Cinta Ayudia 05
A story by Wati Darma
Part 5
Rangga mengetuk pintu kamar mandi, di mana Ayu berada saat ini.
Dia khawatir terjadi sesuatu padanya, karena Ayu mengganti pakaian cukup lama.
“Ayu, apa kamu butuh bantuan?” tanya Rangga.
Tak lama, pintu kamar mandi yang memang tak di kunci pun terbuka.
Ayu mengintip dari balik pintu kamar mandi. Ia telah berganti baju dengan piyama, tersenyum malu ke arah suaminya.
“Aku ingin mencuci muka, tapi poninya berjatuhan terus ke depan. Aku tidak bisa mengikatnya. Tanganku masih sakit untuk menarik karetnya,” jawab Ayu polos.
Rangga tersenyum kecil, lalu berjalan menuju punggung Ayu.
Meraih tali rambut milik Ayu, lalu tangannya dengan terampil menjalin rambut indah itu dalam satu kepalan dan mengikatnya. Sempat tertegun sesaat, teringat dia sering melakukan hal ini, dulu. Terutama saat Ayu membuat kue bersama ibunya. Tangan yang berlumur adonan, menyulitkannya merapikan rambut, maka dia pun membantu mengikatkannya.
“Rambutmu halus dan wanginya tidak berubah, masih seperti dulu. Wangi bayi,” gumam Rangga.
Wanita itu tersenyum mendengar ucapan Rangga.
Hati menghangat, saat tahu pria itu masih ingat betul aroma dirinya. Membuat keyakinanya kembali, bahwa masih ada secuil tempat untuknya di hati sang suami.
Mungkin ia harus mengingatkan kembali, momen kebersamaan mereka seperti dulu. Ayu terpekik, saat Rangga menggendong tubuhnya dan mendudukkan di wastafel kamar mandi.
“Apa yang kamu lakukan, Mas?”
“Aku akan membantumu mencuci muka.”
Dengan terampil, Rangga mengambil washlap dari tangan istrinya dan membasahi dengan air hangat lalu mengusap pelan ke wajah Ayu.
Wanita itu memejamkan mata, menikmati perlakuan manis sang suami terhadapnya. Rangga mengambil cleansing foam, dan memijat pelan wajah istrinya sambil menjauhi luka yang ada di kening. Setelah itu, dia kembali membasuh wajah itu dengan waslap yang telah dialiri air hangat. Dengan gerakan perlahan, menyapukannya ke semua bagian wajah Ayu. Air hangat, membuat kulit putih Ayu sedikit memerah.
Rangga terpaku melihat wajah cantik di hadapannya.
Sudah dua puluh tahun mereka saling mengenal, tapi baru kali ini dia melihat detail wajah istrinya. Menyentuhnya. Tangannya bergerak ke alis Ayu yang berderet rapi, pas membingkai wajah mungil istrinya.
Tangannya bergerak menelusuri hidung mancung yang mungil, lalu ke bibir tipis merah muda istrinya, yang pernah dirasakannya tadi malam. Tangannya berhenti di pipi Ayu. Ibu jarinya mengelus pipi penuh nan putih itu.
Cupp.
Sebuah kecupan mendarat di kening Ayu yang terluka. Ia pun kaget, lalu membuka mata yang sedari tadi terpejam menghindari air dan sabun memasuki mata indahnya.
“Lain kali kalau mau pergi jangan lupa hubungi aku, ya? Aku yang akan mengantarmu.”
“Baiklah,” balas Ayu sambil tersenyum.
Rangga kembali menggendong Ayu, dan membawanya menuju kamar.
Wanita itu bergelayut manja di leher suaminya. Ia merasa sangat bahagia dengan keintiman kecil ini.
“Terima kasih, Mas,”
Ucap Ayu, dengan senyuman yang tak pernah hilang dari bibir saat Rangga membaringkannya di ranjang mereka.
“Sudah kewajibanku untuk merawat istriku,” jawab Rangga.
