa dia berobat ke poli umum? Lalu Aryo membalikkan badannya, mengatakan kepada bagian informasi bahwa sahabatnya itu berobat di poliklinik umum.
"Namanya?"
"Arum.. Arumsari.."
"Alamat ?"
Aryo bingung, akhirnya disebutkannya alamat rumahnya."
"Jl. Amarta no 94.
"Kapan dia periksa?"
"Kira-kira empat atau lima hari yang lalu."
Aryo menunggu, beberapa sa'at lamanya. Hatinya berdebar. Namun keterangan dari petugas sangat membuatnya kecewa.
"Ma'af pak, ada tiga tanggal yang saya cari, tapi tidak saya ketemukan nama itu."
"Oh, begitu ya pak?" jawab Aryo lemah.
Aryo benar-benar keluar dari sana, lalu menuju pulang.
"Berarti Rini bohong !! dasar perempuan mata duitan !" umpatnya dalam perjalanan pulang.
Lalu terpikir lagi olehnya bahwa mungkin isterinya mengidap suatu pengakit? Kemudian dia periksa ke poli penyakit dalam.. Lalu dikibaskannya perasaan itu. Ia yakin Arum tidak memiliki penyakit yang serius. Isterinya selalu sehat, tak pernah mengeluhkan tentang sesuatu. Dan tetap dianggapnya bahwa Rini telah berbohong.
Sesampai dirumah, dengan hati masih kacau, Aryo mengganti pakaian dinas dan langsung pergi kekantor.
***
"Wuri, belum ada juga ya pekerjaan untuk aku?" rengek Rini kepada Wuri ketika mereka sedang bersantai dirumah.
"Belum ada, kalau sudah ada pasti kamu aku beri tau."
"Sebel nih, duti sudah menipis."
"Makanya jangan boros-boros. Uang dipergunakan kalau perlu saja."
"Sedihnya aku sudah ngutang juga sama kamu."
"Nggak apa-apa, jangan difikirkan. Kalau butuh uang lebih baik hutang, daripada memeras orang."
"Iih, nyindir ya?"
"Bukan nyindir, kebiasaan kamu itu, aku hanya mengingatkan. Itu nggak baik kamu lakukan."
Rini termenung. Selama ini dia hidup cukup karena mendapat gaji lumayan dari keluarga Aryo. Uang itu utuh karena segala macam sabun sikat pasta gigi dan makan, bu Arum mencukupinya. Hanya pakaian ia membeli sendiri. Tapi setelah tidak lagi bekerja disana, Rini bingung karena lama kelamaan uang simpanan pasti habis.
"Pekerjaan itu jangan milih-milih, yang penting halal," lanjut Wuri.
"Bolehkah aku bantu-bantu dirumah sakit? Maksudnya membantu kamu. Aku nggak minta gaji, cuma kalau dirumah sendiri aku kan kesepian. "
"Besok aku tanyakan pada pimpinan aku, bolehkah ada yang membantu tanpa minta gaji."
"Yang penting aku punya kesibukan."
"Baiklah, soalnya kalau lowongan pekerjaan belum ada. Cuma saja kalau aku yang minta agar ada yang membantu aku, entahlah. Semoga saja bisa."
Agak berat sebenarnya, bekerja tanpa gaji, tapi hanya itu yang bisa dilakukan Rini, daripada pikiran ngelantur kemana-mana.
***
Sudah dua bulan Arum tinggal bersama keluarga Suryo. Diperlakukan dengan sangat baik oleh bu Suryo seperti kepada anaknya sendiri. Kelembutan hati Arum dan derita yang disandangnya, membuat bu Suryo sangat merasa kasihan. Harus ada orang yang selalu dekat dengan dirinya, mengasihinya, sehingga Arum merasa terhibur walau rasa kangen terhadap anaknya tak dapat dibendungnya. Apalagi yu Siti merawatnya tanpa mengenal lelah. Malam sebelum tidur, yu Siti memijit-mijit kakinya, padahal dia tidak banyak melakukan aktivitas dirumah itu. Hanya boleh membersihkan kamarnya sendiri. Bersih-bersih seluruh rumah bu Siti yang melakukannya
"Sedang apakah Angga, apakah setelah ibunya tak ada maka Rini selalu memanjakannya seperti biasa? Jangan-jangan malah sebaliknya, karena Rini hanya perhatian kepada ayahnya Angga." keluh Arum pada suatu malam.
Ingatan akan Rini membuat buyar semua keinginannya menemui anaknya. Pasti akan menyakitkan seandainya dia pulang dan melihat Rini masih ada disana. Tapi kalau bukan Rini, siapa lagi yang bisa melayani Angga, menghentikan tangisnya, bahkan menghiburnya ketika Angga merindukan ibunya? Arum menitikkan air mata.
Akhir-akhir ini Arum merasa tubuhnya semakin lemah. Entah penyakit apa yang dideritanya, bu Suryo yang rajin memeriksakan Arum ke dokter tak mau mengatakannya. Padahal dia tau pada suatu hari, dokter ingin bicara dengan bu Suryo, berdua saja tanpa dirinya.
"Apa kata dokter bu?" tanya Arum waktu itu.
"Tidak apa-apa, dokter itu hanya mengatakan bahwa kamu harus banyak istirahat dan rajin minum obatnya."
Arum menurut saja apabila bu Suryo mengajaknya kerumah sakit, menyuruhnya periksa darah, dan urin, dan yang terakhir dia pernah menjalani ct scan. Tapi hasilnya tak pernah dia mengetahuinya. Arum sudah pasrah. Dia merasa sehat, tapi bu Suryo selalu mengajaknya kontrol. Apalagi setelah dia mengalami perdarahan hebat, dan itu bukan menstruasi.
Tapi ketika itu bu Suryo mengatakan bahwa itu terjadi karena Arum banyak pikiran.
Hari itu ketika sedang beristirahat dikamarnya, tiba-tiba yu Siti datang, membawakan jus jeruk yang segar.
"Mengapa bu Siti repot-repot membawa ini kekamar? Saya kan bisa keluar dan minum dimeja makan."
"Ibu yang menyuruh nak, karena tampaknya nak Arum lelah."
"Nggak bu, Arum tidak melakukan a-a-apa, mana bisa lelah?"
Yu Siti .. entah mengapa.. seperti merasakan kedekatan antara dirinya dan Arum. Karena tahi lalat didekat pusar itukah penyebabnya? Entahlah, tapi perhatiannya terhadap Arum menjadi sangat berlebih. Ia masih berharap, Arum adalah darah dagingnya.
"Sudahlah, jangan membantah nak, ibu itu kan melakukan semua ini demi kebaikan nak Arum. Jadi ayolah diminum sekarang. Banyak makan dan minum santapan bergizi itu perlu."
Arum tersenyum. Diteguknya jus yang diberikan yu Siti sedikit demi sedikit, hingga habis.
"Sebenarnya aku kangen saba ibuku. Dua bulan lebih aku tidak mengabarinya."
"Kalau begitu kunjungilah ibn nak, saya yakin ibunya nak Arum juga pasti merindukan nak Arum."
"Sebenarnya aku takut kalau ibu memberi tau keberadaanku pada mas Aryo."
"Memangnya kenapa Arum?" tiba-tiba bu Suryo sudah ada didalam kamar Arum.
"Iya bu, Arum tidak kepengin ketemu mas Aryo lagi."
"Kalau Angga? Masa tidak perduli juga pada anak kamu?"
"Dia ada bersama Rini bu, Arum belum bisa menghilangkan luka hati Arum, apalagi kalau melihat perempuan itu."
"Baiklah, tapi keinginanmu menemui ibu kamu itu harus segera kamu lakukan. Kasihan, dia pasti sedih tak mengetahui keberadaan kamu. Kalau kamu tak ingin suamimu mengetahuinya, bilang saja pada ibu, jangan memberitahukan tentang diri kamu sama dia."
"Baiklah bu."
"Biar Pono mengantar kamu besok pagi."
"Terimakasih ibu."
"Yu Siti, siapkan makan siang, sudah sa'atnya kita makan bukan? Lagian Arum harus minum obatnya setelah makan."
"Sudah Siti siapkan dimeja makan bu, sekalian obatnya nak Arum yang harus dimakan siang ini."
"Baiklah, Arum, ayo kita makan."
***
"Sejak bu Nastiti ada dirumahnya, Aryo selalu makan siang dirumah. Kecuali Angga lebih suka makan siang bersama bapaknya, ada Ratih yang ikut menemaninya makan, dan yang selalu dipaksa Angga untuk duduk disampingnya. Seakan benar-benar ada isteri yang mendampinginya. Apakah Aryo juga seperti Angga bisa menganggap Ratih sebagai bagian dari hidupnya?
"Semoga saja tidak," bisiknya pelan. Tapi bisikan itu terdengan oleh Ratih dan juga abu Nastiti.
"Apa yang semoga tidak Yo? tanya bu Nastiti.
"Oh, eh.. Aryo bilang apa?" jawabnya terkejut. Bisikan itu terlontar begitu saja ketika kepalanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang sesungguhnya bukan yang diharapkannya.
"Kamu tadi bilang, semoga saja tidak.. Lagi ngelamunin apa?"
"Oh, iya.. ya ampun.. itu masalah pekerjaan yang tadi belum selesai Aryo kerjakan. Ma'af ya."
"Bapak, besok kan hari Minggu, kata ibu besok libur satu hari," kata Angga menyela.
"Oh iya benar."
"Bolehkah besok kita jalan-jalan sama ibu?"
"Mm... begini Angga, besok ibu kepengin istirahat, katanya capek."
"Betul ibu?"
Ratih mengangguk sambil tersenyum. Ia tau Aryo sedang memberinya waktu untuk mengurus ayahnya.
"Jadi.. biar besok ibu beristirahat dulu. Begini, Angga ingat eyang Martono kan? Eyang kangen banget sama Angga. Jadi kita besok mau kesana."
"Lhah, berari itu kan ibunya ibu. Ibu ikut dong."
Waduh, Aryo terdiam sekarang. Kata-katanya justru memberi umpan kepada Angga untuk tetap mengajak Ratih bersamanya.
"Tapi.. apa ibu nggak capek?"
"Ibu kan anaknya eyang. Ya harus ikut dong."
Ratih geleng-geleng kepala.Bu Nastiti pun tak bisa berkata-kata. Benar sih, masa mau ketemu ibunya malah akan tinggal dirumah. Alasan apa lagi yang bisa diutarakan agar Angga membiarkan Ratih istirahat?
"Baiklah, nggak apa-apa saya ikut." tiba-tiba kata Ratih.
"Horeeeee... ibu ikuttt! sorak Angga kegirangan.
Bu Nastiti dan Aryo merasa lega.
***
"Aryo, kamu belum mengatakan, bagaimana hasilnya ketika kamu kerumah sakit mencari keterangan tentang isteri kamu?" kata bu Nastiti pada suatu malam.
"Oh iya bu, Aryo lupa mengatakannya. Tidak ketemu bu, tidak ada yang berobat di poliklinik itu yang bernama Arumsari.
"Benarkah?"
"Rini itu tukang bohong bu. Orang seperti itu mana punya itikat baik. Ia hanya butuh uang."
"Lalu kemana perginya Arum ya Yo. Biar marah sama suaminya, tapi kok tega sama anaknya. "
"Itulah yang Aryo juga fikirkan. Masa sama sekali dia tak ingin kembali demi anaknya."
"Jangan-jangan dia mengira Rini masih ada disini sehingga dia nggak mau pulang."
"Begitukah ?"
"Mungkin saja."
"Seandainya bisa berkomunikasi.... pasti dia tau bahwa Aryo sudah mengusir Rini malam itu juga."
"Bagaimana mau berkomunikasi, Bisa nyambung saja enggak."
Tiba-tiba terdengar ketukan dipintu. Aryo keluar untuk melihat siapa yang datang.
"Selamat malam, sapa seorang lelaki tinggi besar yang belum pernah dikenal Aro sebelumnya.
"Selamat malam, mau cari siapa ya pak?"
"Disini rumah ibu Arumsari?"
Aryo terkejut.
"Iya benar, ada apa ya?"
"Saya menemukan tas ini, ada kartu nama dan kartu penduduk atas nama ibu Arumsari."
Aryo menerima tas itu dengan gemetar. Sudah dua bulan lebih Arum pergi, lalu tas ini diketemukan dan baru saja diberikan? Tas tangan yang dibawanya ketika pergi, sekarang tampak kotor dan lembab.
"Kapan bapak menemukan ini, dan dimana?
"Saya menemukan baru kemarin, ditepi jalan. Agak jauh diluar kota. Tas itu kotor bukan, mungkin sudah kehujanan dan terkena lumpur."
Aryo membuka tas itu, ada dompet didalamnya, yang ketika dibuka sudah tak ada isinya.
"Saya membukanya, dan membaca Kartu Tanda Penduduk yang ada didalamnya. Isi lainnya saya tidak tau."
"Baiklah, terimakasih banyak."
"Saya tadi naik taksi kesini, karena tidak bisa menemukan alamat dengan jalan kaki."
Aryo maklum apa yang dimaksud, diambilnya uang ruaratus ribu dari dalam rumah dan diberikannya.
"Terimakasih pak."
"Terimakasih kembali."
Aryo membawa masuk tas isterinya yang sudah kumal.
Dibukanya lagi isi dalam tas itu, hanya KTP dan nota-nota pembelian yang tidak penting.
"Pasti isinya sudah dikuras oleh orang yang menemukannya, lalu membuang tasnya sembarangan," kata bu Nastiti.
"Benar bu, tempat ditemukannya tas ini juga sudah tak bisa dibuat ancar-ancar kemana perginya Arum, karena mungkin si penemu membuangnya disembarang tempat.
"Ya ampuun. Pergi tanpa membawa bekal apapun. Apa yang terjadi," keluh bu Nastiti sedih.
***
"Arum, kamu jadi akan menemui ibumu hari ini?" tanya bu Nastiti pagi itu.
"Iya bu, tidak apa-apa kan?"
"Tidak nak, tentu saja boleh, itu penting buat kamu. Kasihan kalau ibu kamu kelamaan memikirkan kamu."
"Baiklah bu, Arum akan bersiap-siap sekarang," kata Arum lalu masuk kekamarnya.
"Yu Sitiii," panggil bu Suryo.
"Ya bu.."
"Suruh Pono menyiapkan mobil, dia akan mengantarkan Arum kerumah ibunya."
"Baiklah bu."
Sebenarnya terbersit keinginan yu Siti untuk ikut, tapi diurungkannya, karena pagi tadi bu Nastiti sudah membrinya perintah utnuk belanja dan memasak.
"Ibu saya sudah siap."
Yu Siti sedang memanggil Pono untuk menyiapkan mobilnya. Sampai nanti salam saya untuk ibu ya? Jangan marah puterinya aku ambil sebagai anakku juga," kata bu Suryo sambil tersenyum lalu merangkul Arum dengan hangat. Ini membuatnya sangat nyaman.
"Baiklah bu, pasti ibu saya akan senang. Puterinya dirawat disini penuh kasih sayang."
"Sungguh aku merasa mendapatkan anak, jangan pergi dari aku ya Rum?" kata bu Suryo berlinang air mata.
Arum memeluknya, juga dengan linangan air mata.
"Aku menyayangi kamu."
"Arum juga menyayangi ibu."
***
"Ibu, ini Aryo.." kata Aryo ketika menelpon ibu mertuanya.
"Oh ya Aryo, kalian jadi mau datang kesini bukan?"
"Iya ibu, tapi nanti Aryo akan datang juga bersama Ratih."
"Siapa Ratih? Kamu sudah mendapatkan isteri baru?" kata bu Martono sedikit meninggi.
"Bukan ibu, Ratih itu sesngguhnya gurunya Angga disekolah, tapi dianggapnya dia itu Arum oleh Angga."
"Bagaimana mungkiin? "
"Angga mengira Arum itu ibunya, karena wajahnya mirip sekali dengan Arum."
"Masa?"
"Iya bu, nanti ibu dapat melihatnya sendiri. Aryo tidak bisa mencegahnya, karena dengan Ratih Angga seperti menemukan Arum. Dan Aryo bersyukur Ratih mau membantu. Semoga Arum segera ditemukan ya bu."
"Baiklah, segera datang, karena ibu sudah memasak buat kalian. Ibumu ikut kan?"
"Iya bu, ibu juga kangen, sudah lama tidak bertemu."
***
"Dimana beloknya mbak, beritahu Pono sebelumnya ya, so'alnya ini jalan satu arah, kalau kebablasan harus muter lewat sana lagi." kata Pono ketika mengantarkan Arum.
"Iya mas Pono, nanti, setelah perempatan itu, belok kiri, hanya kira-kira limapuuhan meter kok."
"Baiklah."
Hati Arum berdebar-debar. Sudah lama dia tidak ketemu ibunya, dan juga sudah lama ia membuat ibunya harap-harap cemas menunggunya. Sungguh ia merasa berdosa.
Mobil yang dibawa Pono sudah belok kekiri.
"Sebentar mas, berhenti dulu," tiba-tiba kata Arum.
"Disini mbak?"
"Ya, berhenti disini dulu."
Arum melongok kedepan. Dilihatnya Aryo turun dari mobil, lalu bu Nastiti, Lalu Angga. Tidak, masih ada satu lagi. Arum tak berhedip ketika satu kaki kelihatan muncul dipintu belakang. Kaki perempuan. Seketika darahnya mendidih. Nafasnya terengah engah menahan emosi.
"Mas Pono, balik saja."
"Apa?"
"Kita balik saja. Cepat mas Pono, putar mobilnya!!" kata Arum agak keras.
Bersambung
No comments:
Post a Comment