SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 06
(Tien Kumalasari)
Rini berdiri disamping meja satpam rumah sakit, pura-pura membuka ponsel dan menundukkan kepala. Ketika wanita yang disebutnya Arum itu lewat, Rini baru mengangkat mukanya.
"Bu Arum sama siapa itu? Apakah dia sakit?"
Arum terus melangkah keluar, seorang wanita setengah tua menuntunnya. Rini mengikuti sampai mereka tiba di halaman rumah sakit, dan dilihatnya Arum naik kedalam mobil itu.
"Tampaknya dia memang sakit, siapa yang menuntunnya? Apakah dia sudah kembali kerumah pak Aryo?"
Rini terus mengamatinya, sampai mobil itu keluar dari halaman rumah sakit.
Apakah bu Arum sudah kembali? Mengapa kalau dia sakit maka bukan pak Aryo yang mengantarnya? Siapa itu? Setahuku bukan ibunya bu Arum.
Jadi penasaran aku, aku harus mencari keterangan tentang bu Arum. Mudah-mudahan tidak akan kembali selamanya agar aku bisa mengganggu pak Aryo.
"Hei, ngapain kamu, aku cari dimana mana ternyata ada di parkiran.
"Aku melihat bu Arum."
"Siapa bu Arum?"
"Itu, isterina pak Aryo."
"Memangnya kenapa kalau ada dia?"
"Aku harus mencari tau, apakah dia sudah kembali atau belum."
"Kurang kerjaan kamu nih. Ayo pergi, keburu hujan. Tuh... mulai gerimis. Cari taksi aja."
"Ya ayo kesana kalau begitu, lama-lama basah bajuku nih."
"Iya, ayo.. kamu panggil taksi saja. Kamu sih pakai menghilang segala. Lama lho aku mencai kamu tadi."
"Kamu lah yang kelamaan ketemu sama teman kamu. Sampai pegal punggungku nungguin kamu."
"Iya, kan uusanku banyak, haus segea diselesaikan. Tanggung jawab itu berat."
Namun tiba-tiba hujan turun bagau tecurah dari langit.
"Waduh, gimana ini."
"Ya sudah pulang saja ya, besok masih ada waktu, kan aku masuk sore."
"Kalau begitu kita makan saja ya."
"Ya, terserah kamu lah, daripada nanti kamu pingsan dijalan."
Namun disepanjang makan itu pikiran Rini hanya kepada Aum. Ada yang ingin dilakukannya, entah apa. Namun pasti bukan sesuatu yang baik, kaena sejak awal ia telah melakukan hal buuk.
Tiba-tiba ponsel Aryo bedeing sore itu. Ada nomor tak dikenal tepampang , lalu Aryo enggan mengangkatna. Namun dering itu sepeti tak putus-putusnya. Dengan enggan Aryo mengangkatna.
"Hallo, selamat sore,"
"Soe pak Aryo, apa kabar?"
"Kamu?"
Aryo ingin menutup ponselnya begitu mendenga suara si penelpon, tapi sebelum ditutup Rini berteriak.
"Jangan ditutup dulu, ada hal penting yang ingin saya sampaikan."
"Hal penting apa?Ingat Rini, kamu jangan lagi menggangguku, dan keluargaku, aku tak akan pernah peduli sama kamu." kata Aryo sengit.
"Apa ibu Arum sudah kembali?"
"Mengapa kamu menanyakan itu. Kamu kan tau bahwa Arum pergi karena ulah kamu?"
"Jadi belum ya? Saya punya infomasi, tapi tidak gratis," kata ini tanpa malu-malu.
"Hm, aku tau, berapa kamu minta?"
"Pokoknya cukup untuk saya makan selama sebulan pak, habisnya bapak mengusir saya dan saya belum mendapat pekejaan. Saya bisa mati kelaparan pak."
"Sebutkan angkanya. Kalau itu mengenai isteriku, berapapun aku akan bayar.
"Bagaimana kalau sejuta?"
"Banyak banget."
"Mau atau tidak, kalau tidak ya sudah."
"Dimana aku bisa memberikan uang itu. Jangan datang kerumah karena ada ibuku disini."
"Warung makan dekat rumah saja yang bapak sering suruhan beli mie Jawa. Saya juga sekalian kepengin ketemu bapak, kangen rasana."
Aryo mendengus marah.
"Sekarang juga aku tunggu kamu disitu."
"Saya dandan dulu dong pak, mau ketemu orang ganteng masa saya kelihatan jelek."
Aryo tak menjawab., tapi langsung menutup ponselnya.
Ia masuk kedalam rumah dan berganti pakaian sekenana. Keterangan tentang isteinya sangat diharapkannya. Ia ingin segera betemu dan mengajaknya pulang. Kalau perlu dia akan menyembah kakinya.
Setelah mengambil uang di ATM dekat rumah, Aryo menuju kewarung dekat rumah sepeti dijanjikan Rini. Tak begitu lama Aryo menunggu, Rini datang dengan senum yang dibuat semanis mungkin. Aryo tak mengacuhkannya. Ia asyik mengaduk minuman jahe panas yang tadi dipesannya.
"Hallo, bapak. Kita seperti orang lagi pacaran ya, pakai kencan segala,"kata Rini kemayu.
"Duduk, dan katakan tentang Arum,"kata Aryo tandas.
"Sebentar dong pak, masa saya nggak ditawarin minum atau makan?"
"Aku tidak banyak waktu. Kalau kamu mau makan atau minum, pesan sendiri saja."
Kata Aryo sambil membuka dompetna dan mengeluakan uang seperti yang diminta Arum.
Rini segera meraihnya penuh nafsu, tapi Aryo menyingkirkan tangan Rini.
"Informasinya dulu. Uangnya kemudian."
Rini cemberut. Melihat lembaran berwana merah itu dia sudah seperti ingin menelannya.
"Dimana Arum?"
" Tadi saya melihatnya ."
" Melihat isteriku?Dimana?
"Dirumah sakit."
"Rumah sakit mana?"
"Rumah sakit pusat."
"Kamu bicara sama dia?"
"Ya enggaklah pak, mana saya berani. Saya hanya melihat, besama seorang peempuan setengah tua. Tapi bu Arum kelihatan sangat pucat. Sepetinya dia sakit."
"Dimana dia tinggal?"
"Saya nggak tau pak, tiba-tiba dia sudah pergi bersama peempuan itu, dengan mobil,"
Aryo measa kesal.
"Informasi apa ini? Nggak jelas."
"Tapi kan bapak sekarang jadi tau bahwa dia ada disini. Terserrah bapak bagaimana cara menemukannya."
Aryo bediri siap meninggalkan Rini. Uang yang tadi dikeluarkan dimasukkan lagi kedalam dompet.
"Lho pak, mana uangku ?"
"Uang apa? Kamu tidak memberikan infomasi yang jelas, hanya bilang melihat, dan bisa jadi kamu bohong, ya kan?"
"Sumpah pak, saya benar-benar melihat bu Arum disana. Aduh, sayangnya saya nggak sempat memotretnya."
Aryo berlalu, tapi dengan tanpa malu Rini mengikutinya.
Aryo teus melangkah keluar setelah membayar minumannya.
"Bapak curang ya." teriak Rini kesal.
Karena risih Aryo memberikan selembar ratusan ribu lalu masuk kedalam mobilnya.
Meninggalkan Rini yang mengomel tak henti-hentinya.
"Dasar pelit ! Masa cuma dikasih seratus ribu. Awas kamu ya !" ancam Rini sambil melongok mencari taksi.
***
" Dari mana Yo, kok wajahmu cemberut begitu," tanya bu Nastiti ketika melihat Aryo masuk kedalam rumah lalu melemparkan kunci mobil keatas meja.
"Ditipu perempuan itu. "
"Perempuan yang mana ? "
"Tadi Rini menelphone, katanya punya informasi tentang Arum. Pakai minta uang segala. Aku temui dia. Tapi dia bilang cuma melihat Arum sama seorang perempuan setengah tua. Itu kan informasi nggak jelas. Kalau jelas, harus tau dimana dia tinggal, bagaimana keadaannya. Dasar mata duitan !"
