SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 10
(Tien Kumalasari)
Yu Siti terpaku. Dielusnya tahi lalat itu lembut. Adakah orang yang memiliki seperti ini sama seperti milik Arum? Apakah dia darah dagingku? Tapi kan banyak orang memiliki tahi lalat. Bisa didekat pusar, bisa didada, bisa dimna saja. ? Yu Siti termenung agak lama.
"Bu Siti, ada apa? Sudah saja menggosoknya, sudah terasa hangat."
Yu Siti terkejut, ia mengusap setitik air matanya yang tiba-tiba menetes.
"Bu Siti menangis?"
"Tidak nak.. tidak apa-apa."
"Tapi bu Siti menangis."
Arum merasa bahwa tak mungkin yu Siti menangisi dirinya yang terkulai lemah dikamar itu.
"Sesungguhnya... sesungguhnya.. yu Siti ini teringat anak yu Siti.."
"Ooh, dimana putranya bu?"
"Entahlah..." katanya pilu, lalu menutupkan kembali baju Arum yang tadi dubukanya.
"Kok entahlah, apa maksudnya bu?"
"Hilang entah kemana.."
"Bagaimana bisa hilang?"
"Aku serahkan pada seseorang yang entah siapa, karena aku tidak mampu merawatnya."
"Ya Tuhan..."
"Kalau dia masih hidup, pasti seumuran sama nak Arum. Bayiku juga perempuan."
Kata-kata yu Siti membuat Arum terharu. Ia teringat pada Angga anaknya, yang juga terpisah dengan dirinya karena ia meninggalkannya. Rasa rindu segera menyergap hatinya. Tak terasa air matanyapun menitik. Pagi ini pasti Angga mencari ibunya. Atau tidak, karena ada Rini disana? Ingatan akan Rini membuat darahnya mendidih.
"Bayiku juga cantik, kulitnya bersih, hidungnya mancung, matanya bundar bulu matanya lentik," lanjut yu Siti sambil terisak.
Arum sejenak melupakan kesedihannya. Dielusnya tangan yu Siti
"Bu Siti .. sudah jangan sedih, saya do'akan pada suatu hari nanti bu Siti bisa bertemu dengan puteri bu Siti."
"Terimakasih nak," katanya sambil mengusap air matanya, kemudian keluar dari kamar."
Alangkah pedih memikirkan kehilangan anak, jauh, entah dimana, seperti dirinya yang merindukan Angga, yang mungkin berada dalam asuhan perempuan busuk yang telah merusak rumah tangganya. Arum menekan rasa rindu itu jauh didasar hatinya.
"Angga, jangan mencari ibumu lagi. Sakit hati ibu kalau harus pulang kembali.." bisiknya [erih.
***
Ketika bu Suryo memasuki kamar Arum, dilihatnya Arum sedang makan bubur buatan yu Siti. Bubur sumsum dengan kuah gula jawa beraroma pandan serta kayu manis yang wangi, dan tampaknya Arum menikmatinya. Bu Suryo tersenyum.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Arum meletakkan mangkok yang isinya hampir habis.
"Lebih enak bu, cuma masih sedikit pusing."
"Minum obat pusingnya lagi, tapi kalau sehari ini tidak reda juga, aku antar kamu kerumah sakit."
"Saya sudah sangat merepotkan keluarga ini,"kata Arum sendu.
"Tidak, mengapa kamu berkata begitu ?"
"Saya bukan siapa-siapa, tapi ibu dan bu Siti memperlakukan saya dengan sangat baik dan penuh perhatian."
"Bukankah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya? Aku melihat kamu butuh pertolongan, lalu aku melakukannya. Aku suka melakukannya."
Arum mengangguk.
"Sekarang maukah kamu menceritakan semua yang terjadi? Kamu entah bagaimana, pergi dari rumah tanpa membawa selembar pakaianpun, dan tas atau dompet kamu tercecer entah dimana. Apa yang terjadi?"
Arum menundukkan kepala, berusaha keras agar air matanya tak jatuh menitik.
"Tapi kalau kamu belum siap mengatakannya, aku tidak akan memaksa. Beristirahatlah dulu."
Tak urung berderailah air mata Arum mendapat perhatian yang begitu tulus dari orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
"Sudah, jangan menangis lagi, aku tidak memaksa kok."
"Mengapa... ibu sangat baik kepada saya?" tanyanya terbata.
