SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 08
(Tien Kumalasari)
Aryo masih termenung diteras, ketika Ratih keluar diikuti bu Nastiti.
"Pak Aryo, saya mau pulang dulu, Angga sudah tidur," kata Ratih
"Eit, tunggu, biar aku antar," kata Aryo sambil berdiri dan tanpa menunggu jawaban Ratih langsung mengambil kunci mobilnya.
"Tapi...."
"Nggak apa-apa nak Ratih, biar saja. Aryo merasa nggak enak karena selalu merepotkan nak Ratih, jadi biar dia melakukan sesuatu untuk nak Ratih. Tidak seberapa, tapi dia kan tidak kecewa."
Ratih terpaksa menerimanya.
"Ayu bu Ratih, biar saya antar."
Ratih mencium tangan bu Nastiti, kemudian berjalan mengikuti Aryo ke mobilnya. Aryo membukakan pintu, kemudian mempersilahkan Ratih naik.
Merinding Ratih ketika akan menutupkan pintu, tangannya bersentuhan dengan tangan yang sedikit berbulu. Hiih.. kenapa juga aku ini, batin Ratih yang kemudian menata duduknya. Ia terkejut ketika Aryo membuka lagi pintu mobilnya.
"Ma'af, gaunnya kejepit pintu," kata Aryo sambil menunjuk kearah gaunnya yang sebagian masih keluar.
"Eh, iya, ma'af.." kata Ratih sambil menarik gaunnya kedalam.
Lalu Aryo menutupkan lagi pintu itu dan duduk dibelakang kemudi.
Bu Nastiti melambaikan tangannya kearah Ratih, ketika mobil itu berlalu. Lalu masuk kedalam, menjenguk kearah kamar Angga. Dilihatnya Angga masih pulas, Tidur sambil memeluk gulingnya. Bu Nastiti mengusap setitik air matanya ketika menatap cucunya.
"Semoga ibumu segera kembali ..." lalu setitik lagi air matanya menetes dan segera dihapusnya.
***
Aryo berhenti disebuah gang ketika Ratih memintanya.
"Yang mana rumahnya?"
"Masuk kesitu pak, sudah, disini saja."
"Lhoh, kok disini, nggak boleh begitu, masa mengantar kok menurunkannya dijalan."
"Nggak apa-apa pak, terimakasih banyak," kata Ratih sambil membuka pintu mobil dan keluar, dan berjalan memasuki gang.
Aryo mengikutinya turun, lalu berjalan dibelakang Ratih.
Ratih menoleh dan terkejut melihat Aryo mengikutinya.
"Aduh pak Aryo, sudah sampai disini saja."
"Nggak bisa bu Ratih, nanti kalau ternyata bu Ratih nggak pulang kan saya yang dimarahin ayahnya," kata Aryo bercanda.
"Rumah saya jelek," katanya setelah berjalan berdampingan.
"Itu tidak penting, yang penting orangnya cantik," meluncur begitu saja kata-kata Aryo, membuat Ratih deg-degan. Pujian itu cukup membuat hatinya berbunga.
Ratih tak menjawab, menyimpan kebahagiaan itu dibalik senyum tipis yang disunggingkannya.
Disebuah halaman yang tak begitu luas, Ratih berhenti.
"Ini rumah saya, terimakasih banyak."
"Saya harus ketemu bapak."
"Tapi..."
"Saya harus menyerahkan puterinya dalam keadaan utuh kepada bapak."
Ratih tersenyum. Rupanya Aryo suka bercanda. Ia melangkah menuju rumah, Aryo mengikutinya.
Rumah sederhana yang tertata rapi itu tampak sedap dipandang. Ada pot-pot kecil tanaman hias berjajar disepanjang pagar teras yang tak begitu tinggi. Ada bunga-bunga mawar yang beberapa sedang mekar.
"Mengapa kesukaan akan bunga diantara mereka sama? Ratih dan Arum.. bagaimana Tuhan menciptakan kesamaan yang sangat mirip, baik wajah maupun perilakunya? Apakah Tuhan mengirimkan Ratih sebagai pengganti Arum? Tidaaak.. Aryo menampik perasaannya sendiri.