" Dimana katanya dia ketemu ? "
" Katanya dirumah sakit pusat. "
"Apa dia sakit? "
"Aryo bilang informasi nggak jelas itu juga karena dia tidak bisa bilang apapun tentang Arum, kecuali hanya bilang melihat Arum . "
"Kalau melihat dirumah sakit kan berarti dia sakit ?"
"Aryo yakin dia hanya meng ada-ada. Dia ingin minta uang dari Aryo dengan dalih melihat Arum. "
"Siapa tau itu benar."
"Kalau benar, apa yang bisa kita lakukan ? Orang cuma melihat, dimana Arum tinggal juga dia tidak bisa memberi tahu. Sudahlah bu, jangan percaya omongan orang seperti Rini," kata Aryo sambil berlalu.
***
"Dasar pelit, gombal. Lupa ketika malam itu dia pernah membuat aku mabuk, dan.." omelan Rini ketika memasuki rumah terhenti sa'at melihat Wuri menunggunya diteras.
"Ada apa sih, pulang malam terus ngomel-ngomel."
"Ketemuan sama bekas majikan, bukannya bermanis-manis malah wajahnya ditekuk. Udah begitu aku kasih informasi bahwa tadi melihat isterinya, ee.. aku cuma dikasih seratus ribu.Habis buat bayar taksi sama mie sebungkus. Nih, oleh-oleh buat kamu," kata Rini sambil meletakkan bungkusan mie keatas meja dengan kasar.
Wuri tertawa.
"Kamu mau menjual iunformasi kepada bekas majikan kamu? "
"Yang aku katakan itu kan informasi namanya."
"Cuma melihat saja, informasi nggak jelas itu. Lalu kamu minta berapa? "
"Cuma minta sejuta."
Wuri tertawa keras, membuat wajah Rini semakin ditekuk.
"Kok malah ditertawain sih."
"Duit sejuta itu kan banyak. Cuma melihat saja, udah dikasih seratus ribu ya berterimakasih lah."
"Enak aja. Biar aku cuma melihat, tapi kan dia kemudian tau bahwa isterinya ada dikota ini. "
"Ini kan kota besar, mana gampang mencari orang."
"Huh, kamu bukannya ngebelain aku malah menyalahkan aku."
"Ya sudah, nggak usah berdebat, nggak akan ada menangnya debat sama kamu, aku makan saja mie oleh-oleh kamu. Kebetulan aku juga lapar nih." kata Wuri kemudian sambil mengambil bungkusan mie dan dibawanya kebelakang.
"Eeh, itu untuk berdua, tau. Enak aja mau dimakan sendiri." teriak Rini sambil mengejar.
***
"Kamu jadi mau kerumah muridmu itu?" tanya pak Pardi kepada Ratih.
"Iya pak, anaknya nanti rewel. Sebenarnya Ratih sungkan pak, pergi sama ayahnya juga."
"Lha mau bagaimana lagi, kalau beli sesuatu ya pasti sama ayahnya. Memangnya kenapa kamu sungkan? Orangnya serem?"
"Bukan serem pak, justru sebaliknya," aduh, Ratih menyesal mengatakan itu. Kalau lawannya serem itu apa, menarik kan?
"Sebaliknya itu bagaimana ?"
"Maksud Ratih, dia itu baik, dan itu justru membuat Ratih sungkan."
"Itu kan hanya perasaan kamu saja. Kalau kamu nggak punya pikiran apa-apa semuanya pasti baik-baik saja."
"Ratih itu kan wajahnya mirip isterinya, lha nanti kalau dikira Ratih ini isterinya?"
"Yang mengira itu siapa?"
"Mungkin, kalau ada yang kenal."
"Ya sudah acuhkan saja. Kalau kamu ingin menolong seseorang itu nggak usah memikirkan apa-apa. Semuanya kan kalau.. kalau.. lha namanya kalau itu belum tentu iya, belum tentu tidak."
Ratih terdiam. Sesungguhnya bukan itu yang difikirkannya, tapi perasaan hatinya yang semakin aneh. Apa dia tertarik pada Aryo? Jangan .. wahai hati, dia itu milik orang. Bisik hatinya. Lalu ditepiskannya bayangan bapak ganteng berkumis tipis yang senyumnya menawan itu.
"Jam berapa mau berangkat?"
"Nanti akan dikabari, baru Ratih kesana."
Seperti mendengar kata-kata Ratih, tiba-tiba telephone berdering.
Dari bu Nastiti.
"Hallo ibu .." sapa Ratih.
"Nak Ratih sudah ditunggu tuh, Angga sudah ribut terus dari tadi."
"Baiklah bu, saya sudah siap."
Lalu terdengar suara agak jauh.
"Bagaimana kalau bu Ratih kita jemput saja bu, coba tanyakan alamatnya," itu suara Aryo yang dikenalnya.
"Nak Ratih, alamat nak Ratih dimana? Aryo mau menjemput saja kesitu."
|Nggak usah bu, saya sudah siap mau berangkat, saya yang kesitu saja."
"Baiklah kalau begitu."
Ketika telephone ditutup pak Pardi menegurnya.
"Bukankah lebih baik kalau mereka nyamperin kesini ?"
"Jangan pak, tambah sungkan Ratih. Sekarang Ratih panggil taksi saja."
Dan Ratihpun menghubungi taksi online.
***
Angga begitu gembira ketika bisa berjalan bersama Ratih yang dianggapnya ibunya. Ada rasa jauh dilubuk hatinya, mengapa ibunya tidak serumah dengan dia dan ayahnya seperti duilu, tak bisa diungkapkannya. Ia cukup gembira apabila Ratih menemaninya setiap dia inginkan.
Angga berlari-lari kecil ketika memasuki tuko mainan. Ratih mengejarnya, sedikit nggak enak berjalan sejajar dengan Aryo. Pasti semua orang mengira bahwa dirinya sedang berjalan dengan suami dan anaknya. Seandainya 'ya'.. pasti membahagiakan. Lalu Ratih memarahi batinnya sendiri yang punya perasaan aneh.
"Angga, tunggu..." teriak Ratih sambil mengejarnya. Aryopun mengikuti mereka dengan berjalan cepat.
"Mana mobil yang Angga mau?" tanya Aryo.
"Itu bapak, yang Angga bisa naik. Bukankah itu bagus ibu?"
"Ya sayang, semua bagus. Kamu mau yang mana?"
"Yang merah, ini kan bagus ya bu?"
"Baiklah, mau dicoba dulu?" tanya Aryo.
Dan pelayan toko mempersilahkan Angga mencobanya. Ia memberi tau cara menjalankannya. Kalau mau jalan, ini ditekan, ini9 kalau mundur, ini rem kalau mau berhenti. keterangan sang pelayan panjang lebar. Mobil itu memakai batery.
Angga mencobanya, ayahnya mengikuti dari belakang.
"Sudah, belum lancar ya nanti dirumah dicoba lagi. Biar bapak bayar dulu."
Angga turun dari mobil kecilnya. Ratih mengawasinya dari jauh.
Tiba-tiba seorang perempuan merangkul Angga dari belakang, lalu menggendongnya.
"Rini?" teriak Angga.
Aryo menoleh, terkejut melihat Angga sudah ada dalaam gendongan Rini. Segera didekatinya Rini.
"Lepaskan dia Rini!!" hardik Aryo.
"Angga, bilang sama bapak, Rini harus kembali kerumah, ayo bilang."
Angga terdiam, bingung melihat ayahnya marah.
"Lepaskan dia Rini!! Atau aku teriakin kamu penculik?"
"Angga suka sama saya, mengapa bapak melarangnya? Ayuk, jalan-jalan sama Rini." kata Rini sambil menciumi Angga.
Lalu Rini menggendongnya menjauh dari bapaknya. Melihat Aryo marah kepada perempuan yang menggendong Angga, Ratih mendekat.
"Angga, sini sama ibu."
Rini terbelalak.
"Bu Arum ?"
Bersambung
No comments:
Post a Comment