Cinta Ayudia 07
A story by Ayudia
Part 7
"AAwwww!!"
Ayu terpekik kaget sekaligus kesakitan, saat kaki Rangga tidak sengaja mendorong kakinya. Kakinya yang tengah terluka, terbentur lalu terhimpit pada pingiran ranjang yang terbuat dari kayu.
Ia meringis merasakan kakinya kembali berdenyut nyeri. Rangga langsung menghentikan aktifitasnya, dan menyingkir dari atas tubuh Ayu yang penuh dengan tanda merah kepemilikan.
“Aduhh … maaf, Ay. Aku mengenai kakimu, ya? Maafkan aku.”
Wajah Rangga kini menunjukkan kekhawatiran, melihat Ayu terus meringis lalu duduk dan meniup pelan kakinya.
Wanita itu kini terduduk, mengambil selimut untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang polos. Tangan Rangga hendak menyentuh kaki Ayu, tapi terhenti.
“Jangan disentuh!!” seru Ayu.
“Kakinya terasa panas dan berdenyut lagi,” lanjutnya.
“Maafkan ... a-aku … terlalu bersemangat,” gumam Rangga.
Dia beranjak dari kasur lalu membuka laci nakas, mengambil kain kassa dan Rivanol untuk mengompres kaki istrinya.
Mengangkat kaki Ayu lalu diletakkan di atas pahanya, dan meniup pelan luka tersebut. Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari bibir istrinya.
“Kenapa, Sayang? Hmm … sakit sekali, ya?”
Tanya Rangga, sambil mengusap air mata yang kini mengalir deras di wajah istrinya.
Dia mengira, Ayu menangis karena sakit yang dirasakan.
Namun sebenarnya, bukan itu yang ditangisi Ayu. Ia menangis bahagia mendengar sapaan sayang dari bibir Rangga untuknya. Ia juga menangis karena sedih, belum bisa menjadi milik suaminya sepenuhnya.
Dan kini harus berpura-pura kesakitan, agar suaminya menghentikan kegiatannya barusan. Sungguh banyak dosa yang ia lakukan sebagai istri, yang membohongi suaminya. Kakinya memang kembali merasakan nyeri dan berdenyut, ia pun masih mampu menahannya.
Namun, kekhawatiran Rangga yang berlebihan dimanfaatkannya untuk menghentikan aktivitas panas itu.
“Maafkan aku, Mas,”
Gumam Ayu, sambil merebahkan kepala di dada suaminya.
Maafkan semua kebohonganku.
“Harusnya aku yang minta maaf. Aku terlalu memaksakan keinginanku, tanpa melihat kondisi kamu,”
Ucap Rangga, sambil mengelus punggung polos Ayu, dan mengecup puncak kepalanya.
“Kalau suami minta kan istri nggak boleh nolak, Mas. Dosa.”
“Iya .. tapi alangkah baiknya, suami juga lihat bagaimana kondisi istrinya saat itu. Jangan egois. Nahh begini deh jadinya, kalo nggak sembuh-sembuh, aku juga yang nggak kebagian jatah,” goda Rangga.
Wajah Ayu pun merona mendengar rayuan suaminya.
“Masih bisa cara lain kan? Kasian adeknya Mas pasti sakit,” ucap Ayu pelan.
Ia melihat ke bagian bawah tubuh suaminya yang tertutup celana boxer, tampak menggembung..
Rangga langsung menutupi bagian yang belum terpuaskan itu, dengan bantal.
“Idiihhh, kamu genit sekarang ya,”
Ejek Rangga, sambil menjawil hidung mungil istrinya.
“Kan Mas yang ngajarin! Lagian genit sama suami sendiri kok. Halal.”
‘Masih ada cara lain,’ pikir Ayu.
Ia sudah bertekad malam ini harus jadi miliknya. Jika Rangga malam ini tidak dapat 'memerawaninya’, setidaknya ada cara lain untuk memuaskan suaminya.
Ia pun merasa sempurna menjadi seorang istri Rangga Aditya.
🍀🍀🍀
Pemandangan pagi itu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya.
Di mana keluarga kecil itu tampak bercengkerama bertiga, tertawa, dan bercanda dalam perjalanan mengantar sang putri kecil ke sekolah.
Rangga sudah minta ijin kepada bosnya untuk masuk kerja agak siang dari biasa, karena pagi ini ia ingin menemani Ayu ke rumah sakit.
