Wednesday, July 8, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 05

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 05
{Tien Kumalasari]

Aryo tertegun mendengar pemintaan anakna. Dipandangina Ratih yang tersipu dihadapannya. Gadis itu tampak salah tingkah. Tapi Angga terus menggoyang goyangkan tangan ayahnya.

"Bapak, ayolah bapak..."

"Bu.. maukah nanti ikut bersama kami?" terbata Aryo mengucapkannya..

Ratih menatap wajah ganteng yang tampak gugup dengan permintaan anaknya. Mana mungkin dia menolaknya? Dia suka kok. Tapi entahlah, suka karena sayang pada Angga, atau ayahnya. Wadhuh.. 

Ratih hanya mengangguk, sambil tersenyum.

"Ibu, bilang 'ya' sama bapak," pinta Angga karena tak puas dengan anggukan Ratih.

"Ya, sayang," katanya sambil mengelus kepala Angga.

"Tuh, ayah, ibu sudah mau, kapan ibu libur?" tanya Angga seperti seorang polisi mengintrograsi seorang penjahat.

"Angga, kalau Minggu bapak libur, tapi jangan merepotkan ibu, ya?" kata Aryo sambil melirik kearah ibu guru cantik.

"Kalau ibu, apakah hari Minggu juga libur?"

Lagi-lagi Ratih mengangguk.

"Kata ibu guru, kalau ditanya jawabnya tidak boleh mengangguk, ya kan?"

Aduh, anak pintar darimana yang tiba-tiba membuat dua orang dewasa menjadi kelimpungan?

"Ya, Angga." lagi-lagi jawaban Ratih mengarah kepada Angga.

"Horeee... Eyang, besok hari apa?"

"Besok hari Sabtu Angga, "

"Kalau begitu habis Sabtu apa ya... "

"Coba Angga sebutkan nama-nama hari. Kemarin sudah hafal kan?"

"Senin.. Selasa.. Rabu.. Kamis.. Jum'at. Sabtu.. Minggu.. Jadi habis Sabtu itu Minggu."

"Baiklah Angga, ayo kita pulang, ayah kan harus kembali ke kantor," sela Aryo.

"Ibu ikut kan?"

"Angga, ibu harus bekerja bukan?"

Tapi tiba-tiba wajah Angga berubah muram. Matanya mulai merah, hidungnya juga merah. Sebentar lagi pasti ada tangis yang meledak.

Ratih yang tanggap akan suasana itu segera merangkulnya.

"Baiklah Angga, ibu akan ikut."

"Benar?" mata Angga yang berkaca menatap Ratih dengan penuh permohonan.

Ratih mengangguk.

"Bu Ratih, saya mohon ma'af, Angga sangat merepotkan." kata Aryo yang merasa sungkan.

"Tidak apa-apa pak Aryo.. kasihan Angga."

Dan hari itu kembali Ratih ikut bersama Angga kerumahnya. 

Sepanjang jalan Angga mengoceh, bercerita tentang banyak hal. Tentang teman-temannya.

"Ibu tau nggak, anak yang bernama Mimi itu nakal sekali. Masa Angga didorong dorong sampai hampir jatuh."

"Kalau ada anak nakal, lebih baik dijauhi saja, nggak boleh dibalas."

"Angga nakal tidak?" tanya ayahnya.

"Angga nggak nakal, ya kan bu?"

Ratih tersenyum dan mengelus kepala Angga dengan sayang.

Anak kecil yang wajahnya mirip bapaknya ini sungguh menggemaskan. Baru dua hari ketemu, sudah membuatnya jatuh hati. Ratih heran pada dirinya sendiri. Mereka bukan apa-apanya, tapi Angga sudah merasa bahwa dirinya adalah ibunya itu justru membuatnya senang.

Setelah menurunkan Angga, Aryo langsung pergi ke kantornya. Sepanjang jalan bayangannya hanya kepada Ratih, yang mirip dengan isterinya. Tiba-tiba seperti juga Angga, dirinya seakan menemukan kembali isterinya yang hampir dua bulan meninggalkannya.

"Arum, kemana sebenarnya kamu? Begitu tega meninggalkan suami dan anakmu. Aku memang khilaf, aku merasa bersalah, tapi aku kan sudah minta ma'af? Aku berjanji hal itu tak kan terulang Arum," bisiknya pilu.

"Jangan biarkan aku jatuh hati kepada gadis yang mirip sekali denganmu... Ya Tuhan.. jangan sampai hal itu terjadi. Dia bukan Arum.." dan bayangan Ratih bergantian dengan bayangan Arum, melintas dimatanya.

***

"Wuri, belum adakah lowongan pekerjaan untuk aku?" tanya Rini pada suatu pagi ketika Wuri sahabatnya sedang libur.

"Belum ada, habisnya, kamu pekerjaan pake milih-milih sih."

"Iyalah milih, masa sih sembarang pekerjaan aku mau?"

"Ya bukan begitu. Kamu tuh maunya jadi perawat disebuah rumah tangga, dulu ada lowongan merawat orang tua kamu nggak mau,adahal mereka menjanjikan gaji besar, lebih besar dari gaji pasaran seorang perawat."

"Kalau bisa ya jangan orang tua Wuri, "

"Merawat anak muda, ganteng, manja, gitu?"

Rini tertawa.

"Aku kan hanya bercanda. Anak kecil juga boleh kok. Kamu dirumah sakit kan banyak tau tentang mereka yang membutuhkan perawat."

"Ya sabar, nanti pasti aku carikan."

"Bener ya, jangan lama-lama, duit di kantong sudah menipis nih."

"Kamu boros sih. Ada makanan dari masak sendiri, kamu lebih suka jajan."

"Kan sambil jalan-jalan, masa mau dirumah terus."

"Ya nggak harus setiap hari kan. Ya sudah, aku mau belanja, tapi mau mampir kerumah sakit dulu."

"Aku ikut, tapi ngapain ke rumah sakit, kamu kan lagi libur?"

"Ada pesanan yang lupa aku sampaikan, catatannya ada dilaci kerjaku."

"Ya sudah, tungguin, aku ganti baju dulu."

***

"Ibu... sekarang tutup mata ibu, aku mau sembunyi, nanti ibu cari yaa," teriak Angga dengan gembira sa'at bermain disekolahnya.

"Baiklah, siapa mau ikut petak umpet?" teriak bu Ratih kepada murid-muridnya.

Anak-anak beramai ramai mengacungkan jarinya.

"Aku mau.. aku mau.. aku mau...," kata mereka berteriak-teriak.

"Biklah, yang pertama ibu dulu ya, ibu mau menutup mata sambil menghadap kesana, kalian boleh sembuni sesuka hati. Siapa yang tertangkap duluan, harus ganti menutup mata dan yang lainnya sembunyi. Begitu seterusnya. Mengerti?"

"Mengerti.. mengerti.."

"Ayo.. siap ya... satu.. sua.. tiga.." kata bu Ratih sambil menutup matanya dan menyandarkan kepalanya di tembok sekolah. Anak-anak berramai-ramai mencari tempat persembunyian..

Lalu semuanya terasa sepi. Ada kasak kusuk dan tertawa ngikik diantara satu dua orang. Ada yang sembinyi dibalik pintu tapi sepatunya kelihatan. Ada yang sembunyi dibalik pohon tapi tangannya kelihatan. Ahaaa.. alangkah mundah menemukan mereka. Tapi bu Ratih ingin menemukan  Angga, dimana Angga sembunyi ya. Bu Nastiti duduk disebuah bangku tunggu, berjajar dengan beberapa ibu lainnya. Ada yang membuat bu Ratih curiga, bu Nastiti tersenyum simpul, lalu kelihatanlah sepasang sepatu dibalik bangku. Bu Ratih menghampiri dan melongok kearah belakang bu Nastiti. Rupanya Angga sembunyi disana.

"Kenaaaa   " teriak bu Ratih, dan Angga menjerit-jerit lalu ter-tawa=tawa.

"Sekarang yang sembunyi keluar duluuu... giliran Angga menutup mata ya.." teriak bu Ratih. Lalu mereka yang sembunyi keluar semua sambil tertawa-tawa. Senang sekali kalau tidak tertangkap.

"Ayo...sekarang Angga kesini, tutup mata dan menghadap ke tembok ya," kata bu Ratih sambil menarik tangan Angga.

