Cinta Ayudia 04
A story by Wati Darma
Part 4
Ayu sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
Ayah dan ibu mertuanya sudah duduk di bangkunya masing-masing. Ia duduk di hadapan ibu mertuanya. Di samping kiri, sudah ada Della yang sedang asyik menyantap nasi goreng buatannya. Tak lama, Rangga ikut bergabung sarapan dengan yang lainnya.
“Selamat pagi,”
Ucap Rangga, kemudian duduk di sebelah Della dan mencium pipi putrinya.
“Selamat pagi,” balas Della.
“Antar Della lagi kan, Yah?” tanyanya.
“Tentu saja, Sayang,”
Balas Rangga sambil mengelus lembut rambut putrinya.
Ayu hanya bisa tersenyum melihat interaksi keduanya, sudah beberapa hari ini Della selalu berangkat dan pulang dari playgroup dengan senyum lebar. Gadis kecil itu senang sekali saat Rangga mengantar ke sekolah saat pagi hari, dan bisa memperkenalkan kepada teman-temannya. Ayu maklum, putrinya itu selalu iri kepada teman yang selalu diantar oleh ayah atau ibunya bergantian.
Ayu beranjak mengambilkan sarapan untuk suaminya.
Ia sempat melirik ke pakaian yang dikenakan Rangga. Dia mengenakan pakaian yang telah disiapkannya tadi pagi. Tersenyum kecil, setidaknya Rangga tidak pernah menolak perhatiannya ataupun bersikap dingin.
“Terima kasih,”
Ucap Rangga, saat menerima uluran sepiring nasi goreng dari tangan Ayu.
“Ini, telur ceplok setengah matangnya.”
Ayu kembali mengambilkan telur di piring kecil yang sudah ia siapkan, favorit Rangga.
“Kamu juga makan, Yu,”
Balas Rangga saat telur itu mendarat di atas nasinya.
Ayu mengangguk.
Suasana pagi itu masih normal seperti hari biasa, tidak ada yang berbeda dari sikap Rangga ataupun Ayu. Masing-masing pintar menutupi apa yang sedang berkecamuk di hati, sehingga orang tua Rangga tidak menaruh kecurigaan sedikit pun.
Seperti biasa Ayu akan mengantar Della dan suaminya sampai di depan pintu lalu mencium punggung tangan suaminya, dan kemudian Rangga pun berangkat dengan Della, mengantarkannya ke sekolah.
🍀🍀🍀
Siang itu setelah menjemput Della pulang sekolah, Ayu pergi menuju kedai yang menjual es krim terenak di kota ini. Jessi yang sedang hamil, mengajaknya dan Della untuk bertemu di kedai itu. Ingin mentraktir Della katanya, sekaligus menuntaskan ngidamnya. Tentu saja ajakan itu disambut baik oleh putri kecil Ayu, karena es krim adalah makanan favoritnya.
Hari ini restoran sedang tidak menerima orderan besar, jadi ia bisa leluasa memercayakannya kepada pegawai yang lain.
“Rasa es krim ini enak banget, Bunda. Boleh nggak Della belikan satu untuk Ayah? Oh iya, Nenek dan Kakek juga pasti suka kalau di belikan ini,” pinta Della.
“Eyyy… Kalau kamu belikan ini buat ayahmu, pasti nanti es krimnya sudah mencair di perjalanan. Mana enak lagi dimakan,” ucap Jessi.
“Betul, sayang. Lebih baik nanti kita ajak Ayah, Nenek dan Kakek untuk makan es krim di sini, ya?” bujuk Ayu.
“Ohh, gitu ya? Baiklah. Nanti Della suruh Ayah belikan es krim lagi di tempat ini ya, Bunda?” jawab Della
Ayu tersenyum melihat putrinya yang pintar.
Di usianya yang hampir empat tahun, dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan anak-anak seumurannya. Terutama kemampuan verbalnya.
Gen keluarga Aditya, tampak turun dominan di tubuh Della. Garis wajah oriental dengan mata bulat besar, pipi tembam, dan bibir yang mungil.
Dia cantik seperti ibunya.
“Hai … kamu Ayu kan? Jessi?”
Sapa seorang wanita, yang berdiri di samping meja Ayu.
“Dessi ya?” tanya Jessi lagi.
Melihat wanita cantik di hadapannya yang semakin cantik dengan balutan busana kantor yang pas melekat di tubuhnya, sementara itu Ayu hanya tersenyum melihat wanita yang pernah beberapa kali terlihat bersama suaminya itu.
“Iya, ini aku Dessi. Kita satu SMA kan dulu? Aduuh, ini anak siapa cantik banget?”
“Ini putriku, Della. Sayang, salam sama tante Dessi,” ucap Ayu.
Gadis kecil itu beranjak dari tempat duduknya, lalu mengambil punggung tangan Dessi dan menempelkannya di pipinya.
“Ihh, manis banget sih. Boleh aku duduk di sini sambil nunggu pesenanku? Aku take away aja, mau makan di mobil,” tanya Dessi.
Jessi lalu menggeser duduknya ,memberi tempat untuk Dessi.
“Duduk sini, Des.”
“Ihhh, kok aku nggak tau kalau kamu sudah menikah? Anakmu sudah besar, kapan nikahnya? Sama siapa?” tanya Dessi.
‘Apakah ia benar-benar tidak tahu bahwa aku menikah dengan Rangga?’ pikir Ayu.
Saat Jessi tampak membuka mulut akan menjawab pertanyaan itu, Ayu terlebih dulu memberikan tatapan tajam, dan menyela jawaban.
“Lulus SMA aku sudah langsung menikah, Des. Acara keluarga aja kok, nggak besar-besaran. Jessi juga juga sudah menikah. Dia lagi hamil sekarang. Kami di sini, karena menemani bumil yang lagi ngidam es krim di sini,” jawabAyu.
“Ohh, iyakah? Berarti aku aja yang masih single ya? Kok Rangga nggak pernah cerita, kalau sahabat-sahabatnya sudah menikah?”
Deg.
Jessi dengan tatapan tajam menatap ke arah Ayu dan Dessi, tapi dengan sigap Ayu mengatasi keadaan, mengalihkan pembicaraan.
“Della, kamu cuci tangan dan cuci mulut dulu ke toilet ya sama Tante Jess. Bunda tunggu di sini sama Tante Dessi, ya?” perintah Ayu.
Jessi mendengkus, lalu menerima uluran tangan keponakan kecilnya.
Dia masih menatap tajam ke arah Ayu, seakan meminta penjelasan. Dia tahu, pasti ada yang disembunyikan oleh sahabat yang telah dianggap sebagai saudaranya sendiri itu.
“Rangga … enggak pernah cerita apa-apa tentang aku?” tanya Ayu pelan.
“Enggak ada. Mungkin karena aku yang nggak nanya kali yah?”
Mas Angga menyembunyikan pernikahan kami dari Dessi
“Memangnya kamu masih berhubungan dengan Rangga ya, Des? Masih pacaran?”
Pipi Dessi bersemu merah.
Terdiam sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Ayu.
“Sejak kelulusan dulu kami tidak pernah bertemu lagi.. Kontaknya pun diganti. Kami bertemu kembali dua tahun yang lalu, saat itu kampusku melakukan kunjungan ke kampusnya Rangga. Di sanalah kami bertemu lagi.”
Ayu mencoba tersenyum tapi hatinya terasa nyeri.
“Kamu masih menyukainya?”
Tanya Ayu, tapi pertanyaan itu tidak dijawab Dessi.
Wanita itu hanya diam. Walaupun tidak dijawab, Ayu dapat menebak dari raut wajah Dessi yang tampak merona malu sambil tersenyum tipis. Tak sanggup mendengar jawaban itu, ia pun mengalihkan pembicaraan.
“Kamu bekerja di mana, Des?” tanya Ayu.
“Aku bekerja di sebuah kantor hukum. Satu gedung dengan Rangga. Oh, iya! Aku lupa es krimku! Dia menungguku di mobil,” ucap Dessi.
Deg.
Kembali hatinya bagai ditusuk-tusuk oleh beribu jarum mengetahui bahwa mereka, Desi dan Rangga, ternyata pergi bersama.
“Kamu pergi makan siang berdua?” tanya Ayu.
“Eh, iya. Semenjak dia kembali ke Jakarta, kami leluasa bertemu. Dulu mah susah ketemunya. Kadang 2-3 bulan sekali aku jenguk dia ke Yogja, kalau gak lagi banyak tugas kuliah. Atau pas dia di Jakarta, kami janjian ketemu. Resiko LDR, Yu,”
Tambah Dessi sambil tersenyum senang.
Ayu semakin terpuruk mendengar pernyataan itu.
Kedua tangan yang berada di atas paha, menggengam kuat ujung bajunya. Menahan diri, untuk tidak mengeluarkan emosinya di hadapan Dessi. Bagaimanapun, wanita itu tidak tahu mengenai ikatan pernikahan antara dirinya dan Rangga.
“Ayu, maaf ya aku duluan. Nanti aku sampein ke Rangga, kalau aku ketemu sama kamu di sini,” pamit Dessi.
“Jangan!! Tidak usah disampaikan, Des. Nanti dia marah kalau tahu aku sudah menikah, tanpa memberitahunya. Biar aku yang cerita, ya?”
Ayu sengaja berbohong kepada Dessi.
Ia ingin Rangga yang menceritakan sendiri tentang pernikahannya kepada Dessi, bukan melalui dirinya. Dan Ayu yakin, saat ini Rangga tidak akan menceritakan yang sebenarnya jika Dessi bercerita tentang pertemuan mereka disini.
“Ya udah. Aku pamit ya. Salam sama Jessi, lain kali kita ngobrol lagi bareng-bareng ya? Nanti kuajak Rangga,” pamit Dessi.
“Hati-hati.”
Ayu mengangguk sambil tersenyum tipis.
Matanya masih memandang keluar jendela mengikuti arah Dessi berjalan.
Tampak ia menghampiri sedan merah yang terparkir dekat kedai. Sesosok pria keluar dari bangku pengemudi.
Mas Angga.
🍀🍀🍀
Air mata bergulir di pipi putih Ayu.
Dadanya terasa sesak, dengan kenyataan yang menghantam dirinya. Kini sudah jelas, suaminya benar-benar berselingkuh di belakangnya.
Pantas saja dirinya tadi malam ditolak oleh Rangga. Hatinya makin tersayat perih, saat melihat Rangga merangkul bahu Dessi mesra membimbingnya masuk ke dalam mobil.
Ayu cepat-cepat menghapus airmatanya, saat melihat Della dan Jessi sudah kembali dari toilet. Tentu saja, Jessi dapat menangkap gerakan itu. Dia sadar, ada yang telah terjadi saat dirinya di belakang bersama Della.
“Kenapa Yu? Dessi mana?” tanya Jessi.
“Dessi sudah pergi. Jam makan siangnya sudah hampir habis. Jessi, bisakah kamu tolong antar Della pulang ke rumah? Aku masih ada urusan,” pinta Ayu.
“Oke, aku antar Della. Tapi berjanjilah, nanti kamu ke rumah, ceritakan apa yang terjadi. Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku,” tekan Jessi.
“Della sayang, pulang sama aunty Jessi ya? Bunda masih ada urusan sebentar. Nanti Bunda akan segera pulang,”
Pinta Ayu kepada gadis kecilnya.
“Baik, Bunda. Cepat pulang ya, Bun. Temenin main. Della nggak mau sama Nenek, nggak asyik.”
Ayu hanya tersenyum sambil mengelus kepala putrinya.
Jessi berjalan keluar dari kedai lalu memberhentikan taksi yang lewat di depan kedai.
Ayu kembali memberhentikan taksi yang lewat setelahnya. Saat ini ia ingin menenangkan dirinya.
🍀🍀🍀
Bayangan di muka bumi semakin memanjang, seiring matahari yang terus bergulir ke Barat.
Jika saja penjaga makam tidak menegur, mungkin Ayu masih duduk terdiam di sisi makam kedua orangtuanya, menangisi hidup dan kisah cintanya.
Akal sehatnya tak mampu diajak berpikir. Semua perjalanan hidupnya berubah sejak empat tahun lalu. Sejak ia memutuskan menikahi Rangga, atas desakan kakak ipar dan ibu mertuanya. Mulanya Ayu tidak mau, tapi kondisi ibunya waktu itu yang tengah kritis karena kecelakaan yang menimpa, membuat Ayu mau tak mau menerima pernikahan itu.
Dirinya berhutang budi pada keluarga Aditya.
Ayu harus menebusnya dengan cara menikahi Rangga, dan membesarkan Della. Dirinya sempat berpikir, bahwa mungkin saja dengan cara itu ia bisa memiliki pria yang telah dicintainya diam-diam selama bertahun-tahun, tapi kenyataannya sampai saat ini ia tak mampu meluluhkan hati sang suami.
Air mata telah habis ia tumpahkan di depan makam kedua orang tua.
Kepalanya menyuruh tubuh itu untuk pulang, tapi hatinya enggan. Ayu benar-benar lelah jiwa dan raga.
Tubuhnya serasa berat untuk melangkah lagi. Beban yang dipikulnya, menambah rasa sesak di dalam dada. Langkahnya mulai terlihat tak beraturan menyusuri jalanan, terseok-seok.
Tiiit… Brakkk…
Suara decitan ban mobil, dan benda terjatuh terdengar.
Ayu jatuh tersungkur, tak sadarkan diri di tepi jalan tepat di sebelah mobil yang hampir menabraknya, sementara sopir pengemudi mobil itu langsung keluar menghampiri Ayu.
Dari bangku penumpang, turun juga seorang pria muda yang tampak seperti pemilik mobil tersebut.
“Pak Amir, langsung saja angkat dia ke dalam mobil. Kita ke rumah sakit terdekat, sekarang,” perintah pria muda itu.
“Baik, Tuan Muda.”
Dengan dibantu beberapa orang yang berada di lokasi kejadian, tubuh Ayu dibopong menuju ke kursi penumpang di belakang. Si pemilik mobil duduk di depan lalu sang sopir kembali menjalankan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
🍀🍀🍀
“Tuan, Nona itu sudah ditangani tim medis. Administrasinya juga sudah saya urus. Lebih baik Tuan kembali ke rumah. Nanti Nyonya khawatir. Biar saya yang berada di sini,” ucap pak sopir.
“Biar saya tunggu dulu sampai dia sadar, Pak. Saya sudah hubungi Mami. Pak Amir tenang saja, atau mungkin Bapak mau pulang duluan? Silahkan saja. Saya masih ingin di sini.”
“Tidak, Tuan Muda. Saya di sini saja.”
Pria itu mendekati ranjang di mana Ayu terbaring.
Untungnya tidak ada luka serius yang menimpa wanita itu, hanya kakinya yang terkilir, serta luka-luka gores di tangan dan sikunya diakibatkan terjatuh bergesekan dengan aspal yang kasar. Keningnya juga sedikit membentur pinggir trotoar. Pria itu memperhatikan lekat wanita di hadapannya.
'Kenapa saat bertemu dengan wanita ini dia selalu habis menangis?' batin Alden.
Wanita itu belum sadarkan diri karena shock dan kondisi tubuhnya yang lemah, dan entah kenapa pria itupun enggan meninggalkan wanita itu sendirian.
Gerakan halus terlihat dari brankar. Ayu sudah mulai sadar. Ia meringis saat mencoba duduk, merasakan nyeri pada kaki dan tangannya.
Pak Amir yang pertama mendekati Ayu.
“Alhamdulilah, Non sudah sadar,” ucap Pak Amir.
“Bapak siapa? Saya di mana?” tanya Ayu.
“Saya Amir, Non. Tadi sore, si Non hampir kena tabrak mobil saya. Untungnya cuma pingsan aja. Saya bawa Non ke sini, disuruh sama majikan saya,” jelas Pak Amir.
“Terima kasih, Pak, sudah menolong saya,”
Ucap Ayu kepada si sopir dan pria yang berdiri di belakangnya. Ia tidak terlalu memperhatikan siapa pria itu, karena ia kini teringat putrinya yang menunggu di rumah.
“Saya harus segera pulang, putriku pasti khawatir,” gumam Ayu.
Dia sudah menikah.
Mata pria itu melirik ke cincin yang tersemat di jari manis Ayu, sempat luput dari pandangannya.
“Kami antar pulang saja. Lagi pula ini sudah malam. Pak Amir, bantu Nona itu,”
Ucap Alden, sambil berlalu keluar dari ruangan menuju tempat parkiran mobil.
🍀🍀🍀
Jam di kediaman rumah Aditya, menunjukkan hampir jam sebelas malam.
Rangga keluar dari kamar Della, dan turun menuju ruang tamu menunggu kepulangan istrinya. Menurut ibunya, Della rewel semenjak sore tadi karena Ayu tak kunjung pulang ke rumah.
Saat Rangga pulang kerja, gadis kecil itu langsung merangsek ke pelukan dan menangis membasahi kemejanya.
Bu Mirna sudah berusaha menghubungi Ayu, tapi ponsel itu tidak aktif sejak siang.
Membuat Rangga ikut khawatir apalagi putri mereka bertingkah rewel, tidak seperti biasanya. Rangga sempat menghubungi Jessi, tapi dia juga tidak mengetahui ke mana Ayu pergi. Katanya, Ayu pamit jika ada urusan sebentar saja dan berjanji sore akan pulang.
Rangga menatap ponsel di hadapannya. Baru saja mencoba menghubungi kembali ponsel Ayu, tapi jawaban operator tetap menyambutnya seperti sore tadi.
Kegelisahan melanda, memikirkan keberadaan Ayu. Pikirannya berkelebat ke kejadian semalam, antara dirinya dan istrinya tersebut.
Apakah ia marah padaku?
Mungkinkah dia meninggalkan aku dan Della?
Rangga mengusap tengkuk kasar dan meremas rambutnya.
Sebagian besar dirinya, merasa bersalah atas perlakukan dia kepada Ayu selama ini. Padahal Ayu adalah istri sahnya, orang yang berhak mendapatkan haknya sebagai istri.
Namun, di kepalanya malah bersemayam bayangan wanita lain. Dia akan sangat merasa lebih bersalah lagi, jika melakukan itu dengan membayangkan wanita lain di pikirannya. Lelaki macam apa itu!
“Istri kamu belum bisa dihubungi juga?”
Tanya pak Robby Aditya, ayah Rangga, yang dijawab dengan gelengan lemah.
“Istri kamu itu benar-benar keterlaluan! Pergi tidak kenal waktu. Setidaknya beri kabar, supaya kita tidak gelisah menunggunya,”
Ucap bu Mirna dengan nada sinisnya.
Rangga mendelik tajam pada ibunya itu.
“Ayu tidak seperti yang Ibu pikir. Bisa saja sesuatu terjadi padanya,”
Tegas Rangga, yang membuat bu Mirna hanya terdiam tidak suka.
🍀🍀🍀
Deru suara mobil, memasuki pelataran halaman rumah keluarga Aditya.
Rangga beranjak dari sofa, lalu mengintip dari jendela. Melihat sebuah mobil mewah juga asing, masuk ke halaman rumahnya.
Ia segera keluar dari rumah, diikuti oleh kedua orangtuanya. Kemudian berdiri di depan pintu rumahnya, menunggu siapa yang keluar dari mobil yang tampak mahal itu, dan berkunjung malam-malam.
Tampak seseorang turun dari bangku kemudi, lalu beralih membukakan pintu penumpang.
Dia terlihat menuntun seseorang turun dari mobilnya. Mata Rangga melebar saat melihat siapa yang dipapah oleh supir tersebut, wanita yang berjalan tertatih dengan luka di tangan, kaki, dan perban kecil di dahinya itu adalah istrinya.
“Ayuu!” seru Rangga.
Sambil berlari Rangga menghampiri istrinya dan memeluknya. Lega dan khawatir bercampur menjadi satu.
Air mata Ayu bergulir, saat merasakan pelukan hangat suaminya.
Rasa sedih yang tadi menghampiri seakan menguap seketika, saat melihat raut khawatir di wajah suaminya itu. Begitu mudahnya hati wanita luluh saat di peluk oleh suaminya.
“Apa yang terjadi denganmu, Sayang?”
Tanya Rangga, sambil mengecup puncak kepala istrinya.
Air mata Ayu bertambah deras mengalir di pipi.
Panggilan ‘sayang’ itu menghilangkan semua rasa sakit di hatinya. Entah air mata apa yang dirasakannya saat ini. Nyerikah, bahagia, atau sedih. Yang jelas, rasa haru itu berasal dari sambutan suaminya.
“Kamu ini, membuat semua orang kalang kabut mencari keberadaanmu! Tak bisakah kamu mengabari kami supaya tidak khawatir berlebihan?” ucap bu Mirna ketus.
“Mirna!” bentak pak Robby.
Lalu dari dalam mobil, turun seorang pria tampan dengan setelan mahalnya yang sudah tampak kusut. Dia melangkah, mendekati ke keluarga wanita yang ditolongnya barusan.
“Selamat malam. Saya Alden Richards. Saya minta maaf atas kejadian ini. Saya yang bertanggungjawab atas apa yang menimpa Nona ini. Sekali lagi saya mohon maaf,”
Ucap Alden sambil menunduk dan sedikit membungkukkan badannya. Dia mengeluarkan ponsel Ayu dari sakunya.
“Ponselnya terjatuh dan hancur. Saya akan menggantinya dengan yang baru.”
Rangga mengambil ponsel itu dengan kasar dari tangan Alden. Entah kenapa, dia merasa pria di hadapannya menatap istrinya dengan tatapan yang aneh, yang pasti itu bukan tatapan simpati.
“Tidak apa-apa, maaf merepotkan Anda. Maafkan menantu saya, yang membuat Anda mengalami ini. Memang dia agak ceroboh,” ucap bu Mirna.
“Ibu!” tegur Rangga.
“Ohh, tidak ... Ini murni kesalahan dari kami. Supir saya sepertinya agak lengah, sehingga tidak sengaja menyerempet Nona ini,” jelas Alden.
Sementara, Pak Amir hanya menatap aneh kepada majikannya.
Seingatnya bukan seperti itu kejadiannya, tapi dia memilih diam.
Begitupun Ayu. Ia menggigit bibir bawahnya gugup. Menyadari bahwa pria itu, kembali membela dan menolongnya di hadapan ibu mertua.
Rangga yang melihat istrinya memasang raut cemas sambil menggigit bibir, mengira bahwa Ayu kembali merasakan sakit.
“Apakah masih terasa sakit sekali?”
Tanya Rangga, masih dengan raut wajahnya yang khawatir.
Ayu mengangguk pelan.
Kakinya yang tadi terkilir masih terasa berdenyut nyeri saat dijejakkan ke tanah, luka-luka goresnya masih terasa sakit dan perih, membuatnya kembali meringis.
Pak Amir melangkah dan memberikan tas milik Ayu.
“Ini barang milik mbaknya, beserta obat-obatnya,” ucap Pak Amir.
“Saya akan membuatkan janji dokter untuk pemeriksaan selanjutnya, dan saya akan mengirimkan ponsel baru sebagai pengganti yang rusak,” tambah Alden.
“Tidak usah. Saya yang akan membelikannya untuk istri saya, dan mengantarnya ke dokter keluarga kami,”
Tolak Rangga, yang dibalas senyuman tipis oleh Alden.
“Baiklah, saya mohon pamit. Semoga lekas sembuh,” pamit Alden.
“Terima kasih, Pak,” balas Ayu sambil tersenyum.
Rangga langsung menghalangi pandangan Ayu terhadap pria itu, sambil memegang bahunya dan menuntun masuk ke dalam rumah. Karena tidak sabar menunggu langkah Ayu yang terlalu pelan, Rangga pun menggendong tubuh istrinya.
“Mas, biar aku jalan aja. Turunin. Malu ah,”
Bisik Ayu, dengan wajah yang memerah.
“Nunggu kamu jalan sendiri kelamaan. Kakimu masih sakit kan? Biar aja aku gendong. Aku nggak yakin, kamu bisa naikin tangga dengan kondisi kakimu seperti itu,” balas Rangga.
“Biar aja, Ayu. Sama suami sendiri kok malu-malu,” sahut pak Robby, yang membuat pipi Ayu tambah merona. Ia bersembunyi di dada Rangga, yang tersenyum melihat tingkahnya.
“Lebih baik kalian beristirahat sekarang. Lekas sembuh, Ayu.”
“Baik, Ayah. Terima kasih,”
Balas Ayu, dengan suara yang semakin hilang menjauhi mertuanya yang berdiri di bawah menyaksikan kemesraan mereka berdua.
🍀🍀🍀
“Tuan Muda, kok tadi malah bilang kita yang nabrak Mbak itu sih?” tanya Pak Amir.
Pertanyaan yang membuat Alden terbangun dari lamunan-lamunan masa lalunya.
Sejak bertemu kembali dengan wanita itu, membuat kenangan masa lalu Alden menyeruak kembali ke alam sadarnya, sesuatu yang telah dia lupakan beberapa waktu ini.
Melihat wanita itu, kembali mengingatkannya pada seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya yang telah pergi meninggalkannya.
“Nggak apa-apa, Pak. Daripada perempuan itu dimarahi sama mertuanya. Bapak nggak lihat tadi mertua perempuannya sudah kayak macan mau nerkam mangsa?” jawab Alden.
“Eh, i-iya sih.”
Pak Amir kaget dengan jawaban dari tuannya.
Sejak kapan tuan mudanya itu peduli terhadap masalah orang lain?
Setau dirinya tuan mudanya berubah menjadi pribadi yang cuek dan tertutup sejak kejadian lima tahun yang lalu, dan kini dia dengan mudahnya bersimpati atas seseorang yang baru mereka lihat selama beberapa jam saja.
Tak mungkin tuan mudanya menyukai wanita yang mempunyai suami, pikirnya. Dia melirik kaca spion, dan melihat tuan mudanya kembali melamun melihat keluar jendela dengan tatapan kosong.
Bersambung
No comments:
Post a Comment