“Aku akan tidur bersama Della saja. Aku takut menyenggol luka-luka di kaki dan tanganmu.”
“Jangan! Jangan pergi. Mas bisa tidur di sebelah sini. Aman kok. Kan yang luka sebelah kanannya aja,”
Ucap Ayu, sambil menepuk ranjang di sebelah kirinya yang kosong.
“Apa kamu yakin?”
“Iya. Nggak apa-apa kok, Mas.”
Pria itu lalu berjalan menaiki ranjang, dan berbaring di sisi sebelah kiri.
Ayu memberanikan diri mendekati Rangga, lalu tidur bersandar di bahu sang suami dan menautkan lengan mereka.
🍀🍀🍀
Detak jantung Rangga berdetak kencang, saat merasakan hembusan nafas Ayu di lengannya. Merasa canggung, berdekatan dan bersentuhan seperti saat ini.
Jika dia mencoba mengingat kembali, sungguh penasaran bagaimana bisa dia mabuk begitu parah saat malam kelulusan itu, sehingga berani menyentuh dan meniduri Ayu hingga akhirnya hamil. Saking lupanya, dia tidak ingat pernah seintim dan sedekat itu dengan Ayu.
Selama ini, yang pernah dilakukannya secara sadar dan yang paling intim adalah seperti kejadian kemarin malam.
Entah apa yang membuat hatinya ragu-ragu untuk menyentuh tubuh sang istri.
Mungkinkah, karena hatinya dari dulu telah terpaut dengan seorang wanita yang kini kembali menghiasi hidupnya?
Ataukah, karena dia begitu menyesali perbuatannya dulu?
Yang membuatnya terkurung dalam pernikahan, dan tanggung jawab sebagai seorang suami dan Ayah.
Ataukah karena merasa bersalah? Karena menghancurkan masa depan seorang gadis, yang begitu ia sayang dan jaga sedari dulu, lalu ternyata malah dirinyalah yang merusaknya.
Ayu dapat merasakan tubuh sang suami menegang sejenak saat ia menyentuhnya, tapi kemudian kembali mengendur.
Sejujurnya selama mereka tidur bersama di kamar ini, jarang mereka tidur berpelukan atau saling bersentuhan. Ayu selalu cemburu dengan guling yang tak pernah lepas dari dekapan suaminya. Harus puas dan bersyukur, bisa melihat wajah pulas suaminya saat tertidur. Dan menjadi wajah yang dilihat Rangga pertama kali, saat dia bangun dari tidurnya. Ia pun memejamkan mata, menikmati kehangatan dari tubuh Rangga, juga kehangatan yang mengalir di seluruh tubuhnya.
“Jika dengan sakit seperti ini, bisa meluluhkan hati suamiku dan membuat hubungan kami lebih baik, maka aku tidak keberatan mengalaminya lagi dan lagi,” pikir Ayu.
Pikiran gila itu, hanyalah sebuah ungkapan hati betapa ia bahagia dengan perhatian yang di dapatnya saat ini. Membuatnya tambah yakin untuk berusaha lebih keras mempertahankan kembali pernikahannya.
🍀🍀🍀
Ayu tidak pernah merasa sebahagia ini, selama empat tahun pernikahannya.
Rangga begitu memanjakan dan merawatnya dengan baik, selama ia sakit. Ia tidak diijinkan turun dari ranjang, khawatir karena kondisi kakinya yang masih bengkak.
Namun Ayu tetap keras kepala, menyiapkan baju untuk suaminya bekerja yang akhirnya disambut gelengan kepala Rangga.
“Kenapa bandel banget sih? Kamu tuh cukup duduk manis di ranjang. Jangan kemana-mana,” ucap Rangga, sambil menjawil hidung mancung istrinya.
“Ini udah kewajibanku, Mas. Lagian nggak jauh-jauh kok ngelangkahnya. Ranjang sama lemari kan deket, nggak akan bikin kaki aku tambah parah kok,”
Balas Ayu, sambil menampakan senyum manisnya.
Rangga hanya mendengkus pelan.
“Adaaa aja alasannya,” gerutunya.
Ayu terkekeh melihat suaminya menggerutu seperti itu, lalu mengambil beberapa potong baju miliknya berserta dalaman.
“Kamu mau mandi?”
“Iya, Mas. Tadi malem kan kamu larang aku mandi, karena hari sudah malam. Aku mau mandi sekarang aja. Udah nggak betah, lengket badannya.”
Rangga lalu membungkuk di depan Ayu, lalu menaruh tangannya di punggung dan di balik tungkai kaki istrinya. Dia mengangkat tubuh Ayu, membawanya ke kamar mandi. Wanita itu terpekik kaget, saat merasakan tubuhnya melayang lagi.
“Mas ini apaan sih, kayak orang lumpuh aja digendong terus. Aku masih bisa jalan, kok. Turunin! Nanti Mas terlambat masuk kerja,”
Ucap Ayu, walaupun sebenarnya hati berbunga-bunga menerima perlakuan manis suaminya.
“Kamu memang bisa jalan, tapi kamar mandi itu licin dan basah. Kalau kamu jatuh lagi gimana?”
Balas Rangga, sambil membawa tubuh Ayu duduk di pinggir bathtub kamar mandi mereka. Menyiapkan peralatan mandi, diletakkannya di tepian bathtub agar Ayu mudah menjangkau.
“Kalau sudah selesai bilang ya. Aku mau sarapan, dan lihat Della dulu,”
Ucap Rangga, sambil mengelus rambut Ayu.
“Terima kasih, Mas.”
Saat Rangga berbalik dan menutup pintu kamar mandi, Ayu melonjak kegirangan sampai kakinya membentur sisi bathtub.
Ia meringis merasakan kakinya kembali berdenyut, tapi kemudia kembali tertawa dan menyembunyikan wajah di balik handuknya.
Hatinya sangat-sangat bahagia, dan berbunga-bunga. Masih ada harapan untuk mempertahankan pernikahannya. Pria itu masih menyayanginya seperti dulu.
🍀🍀🍀
Tok.. tok.. tok..
“Ayu, kamu sudah selesai belum?”
Tanya Rangga, dari balik pintu kamar mandi.
Ayu segera merapikan baju, lalu duduk di tepian bath tub. Ia tidak mau Rangga marah, karena melihat dirinya menapakkan kaki di lantai kamar mandi.
“Sudah, Mas,” jawab Ayu.
Rangga pun membuka pintu kamar mandi, dan melihat Ayu yang telah segar berganti pakaian dengan handuk kecil yang terlilit di atas kepalanya. Pakaian yang dikenakan biasa saja, hanya kaus tanpa lengan yang longgar di tubuh mungilnya.
Namun, tiba-tiba saja detak jantungnya berdebar kencang tak beraturan saat memandangi sang istri dengan wajah bersih berkilauan, dan aroma segar yang menguar.
Dia mendekat ke arah Ayu, dan kembali menggendong tubuh istrinya kembali ke kamar mereka.
Dia benar-benar tak mampu melepaskan pandangannya dari Ayu.
Sesuatu dalam dirinya itu terasa berbeda, saat melihat Ayu dengan wajah polos tanpa make up yang tetap menampilkan kecantikan alami di wajahnya.
Harum tubuh sang istri menggelitik indera penciumannya, membangkitkan suatu perasaan aneh, bergelenyar dalam darahnya. Perasaan ini terasa familiar baginya, dulu.
Ke mana saja dirimu selama ini, sampai tidak pernah menyadari wanita yang halal bagimu tak kalah cantik dengan wanita pujaanmu?
Hati Rangga pun meringis.
Mendudukkan Ayu di tepi ranjang, lalu duduk di hadapannya. Tangan Rangga bergerak menyentuh pipi mulus istrinya.
“Orang yang lihat wajahmu yang imut ini, tidak akan mengira bahwa kamu sudah memiliki seorang putri kecil. Kamu masih tampak seperti anak gadis perawan, anak sekolahan,” gumam Rangga.
Ayu menunduk salah tingkah mendengar perkataan suaminya.
“Apakah ia mencurigaiku?” pikir Ayu.
“Bilang aja kamu mau ngatain aku kurcaci lagi.”
Ayu mencoba mencairkan suasana, berpura-pura kesal.
Dan benar saja, pria itu tertawa terkekeh, teringat panggilannya dulu untuk Ayu. Kurcaci.
Ejekan yang akhirnya akan membuat bibir gadis itu, mengerucut. Seperti saat ini.
Namun kali ini, bukan lagi keinginan untuk mengejeknya yang kembali hadir. Dia perlahan mendekatkan wajah, lalu menyentuh bibir istrinya.
Rangga tidak pernah merasakan perasaan berdebar kencang seperti ini sebelumnya. Bahkan tidak kepada Dessi, kekasihnya. Kali ini dia memantapkan hati untuk menyentuh istrinya, wanita yang dihalalkan untuk disentuh.
🍀🍀🍀
Ceklek ...
“Bundaaa!”
Suara teriakan Della, membuat Rangga langsung melepas tautan itu dan langsung berdiri dari duduknya. Wajahnya memerah begitupun dengan Ayu, bibir merahnya basah dan sedikit membengkak.
Ternyata di belakang Della ada bu Mirna, ibu mertua Ayu yang sekilas melihat apa yang telah terjadi barusan. Dia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
“Lain kali kunci pintunya,”
Tegur bu Mirna, sambil berlalu keluar dari kamar anaknya.
Rangga hanya terkekeh mendengar perkataan itu yang seolah meledek dirinya, sedangkan Ayu hanya menunduk malu.
Della naik ke ranjang lalu duduk di hadapan bundanya.
“Bunda masih sakit ya? Wajah Bunda merah. Demam ya?”
Tanya Della, sambil menempelkan punggung tangannya di kening bundanya.
“Tapi, nggak panas. Kenapa muka Bunda merah?” tanyanya lagi.
Ayu gelagapan mendengar pertanyaan Della.
Gadis kecilnya ini walaupun berumur kurang dari empat tahun, tapi ia cukup kritis dengan keadaan sekitarnya. Ayu sering kewalahan dengan pertanyaan-pertanyaan Della, sampai ia sering minta bantuan Rangga untuk menjawab pertanyaan putrinya yang kadang tidak sesuai dengan umurnya. Cerewet seperti sang nenek, dan kritis seperti ibunya.
Makanya Ayu dan mertuanya, memutuskan untuk memasukkan Della ke playgroup agar bisa bersosialisasi dan berkomunikasi layaknya anak sebayanya.
Melihat sang istri yang mati kutu dengan pertanyaan Della, dan tatapan Ayu yang minta tolong kepadanya, membuat Rangga tersenyum gemas.
“Della, Sayang. Wajah Bunda merah karena lagi sakit. Yang merah bukan cuma wajahnya aja, coba lihat tangan dan kaki Bunda. Tuhhh,”
Ucap Rangga, sambil menunjuk ke arah luka lainnya.
Della lalu memperhatikan luka-luka di tangan dan kaki Ayu yang memang masih tampak kemerahan, masih basah, dan terlihat menyakitkan.
Tiba-tiba air mata Della menetes, dia menangis lalu memeluk tubuh Ayu.
“Loh, kok nangis princessnya Bunda? Bunda nggak apa-apa, Sayang. Ada Ayah yang rawat Bunda. Bentar lagi juga sembuh, kok,”
Ucap Ayu, sambil mengelus rambut putrinya.
“Della nggak mau liat Bunda sakit. Della nggak mau sekolah, mau nemenin Bunda aja di rumah.” Della pun merajuk.
“Kok gitu? Kalau Della nggak sekolah, nanti malah ganggu Bunda. Kalau Della sekolah, nanti Bunda bisa istirahat nggak ada yang ganggu. Nanti pas pulangnya bisa nemenin Della main,” bujuk Rangga.
Gadis kecil itu tampak berpikir, memikirkan perkataan ayahnya.
“Iya yah, Della sekolah aja deh supaya Bunda bisa istirahat. Tapi nanti kalau Della pulang sekolah, Bunda janji main sama Della ya?” ucap Della.
“Baik, Sayang. Bunda janji,” balas Ayu.
“Della senang sekali, sekarang Ayah bisa tinggal bareng kita lagi. Della sama Bunda nggak kesepian lagi. Bunda juga nggak akan nangis lagi kalau kangen sama Ayah, atau pas Bunda sakit. Karena sekarang Ayah sudah ada di sini,”
Ucap Della, kemudian beralih memeluk tubuh ayahnya.
Hati Rangga tertohok mendengar perkataan putri kecilnya.
Menyadari betapa dirinya egois selama ini. Melewatkan kehamilan Ayu, perkembangan buah hatinya, dan juga mengacuhkan istrinya.
Malahan sibuk dengan cita-citanya, dan terakhir malah berhubungan kembali dengan mantan pacarnya dulu. Dia merasa gagal menjadi seorang suami dan ayah.
Ayu menyadari perubahan raut wajah Rangga, ia langsung mengalihkan pembicaraan.
“Della, kamu harus berangkat sekolah, Nak. Nanti kamu dan Ayah bisa terlambat.”
Della pun melepaskan pelukan pada ayahnya, dan berganti memeluk lalu mencium pipi kiri dan kanan bundanya,
“Bunda cepet sembuh, ya. Della sayang Bunda.”
Gadis kecil itu, lalu meraih punggung tangan Ayu dan menciumnya.
“Della berangkat ya, Bun.”
Gadis itu pun keluar dari kamar orang tuanya.
“Iya, Sayang. Hati-hati,” balas Ayu.
“Mas, sini betulin lagi dasinya,” pinta Ayu.
Sementara itu, Rangga bagai kerbau dicucuk hidungnya duduk kembali di hadapan Ayu, dan membiarkan wanita itu membetulkan letak dasinya.
Tangan mungil Ayu lalu beralih ke pipi Rangga, dan mengelusnya pelan.
“Jangan dipikirkan perkataan Della tadi, ya. Aku ngerti kok dengan pilihan kamu dulu. Kamu harus mendapatkan pendidikan terbaik untuk memperoleh pekerjaan yang bagus seperti saat ini, demi keluarga kita juga kan. Yang penting sekarang kita sudah berkumpul kembali, dan kita akan kembali menjalaninya dari awal lagi.”
Memulai kembali dari awal? Bisakah?
Rangga lalu mengecup kening istrinya lama.
Wanita di hadapannya ini selalu bisa menghangatkan dan menenangkan hati.
“Terima kasih, sudah mengerti dan mendukungku selama ini. Maafkan segala kekuranganku,” ucap Rangga tulus.
“Jangan katakan itu, Mas. Aku tulus mencintaimu, dan aku akan mendukung apa pun yang kamu lakukan untuk keluarga kecil kita.”
Rangga hanya meringis mendengar pernyataan cinta istrinya, dan lagi-lagi bibirnya kelu tak mampu membalas. Ayu menyadari hal itu.
Walaupun ada kekecewaan di hati, setidaknya saat ini Rangga mau membuka diri dan hati untuknya.
“Aku sudah menyuruh Bik Inah, membawakan sarapan dan makan siangmu ke kamar. Setelah minum obat, kamu harus banyak istirahat dan jangan turun dari ranjang. Jangan lupa, aku punya pengawal cerewet seperti Della yang akan meneriakimu saat kakimu turun dari ranjang,”
Ucap Rangga, yang kemudian disambut kekehan Ayu.
“Siap, Pak Bos!” seru Ayu.
“Aku berangkat dulu ya. Aku usahakan pulang cepat hari ini.”
“Hati-hati, Mas.”
Ayu mengambil punggung tangan Rangga dan menciumnya pelan, sementara pria itu membalas mencium puncak kepala sang istri.
Dia mencuri kecupan di pipi mulus Ayu, yang membuat wajah cantik itu bersemu merah kembali.
Cantik
🍀🍀🍀
Sesuai janjinya pada sang istri, Rangga pulang cepat hari ini.
Jam tangan yang melingkar di lengan kekarnya, masih menunjukkan pukul 16.00 saat dia tiba di rumah. Hari ini ia berkutat serius dengan pekerjaannya, agar selesai lebih cepat. Pergi menemui klien bersama dengan Teguh, lalu memilih pulang ke rumah daripada kembali ke kantor. Beralasan bahwa istrinya baru saja mengalami kecelakakaan.
Ajakan makan siang dari Dessi pun tidak dihiraukannya. Lagipula, saat ini ia berjanji akan sedikit demi sedikit menjauhi wanita itu.
Perkataan putri kecilnya tadi pagi, benar-benar berpengaruh besar padanya.
Anak sekecil itu, mengerti apa yang dilihat dan dirasakan dari kedua orang tuanya. Ungkapan hati Della pagi tadi, adalah murni curahan hati putrinya yang jarang dia perhatikan beberapa tahun ke belakang.
Rangga mengakui bahwa pernikahannya dengan Ayu tidak didasari oleh cinta, lebih kepada tanggung jawab atas kebodohan yang dilakukan dulu.
Jika saja saat malam kelulusan itu dia tidak mabuk berat, mungkin dia tidak akan terbangun di pagi hari dalam keadaan telanjang bersama Ayu, dipergoki oleh kedua orang tua dan kakak perempuannya. Nasi sudah menjadi bubur, dia memilih mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menikahi Ayu.
Kini telah ada Della di antara mereka.
Rasanya, dia tidak mampu menghancurkan senyum putrinya jika tetap bersikeras bersama Dessi dan berpisah dengan Ayu.
Setelah pengabaian bertahun-tahun, rasanya tak adil jika harus menghancurkan mereka sekali lagi. Della tidak boleh menjadi korban keegoisannya, begitupun Ayu. Wanita itu sudah menjadi istri yang sempurna untuk dirinya, dan ibu yang baik untuk putrid mereka.
Tidak ada alasan lain untuk berpisah. Jika alasannya cinta, memang dia belum punya itu. Mulai saat ini, dia bertekad ingin belajar mencintai istri yang halal untuk dirinya, dan yakin rasa itu akan muncul dengan perlahan.
Rangga membuka pintu kamar dengan pelan, saat ia tahu dari pembantunya bahwa Della masih tidur siang di kamar bersama Ayu. Pria itu melihat pemandangan yang menghangatkan hati, sang putri kecil tidur bergelung dalam kehangatan pelukan bundanya.
Sungguh, pemandangan yang tidak akan bisa ditebus dengan harga berapa pun. Rangga bergegas membuka sepatu dan kemejanya. Berganti dengan kaos oblong dan celana pendek. Lalu naik pelan-pelan mendekati anak dan istrinya.
Rangga berbaring di belakang Ayu yang tengah mendekap putrinya.
Dengan hati-hati, menyusupkan lengannya ke pinggang sang istri. Berusaha tidak mengenai lengan yang terluka dan mengusiknya.
Dia menenggelamkan wajah di balik punggung Ayu, mencium aroma tubuh istrinya yang bercampur dengan keringat tapi terasa wangi di hidungnya. Wangi yang membuatnya ketagihan sejak dulu dia berada di dekat Ayu, lembut dan menenangkan.
Dia masih menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya, mengecup bahunya yang terbuka dan akhirnya berhenti di leher belakang Ayu.
Rangga menggeram rendah karena sesuatu dalam dirinya mulai terusik, dan bergairah Berusaha meredamnya dengan mengeratkan pelukan pada tubuh Ayu, dan bergabung istirahat sejenak untuk melepas lelah.
Bersambung
No comments:
Post a Comment