"Sudah pulang Tih?" suara berat seorang lelaki tua terdengar dan Aryo menoleh kearah rumah.
Dilihatnya Ratih sedang mencium tangan laki-laki itu. Laki-laki yang tampak masih tegap dan berpenampilan rapi dengan sarung batik melingkar ditubuhnya.
Aryo mendekat dan menyalami lalu mencium tangannya.
"Ini siapa?" tanya pak Pardi, ayah Ratih.
"Bapak, ini pak Aryo, ayahnya Angga, kata Ratih memperkenalkanAryo.
"Ya bapak, saya Aryo.Mohon ma'af kalau selalu merepotkan bu Ratih."
"O, tidak apa-apa nak, Ratih bilang bahwa dia senang melakukannya. Mari silahkan masuk."
"Ma'af pak, lain kali saya akan berkunjung lebih lama. Ma'af, saya belum mandi juga," kata Aryo tersipu.
"Baiklah, lain kali bapak tunggu nak Aryo main kemari. Tapi ya seperti inilah gubugnya Ratih, tidak seperti rumah nak Aryo yang pastinya sangat bagus dan mewah."
"Oh, tidak kok pak, bagi saya yang penting bukan rumahnya, tapi penghuninya. Sekarang saya mohon pamit, senang bisa berkenalan dengan bapak."
"Terimakasih telah mengantarkan Ratih nak."
"Sama-sama pak, dan saya sekalian mohon ijin untuk bu Ratih, barangkali Angga banyak merepotkan bu Ratih, sehingga harus pulang sampai sore."
"Tidak apa-apa nak, silahkan saja, kasihan anak sekecil itu kehilangan ibunya. Mudah-mudahan isteri nak Aryo segera pulang."
"Terimakasih banyak bapak." kata Aryo sambil mencium tangan pak Pardi.
"Bu Ratih, saya pulang dulu," kata Aryo sambil menatap Ratih, tatapan yang membuatnya gugup.
"Ter..terimakasih, pak Aryo.
***
Bu Nastiti sedang membuat teh panas untuk dirinya sendiri dan Aryo, ketika tiba-tiba didengarnya Angga menangis.
Bu Nastiti setengah berlari menuju kekamar Aryo.. Dalam setiap langkahnya, bu Nastiti berfikir, jawaban apa yang akan diberikannya apabila Angga menanyakan dimana ibunya.Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis,
"Mana ibu? Mana ibu...?"
Tuh kan.
"O, cucu eyang yang ganteng, ibu tadi tidur bersama Angga, tapi tiba-tiba .. tiba-tiba.. ibu ingat kalau ada yang terlupa. Kunci sekolah terbawa, jadi.. besok kalau yang tukang bersih-bersih ruang sekolah mau bekerja, bingung deh. Karenanya... ibu sekarang mengantarkan kunci itu."
"Nanti ibu kemari ?"
"Mm.. kalau nanti bisa ketemu tukang bersih-bersih.. pastinya kemari. Kalau tidak ya harus menunggu. Ayuk, sekarang Angga mandi dulu."
"Sama ibu..."
"Lho, kalau ibu sampai malam perginya.. ?"
"Angga mau sama ibu.."
"Angga... kan Angga anak pintar. Bukankah kalau anak pintar itu harus menurut apa kata orang tua? Ayo mandi sama eyang, nanti eyang buatkan susu. Ya."
Angga diam, tapi tak beranjak dari tempatnya duduk. Wajahnya muram. Bibir tipisnya cemberut.
"Angga, nanti setelah minum susu, naik mobil lagi. Angga lupa ya kalau punya mobil baru ?"
Mendengar itu Angga bangkit dan turun dari atas pembaringan.
"Angga mau pipis dulu," katanya masih dengan wajah muram.
"Baiklah, pipis, sekalian mandi ya. Angga nanti boleh pilih sendiri baju yang Angga suka."
Ingatan akan mobil itu sedikit meredakan rasa kecewa Angga karena Ratih tak ada disisinya.
"Eyang jangan sampai menyiram lutut Angga ini, masih sakit."
"Baiklah tuan muda, eyang akan hati-hati," kata bu Nastiti sambil menggandeng Angga kekamar mandi.
Selesai mandi dan ganti baju, Angga berlari kedepan mendekati mobilnya.
Bu Nastiti membawakan segelas susu.Sejak tidak lagi minum ASI, Angga dibiasakan minum susu dari gelas. Ia tidak suka minum pakai botol, Karenanya gigi Angga tampak rapi dan tidak menonjol seperti anak kecil yang gemar minum dari botol.
"Diminum dulu susunya."
"Eyang tanya dulu sama ibu, ngasih kuncinya lama tidak."
Bu Nastiti bingung. Tapi ia kemudian mengambil ponselnya, lalu menelpon Ratih, barangkali Ratih bisa menenangkan Angga.
"Hallo bu," sapa Ratih dari seberang.
"Nak Ratih, Angga rewel. Ibu bingung harus menjawab apa ketika dia menenyakan nak Ratih. Tadi ibu jawab sekenanya. Ibu bilang nak Ratih sedang mengantarkan kunci sekolah yang terbawa pulang. Tapi dia tampaknya terus berharap nak Ratih datang. Apa sebaiknya yang ibu katakan?"
"Biarkan saya bicara sama Angga bu."
Bu Nastiti menyerahkan ponselnya kepada Angga.
"Angga, ini ibu mau bicara.."
Angga menerimanya dengan wajah berseri.
"Hallo ibu.."
"Hallo Angga, sudah mandikah anak ibu yang ganteng?"
"Sudah, ini baru mau minum susu."
"Bagus, habiskan dulu susunya sayang."
"Ibu sudah ketemu tukang bersih-bersih sekolah?"
"Oh, belum nak, dengar, Angga tidak usah menunggu ibu, karena ibu harus menyiapkan apa-apa yang besok bisa kita buat untuk bermain."
"Ibu tidak pulang?"
"Angga, besok pagi-pagi sekali ibu akan datang kemari, lalu kita berangkat bersama-sama kesekolah. Bagaimana?"
"Ibu kerumah besok pagi? Angga nggak mau mandi, besok nungguin ibu saja mandinya."
"Oh, baguslah, ibu akan datang pagi-pagi. Sekarang minum susunya, dan jangan rewel ya."
Angga mengangguk. Bu Nastiti tersenyum sambil menerima kembali ponselnya. Angga meneguk susunya sampai habis.
Bu Nastiti menghela nafas lega. Bersyukur karena Ratih ternyata bisa menjadi pengganti Arum.
***
Setelah mengantarkan Ratih, Aryo tidak segera pulang kerumah. Ia berputar-putar disekitar kota, barangkali dia bisa melihat Arum. Ia teringat kata Rini, dia bilang melihat Arum. Walau ragu akan kebenarannya, tapi Aryo akan mencoba mencarinya dikota ini. Tapi kalau benar, mengapa Arum tidak mau segera pulang? Kalau dia begitu marah pada suaminya, apa tidak rindu pada anak semata wayangnya?"
"Arum, ingat anakmu Arum..."
Tiba-tiba dia teringat lagi apa yang dikatakan Rini.Katanya ia melihat Arum dirumah sakit pusat. Bisakah menanyakan ke rumah sakit tentang seseorang yang pernah berobat? Dibagian apa? Penyakit dalam, umum, atau apa. Bisakah menanyakannya?
Aryo memacu mobilnya kearah rumah sakit. Barangkali ada yang bisa memberitahu tentang isterinya yang pernah berobat. Kalau apa yang dikatakan Rini benar. Tapi kalau hanya meng ada-ada?
Apapun yang terjadi Aryo harus menanyakannya.
"Bisa nggak ya?" gumamnya ketika sudah memasuki halaman rumah sakit.
Dengan perasaan ragu dia berjalan menuju kedalam. Aryo tidak tau kemana sebaiknya bertanya. Tapi melihat loket pendaftaran, dia menuju kesana.
"Selamat sore," sapanya.
"Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisakah saya menanyakan mmm.. seseorang yang pernah berobat kemari?"
"Maksud bapak?"
"Saya sedang mencari..mm.. salah seorang saudara saya, apakah benar dia berobat kemari pada kira-kira tiga atau empat hari yang lalu."
Penjaga itu saling pandang dengan teman kerjanya.
"Susah ya ? Namanya Arum. Arumsari," lanjut Aryo.
"Tapi... iya pak, memang susah. Coba bapak tanya ke bagian rekam medis, barangkali bisa membantu bapak."
"Bagian rekam medis? Dimana itu mbak?"
"Kalau sore begini tutup pak, coba besok pagi."
"Oh, gitu ya."
Aryo tampak termenung. Ada harapan untuk bertanya, artinya tidak tertutup kemungkinan dia bisa menemukan keterangan disini,sekali lagi kalau apa yang dikatakan Rini itu benar.
"Ya sudah mbak, terimakasih banyak, selamat sore."
"Selamat sore bapak."
Aryo melangkah keluar.
"Semoga besok ada keterangan yang jelas tentang Arum. Kata Rini wajahnya pucat, apa dia sakit? Ya Tuhan, ijinkan hamba bisa menemukan dia," bisiknya perlahan sambil masuk kedalam mobil.
***
Udara mulai remang, Aryo teringat akan anaknya. Apakah Angga rewel ketika tidak menemukan Ratih disampingnya? Begitu risaunya hati Arya memikirkan anak semata wayangnya.
"Arum, apa kamu tega melihat anakmu seperti ini? Dia masih membutuhkan kamu Arum," bisiknya sepanjang menjalankan mobilnya.
Karena khawatir akan anaknya, Aryo menelpon ibunya.
"Ya Aryo, kamu dimana, lama sekali?"tegur bu Nastiti.
"Aryo masih dijalan. Apa Angga rewel?"
"Ya, tadi rewel, tapi kemudian aku minta nak Ratih bicara sama dia, sekarang sudah tenang. Lagi main mobil-mobilan."
"Ah ya, syukurlah, Aryo segera pulang bu, cuma muter-muter saja."
Aryo menghela nafas lega. Berkali-kali Ratih bisa menenangkan anaknya. Bisa menghiburnya, menyenangkannya, menjadi ibunya. Ya Tuhan, menjadi ibunya? Hati Aryo berdebar kencang. Kalau Ratih menjadi ibunya... tidak... jauhkanlah pikiranku dari dia.. pikir Aryo.
Aryo menjalankan mobilnya sangat pelan, karena pikirannya benar-benar kacau. Tapi ada sebersit harapan, rumah sakit itu. Besok dia harus kesana, barangkali nama Arum ditemukan disana sehingga dia bisa melacak keberaadannya.
Tiba-tiba Aryo merasa kepalanya berdenyut-denyut.
"Aduh, kenapa pula kepalaku ini," keluhnya.
Aryo ingin segera sampai dirumah, tapi dia ingat, obat sakit kepala dirumah sepertinya habis. Dia harus membelinya. Lalu dicarinya apotik.
Aryo hampir saja memarkir mobilnya ditepi, ketika dua orang wanita melintas dihadapannya. Aryo menginjak rem dengan kaget. Dilihatnya salah seorang wanita itu terjatuh.
Aro membuka mobilnya, tapi wanita yang satunya sudah menolong yang tadi terjatuh, kemudian berjalan kearah depan. Aryo ingin mengikutinya untuk meminta ma'af, tapi keduanya keburu masuk kedalam mobil. Aryo menutup mobilnya, lalu berjalan kearah apotik.
Salah satu perempuan tadi, melihat kebelakang, kearah mobil Aryo.
"Ada apa?" tanya yang lebih tua.
"Saya seperti mengenali mobil itu."
" Oh, kalau pengemudinya, kenal tidak?"
"Entahlah, wajahnya nggak jelas."
Kemudian mobil itu berlalu. Kalau saja Aryo tau siapa perempuan yang nyaris ditabraknya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment