Cinta Ayudia 08
A story by Ayudia
Part 8
Ayu masih terduduk di lobi rumah sakit.
Terapinya sudah selesai sejak dua jam lalu, tapi ia masih duduk manis di sofa lobi menunggu sang suami. Ia masih berharap, Rangga menepati janji untuk menjemputnya saat ia sudah selesai terapi. Pesan sudah dikirimkan ke ponsel suaminya sejak dua jam lalu, tapi belum ada tanda telah dibaca olehnya.
Sebenarnya apa yang yang sedang dilakukan Mas Angga?
Ke mana mereka pergi?
Ayu menatap kembali ke ponselnya, chat pesan belum dibaca juga sampai sekarang.
Ia lalu men-dial kembali nomer ponsel Rangga. Panggilan itu tersambung, tapi tidak diangkat oleh pemiliknya. Ini sudah kesekian kali ia menghubungi suaminya, tapi tidak diangkat juga. Akhirnya Ayu kembali mengirim pesan untuk Rangga.
To: Husband
‘Mas ada di mana? Aku sudah selesai terapi. Jika Mas tidak bisa menjemputku, tolong kabari aku ya. Love u.’
Ayu terus menatap ponselnya, menunggu tanda-tanda dari Rangga.
Entah hati wanita ini terbuat dari apa, berulangkali tersakiti tidak membuatnya mundur.
Kekeuh harus bertahan di kapal walau angin makin kencang menerjang, mencoba menenggelamkannya.
Ia mempercayai bahwa peluangnya untuk memasuki hati Rangga kini sudah semakin lebar, semenjak hubungan mereka yang semakin membaik.
🍀🍀🍀
Rangga masih duduk di sebelah Dessi, menunggu wanita itu menyelesaikan sarapan bubur favoritnya. Matanya beredar, memandangi tempat yang tadi pagi baru saja didatanginya dengan Ayu.
‘Hebat sekali kau Rangga, tadi pagi kau datang bersama dengan istrimu sekarang kau datang lagi dengan kekasihmu,’ batin Rangga.
Rangga tersenyum sinis, mendengarkan suara-suara yang berkecamuk di pikirannya.
Entah kenapa dirinya lemah sekali menghadapi wanita. Melihat Dessi yang tampak lemah dan pucat, membuatnya iba lalu menghampiri dan meninggalkan istrinya begitu saja.
Dan kini dirinya terdampar kembali di taman kota, karena terpaksa mengikuti keinginan Dessi, kekasihnya.
Dia tahu Dessi memiliki masalah lambung, dan biasanya akan kambuh saat wanita itu terlalu banyak pikiran atau kecapekan. Dan kali ini, penyakitnya kambuh lagi karena dirinya. Dessi yang tertekan dengan sikapnya yang tiba-tiba menjauh.
“Rasa bubur ini nggak berubah dari dulu, tetep yang paling enak menurutku,” ujar Dessi.
“Kamu tau, aku nggak makan dari kemarin sejak kamu menolak ajakan makan siangku. Malamnya ponselmu tidak aktif juga. Kamu membuatku kelimpungan seharian, Ga.”
“Maaf, tapi kemarin memang aku sedang disibukkan dengan pekerjaan yang harus kuselesaikan dengan cepat. Malamnya aku sudah benar-benar lelah, dan tidak tahu kalau ponselku mati karena lowbat,” balas Rangga, berbohong.
Ya, dirinya memang cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya karena ingin segera berkumpul dengan anak dan istrinya. Sengaja mematikan ponsel, karena hatinya ingin memantapkan diri akan keputusan yang sudah diambil itu.
Mata Rangga terpaku melihat pemandangan anak-anak sekolah, yang sedang duduk-duduk dan berkumpul di taman ini. Mengingatkan tentang masa lalunya, saat masalah itu belum menerpanya.
“Ga, aku mau nambah lagi boleh? Kamu nggak cepet-cepet kan?” tanya Dessi.
Rangga melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Baru sejam, Ayu mungkin masih di terapi.
“Baiklah, aku masih ada waktu kok,” ucap Rangga.
“Bang, buburnya tambah lagi ya setengah porsi aja!”
Seru Dessi pada tukang bubur, yang tak jauh dari tempat mereka duduk.
Tidak sampai satu menit bubur ayam itu kini diantarkan oleh penjualnya, Bang Somad.
Tampak rona terkejut di wajah bapak tua itu. Melihat Rangga kali ini datang dengan wanita yang berbeda, yang kini sedang meletakkan kepalanya di bahu Rangga. Bodohnya Rangga, dia tidak menyadari bahwa Bang Somad mengenal mereka sejak dulu.
“Loh, Neng Dessi toh. Tak kirain ini Neng Ayu lagi. Apa kabar Neng?” sapa Bang Somad.
“Baik, Bang. Loh, emangnya tadi ada Ayu ke sini ya Bang?” tanya Dessi.
“Iya, tadi kan sama Mas Rangga ke sininya.”
Bang Somad menyesali mulutnya yang begitu mudah sok akrab dengan pelanggannya, dan kini dia dipelototi tajam oleh Rangga. Merasa tidak enak, pria tua itu kemudian meninggalkan bangku mereka berdua.
“Tadi kamu ketemu Ayu di sini?” tanya Dessi.
“Dia juga tadi makan bubur kayak kamu,”
Jawab Rangga, sengaja tidak berkata yang dapat menimbulkan kecurigaan Dessi.
“Kamu ketemu sama anaknya nggak? Cantik loh. Gemes banget aku lihatnya.”
Dessi dapat melihat sorot terkejut dari ekspresi wajah Rangga. Dia lalu mengingat perbincangannya dengan Ayu beberapa hari lalu
‘Jangannn!! Tidak usah disampaikan, Des. Nanti takut dia marah kalau tahu aku sudah menikah, tanpa memberitahunya. Biar aku yang cerita,’ ucap Ayu kala itu.
‘Ah iya, Ayu melarangku bercerita mengenai dirinya’ batin Dessi.
“Kamu nggak tau yah kalau Ayu sudah menikah? Jessi juga lagi hamil. Kamu lost contact sama mereka?” tanya Dessi.
“Eh, kamu kapan ketemu Ayu?!”
“Beberapa hari lalu, saat kamu mengantarkan aku beli es krim setelah makan siang itu. Di sana aku bertemu Ayu dan putrinya, juga Jessi. Ternyata, teman-teman seangkatanku sudah pada berkeluarga dan punya anak. Aku sama kamu masih gini-gini aja,” sindir Dessi.
Dia menoleh kepada Rangga yang masih menatap lurus ke depan.
Selalu saja seperti ini. Setiap dia menyinggung tentang pernikahan, Rangga tidak pernah meresponnya. Dia tahu Rangga mencintainya sejak dulu, dan kini sang kekasih sedang menapaki karirnya yang mulai cemerlang. Namun, dirinya butuh kepastian tentang hubungan mereka.
Dia tidak keberatan jika Rangga memintanya menunggu beberapa tahun lagi, asalkan Rangga meminta, tidak didiamkan seperti ini. Rencananya setelah kekasihnya itu kembali ke Jakarta, dirinya akan mulai membujuk Rangga untuk mengenalkannya dengan keluarga pria itu.
“Apakah Ayu bercerita mengenai pernikahannya?” tanya Rangga ragu-ragu.
Dessi mendengkus kesal saat Rangga mengalihkan pembicaraan mengenai pernikahan, dan malah menanyakan mengenai sahabat kesayangannya itu.
“Nggak, aku nggak ngobrol banyak sama dia. Aku kan buru-buru juga karena jam istirahat sudah habis.”
“Ohh .…”
Rangga dapat sedikit bernafas lega mendengarnya.
“Kamu ini kenapa sih kalau ngomongin Ayu lebih semangat? Tau nggak, dari dulu tuh aku cemburu sama kalian. Aku yang jadi pacar kamu, tapi perhatian kamu lebih banyak buat dia. Kamu nggak pikirin perasaan aku, saat kamu lebih memilih membatalkan acara nonton kita hanya karena melihat Ayu jalan sama cowok yang lagi PDKT sama dia. Terus kamu pulang gitu aja sama Ayu, ninggalin aku sendiri. Belum kalo dia sakit atau apa, kamu lebih khawatir sama dia daripada sama aku,” curhat Dessi.
‘Seperti itukah aku dulu?’ tanya Rangga dalam hati.
“Dari dulu, cuma aku laki-laki yang jaga dan nemenin dia sejak ayahnya meninggal. Kamu nggak usah cemburu,”
Balas Rangga, sambil mengacak pelan rambut Dessi.
Pikiran Rangga kemudian berkelana, saat beberapa hari lalu menemukan Ayu dalam kondisi terluka karena kecelakaan.
Dia seolah melihat Ayu kecil yang menangis di sudut kamar, saat ayahnya meninggal. Perasaan ingin selalu melindungi dan menjadi kekuatan gadis itu, selalu timbul saat melihat wajahnya yang menangis terluka.
Dan entah kenapa, saat melihat pria yang mengantar istrinya itu, ada sesuatu terbakar dalam dirinya. Dia tidak suka ada yang menjaga dan mengkhawatirkan Ayu selain dirinya.
🍀🍀🍀
Rangga memarkirkan mobilnya di basement gedung apartemen, tempat di mana Dessi tinggal. Dessi masih tertidur pulas, sejak perjalanan pulang dari taman kota.
Dia mengambil ponsel dari dashboard mobilnya, benda yang tadi tertinggal saat mereka di taman. Jemari bergulir melihat notif chat dan panggilan tak terjawab dari istrinya.
Matanya terpana akan kata-kata terakhir di pesan Ayu. Berpikir dalam diam, kapan dirinya bisa menjawab kata-kata itu tanpa ragu.
Ayu sudah menungguku dari tadi.
Rangga melirik jam tangannya. Tidak memungkinkan jika dia harus kembali ke rumah sakit, karena jaraknya jauh dan harus memutar balik ke sana. Sedangkan dia harus segera masuk kerja, karena sebelumnya ijin hanya setengah hari. Sebelum makan siang, dia harus sudah berada di kantor lagi. Dia pun membuka aplikasi chat, dan membalas pesan istrinya.
To: Ayu
‘Ayu, aku akan memesankan taksi untuk mengantarkanmu pulang. Maafkan aku, tidak bisa pulang bersamamu dan Della. Pekerjaanku sudah menanti.’
Tak butuh waktu lama menunggu, Ayu langsung membalas pesan itu.
Hati Rangga meringis, menyadari bahwa saat ini Ayu pasti tengah memegang ponselnya. Menunggu-nunggu pesan darinya.
From: Ayu
‘Baik, Mas. Maaf merepotkan karena menggangu waktu Mas bekerja. Della tadi dijemput Kak Rania. Sepertinya dia tidak marah, karena kita tidak jadi menjemputnya. Dia juga tidak akan marah sama kamu, Mas. Lihatlah apa yang sedang dilakukannya sekarang, dengan Bunda Rania kesayangannya.’
Ting ..
Sebuah foto selfie putri kecil cantiknya, masuk di ponsel Rangga. Della sepertinya sedang berada di suatu café atau restoran, dia tengah memegang segelas coklat dingin, minuman favoritnya.
Rangga tersenyum lebar melihat wajah putrinya yang tampak semringah. Tak terasa kini Della semakin besar, cantik, dan pintar.
Bertahun-tahun dirinya melewatkan perkembangan putrinya itu. Bahkan saat Ayu hamil, bisa dipastikan dirinya tidak pernah ada di samping istrinya. Selain karena jadwal tahun pertama kuliah yang menyita waktu, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan harus menjadi ayah dalam usia muda. Sesekali berkomunikasi dengan Ayu, menanyakan kabar dan bercerita mengenai kegiatan kuliahnya.
Saat Ayu melahirkan pun, dirinya tidak ikut mendampingi.
Dia datang sehari setelah istrinya melahirkan. Perasaannya tak menentu, saat pertama kali menggendong bayi cantik itu di tangannya. Ada rasa haru menyelinap, saat menyadari bahwa ada sebagian dirinya di tubuh kecil itu..
Semakin tumbuh besar, wajah putrinya semakin kental mewarisi raut oriental keluarganya. Tidak ada kemiripan dengan Ayu, tapi kepintaran dan sifatnya sama seperti bundanya itu.
Kehadiran Della menjadikan rumah menjadi lebih hidup.
Dilimpahi kasih sayang oleh kakek, nenek dan juga kakak perempuannya, membuat Rangga tenang walaupun harus berjauhan dari putrinya itu. Saat pulang ke Jakarta, dia curahkan semua waktunya untuk bisa dekat dengan putri cantiknya itu.
Namun hal itu menjadi terbagi, saat dia bertemu kembali dengan kekasih masa lalunya.
“Rangga, kok kamu nggak bangunin aku sih? Udah nyampe dari tadi, ya?”
Tanya Dessi, yang baru saja terbangun dari tidurnya.
“Udah nyampe dari sepuluh menit yang lalu. Aku nggak tega banguninnya.”
“Terus … kamu kenapa senyam-senyum sendiri? Chat sama siapa sih?”
Selidik Dessi berusaha melihat ke arah ponsel kekasihnya itu. Dan tentu saja ditepis oleh Rangga.
“Nggak apa-apa, kok. Cuma dapet kabar dari temen, kalo desain team-ku disukai oleh klien. Dan aku harus segera berangkat ke kantor sekarang, sebelum jam makan siang.”
“Jadi, kamu nggak mampir dulu ke dalam?” tanya Dessi.
“Maaf, lain kali ya. Banyak yang harus kukerjakan. Lekas sembuh ya,”
Ucap Rangga, sambil mengusap puncak rambut Dessi. Wanita itu tampak tidak beranjak dari kursinya, seolah menunggu sesuatu.
“Ada apa? Ada yang tertinggal?”
Tanya Rangga, yang kemudian dijawab gelengan lemah Dessi.
“Enggak apa-apa. Ya udah, aku masuk ya,”
Jawab Dessi sambil membuka pintu mobil.
Terpaku beberapa saat sambil melihat mobil Rangga yang berlalu begitu saja dari hadapannya.
“Kamu lupa mencium keningku, Ga,” lirih Dessi.
Sebenarnya, Dessi sudah merasakan ada yang berbeda dari kekasihnya itu.
Dia mengira dengan kembalinya Rangga ke Jakarta, hubungan mereka akan menjadi lebih baik. Ternyata dia salah.
Akhir-akhir ini, dia sering melihat kekasihnya itu lebih banyak melamun jika bersama dengannya. Seperti ada beban di pikirannya, bahkan kebiasaan Rangga yang sering mencium keningnya kini sudah beberapa hari ini dilupakan. Hal itu juga yang membuat sakitnya kambuh, karena terlalu memikirkan kekasihnya.
Rangga, aku akan pastikan kamu tidak akan berpaling dariku
🍀🍀🍀
Jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul 19.30.
Rangga sedang merapikan kubikelnya. Hari ini ia pulang lebih lama dari biasanya, karena harus menyelesaikan pekerjaan yang ia lewatkan tadi pagi. Dia sudah mengirim pesan kepada Ayu, tidak bisa ikut makan malam dengan keluarganya karena akan pulang terlambat.
Sudah jadi kebiasaan di rumah, jika kakak perempuannya–Rania– pulang ke rumah, maka akan ada makan malam spesial untuk menyambut kedatangannya.
Kakak perempuannya itu dianugerahi paras cantik dan tubuh sempurna, yang membuat dirinya memilih menekuni dunia entertainment. Sejak SMP sudah aktif ikut lomba modeling.
Bermula hanya seorang model majalah, sekarang dia menjadi model papan atas, bintang iklan, dan pemain film.
Rania jarang berada di rumah, ia lebih senang berada di apartemennya dan melakukan pekerjaannya dari satu kota ke kota lain atau ke luar negeri. Biasanya 2-3 bulan sekali, dia akan sempatkan pulang ke rumah terutama bercengkerama dengan keponakan cantiknya.
Della cukup dekat dengan Rania, karena hanya dengan bunda kesayangannya itulah gadis kecil itu bisa mendapatkan apa yang dia mau. Rangga tidak terlalu menyukai cara Rania yang begitu memanjakan Della, apalagi dengan pakaian-pakaian mahal yang selalu dibelikan untuk putrinya. Della sudah seperti sosialita cilik, jika sedang bersama Rania.
Tak heran jika Rania pulang ke rumah, maka Della akan menempel terus dengan tantenya itu. Dan Rania dengan senang hati mengajak keponakan cantiknya bersenang-senang, dan membelikannya berbagai macam mainan dan baju-baju cantik.
Dessi calling ....
Ponsel Rangga berdering dan menampilkan sebaris nama di layar, dia tampak ragu untuk menjawab panggilan telepon dari kekasihnya itu. Hanya memandangi ponsel itu, sampai panggilannya berakhir dengan sendirinya.
Tak lama ponselnya kembali berdering.
Dia kebingungan, memikirkan alasan apalagi yang harus dikatakan selanjutnya. Akhirnya dia pun menjawab panggilan itu walau dengan berat hati.
“Halo”
“….”
“Aku di kantor, banyak kerjaan jadinya lembur. Ada apa, Des?”
“....”
“Kamu belum makan? Kan bisa delivery, sudah tau maagmu parah, tapi makannya telat terus.”
“....”
“Baiklah, aku akan membelikannya untukmu. Isi dulu perutmu dengan roti atau biskuit ya? Tunggu aku.”
“....”
Rangga menaruh ponsel di sakunya, lalu membereskan barang-barangnya.
Dia harus segera ke apartemen Dessi, untuk mengantarkan makanan. Dessi tinggal seorang diri di Jakarta, sementara keluarga besarnya berada di Bandung.
Hal itu juga yang membuat Rangga tidak sampai hati menolak permintaannya untuk membelikannya makan malam, agar dia bisa meminum obatnya. Dia tahu, Dessi hanya ingin mencari cara agar bisa berdekatan kembali dengannya.
Namun, dia belum mempersiapkan diri untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Dessi, bahwasanya dia telah menikah. Hanya ingin mengambil waktu sejenak, break sementara dari hubungan mereka agar hatinya bisa yakin dengan jalan mana yang benar-benar akan dia pilih.
Ting nong ... ting nong ...
Rangga sudah berada di depan pintu apartemen Dessi, dengan membawakan sebungkus soto bening dan nasi goreng. Untungnya dia masih memiliki uang di sakunya, dia baru menyadari dompetnya tertinggal.
Tak lama kemudian pintu apartemen itu terbuka, Dessi mengenakan hotpants dan kaos kebesaran, juga handuk kecil yang masih melingkari kepalanya.
Gadis itu tampak segar, sepertinya habis mandi. Rangga tersenyum, hal itu malah mengingatkannya pada Ayu. Wajah segar dan cerah istrinya sehabis mandi terbayang jelas di matanya, membuat dia merasakan rindu seketika.
Melihat Rangga tersenyum, membuat Dessi merasa mendapat lampu hijau untuk menggoda Rangga.
“Masuk, Ga,” ajak Dessi.
Rangga masuk ke apartemen itu kemudian duduk di sofa.
Sementara Dessi yang sudah menerima bungkusan makanan itu, langsung menyalinnya ke piring dan mangkuk yang telah dia sediakan untuk mereka berdua. Dia menarik tangan Rangga, lalu mereka makan berdua di meja makan sambil berbincang santai.
Dessi yang telah selesai mencuci piring, kini mendekati Rangga yang sedang duduk di sofa menonton berita yang sedang ditayangkan.
Dia duduk persis di sebelah Rangga. Melingkarkan tangan di lengan sang kekasih dan menyandarkan kepala di bahu pria itu.
Dia sengaja bergelayut manja dan menempelkan dadanya di lengan Rangga. Dia bisa merasakan tubuh pria itu yang menegang, tapi tetap memandangi televisi di hadapannya.
“Sayang, makasih ya kamu sudah bawain aku makan malam,”
Ujar Dessi dengan suara lembutnya
“Hmm ... kamu sudah minum obatnya?”
“Sudah.”
Rangga tidak nyaman dengan kondisinya saat ini. Dia sedang mencari alasan, agar bisa pulang ke rumah segera.
Cuppp ...
Rangga tersentak kaget, saat sesuatu yang basah menghisap lekukan lehernya. Dia memegang bahu Dessi, dan menjauhkan dari lehernya yang terus wanita itu ciumi.
“Ada apa denganmu, De–hmmmpppft”
Bibir Dessi langsung membungkam bibir Rangga dengan kasar, mendorong tubuh Rangga hingga pria itu setengah terbaring di sofanya.
Wanita itu lebih mendominasi daripada dirinya, berbeda dengan dengan Ayu yang penuh dengan kelembutan dan terasa indah.
Rangga tersentak kaget, saat teringat wajah Ayu yang begitu menggoda dan bergairah saat berada di bawahnya tadi malam. Pemandangan indah yang terpatri jelas di kepala, yang kini membuatnya ingin segera pulang dan memeluk tubuh mungil sang istrinya.
Rangga mendorong tubuh Dessi dari atas tubuhnya, lalu berdiri dan memandang Dessi dengan penuh amarah.
“Apa yang kamu lakukan?!” sentak Rangga.
Dessi tampak kaget dengan reaksi Rangga.
Tak pernah selama ini pria itu membentak dirinya. Tidak pernah menolak ciuman dan perlakuannya, dan kini dia marah kepadanya. Dia bukan seperti Rangga yang dikenal olehnya selama ini.
“Aku mencium kamu. Kenapa? Kita kan biasa seperti itu,” balas Dessi enteng.
Sementara itu Rangga tampak mengusap wajahnya kasar.
“Jangan pancing aku untuk melakukan hal yang lebih dari itu, Des.”
“Kita bisa play save, Ga. Kita bisa pake kondom atau mengeluarkan sperma di luar. Apa selama tiga tahun pacaran kamu nggak bosen cuma ciuman aja?”
“Stop it, Des. Aku masih tau batasan. Aku nggak mau melakukan itu sebelum kita resmi menikah.”
‘Sial! Kenapa aku harus sebutkan kata-kata itu?’ Rangga mengutuk dalam hati.
“Jadi, kamu akan melamarku? Kapan?”
Tanya Dessi bersemangat, dia langsung berdiri memeluk kekasihnya itu.
“Aku seneng banget akhirnya kamu bersedia menikahiku.”
Rangga hanya bisa memejamkan matanya, bingung apa yang harus dikatakan kepada Dessi. “Berikan aku waktu sebentar lagi, Des. Jika sudah siap aku akan mengatakannya kepadamu.”
Dessi tambah erat memeluk tubuh kekasihnya, dan tidak menyadari bahwa kekasihnya itu kini tidak membalas pelukannya seperti biasa.
Dia salah mengira maksud perkataan Rangga. Hingga kini dirinya terlarut dalam kegembiraan yang dia ciptakan karena asumsinya sendiri.
🍀🍀🍀
Jam di kamarnya sudah menunjukkan pukul 23.00. Rangga berjalan pelan melintasi kamarnya, berusaha tidak mengganggu Ayu yang sudah tertidur lelap di ranjang.
Rangga baru bisa pulang dari apartemen Dessi setelah gadis itu tertidur. Dia sudah terlanjur janji pada Dessi, akan menemaninya sampai wanita itu tertidur barulah dia pulang.
Air dingin yang menyentuh kulit membuat Rangga tidak ingin lama-lama membersihkan diri, yang penting wangi parfum wanita itu hilang dari tubuhnya.
Dia mengenakan celana piyama dan bertelanjang dada seperti biasa, lalu bergabung ke dalam selimut bersama istrinya. Dia memeluk tubuh Ayu yang tidur membelakanginya, mencium tengkuk dan menghirup aroma wangi tubuh istrinya.
Rupanya Ayu terusik dengan gerakan-gerakan halus di ranjangnya itu. Dengan mata yang masih memerah dan suara parau, ia menoleh ke belakang melihat sang suami yang tengah memeluknya.
“Kamu sudah pulang? Maaf aku tidak menunggumu pulang,” lirih Ayu
“Nggak apa-apa, Sayang. Tidur lagi gih. Kamu ngantuk berat kayaknya,”
Balas Rangga, sambil membalikkan tubuh Ayu agar menghadap ke arahnya.
“Hmm ....”
Gumam Ayu, sambil tersenyum manis memandangi wajah suaminya dengan mata sayu.
Cuppp ....
Ciuman Rangga di kening Ayu, membuat wanita itu membeku seketika.
Bukan bahagia yang ia rasakan, tapi tepatnya nyeri seperti ditikam tepat di jantung karena matanya kini menatap lurus tanda merah yang tersaji di depannya.
Sebuah tanda merah di cerukan leher suaminya. Sama persis seperti yang ia miliki di tubuhnya, sebagai tanda kepemilikan Rangga atas dirinya. Dengan tanda yang ia lihat di hadapannya, menyiratkan bahwa wanita lain kini telah memberikan tanda kepemilikan atas Rangga.
Pria itu menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan, sementara mata Ayu kini menggenang air mata yang siap meluncur kapan saja. Ia balas memeluk erat tubuh suaminya, tidak rela jika harus berpisah setelah selama ini ia bertahan dengan kokoh.
Besok aku akan menjadikanmu seutuhnya milikku, Mas.
Agar wanita itu tau bahwa kamu adalah milikku …
Bersambung
No comments:
Post a Comment