"Arum, ibu ini hidup sendiri, tak mimiliki seorang anakpun.Suamiku meninggal sudah sepuluh tahun yang lalu. Dulu ketika yu Siti datang kemari untuk mencari pekerjaan, aku menyesalinya karena dia telah memberikan anak yang belum lama dilahirkannya, kepada orang lain. Kalau saja anak itu dibawa kemari, pasti aku akan bahagia sekali."
"Kasihan..." hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Baiklah, istirahatlah dulu, yu Siti akan membawakan obatmu kemari."
Arum mengangguk. Tiba-tiba kepalanya terasa berat sekali. Ia sungkan kalau tiduran terus, tapi ia harus membaringkan tubuhnya.
Pelan dibaringkannya tubuhnya.
Tak lama kemudian bu Suryo kembali masuk dengan membawa setumpuk pakaian.
"Nak, ini baju-bajuku, baru sekali dua kali aku pakai, tapi sudah tidak muat lagi. Kalau mau, pakailah, tubuhmu kan ramping, mungkin bisa masuk."
Arum bangkit, menahan sakit kepala yang kembali menderanya.
"Terimakasih banyak bu. Saya tidak membawa apa-apa, terimakasih atas semua yang ibu lakukan untuk saya."
Bu Suryo tersenyum teduh.
"Ibu..." panggil Arum ketika bu Suryo mau beranjak keluar.
"Ya..." bu Suryo kembali mendekati Arum.,
"Saya akan menceritakan apa yang terjadi pada saya, sampai saya pingsan dan ditemukan bu Siti."
"Oh, baiklah, aku siap mendengarkan."
Lalu dengan terbata Arum menceritakan apa yang dialaminya, ketika sepulang dari membezoek temannya, begitu memasuki rumah dilihatnya Rini dan suaminya sedang bercumbu mesra. Lalu ia lari dari rumah, menembus hujan dan pingsan, yang kemudian ditemukan yu Siti.
Bu Suryo terbawa marah ketika mendengar cerita Arum.
"Kurangajar perempuan itu. Dan suamimu mengapa begitu tega menyakiti hati isterinya. Isteri yang cantik seperti kamu, apakah kekurangannya?"
Arum tertunduk, lalu tanpa permisi merebahkan tubuhnya.
"Ma'af, kepala saya terasa berat."
"Baiklah, tiduran saja," kata bu Suryo sambil menarik selimut lalu diselimutkannya ketubuh Arum.
"Anakmu berapa?"
"Baru satu, belum lima tahun, Angga namanya."
"Apakah pengasuh anakmu yang kurangajar itu masih ada dirumah suami kamu?"
"Entahlah bu, saya kan langsung pergi."
"Apa kamu ingin aku mendatangi rumah kamu dan mendamprat perempuan edan itu?"
"Jangan bu, tidak usah. Kalau ibu tidak keberatan, bolehkah saya tinggal disini sementara? Saya akan mencari pekerjaan."
"Tentu saja boleh, aku merasa iba mendengar kisahmu. Tinggallah disini dan menjadi anakku."
"Terimakasih ibu."
"Dimana orang tuamu?"
"Ada, saya juga belum mengabari ibu. Saya takut ibu nanti memberitahu kepada mas Aryo, suami saya tentang keberadaan saya."
"Kamu tidak kangen sama anak kamu?"
"Sangat kangen, tapi mengingat pengasuh anak saya itu, saya enggan untuk pulang."
"Ya sudah, kamu istirahat dulu disini. Kalau sehari ini kamu masih merasa pusing, aku akan membawa kamu ke dokter."
"Terimakasih ibu," kata Arum berlinang air mata. Kali ini bu Surya mengusap air mata Arum dengan jari tangannya.
"Jangan menangis, kamu berada ditempat yang aman."
Arum mengangguk.
"Tapi menurut aku, kamu harus mengabari ibumu tentang keberadaanmu, kata bu Suryo sambil mengelus kepala Arum.
"Tapi Arum, badan kamu panas sekali," katanya sambil memegang kening, leher dan tangannya.
Lalu bu Suryo berteriak kepada yu Siti.
"Yuu.."
Dengan cepat yu Siti sudah tiba dihadapan bu Suryo.
"Obat untuk nak Arum yu, tapi mungkin sore nanti mau aku ajak ke dokter. Obat-obatan di warung sepertinya tidak cukup bisa mengobatinya.Atau sekarang saja, suruh Pono menyiapkan mobilnya.
***
Hari itu pagi-pagi sekali Ratih sudah selesai bersih-bersih rumah dan memasak. Ia bahkan tidak makan pagi bersama ayahnya, karena sudaah berjanji pada Angga untuk datang pagi-pagi.
