SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 09
(Tien Kumalasari)
Ketika keluar dari apotik itu, tiba-tiba ada rasa menyesal dihati Aryo. Ia sudah membuat seseorang jatuh, tapim tidak sempat meminta ma'af.
"Bodohnya aku. Seharusnya tadi aku bisa mengejarnya, kan mobilnya ada didepanku dan hanya selisih satu mobil. Kasihan, karena kepala pusing jadi kehilangan akal sehatku."
Aryo mengendarai mobilnya, dan berlalu, sambil berharap, mudah-mudahan bisa bertemu lagi suatu sa'at. Tapi bertemu yang bagaimana? Kan wajahnya saja ia tak melihatnya? Hari mulai gelap dan mereka seperti tergesa gesa pergi.
Dan entah mengapa, Aryo terganggu dengan kejadian itu, dan terus menyesalinya.
Ia sampai dirumah, ketika Angga sedang bermain dengan mobilnya. Hanya maju mundur didalam rumah, karena neneknya melarang bermain di halaman ketika hari mulai senja.
"Angga... waduh.. main terus ya.. nggak capek?"
"Bapak, Angga sudah busa sendiri... lihat nih.." lalu Angga memamerkan bagaimana ia menjalankan mobilnya, maju, mundur atau berputar-putar. mengelilingi tatanan kursi diruang tengah.
"Anak bapak kok pinter sih? Ayo sekarang turun, sudah lama kan naik mobilnya?"
Aryo mengangkat tubuh anaknya lalu didekapnya didadanya.
"Sudah makan belum?"
"Belum, nanti bareng sama bapak. Iih.. bapak kok bau sih.." kata Angga sambil mengernyitkan hidungnya.
Aryo terbahak.
"Bau wangi kan?"
"Bau asem. Bapak belum mandi ya?"
"Iya, sekarang bapak mau mandi dulu. Mana eyang?"
Aryo menurunkan Angga lalu herjalan kebelakang.
"Ibu masak apa?"
"Ini, cuma asem-asem, sama ayam panggang tadi siang. Mandi sana, trus makan sama-sama," kata bu Nastiti.
Aryo membalikkan tubuhnya lalu masuk kekamar, bersiap mandi.
***
"Kemana saja kamu tadi Yo, lama banget perginya," tanya bu Nastiti ketika mereka sedang duduk berdua, sementara Angga sudah tertidur.
"Aryo tiba-tiba teringat ketika Rini bilang, bahwa dia melihat Arum keluar dari rumah sakit. Mungkin dia bohong, tapi mungkin juga benar. Aryo ingin membuktikannya."
"Kamu datangi rumah sakit itu?"
"Ya, tapi belum mendapat keterangan jelas. "
"Mereka bisa membantu?"
"Entahlah, tapi mereka menyuruh Aryo kembali besok pagi."
"Jadi bisa ?"
"Belum tau bu, ada bagian tertentu untuk Aryo bertanya tentang pasien yang pernah berobat kesana."
"Harus jelas datanya kan, nama lengkap, alamat, umur.."
"Bukankah alamatnya disini bu?"
"Ya, kalau dia memakai alamat disini, bagaimana kalau alamat ditempatnya yang baru?"
Aryo memegang kepalamnya. Rasa pusing yang tadi dirasakannya belum hilang benar, walau dia sudah meminum obatnya.
"Tapi ya tidak ada salahnya berusaha Yo, mudah-mudahan kamu bisa mendapat keterangan tentang isterimu.
Tiba-tiba terdengar dering telephone. Nomor tidak dikenal. Aryo enggam mengangkatnya, paling-paling Rini. Tapi telephone itu terus saja berdering.
"Ibu, tolong ibu angkat, kalau dari Rini, bilang saja Aryo nggak ada," kata Aryo sambil memberikan ponselnya pada ibunya.
"Hallo," sapa bu Nastiti.
"Hallo selamat malam, ini bu Nastiti ya?"
"Iya benar, ini siapa ya, kok pangling suaranya."
"Lho, masa pangling sama suara besannya."
"Oh, ya ampuun, jeng Martono? Suaranya lain."
"Masa bu, saya saja tidak pangling suara ibu."
"Terimakasih jeng, bagaimana, ada berita apa? Oh ya, mau bicara sama Aryo?"
"Iya bu, mau menanyakan tentang Arum. Sedih saya.. sudah dua bulanan lebih kok belum ada kabar beritanya."
"Iya jeng, setiap hari Aryo juga mencarinya. Ini Yo, mertua kamu," kata bu Nastiti sambil memberikan ponselnya pada Aryo.
"Hallo bu, ini Aryo."
"Bagaimana nak... Arum kok belum ada beritanya?"
"Saya sudah berusaha terus mencarinya bu, tapi belum ada hasilnya."
"Apa Angga tidak rewel?"
"Rewel terus bu, itu sebabnya Aryo minta ibu agar tinggal dirumah."
"Kemana anak itu... ibu juga sudah minta tolong ke 'orang pintar', katanya Arum masih ada dikota ini."
"Aryo akan teruys berusaha bu."
"Terakhir kali dia menelpon ibu, ketika hujan-hujan malam hari. Dia bilang mau kerumah, apa ibu sudah tidur, ibu jawab belum, ada apa malam-malam kerumah ibu, dia bilang cuma kangen sama ibu. Tapi malam itu dia tak pernah datang. Ibu menunggu sampai pagi, malah nak Aryo juga menelpon ibu, mencari Arum."
"Iya bu.. Aryo ingat."
"Sekali-sekali ajaklah Angga kerumah ibu , ibu kangen.",
"Baiklah bu, ma'af, karena bingung Aryo sampai nggak kepikiran untuk mengajak Angga kerumah ibu. Besok hari Minggu saya kemari bu, pati Angga senang."
Aryo termenung setelah menerima telephone dari mertuanya. Pastilah, orang tua mana yang tidak sedih kalau anaknya pergi tanpa berita.
***
Ketika itu...
Arum keluar rumah dengan hati yang terluka. Hujan memang tak lagi selebat tadi. Arum terus melangkah, mengikuti kemana kakinya menginginkannya. Namun gerimis itu hanya sesa'at, hujan deras kembali mengguyur. Arum tetap melangkah, tak perduli badannya basah kuyup, tak perduli tubuhnya menggigil kedinginan. Air mata terus mengucur, berpacu dengan derasnya hujan.
Ia sudah tau, Rini sering menggoda suaminya. Berlagak tak melihat, lalu menabraknya, berlagak menyerahkan Angga digendongannya kepada ayahnya, tapi diam-diam dia melirik kearahnya. Tapin Arum tak mengira iman suaminya setipis itu. Ia yang semula percaya, kemudian terluka oleh pemandangan yang tak pernah dibayangkannya. Antara suaminya sendiri, dan perempuan pengasuh anaknya.
Hati Arum berdarah-darah. Rasa sakit dan kecewa memenuhi dadanya..
Hujan masih deras mengalir, tak seorangpun berjalan dibawah hujan sederas itu, walau dengan payung sekalipun. Tapi Arum, membiarkan tubuhnya basah terguyur hujan, lalu langkahnya semakin lemah, lalu jatuh.. lalu tak ingat apa-apa lagi.
Seorang perempuan setengah tua, membawa payung, berteduh dipinggir jalan, dibawah atap sebuah toko yang agak menonjol keluar. Ibu itu melihat Arum terjatuh, lalu menghampiri. Tubuhnya ikut terguyur hujan. Ia bersusah payah menarik tubuh Arum ketepi. Sepi sekelilingnya. Toko disebelah dimana dia tadi berbelanja, dilihatnya sudah tutup. Ibu itu menidurkan tubuh Arum yang dingin dilantai begitu saja. Tak ada apapun yang bisa dipergunakan sebagai alas..
"Tolooong...," ibu itu berteriak. Tapi suaranya lenyap tertelan hujan dan guntur yang menggelegar bertalu-talu.
"Aduh, bagaimana ini," si ibu kebingungan, lalu teringat bahwa tadi disuruh majikannya membeli minyak kayu putih diwarung itu. Ia mengambilnya di tas belanjaan dan membuka tutupnya, ke menciumkannya dihidung Arum. Ia juga mdenggosokkannya keseluruh tubuh nya. Arum tak bergerak.
"Tolooong," ia berteriak sekali lagi.
Tiba-tiba ponsel yang dibawanya berbunyi. Ibu itu adalah yu Siti, pembantu sebuah rumah tangga yang sedang disuruh membeli sesuatu oleh majikannya. Tadi hujan gerimis, sehingga yu Siti membawa payung. Majikannya menyuruh dia membawa [ponsel, barangkali nanti yang dipesannya ada yang kurang.
"Hallo,"
"Kamu dimana yu?"
"Masih berteduh bu, hujan deras sekali, tapi belanjaan ibu sudah lengkap. Ini.. ada orang pingsan didekat saya bu.."
"Orang pingsan?"
"Seorang perempuan, saya sudah menggosoknya dengan minyak kayu putih yang tadi ibu suruh beli, belum sadar juga."
"Kamu dimana?"
"Saya di sebelah toko Sanjoyo bu. Toko itu malah sudah tutup.
"Tunggu disitu, biar Pono menjemput kamu, dan bawa orang pingsan itu kerumah."
"Baiklah."
Yu Siti sedikit lega, rumah majikannya tak begitu jauh. Ia terus menggosok tubuh Arum, Dadanya, punggungnya, telapak tangannya. Biar saja dia membuka-buka pakaiannya, kan nggak ada siapa-siapa disitu.
Tak lama kemudian mobil majikannya datang. Yu Siti melambaikan tangannya. Pono mendekatkan mobilnya, lalu turun.
"Tolong No, angkat ke mobil, biar aku bawa payungnya.."
Arum tergolek lemah dimobil itu, tapi tangannya sudah bergerak-gerak. Yu Siti merasa lega. Ia terus menggosok gosok telapak tangan Arum.
"Uuh..." terdengar Arum mengeluh.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak."
Begitu sampai disebuah rumah, hujan sudah mulai reda. Pono menggendong Arum dan yu Siti memayunginya dari belakang.
Bu Suryo, pemilik rumah yang menunggu didepan, segera menyuruh yu Siti membawa kekamar kosong disebelah kamarnya sendiri.
"Badannya basah kuyup bu," kata yu Siti.
Arum membuka matanya.
"Ambilkan bajuku dan gantikan baju basahnya. Itu bajunya basah kuyup."
"Baik bu."
Ketika yu Siti sibuk menggantikan baju Arum, bu Suryo kebelakang mengambilkan teh panas, lalu diberikannya pada yu Siti.
Arum sudah berganti pakaian bersih dan kering, tapi tubuhnya masih lemas. Yu Siti menyendokkan teh hangat sesendok demi sesendok ke mulutnya.
"No, masukkan mobil ke garasi, dan kamu boleh pulang. Hujan sepertinya sudah berhenti. Nanti kalau ada apa-apa aku telephone kamu," pesan bu Suryo kepada sopirnya.
"Baik bu."
Pono berlalu, lalu bu Suryo masuk kembali kekamar dimana Arum masih tergolek lemah.
"Bagaimana rasanya?"
"Saya.. dimana?" bisik Arum lemah.
"Kamu dirumahku. Tadi yu Siti pembantuku menemukan kamu pingsan dijalan."
"Oh..."
"Yu Siti, aambilkan makanan dengan sup panas."
Yu Siti bergegas kebelakang untuk memenuhi perintah majikannya. Bu Surya seorang janda yang baik hati dan suka menolong. Ia juga memperlakukan yu Siti seperti keluarganya sendiri. Sifat suka menolongnya itu tergugah ketika yu Siti mengatakan bahwa ada orang pingsan dijalan.
"Kalau tadi kamu belum sadar juga, aku pasti membawamu kerumah sakit," kata bu Suryo sambil duduk disebuah bangku yang ada didekat pembaringan.
Arum menatap perempuan setengah tua itu. Walau wajahnya tidak cantik, tapi sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia seorang yang ramah. Mata itu begitu teduh.
"Pusing ?"
Arum mengangguk.
"Nanti setelah yu Siti memberi kamu makan, kamu harus minum obat. Dan kalau kamu masih merasa kurang baik juga, besok aku akan membawamu ke rumah sakit."
Arum terdiam.
"Namamu siapa?"
"Arum, jawabnya lirih.
Bagaimana kamu bisa pingsan ditepi jalan? Kamu tidak membawa apa-apa. Dompet, tas.. atau apa..?"
Arum meraba-raba seperti mencari sesuatu didekatnya.
"Kamu tidak membawa apa-apa, mungkin terjatuh ketika kamu pingsan."
Yu Siti membawa mangkok berisi nasi yang sudah diguyur kuah sup panas.
"Makanlah dulu, aku akan mengambilkan obatnya. Nanti kalau kamu sudah tenang, atau besok, kamu boleh menceritakan apa yang terjadi sama kamu."
Arum mengangguk.
"Rumahmu dimana.. jauhkah ?"
Arum menggeleng. Ia berada dimana saja tidak tau, bagaimana bisa mengatakan rumahnya jauh atau dekat.
Bu Suryo keluar dari kamar.
"Ini nak, makanlah dulu." kata yu Siti.
"Biar saya makan sendiri," kata Arum sambil bangkit. Tapi kepalanya terasa berdenyut.
"Sudahlah nak, kamu masih lemas, biar yu Siti suapin," kata yu Siti sambil mendekat.
Sesendok demi sesendok nasi yang disuapkan yu Siti masuk kemulutnya. Arum merasa lebih nyaman. Ia mengingat ingat bagaimana bisa sampai dirumah itu. Tapi yang dia ingat hanyalah hujan deras, rasa sakit diulu hatinya, dan kemudian tubuhnya merasa lemas, lalu tak ingat apa-apa lagi.
"Ini obatnya, kasihkan dia setelah selesai makan ya yu. Oh ya, ketika kamu menemukan dia, apa ada tas atau dompet yang dia bawa?"
"TIdak ada bu, atau mungkin saya tidak memperhatikannya. Saya hanya melihat dia terjatuh, lalu saya membawanya kepinggir."
"Kamu membawa uang banyak?"
Arum menggelemng. Ia tak pernah membawa banyak uang, tapi ada KTP kartu ATM dan beberapa surat penting lainnya. Entahlah tas atau dompet itu terjatuh dimana.
"Sudah bu, saya kenyang," kata Arum ketika yu Siti sudah menyuapkannya separo.
"Sedikit lagi?"
Arum menggeleng. Lalu simbok memberikan sebutir obaat untuk sakit kepala dan membantunya bangkit untuk meminumnya.
"Yu, nanti malam kamu tidur disini saja dulu, aku khawatir dia belum sehat benar. Beri dia selimut, biar hangat," kata bu Suryo yang kemudian membalikkan badannya untuk keluar dari kamar.
"Timakasih banyak," bisik Arum.
Bu Suryo menoleh sejenak, kemudian mengangguk sambil tersenyum.Senyum itu meneduhkan.
***
Arum bingung ketika pagi hari ia membuka matanya, menyadari dia tidur disuatu tempat yang asing. Ingatannya masih belum sempurna. Ia juga tak ingat bahwa semalam dirawat oleh seorang wanita setengah tua yang baik hati, bersama pembantunya yang bernama yu Siti.
"Dimana aku ini?" Arum ingin bangkit, tapi kepalanya terasa berat.
"Sudah bangun nak?" yu Siti masuk sambil membawa nampan berisi segelas teh hangat.
"Oh.. ibu yang menolong saya bukan?" kata Arum lemah.
"Semalam nak Arum pingsan.. lalu disuruh bu Suryo membawa kemari."
Arum kemudian teringat. Ketika bajunya diganti dengan baju kering, diberi teh hangat, makan nasi dengan sup panas dan minum obat.
"Iya, saya sudah mengingatnya."
"Syukurlah. Sekarang minum tehnya ini, atau saya suapin?"
"Jangan, saya minum sendiri saja."
Susah payah Arum bangkit, dibantu yu Siti, sambil duduk ia menghirup teh panas beberapa teguk, lalu terbaring kembali.
"Masih pusing?"
Arum mengangguk.
"Sedikit."
"Biar aku gosokkan minyak gosok lagi ketubuh nak Arum, agar terasa hangat."
Arum menurut. Yu Siti membuka ruisleting bagian belakang baju Arum, lalu menggosoknya dengan minyak kayu putih. Lalu dadanya, dan turun ke perutnya.
Tiba-tiba yu Siti tertegun, ketika melihat ada tahi lalat didekat pusar. Tangannya gemetar tiba-tiba.
Bersambung
No comments:
Post a Comment