Wajah wanita itu kini, tampak lebih bersinar daripada hari-hari sebelumnya.
Inilah yang diinginkannya sejak dulu, semenjak ia memutuskan untuk menjadi istri Rangga.
Rela menunggu dan mempertahankan pernikahannya selama bertahun-tahun, walaupun sempat diabaikan oleh sang suami demi keinginan sederhananya itu. Dan kini, ia mulai memetik buah kesabarannya.
Jika sebelumnya ia pesimis untuk mempertahankan pernikahan mereka, sejak mengetahui hubungan Rangga dan Dessi di belakangnya, sekarang ia optimis bisa membawa sang suami kembali ke pelukannya.
Sempat ia berprasangka, bahwa Rangga berubah baik karena merasa bersalah karena dirinya selingkuh, tapi Ayu menepis itu semua. Apa pun alasan dibalik perubahan sikapnya, kali ini ia tidak akan menyerah untuk terus mendapatkan hati sang suami.
Menyadari dirinya belum sepenuhnya bertahta di hati Rangga, tapi ia bertekad untuk mendapatkan tempat khusus di hati suaminya.
“Bayangan keluarga kecilnya yang bahagia semoga, untuk selamanya,” harap Ayu dalam hati.
Setelah menurunkan Della dan mengantarnya sampai gerbang TK, Ayu dan Rangga bergegas pergi ke taman kota, dekat sekolah mereka dahulu.
Pagi ini, mereka berdua ingin kembali merasakan nikmatnya sarapan nasi uduk Jakarta langganan mereka. Ayu duduk di bangku taman tak jauh dari mobil mereka, sedang Rangga memesan makanan untuk sarapan mereka berdua.
“Ini bubur ayam tanpa kacang, pake daun bawang yang banyak, dan sambalnya dua sendok setengah,” ucap Rangga, sambil memberikan semangkuk bubur kesukaan Ayu. Sementara dirinya memesan nasi uduk lengkap dengan semur jengkol dan tongkol balado, favoritnya.
“Kamu masih inget banget kesukaan aku, Mas?”
Ayu merasa tersanjung, bahwa suaminya masih mengingat persis makanan kesukaan plus perintilan favoritnya.
“Gimana aku bisa lupa, kan aku yang biasanya jadi pesuruh kamu dan Jessi,” ucapnya.
“Oh iya, gimana kabarnya Jessi?”
“Baik, Mas. Beberapa hari lalu, aku dan Della sempet nemenin bumil yang ngidam es krim di tempat langganan kita. Della seneng banget makan es krim di sana. Dia pengen ajak kita makan es krim di sana.”
“Oh ya? Kita harus agendakan itu weekend nanti.”
“Boleh juga. Hati-hati berjanji dengan putrimu, Mas. Jangan sampai lupa, dan bikin dia ngamuk seharian. ”
“Hahaha ... iya, aku paham. Della itu nurun sifatnya kayak siapa ya? Mulutnya kadang judes. Perasaan kamu nggak kayak gitu deh.”
“Kayak Kak Rania. Eh, kamu juga kayak gitu. Ingat nggak dulu kamu suka banget ngeledekin aku, mulutnya lemes banget kalau udah ledekin aku.”
Ayu tersenyum mengingat masa-masa indah dulu, saat masih bersekolah bersama Rangga dan Jessi. Ia juga teringat Dessi, tapi enggan menyebutkan nama itu. Tidak mau merusak suasana manis yang tengah tercipta.
Rangga menyelipkan rambut Ayu, yang tergerai ke depan dahinya.
“Tapi ‘kan yang aku sebutin itu benar, Ayu. Wajah kamu tuh terlalu imut dan polos, beneran kayak anak SMP, baby face trus badannya imut-imut. Minimalis. Sekarang aja, orang nggak bakalan nyangka kamu itu ibu-ibu anak satu, kayak masih anak sekolahan gitu.”
“Tuh kan, mulai lagi! Kan emang aku dari lahir udah begini, Mas. Mau makan sebanyak apa pun badannya nggak mau gemuk. Mau tinggi lagi, tapi kayaknya udah maksimal segini hihhii”
“Baguslah, istriku jadi awet muda terus.”
Rangga tersenyum lebar, membuat hati Ayu menghangat. Ia begitu merindukan senyuman itu dan ejekannya.
“Oh ya, hamil Della juga perut kamu aja yang besar, badannya kecil,” tambah Rangga.
Uhuk ... uhukk ...
Ayu terbatuk dan tersedak mendengar pernyataan suaminya. Rangga buru-buru mengambil air putih, dan memberikannya kepada Ayu.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Enggak, Mas. Ini buburnya kepedesan.”
Bohong lagi.
Ayu mendesah malas, tak berselera lagi menghabiskan makanannya.
“Yuk, kita berangkat! Biar Mas nggak terlalu siang berangkat ke kantor. Nanti kalau masih ada waktu, kita bisa jemput Della pulang sekolah,”
Ajak Ayu, yang kemudian diangguki suaminya.
Rangga lalu beranjak membayar sarapan mereka.
Merangkul bahu Ayu, membantu istrinya menjadi tumpuan saat berjalan.
🍀🍀🍀
Pagi itu suasana klinik fisioterapi di salah satu rumah sakit, sudah ramai mengantri pengunjung yang akan berobat. Termasuk Rangga yang mendaftarkan Ayu, untuk janji temu dengan dokter rekomendasi ayahnya.
Kini mereka duduk di depan poliklinik, menunggu dokter yang masih dalam perjalanan. Mereka mendapat nomer urut pertama, karena sudah membuat janji sebelumnya. Sedari tadi, tangan besar Rangga tidak pernah beralih dari genggaman Ayu. Menemani dengan sabar, mengobrol untuk menghilangkan kejenuhan karena menunggu.
Tiba-tiba, pandangan Rangga sekilas melihat bayangan seseorang yang dikenalnya. Hatinya ragu untuk menyusul, tapi juga penasaran kenapa dia ada di sini.
Apakah ia sakit?
“Ayu, aku keluar sebentar ya? Kayaknya tadi liat temen Mas. Kamu di sini aja, ya. Daripada disalip orang lain mendingan kamu nunggu di sini ya Dokternya kan bentar lagi nyampe.. Kalau udah selesai terapinya nanti telpon ya,” ucap Rangga.
“Iya, Mas” angguk Ayu.
Rangga pun bernjak pergi setelah mengecup keningnya.
Saat membuka tasnya, ia melihat dompet suaminya berada di sana.
Tadi dia memberikannya, untuk mengeluarkan kartu asuransi milik Ayu yang berada di dompet Rangga.
Ayu berdiri mencoba mengejar suaminya, tapi kakinya belum bisa diajak bergerak cepat. Ia kehilangan jejak suaminya, tidak melihat ke mana arah suaminya pergi. Dengan langkah terseok-seok, ia berjalan mencari ke arah lobi rumah sakit, tapi nihil.
Langkahnya terhenti, saat ia berada di dekat apotek tempat pengambilan obat.
Rangga sedang berdiri di sana. Ayu hampir memanggil nama suaminya, tapi suara itu mendadak hilang saat Rangga melangkah ke tempat duduk di mana seorang wanita sedang duduk manis menunggu.
Ia melihat Rangga mengulurkan tangannya kepada wanita itu. Mata Ayu membulat melihat wanita cantik yang kini tampak pucat itu. Rangga merangkul bahu wanita itu, menuntunnya berjalan.
Ayu menyembunyikan tubuh di balik dinding, bersembunyi dari suaminya dan Dessi.
Hati yang awalnya melambung ke langit, kini terhempas kuat ke dasar, hatinya berdarah kembali.
Ayu masih diam, memandangi punggung sang suami yang tengah merangkul hati-hati seorang wanita yang pernah berada di hatinya itu. Rangga mengantarkanya ke luar pintu utama.
“Tolong kembali, Mas. Cukup antarkan saja dia sampai di situ. Kembalilah padaku,” lirih Ayu.
Senyumnya mengembang saat Rangga tampak menjauh dari Dessi. Namun senyumnya kembali meredup, saat tak lama kemudian mobil milik suaminya berhenti di depan Dessi.
Rangga turun dari kursi pengemudi, lalu membukakan pintu penumpang dan menggandeng Dessi masuk ke dalam mobil.
Dan akhirnya mobil itu melaju, meninggalkan Ayu yang masih mematung menatap kepergian mereka dengan air mata berurai.
Bersambung
No comments:
Post a Comment