"Kamu tidak makan dulu? Tumben pagi-pagi sudah menyuruh bapak sarapan dan menyiapkan makan siang juga."
"Angga minta Ratih datang pagi. Dia tidak mau mandi kalau bukan Ratih yang memandikannya."
"Kasihan anak itu, sudah benar-benar tergantung sama kamu."
"Iya pak, karena dia mengira Ratih ini ibunya. Terkadang Ratih juga berfikir, apakah harus seperti ini terus?"
"Semoga saja ibunya segera kembali."
"Aamiin, pak. Ratih juga berharap demikian."
"Bagaimana mungkin seorang ibu tega meninggalkan anaknya begitu lama?"
"Ratih justru khawatir telah terjadi sesuatu pada bu Arum."
"Ah, semoga semuanya baik-baik saja Tih. Jangan berfikiran yang tidak-tidak."
"Iya pak, cuma kadang-kadang Ratih berfikir begitu, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ya sudah pak, ma'af kalau kali ini bapak sarapan sendiri ya."
"Tidak apa-apa, pergilah , anakmu sudah menunggu," canda ayahnya sambil tersenyum.
***
Angga berjingkrak kegirangan melihat Ratih datang.
"Tuh nak, Angga tidak mau mandi, tidak mau sarapan, semuanya menunggu nak Ratih, bagaimana ini?" keluh bu Nastiti yang merasa agak sungkan karena menyusahkan Ratih.
"Tidak apa-apa bu, biarkan saja."
"Ayo ibu, Angga mau mandi sekarang." teriak Angga yang sudah mendahului lari kekamar mandi.
Ratih meletakkan tas yang dibawanya, lalu mengikuti Angga ke kamar mandi.
Bu Nastiti heran melihat Aryo belum bersiap dengan pakaian kerjanya.
"Yo, kamu nggak kerja?"
"Kerja bu, tapi Aryo mau kerumah sakit dulu. Kemarin kan belum selesai urusannya."
"Oh, baiklah, semoga mendapat keterangan yang jelas. Kasihan nak Ratih."
"Nanti Aryo sekalian mengantarkan Angga sekolah, setelah itu baru ke rumah sakit."
"Baiklah, aku siapkan makan pagi dulu untuk kalian, aku yakin nak Ratih pasti juga belum sempat makan pagi."
"Aryo ganti baju dulu bu."
Begitu selesai mandi dan memakai pakaian untuk sekolah, Angga sudah duduk dimeja makan. Sepiring nasi dan telur ceplok kesukaannya sudah disiapkan dimeja.
"Nak Ratih, ayo makan sekalian," kata bu Nastiti sambil menggandeng tangan Ratih menuju meja makan.
"Tidak bu, saya sudah makan."
"Jangan bohong nak, sepagi ini pasti nak Ratih sibuk melayani ayahnya dulu, lalu buru-buru berangkat kemari, mana mungkin sempat sarapan."
"Ayo bu Ratih, jangan sungkan." ajak Aryo sambil tersenyum. Ratih benci senyum itu, karena selalu membuatnya bergetar. Bu Nastiti menuntunnya, dan mau tak mau Ratih duduk disebuah kursi didekat bu Nastiti. Tapi rupanya Angga protes.
"Ibuuu....ayo makan.. sini.. dekat bapak, kan biasanya kalau makan juga dekat bapak," kata Angga ketika melihat Ratih duduk disebelah neneknya.
"Disini kan sama saja ," kata Ratih tanpa beringsut dari tempat duduknya.
"Nggak mauuu... ibu harus duduk disini.. ini kan kursi buat ibu?"
Aryo mengangguk kearah Ratih, bu Nastiti juga menyentuh lengannya. Ratih terpaksa berdiri, lalu duduk disamping Aryo seperti permintaan Angga.
Aduhai, seperti sebuah keluarga ya. Ada bapak, ada ibu, ada anak, dan ada mertuanya, pikir Ratih dalam hati. Tapi pikiran itu membuatnya kacau.
"Ibu mengambilkan nasi buat bapak dulu, lalu buat eyang, terus buat Angga."
Ya Tuhan, anak sekecil itu benar-benar membuat Ratih salah tingkah. Dengan gemetar disendoknya nasi goreng buatan bu Nastiti kepiring Aryo. Dan karena gemetar itu banyak nasi tercecer disekitar piringnya. Aryo bukan tak tau, dengan sigap ia memungut ceceran nasi itu, tapi kebetulan Ratih juga melakukannya, sehingga tangan mereka bersentuhan. Ratih menarik tangannya. Ia meraih air putih yang disediakan dan meminumnya seteguk untuk menenangkan hatinya.
"Sudah bu Ratih, biar saya ambil sendiri saja. Angga memang nakal," bisik Aryo ketelinga Ratih.
"Aryo, ayo sekarang makan, tidak usah melihat ibu terus," tegur bu Nastiti karena melihat Ratih tampak gugup. Bu Nastiti maklum.
"Bisa makan sendiri ?" tanya Ratih kepada Angga.
"Bisa ibu. Kok ibu tidak mengambil nasi gorengnya?" masih saja Angga sok mengatur.
"Iya, ini ibu ambil." kata Ratih sambil menyendok nasi gorengnya."
"Yang banyak nak Ratih, jangan sungkan."
"Iya bu, terimakasih."
Ratih makan dengan perasaan tak menentu. Si kecil Angga banyak mengatur sikap dirinya yang harus seperti sikaunya kepada ayahnya. Ya Tuhan, aku ini kan ibu pura-pura, kata hati Ratih. Jangan-jangan suatu hari nanti dia memaksanya untuk benar-benar tidur dikamar ayahnya. Dan Ratih tiba-tiba tersedak.
"Hati-hati bu Ratih," kata Aryo yang kemudian mengambilkan air minum untuk Ratih.
"Terimakasih, Saya mau kebelakang dulu," kata Ratih yang kemudian berdiri, lalu masuk kekamar mandi. Terdengar oleh semuanya, Ratih terbatuk- batuk beberapa sa'at.
"Kenapa ibu?" tanya Angga.
"Sudah, selesaikan makannya, nanti kesiangan datang kesekolah."
"Kata bapak, nanti bapak akan mengantarkan Angga ke sekolah."
"Iya, tapi selesaikan dulu makannya."
***
Pagi itu terasa heboh bagi Ratih. Ia dipaksa melakukan hal-hal seperti yang dilakukan para isteri pada umumnya. Aduhai. Seandainya itu benar, pasti tak akan segugup ini perasaannya.
Bu Nastiti yang mengerti bahwa Ratih agak kikuk menghadapi Aryo, memilih duduk didepan, sementara Ratih dan Angga dibelakang.
Setiba disekolah, beberapa teman meledekinya karena dia diantarkan oleh Aryo.
"Waduuh.. benar-benar seperti seorang nyonya, mengantar anak kesekolah bersama suami," lalu mereka tertawa.
Ratih menoleh kebelakang, untunglah bu Nastiti tidak masuk kedalam ruang kantornya, sehingga tak mendengar ledekan kawan-kawannya.
"Ssst, hati-hati ngomongnya, ada neneknya Angga tuh," bisiknya pelan.
"Diam kalian, Ratih takut karena adaa mertuanaya," lalu tawa beberapa guru terdengar riuh.
"Ssssstttt..." Ratih meletakkan jari telunjuk kebibirnya.
***
Aryo menujuk rumah sakit. Ia mencari ruang yang kemarin ditunjukkan oleh bagian pendaftaran. Rekam medis? Tapi ternyata disana diaa ditolak.
"Bapak coba ke bagian informasi."
Aryo berjalan kearah yang ditunjuk.
"Selamat pagi." sapanya.
"Selamat pagi bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertanya, bisakah saya menanyakan ... seorang.. saudara saya.. yang... aduh bagaimana ngomongnya."
"Gimana pak?"
"Begini. Salah seorang saudara saya sekitar tiga atau empat hari yang lalu mengatakan akan berobat kemari. Bisakah saya tau apakah benar dia kemari?"
"Mengapa bapak tidak menanyakan ke saudara bapak saja apakah dia jadi berobat kemari atau tidak?"
"Waduh.. begini..."
Aryo menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Aryo susah mengatakannya.
"Begini mas, saya kehilangan kontak dengan saudara saya itu. Kalau benar dia berobat kesini, saya mau tanya juga dia tinggal dimana."
"Gimana ya pak, kalau bapak menanyakan hal itu, kami bisa memberikan keterangan, tapi siapa nama saudara bapak itu?"
"Arum... Arumsari.."
"Alamatnya dimana, lalu dia periksa di klinik apa. Itu harus jelas dulu. Rumah sakit ini kan luas. Ada klinik-klinik untuk penyakit tertentu."
Aryo kembali menggaruk kepalanya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment