Cinta Ayudia 03
A story by Wati Darma
Part 3
Ayu turun dari taksi, yang berhenti di sebuah rumah sederhana yang terlihat nyaman.
Rumah bercat kuning gading, dengan taman minimalis yang terdapat berbagai tanaman dan bunga-bunga tertata apik di halaman rumah itu.
Di teras rumah, terdapat kursi-kursi yang tersedia untuk menikmati pemandangan cantik itu juga tempat berkumpul di sore hari. Rumah itu adalah rumah di mana Ayu dibesarkan, dan tinggal bersama kedua orang tuanya.
Semua kenangan senang dan sedih saat berada di rumah itu, masih terekam jelas di kepalanya. Rumah yang ia tinggalkan, saat harus pindah ke rumah keluarga suaminya. Hanya Jessi dan suaminya yang mengisi rumah ini.
Jessi adalah sahabatnya sejak kecil. Dia menjadi yatim piatu sejak duduk di bangku SD, dan tinggal bersama neneknya yang kemudian meninggal saat diaduduk di bangku SMP. Dia sudah seperti saudara bagi Ayu.
Mereka sangat dekat, bahkan ibu Ayu sudah menganggap Jessi sebagai putrinya sendiri. Sejak neneknya meninggal, dia tinggal bersama dengan Ayu dan ibunya. Apalagi pamannya pun terlihat enggan untuk menampung dia di rumahnya.
Kini setelah ibu Ayu meninggal, Jessi tetap tinggal di rumah ini karena permintaan sahabatnya itu. Ayu tidak ingin menyewakan atau menjualnya, karena hanya rumah ini tempatnya untuk pulang. Dengan senang hati Jessi menjaga dan merawat rumah itu, karena baginya keluarga Ayu adalah keluarganya juga. Orang yang mau menerima dan menampung dirinya, walaupun mereka tidak mempunyai ikatan darah sama sekali.
Di saat kesedihan melanda seperti saat ini, Ayu akan kembali ke rumahnya.
Menghabiskan waktu di kamarnya sendiri, sampai suasana hatinya tenang kembali. Saat hendak memasukan kunci cadangan miliknya, tiba-tiba pintu rumah terbuka. Muncul sesosok wanita dengan wajah pucat, dan rambut yang diikat sembarangan.
“Jessi … Kamu nggak kerja? Sakit, ya? Wajahmu pucat sekali,”
Tanya Ayu, sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tampak segelas susu di genggaman tangan Jessi.
“Aku nggak masuk kerja hari ini, Yu. Morning sickness hari ini, membuatku tidak sanggup berdiri. Lemes. Cuma pengen tidur, dan tidur,” ucap Jessi lemah.
“Kamu hamil?!”
Ayu terpekik kaget sekaligus gembira. Ia langsung memeluk sahabatnya erat.
“Kok nggak ngasih tau aku? Ke mana Mas Yogi? Kenapa dia nggak nemenin kamu di rumah? Sudah berapa bulan?” tanya Ayu tak sabaran.
Jessi sudah dua tahun menikah dengan Yogi. Mereka tetap tinggal di sana, karena kantor mereka jaraknya lebih dekat dari rumah Ayu daripada rumah Yogi yang berada di pinggiran kota
“Ayuuu … Kamu terlalu bahagia karena Rangga kembali ke rumah dan tinggal bersama kalian lagi. Jadi, mungkin kamu melewatkan pesan dariku,” jawab Jessi.
Raut wajah Ayu kembali sendu, saat mendengar nama Rangga disebut, dan hal itu tidak lepas dari mata elang Jessi. Dia tahu ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu. Seseorang yang dia sayangi, dan sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
Sudah paham, jika tiba-tiba sahabatnya itu pulang ke rumah ini, pasti ada sesuatu dipikirkannya. Dan tidak juga kaget, saat dia dan Yogi pulang ke rumah, lalu menemukan kamar Ayu tertutup dengan suara berisik di dalamnya . Kadang bahkan terdengar isakan dari kamar tersebut. Biasanya setelah menenangkan diri, Ayu akan bercerita semua keluh kesahnya padanya.
“Ehemmm… karena kamu sekarang ada di sini, gimana kalo kamu masak buat aku? Perutku perih, karena terus memuntahkan isi perut yang tidak ada apa-apanya. Aku lagi kepengen salad buah sama capcay, nih. Bikinin ya! Anak ini kepengennya cuma makan buah dan sayuran doang. Mual liat nasi.,”
Ucap Jessi sambil mengelus lembut perutnya yang masih tampak datar.
“Memangnya sudah berapa bulan, Jess?” tanya Ayu.
“Baru sebulan, dan entah sampai kapan mual dan muntah ini menyiksaku. Kamu beruntung, saat hamil Della kamu nggak ngalamin kayak gini. Mungkin karena badan kamu kecil mungil, jadi bayimu juga kasian sama bundanya. Hihihihi,” ledek Jessi.
Ayu tertawa kecil mendengar ucapan Jessi.
Aku memang tidak mengalaminya, Jess. Dan aku iri kamu bisa merasakannya seperti wanita hamil lainnya.
“Aku tinggal ke kamar, ya? Badanku lemas banget. Aku mau berbaring aja,” ucap Jessi.
Ayu menganggukkan kepala sambil membuka pintu kulkasnya.
Ia akan membuatkan makanan untuk Jessi. Merasa kasihan, karena sahabatnya itu mengalami kesulitan dalam kehamilan pertamanya. Kini tubuh dan tangannya bergerak terampil di dapur itu, sambil bersenandung.
Merindukan kebiasaan yang sering ia lakukan bersama ibunya, memasak bersama. Ibunya dulu seorang koki di restoran keluarga Aditya, mertuanya. Setelah menikah dengan ayahnya, beliau berhenti. memilih usaha masakan online dari rumah saja. Ayu begitu menyukai berada di dapur bersama sang ibu, hingga tak heran kemampuan memasaknya juga mendapat banyak pujian.
Setelah selesai memasak dan membereskan dapur, ia melangkah masuk ke kamarnya yang tidak pernah berubah tatanan sejak ia tinggalkan empat tahun lalu. Semuanya masih terasa sama, dan ia masih bisa membayangkan tertidur di dekapan hangat ibunya saat sedang sedih.
Ayu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Belum sempat ia berpikir mengenai kejadian yang membuat hatinya sedih dan menangis, rasa kantuk telah menyeretnya ke dalam alam mimpi
🍀🍀🍀
“Ayu, tunggu sampai adzan maghrib selesai berkumandang baru kamu pulang. Mas Yogi akan mengantarmu. Biarkan saja Ibu mertuamu ngomel macam-macam, daripada magrib-magrib kamu berjalan sendirian,” omel Jessi.
“Biarin gimana? Ibu kalau udah ngomel nggak akan berhenti kurang dari setengah jam, tau. Lagian kamu kenapa nggak bangunin aku, sih?” gerutu Ayu.
Sementara Jessi hanya terkekeh, melihat Ayu dengan wajah merengut sebal.
“Kamu yang tidur kayak kebo, jangan salahkan aku. Lagipula, aku yakin baru hari ini kamu bisa tertidur lelap seperti sekarang kan?” tebak Jessi.
Kamu benar, Jess.
Ayu hanya diam sambil mendengarkan suara Adzan yang masih berkumandang, memilih menunaikan kewajiban dahulu sambil berdoa juga untuk keutuhan rumah tangganya.
🍀🍀🍀
Plakkk…
Ayu meringis merasakan perih dan denyut di pipi.
Sementara, Della menangis keras sambil memeluk paha bundanya yang masih menunduk terdiam karena dimarahi oleh sang nenek.
“Apa yang Ibu lakukan?!”
Tegur Rangga, yang baru saja masuk ke rumahnya, baru saja tiba pulang dari kantornya.
Bu Mirna Aditya tampak kaget, melihat kepulangan putranya yang lebih cepat dari biasa dan memergoki perbuatannya pada Ayu.
“Ayaahhhh …”
Della yang masih menangis, menghambur ke pelukan Rangga yang merentangkan tangan dan menyambut putrinya ke dalam pelukan.
“Nenek jahat! Bunda dipukul sama Nenek, padahal Della juga nggak nakal kok selama Bunda nggak ada!”
Della berbicara sambil terisak-isak.
Mata bu Mirna melotot ke arah Della.
“Istri kamu ini, dari pagi pergi tidak kasih kabar, pulang-pulang diantar laki-laki saat hari sudah gelap! Bikin malu saja! Restoran sibuk menyiapkan ketring, dia malah pergi keluyuran!”
Umpat Mirna, sambil menunjuk ke arah Ayu yang masih menunduk menahan tangis.
Rangga berjalan mendekati Ayu, dan merangkulnya.
“Ayu istriku, Bu. Biar aku yang memarahi dan memukulnya, jika perlu. Aku berhak melakukannya jika ia terbukti melakukan kesalahan, dan Ibu tidak perlu ikut campur. Jangan pernah lakukan hal itu lagi kepada Ayu, apalagi di hadapan Della.”
Rangga lalu menarik bahu Ayu, mengajaknya berjalan menuju kamar mereka.
“Apa Ibu pernah memukulmu selama aku tidak berada di rumah ini?” tanya Rangga. Terus berjalan, sambil menunggu jawaban tapi bibir mungil Ayu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Pernah,” jawab Della,
“Waktu Ayah masih belajar jauh.”
Jawaban itu meluncur dari Della, putri mereka yang berumur hampir empat tahun.
“Enggak Mas, itu salah paham aja. Bukan itu yang sebenarnya terjadi,” elak Ayu.
Ia tidak ingin menjadi penyebab pertengkaran Rangga dan ibunya.
“Tadi hanya salah paham. Aku pulang ke rumah ibu, karena Jessi butuh bantuan. Dia sedang sakit, hamil muda dan tidak ada yang menjaganya. Sempat titip pesan sama anak restoran, sepertinya dia lupa menyampaikan. Della tidak kuajak karena sedang tidur siang,” jelasnya lagi.
Rangga mengatupkan mulut, dan mengeraskan rahangnya kuat.
Ia mengenal Ayu lebih dari sepuluh tahun. Sahabat yang kini jadi istrinya tersebut, tidak pandai berbohong. Jenis wanita yang terlalu baik, dan polos untuk dirinya.
Wanita yang membuatnya selalu teringat kesalahannya di masa lalu. Kesalahan yang harusnya tidak dia lakukan. Kesalahan yang membuat dirinya selalu terbayang rasa bersalah, juga penyesalan mendalam.
Ingin menebus kesalahannya dengan cara melepas Ayu pergi, tapi dia pun tak sanggup.
Hatinya tidak siap memberikan surat cerai, setelah melihat pengabdian wanita itu kepada keluarganya, terlebih sudah ada Della di antara mereka.
Dia bukannya tidak tahu, jika Ayu selama ini selalu bekerja keras di rumah juga di restoran milik keluarganya. Berusaha menjadi menantu dan ibu yang baik, walaupun perlakuan ibunya tidak menyenangkan.
Lagipula, istrinya itu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi selain dia, dan Della. Hal itu semakin memberatkan dirinya untuk melepas Ayu. Janjinya sedari dulu yang akan selalu menjaga Ayu, itulah yang berusaha ia jaga sampai sekarang. Karena sampai saat ini, dia belum bisa mencintai Ayu dan menerimanya di hatinya.
Sudah ada wanita lain di hatinya sejak lima tahun yang lalu.
Rangga sudah mencoba menjauh dari wanita itu, menyadari dirinya adalah pria yang sudah menikah. Namun beberapa tahun kemudian, dia bertemu kembali dengannya. Terlena dan jatuh kembali dalam pesona mantan pacarnya. Dessi Anandari.
Rangga mengusap wajahnya gusar.
Setelah mengantar Ayu ke kamar, dia membawa Della ke kamar dan menemaninya untuk belajar sebentar. Tiba-tiba, dia teringat pipi Ayu yang kemerahan karena di tampar ibunya.
Mengecup kening Della yang masih asyik mewarnai, lalu pergi menuju dapur. Mengambil waslap dan es, untuk mengompres pipi istrinya.
🍀🍀🍀
Ayu melangkah keluar dari kamar mandi dengan mengendap-endap.
Ia lupa membawa pakaian ganti ke kamar mandi, dan hanya mengenakan jubah mandi untuk menutupi tubuhnya. Ia terpaku di depan kaca meja rias, saat melihat bayangan dirinya di cermin, tepatnya bekas kemerahan di pipinya.
Sebulir airmata lolos dari pertahanannya. Della benar, ini bukanlah yang pertama dari ibu mertuanya. Ini sudah yang kesekian kali, sedangkan omelannya hampir setiap hari ia terima. Namun, tidak pernah mempermasalahkan hal itu karena tahu setiap omelan dan hukumannya memang beralasan, dan ia tidak pernah memasukkan makian ibu mertuanya itu ke dalam hati.
Namun, kali ini berbeda. Hatinya sedang terluka juga.
Terluka karena sang suami yang masih menganggap dirinya, tak lebih dari seorang sahabat. Ayu mengerti bahwa status itu tampaknya tidak berubah dalam hati Rangga, setelah apa yang ia lihat siang tadi di lobby kantor.
Setelah empat tahun mengabdikan diri kepada suami dan keluarganya, ia kecewa karena hati Rangga belum juga bisa dimiliki. Tetesan air mata kembali mengalir di pipi mulusnya.
“Ayu …”
Wanita itu tersentak kaget, tidak menyadari Rangga yang sudah masuk ke kamar dan kini berdiri di hadapannya dengan raut wajah sedih. Tangan kekar itu bergerak ke atas bahunya. Dan tangan yang lain mengusap airmata yang mengalir di wajah Ayu.
“Maafkan … ibuku.”
Rangga tidak mampu berucap apa-apa, selain kata maaf.
Dia memeluk wanita di hadapannya, yang kini terisak di pelukan. Sementara Ayu membalas pelukan itu lebih erat.
Hati menghangat bisa membagi kesedihan dengan suaminya. Hal yang begitu ia inginkan sejak dulu, memeluknya lama dan menghirup dalam aroma tubuh Rangga yang disukainya.
Lalu menumpahkan tangis, keluh kesah, dan gelisahnya di pelukan sang suami. Orang yang selalu ada di sisinya saat ia bersedih, dulu.
Entah keberanian dari mana yang muncul tiba-tiba dalam diri Ayu, ataukah bentuk putus asa. Wanita itu sengaja melonggarkan tali jubah mandi, yang membelit tubuhnya.
Pikiran pendek di kepalanya, hanya ingin memiliki Rangga malam ini juga, walaupun ia tau resiko besar yang akan terjadi setelahnya. Bahwa Rangga mungkin akan menyadari, jika selama ini ia bukanlah wanita yang Rangga kira.
Ayu mendongakkan wajahnya, dan melihat ke arah Rangga,
“Mas..” panggilnya pelan.
Mata mereka saling berpandangan.
Banyak perasaan terpancar dari keduanya yang ingin diungkapkan, tapi tertahan dalam bilik keraguan. Tangan Ayu menarik kerah baju Rangga, berjinjit dan mendekatkan wajah ke hadapan suaminya. Menempelkan bibir di atas bibir suaminya. Kaku. Bergerak pelan dan ragu, takut suaminya akan menolaknya.
Sementara Rangga cukup terkejut dengan tindakan berani Ayu.
Kedua tangannya berada di bahu Ayu, hendak mendorong. Kembali terkejut karena bahu itu terasa lembut di tangannya, halus dan mulus.
Saat memandang dari sudut matanya, ia melihat jubah istrinya melonggar dan sudah turun ke perutnya tertahan oleh lengan Ayu. Bagian tubuh atas istrinya setengah polos terbuka.
Ini pertama kalinya dia merasakan kelembutan tubuh Ayu, secara sadar. Tubuh Ayu terasa halus dalam belaiannya, ditambah aroma segar yang memenuhi indera penciuman.
Spontan, kedua tangannya naik ke leher jenjang itu dan memegang kedua pipi Ayu dengan lembut. Dia pun tergoda membalas perlakuan istrinya. Rangga tidak berniat menghentikan sentuhannya pada Ayu. Toh Ayu adalah istri sahnya, halal untuk dia sentuh.
Selama kuliah, terpisah jarak dengan Ayu dan Della, dia memang tidak pernah menyentuh istrinya. Takut jika sudah mengenal tubuh istrinya, maka ia tidak bisa konsentrasi kuliah dan menyelesaikannya dengan cepat.
Alasan yang cukup mengada-ada. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, dia masih belum siap dengan statusnya yang kini sudah menjadi seorang ayah dan suami dalam waktu semalam, karena kesalahan yang dilakukan saat dia mabuk, juga perasaan bersalah yang bercokol dalam dirinya.
“Mas…”
Suara lembut keluar dari bibir Ayu, menyadarkan Rangga tiba-tiba.
Dessy tidak pernah malu-malu jika menciumnya …
Kesadaran itu seperti air es yang memadamkan gairahnya seketika.
Dia melepaskan tautannya di bibir Ayu. Tangannya memperbaiki jubah mandi Ayu yang melorot. Suaranya terdengar serak, berusaha menahan gairahnya.
“Aku bawakan es untuk mengompres pipimu supaya tidak bengkak keesokan hari. Gantilah baju, setelah itu turun ya. Aku dan Della akan menunggumu untuk makan malam.”
Rangga membalikkan tubuh dan menutup pintu di belakangnya.
Dia mendengkus kasar, menahan desakan di bawah tubuhnya yang menuntut pelepasan. Dia tidak bisa melakukannya kepada Ayu, di saat hatinya telah dimiliki wanita lain. Tidak adil bagi Ayu, jika dirinya ikut mengambil peran mempermainkan hati sahabatnya itu.
Sementara, Ayu kembali menangis, bersimpuh di pinggir ranjangnya.
Dadanya sakit akan penolakan sang suami. Ia sekarang merasa seperti pelacur, yang menggoda klien dengan tubuh telanjangnya.
Sebenarnya, sah-sah saja ia merayu suaminya, memang haknya. Namun melihat penolakan Rangga tadi, kini ia semakin pesimis untuk mendapatkan hati suaminya juga mempertahankan pernikahan mereka.
Rangga sengaja menghindari menyentuhnya, karena memang pria itu tidak memiliki perasaan terhadapnya. Karena ia tahu, Rangga akan melakukan apa saja untuk melindungi dan menjaganya. Termasuk menjaganya terluka dari diri Rangga sendiri ..
Bersambung
No comments:
Post a Comment