Angga pun menurut, matanya segera ditutup dengan kedua telapak tangan dan mukanya menghadap ke tembok. Teman-temannya berhamburan sembunyi seperti tadi.

"Satuu.. dua... tiga.. sudah siap ya...Ayo Angga buka matamu dan cari salah seorang temanmu.

Angga membuka matanya,  dan membalikkan tubuhnya.

"Ayo.. cari salah seorang teman kamu, cepaat," kata bu Ratih

Angga berlari-lari kecil kebalik pohon trembesi, ia melihat rok warna merah berkibar tertiup angin. Angga berteriak kencang.

"Kenaaaa !" lalu terkekeh senang sambil menarik tangan temannya. Tapi si teman marah-marah. 

"Nggak mau.. aku nggak mau.." lalu didorongnya tubuh Angga hingga terjatuh, tentu saja karena badan anak itu jauh lebih besar.

Angga menangis karena lututnya terluka. Bu Nastiti dan bu Ratih berlari mendekat.

"Angga.." kata bu Ratih sambil membangunkan Angga dan menggendongnya.

"Anak-anak, ini hanya permainan ya, yang kena tidak boleh marah. Mimi, kesini kamu, ayo kesini," kata bu Ratih sambil tangannya melambai kearah Mimi. Tapi rupanya Mimi justru berlari menjauh, mendekati ibunya yang juga terkejut melihat kelakuan anaknya. 

"Mimi, kamu nggak boleh nakal," tegur ibunya.

Bu Ratih yang masih menggandong Angga mendekat.

"Mimi, ayo minta ma'af sama Angga," kata bu Ratih.

Tapi Mimi menggeleng.

"Mimi, minta ma'af, kamu sudah melukai teman kamu," kata ibunya Mimi.

"Bagaimana Mimi? Anak pintar harus menurut kata ibu bukan?"

Mimi mengulurkan tangannya dengan enggan dan diterima Angga yang masih menangis.

"Ma'af," hanya itu yang diucapkan Mimi, lalu sembunyi dibalik gaun ibunya.

Bu Ratih menggendong Angga ke UKS, dan mengobati luka di lutut Angga. Angga berteriak kesakitan.

"Angga, anak pintar, nggak begitu sakit kok. Luka ini harus diobati supaya tidak menjadi lebih parah.Diamlah, sakitnya nggak lama kok.

"Angga sudah besar, mengapa menangis?" sela bu Nastiti.

"Sakit...eyang..." teriaknya sambil menggoyang goyangkan kaki kanannya yang terluka.Anak-anak yang melongok kedalam dibubarkan oleh guru yang lain.

"Sudah... sekarang ditutup dengan plester, supaya nggak kena debu."kata bu Ratih setelah selesai membersihkan luka dan membubuhkan obat pada lukanya.

"Sakitttt..."teriaknya.

Beberapa guru mendekat dan menghiburnya.

"Lho.. kok putranya ibu cengeng sih. Ayo dong diam, nanti gantengnya ilang," kata salah seorang guru.

"Iya tuh, kalau nangis gantengnya ilang lho," kata guru yang lain.

"Senengnya bu Ratih dapat anak ganteng begini," temannya menimpali.

Ratih hanya tersenyum. Bu Nastiti memberikan minum kepada Angga.

"Minumlah, habis minum pasti nggak sakit lagi," kata bu Nastiti.

Hebohnya hari-hari yang dilalui Ratih semenjak ada Angga yang mengakuinya sebgai ibunya. Heboh yang menyenangkan, sampai diledekin beberapa teman-teman gurunya.

***

"Bapak, tadi Angga terjatuh.. kata Angga sambil menunjukkan lututnya yang diplester, ketika bapaknya pulang dari kantor.

"Ooh, anak bapak jatuh ya. Sakitkah?"

"Sakit bapak, " katanya sambil mewek lagi.

"Lho, kok mau nangis lagi. Kan sakitnya sudah tadi?"

"Siapa yang mengobati luka ini?"

"Ibu.."

"Ya sudah, kalau sudah diobati ibu ya beres lah.. nggak usah menangis. Anak laki-laki cuma luka sedikit saja kok nangis."

"Sakit, bapak.."

"Tadi sudah nggak nangis berarti sudah nggak sakit," kata Aryo sambil merengkuh anaknya dan memeluknya erat.

"Arum, dimana kamu Arum?" bisiknya dalam hati. Melihat keadaan Angga, Aryo teringat kembali pada isterinya. Ratih itu bukan ibunya, lalu sampai kapan kebohongan ini akan tersimpan? Bagaimana kalau suatu hari Angga tau bahwa bukan Ratihlah ibunya?

Tiba-tiba bu Nastiti keluar, mengiringi Ratih yang sudah bersiap untuk pulang.

"Angga, ibu mau pulang ya,"

"Nggak mau ibu, Angga mau tidur sama ibu.."

Waduh, Ratih kebingungan. Karena kakinya sakit permintaan Angga jadi bertambah. Tapi ini permintaan yang sulit. Bagaimana mungkin dia tidur disini?

"Angga, ibu harus bekerja," kata bu Nastiti sambil mengelus kepala Angga.

"Iya, kata ibu.. ibu harus bekerja lagi, besok kan ketemu di sekolah," sambung Aryo sambil melirik kearah Ratih.

"Tapi besok kan Minggu, Angga nggak sekolah, tadi ibu guru bilang begitu."

Ya ampun, anak pintar ini sungguh susah dilawan dengan bujukan.

"Haa, bukankah Angga mau beli mobil-mobilan?"seru Aryo tba-tiba.

Rengekan Angga berhenti.

"Kalau begitu besok kita pergi sama ibu juga kan?"

"Baiklah, kalau begitu biar ibu bekerja sekarang, biar besok bisa jalan jalan sama Angga." 

"Begitu ya sayang?" kata Ratih sambil mencium kepala Angga. Tak sengaja Aryo mencium harum rambut ibu guru cantik itu. Aryo memalingkan muka. Ia harus membuang jauh-jauh perasaan yang mengganggunya.

"Saya antar bu Ratih? Supaya besok kalau Angga ngajakin pergi, saya bisa nyamperin kerumah." kata Aryo.

"Tidak usah pak Aryo, biar besok saya yang datang kemari. Bu Nastiti akan mengabari saya kalau sudah siap mau berangkat," jawab Ratih yang kemudian mencium tangan bu Nastiti dan berlalu.

Angga menatap kepergian 'ibunya' dengan kecewa. Barangkali jauh dilubuh hatinya dia menjerit, mengapa seorang ibu harus pergi dari rumah untuk bekerja dan tak bisa anaknya leluasa meminta sesuatu darinya? 

Aryo dan bu Nastiti menatap Angga penuh iba. Aryo memeluk Angga dan menciuminya sepuas hati.

***

Siang itu mendung menggantung. Rini kesal karena Wuri harus mampir kerumah sakit tempat dia bekerja. 

"Kebuu hujan, mengapa sih pake mampir kesini segala?" tanya Rini ketika mereka memasuki halaman rumah sakit itu.

"Kan aku sudah bilang, ada pesanan yang belum sempat aku sampaikan."

"Apa tidak bisa menelpon saja?"

"Tidak bisa .. ada catatan yang tertinggal dilaci kerjaku. Bukankah tadi aku sudah mengatakannya?"

"Berarti kita berangkat kesiangan."

"Salah siapa, pamit mau ganti baju, ternyata mandi. Sudah gitu mandinya lama, dandannya juga lama," gerutu Wuri.

"Aku lupa kalau belum mandi. Nanti ditempat keramaian orang yang bersimpangan sama aku pada tutup hidung semua dong."

"Ya sudah, jangan menggerutu, sekarang kamu tunggu saja disini, aku kekantor dulu," kata Wuri sambil menunjuk kearah bangku tunggu.

Rini menunggu dengan kesal. Mendung yang menggantung bisa saja mencurahkan hujan setiap sa'at. Dan kalau itu terjadi, maka gagallah acara belanja siang ini.

Sepuluh menit berlalu, seperempat jam sudah lebih, tapi Wuri belum tampak batang hidungnya. Pasti ngobrol dengan teman-temannya.

Rini berdiri dan hampir melangkah masuk untuk menyusulnya, ketika tiba-tiba dilihatnya seseorang.

"Itu kan bu Arum?"

Rini setengah berlari mencari tempat untuk bersembunyi.

***

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER