Part 6
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
*Kurang lebih tahun lalu*
Seorang gadis berlari dengan tawa mengembang di bibir, sepatu kets putih dan jeans navy melekat di kaki. Kemudian t-shirt pink dan topi berwarna putih juga mempercantik penampilannya. Tangannya menggenggam erat sebuah amplop putih yang baru saja dia dapatkan. Bahkan senyum bahagia itu semakin merekah saat melihat pria berkaos abu tua tengah bertolak pinggang di pinggir danau.
"Kejutan!" Dia memeluk sang pria dengan melompat ke punggungnya.
"Lama banget, aku dah hampir satu jam disini," protes pria itu.
"Maaf, Rega. Tadi habis antar Abah ke rumah sakit dulu, terus pas mau kesini ada surat. Tau ga dari siapa?" tanyanya dengan mata berbinar. Menatap manis pada sang kekasih yang kecewa karena menunggu lama.
"Au ...!" jawab kekasihnya yang bernama Rega dengan wajah ketus.
"Aku dapat pekerjaan! Keren nggak?" gadis manis bermata bulat itu tak memperdulikan rasa kesal kekasihnya.
Dia adalah Kirana yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Begitu lulus langsung melamar sebuah pekerjaan untuk membantu ekonomi orang tuanya. Meski dia sendiri telah diterima untuk melanjutkan pendidikan di sebuah universitas negeri dengan jalur SPMB dan akan mengikuti serangkaian tes untuk beasiswa juga.
"Kok kamu nggak seneng, Ga?" wajah bahagia itu sirna tatkala sang kekasih tetap saja datar menanggapi kebahagiaannya.
"Seneng lah, boleh cium donk buat merayakan?" godanya dengan berusaha tersenyum.
"Ya nggak boleh lah, kata Abah ... cowok itu kalo udah minta cium sekali pasti minta lagi. Pertama sih cuma kening, terus minta pipi, lama-lama bibir. Setelah itu makin jauh lagi," celoteh Kirana dengan polos.
"Jadi karena itu Abah kamu nggak ngijinin kita pacaran ya? Padahal aku tuh cinta beneran sama kamu. Cuma ya kita kan masih kecil, maksudku masih belum pantas nikah." Rega tampak tak suka dengan paparan kekasih hatinya.
"Ngomong gitu sama Abah bakal dijawab, sadar masih kecil dan nggak siap nikah ... ngapain pacaran? Hihihi." Kirana menaruh lengan di pundak Rega.
"Kolot pemikiran Abahmu."
"Emang dia dah kolot, kalau di sunda kolot itu artinya orang sudah tua." Kembali Kirana tertawa sambil memamerkan surat panggilan kerja untuknya. Dia diterima bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Jam kerjanya hanya dari jam empat sore hingga jam sepuluh malam. Sementara kuliah akan dia jalani di pagi hari.
*
Kirana dan Rega menjalin kasih sejak di bangku kelas tiga SMA. Keduanya saling menyukai karena intensitas pertemuan setelah sama-sama menjadi pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS. Rega adalah ketua dan Kirana hanya anggota biasa. Keduanya meresmikan perasaan mereka dalam sebuah ikatan yang bernama jadian, alias pacaran.
Meski belakangan—saat Abah tahu hubungan itu ditentang. Bagi Abah pacaran itu hanya membuang waktu dan membuat anak gadisnya tidak fokus belajar. Tapi Kirana selalu berdalih karena pacaran dengan Rega dia jadi semangat sekolah, dan berusaha mendapat nilai baik.
"Alasan kamu saja, sekolah itu wajib nggak harus pake penyemangat. Asal kamu sadar tugas dan kewajiban, pasti tetap semangat untuk masa depan kamu, Neng." Abah yang sakit gula angkat suara saat Kirana keukeuh mempertahankan hubungan dengan Rega.
"Kirana janji nggak akan sampe mengganggu kegiatan belajar atau sekolah. Pokoknya Abah percaya aja deh sama neng." Gadis itu terus memijat pundak ayahnya yang dia panggil dengan sebutan abah. Sementara dia sendiri memiliki panggilan kesayangan yaitu neng.
Abah menarik nafas dalam, menatap langit yang makin cerah. Sulit baginya mengingatkan bahwa pacaran itu tidak ada manfaatnya, bahkan lebih dekat pada maksiat dan mendekati zina. Tapi tidak mudah menasehati siapapun termasuk anaknya dengan kalimat saklek soal agama. Abah tahu itu. Meski dia tahu resiko besar yang mengintai anaknya jika lengah.
"Neng, semoga kamu bisa membawa Abah ke syurga ya," tutupnya dengan gurat wajah tak terbaca oleh sang anak.
Kirana hanya tersenyum dan menuntun Abah ke dalam rumah, "Aamiin ... neng kan sayang sama Abah, pasti selalu doain juga," jawabnya dengan kebahagiaan.
*
Di sudut bumi yang lain, seorang pria tengah memandang kekasih hatinya yang seorang model catwalk papan atas. Tubuh indah itu sejak lama membuatnya bertekuk lutut, hingga rela memindahkan bisnisnya ke negara yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Indonesia.
Pertemuan sepasang suami istri ini terjalin saat seorang gadis bernama Anna ini menjadi salah satu model yang terpilih mengenakan busana tradisional Indonesia di sebuah fashion show di London yang diadakan oleh sebuah rumah mode terkemuka disana. Festival tersebut mengundang designer dari berbagai negara untuk memamerkan koleksi mereka sesuai adat dan tradisi asal. Dan Anna, sang model cantik menjadi primadona karena berkesempatan memamerkan kebaya modern dengan nuansa sensual di hadapan para penikmat fashion.
Tak terkecuali pria yang merupakan tamu undangan dari kalangan pengusaha, William Alvaro, terpana dengan kecantikan dan kemolekan tubuh asli sang model dari Indonesia. Hingga setelah acara usai keduanya diperkenalkan. Ketertarikan keduanya tampak jelas, yang artinya rasa suka itu terbalas. Menjadikan keduanya sering menghabiskan waktu bersama selama Anna berada di London. Mulai dari hanya kencan makan malam, menikmati malam yang romantis, dan berakhir dengan adegan panas yang tak seharusnya. Keduanya seolah merasa dunia adalah syurga yang hanya untuk dinikmati.
Hingga kisah cinta jarak jauh pun semakin mengeratkan perasaan mereka untuk saling memiliki. William sering datang ke Indonesia hanya untuk menemui sang kekasih, melepas rindu dengan berbagai kisah romantis dan kata penuh pemujaan. Membuat Anna semakin melayang dan tak pernah ingin berpisah lagi.
"Nikahi aku ...," pinta Anna ketika William kembali ke Indonesia untuk ke sekian kalinya.
"Really? Apa yang membuatmu ingin menikah denganku hmm?" goda William dengan mengeratkan kaitan lengannya di tubuh Anna yang tak memakai sehelai benang pun.
"I'm pregnant." Anna menatap mata cokelat William dengan senyuman tak terbaca.
"Are you serious?" William memperbaiki posisi duduk dan kini menghadap Anna yang menunduk.
"Of course, haruskah aku gugurkan?" tanya Anna tampak gamang.
"What? Kau kira aku tidak senang?" tanya William dengan suara yang masih kental logat England-nya, "Aku sangat bahagia Anna. Aku akan menikahimu, dengan satu syarat." William merengkuh kedua pundak kekasihnya.
"Apa?" kecemasan tersirat dai wajah Anna.
"Berhenti jadi model dan jadilah milikku seutuhnya. As a full time mother and wife." William tersenyum lalu mengecup kening Anna yang tampak gamang, dia seolah enggan meninggakan dunia yang telah membesarkan namanya. Tapi dia juga tak ingin kehilangan pria seperti William, yang tidak hanya kaya raya, tapi juga sangat mencintainya.
*
Pernikahan Anna dan Wiliiam telah memasuki usia enam bulan. Namun kehamilan Anna jelas lebih dari usia pernikahan mereka. Keduanya tampak tak ambil pusing dengan pertanyaan orang, bagi pasangan ini ... cinta adalah stampel legal untuk tindakan mereka meski melanggar norma dan agama yang mereka yakini.
Hingga Anna mulai bosan dengan kesibukan suaminya, lalu dia kembali menghadiri acara-acara fashion show dan juga pesta para sosialita. Bukan apa, William sangat sibuk sebagai CEO perusahaan asing yang kini dia kelola. Sesekali dia sempatkan diri menemani sang istri menghadiri pesta para kaum jetset di negara ini.
Tapi tidak hari ini, Anna datang seorang diri. Sang suami tengah kembali ke London untuk menemui keluarganya, ibu dari pria luar biasa itu sakit. Anna enggan naik pesawat dengan alasan kehamilan, hingga dia memilih menghadiri peragaan busana untuk menghilangkan kejenuhan di rumah.
Anna memang tidak pernah cocok dengan ibu mertuanya, sikap sang ibu mertua yang merupakan keturunan bangsawan London, dirasa Anna tak jauh beda dengan sikap orang tua penganut tradisi yang dianggap kolot di Indonesia. Bahkan sempat tak merestui hubungan sang anak dengan dirinya. Jadi, wanita itu sakit atau tidak, Anna tidak peduli.
Ponsel monoponiknya berdering, dia segera menerima panggilan dari suaminya.
"Aku sedang di fashion show, jadi tidak sempat menerima panggilanmu tadi. Kapan kau kembali? Aku kesepian." Anna seolah enggan disalahkan karena sejak tadi tak menggubris panggilan telepon dari suaminya.
Setelah mendapat jawaban dari sang suami, dia kembali ke pesta dimana musik disco menggema. Seolah lupa dengan perut besarnya, dia senang menjadi pusat perhatian. Tetap enerjik bergoyang dan dipuji setiap orang. Hingga dia tak konsentrasi dan berjalan tanpa melihat lantai yang dia lewati. Dia terjatuh dari lantai dansa yang tinggi tangganya tak lebih dari satu meter. Namun nahas posisinya terjatuh justru dengan perut besarnya di bawah.
Semua panik begitu menyadari pendarahan hebat dialami sang model yang terus meraung kesakitan. Sebagian lagi segera menghubungi William yang masih berada di London.
Jeritan kesakitan Anna semakin menggema saat tiba di rumah sakit dan tak ada sanak keluarga yang menemaninya. Dokter terpaska bicara dengan William yang sudah berada di Bandara untuk kembali ke Indoesia.
"Harus dilakukan tindakan medis dan tidak ada keluarga yang dapat menandatangani surat tindakan." Dokter tampak bingung.
"Lakukan saja, dokter. Aku ijinkan meski tanpa surat, dan barjanji tidak akan menuntut apapun jika terjadi sesuatu. Hanya ... kumohon selamatkan istriku. Ya, terserah dengan janinnya tapi selamatkan istriku. Itu lebih utama dari apapun." William panik dan terus memandang layar yang menunjukkan jam keberangkatan pesawatnya.
Akhirnya tindakan diambil. Sang bayi tak bisa diselamatkan karena benturan, begitupun rahim sang ibu terpaksa diangkat karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Anna masih tertidur saat suaminya tiba dan menggenggam lengan sang istri dengan perasaan bersalah.
"Kami terpaksa mengangkat sebagian rahim istri Anda karena tidak memungkinkan dipertahankan, dan kabar baiknya operasi berjalan sukses. Istri Anda selamat, tapi ... mungkin kalian tidak dapat memiliki keturunan."
Kalimat dokter telah menghancurkan hati William yang begitu bahagia ketika dulu mengetahui kehamilan Anna meski diluar pernikahan. Kini dia merasa hampa, wanita tercintanya tak akan memberinya keturunan, dan dia tak mungkin menikah lagi sesuai janjinya saat ikrar pernikahan.
"Jangan tinggalkan aku, Wil ...," isak Anna saat tersadar dan tahu bahwa dia tak lagi sempurna.
"Tidak akan pernah, kau akan tetap jadi istriku satu-satunya dalam hidupku. Dengan atau tanpa anak sekalipun." William tersenyum dan mengecup lengan sang istri tercinta.
*
Kirana yang sedang bekerja terpaksa pulang setelah disusul pamannya bahwa sang ayah mengalami serangan jantung. Dengan gurat kepanikan di wajah, dia berjalan cepat di lorong rumah sakit dan menemui petugas front office.
"Bapak Sutarji di rawat di kamar nomor berapa?" tanyanya dengan cemas.
Petugas mengecek nama, "Oh, masih di UGD. Tapi sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang ICU karena mengalami komplikasi."
Jawaban petugas rumah sakit membuat Kirana lemas. Dia segera menuju UGD dan mendapati sang ayah dalam kondisi memprihatinkan.
Dokter menjelaskan tindakan apa saja yang akan diambil, termasuk operasi untuk melancarkan penyumbatan pembuluh darah, hingga memasang ring di jantungnya.
"Astaghfirullah, darimana kita dapat biayanya?" Bibi mengusap wajahnya berulang kali, sementara Paman masih terlihat tegar.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Kirana lemah.
"Kamu bisa tanya detailnya ke bagian kasir," jawab Dokter Anwar, dia yang menangani Pak Sutarji sejak pertama kali berobat ke rumah sakit itu. Dia kenal betul Kirana akan meminta pengobatan terbaik untuk ayahnya meski tahu biayanya tidak sedikit.
"Sejujurnya, biayanya sangat besar, Nak. Bisa sampai ratusan juta. Tapi andai kamu menyerah dan ikhlas tanpa berusaha menyelamatkan, itu juga tidak bijak." Dokter Anwar menatap Kirana yang sempat membelalakkan mata saat mendengar perkiraan nominal uang yang harus dia keluarkan.
"Iya, Dok. Lakukan saja yang terbaik, Kirana ... bisa tidak ya nyicil gitu biayanya?" tanyanya dengan terisak pelan.
Dokter Anwar tidak mampu menjawab. Dia hanya menatap Kirana sebagai sosok anak yang penyayang, berharap kelak anak-anaknya juga akan mencintai dirinya seperti yang gadis ini lakukan pada abahnya.
"Untuk penanganan sementara, saya bisa bantu meringkankan. Coba kamu minta surat pengantar tidak mampu, lalu mencari bantuan dari lembaga-lembaga yang biasa menyalurkan dana kemanusiaan. Siapa tahu itu membantu." Dokter Anwar menepuk pundak gadis malang itu, "operasi baru bisa dilakukan setelah serangkaian pengecekan. Bisa satu minggu dari sekarang," lanjutnya.
Kirana mengangguk, lalu kembali ke ruangan dimana Abah dirawat. Dia tidak akan membiarkan ayahnya pergi begitu saja. Abah adalah segalanya saat ini, paska kepergian ibu lima tahun lalu. Jadi, dia tidak ingin kehilangan lagi.
*
Setiap hari, dia mendatangi lembaga kemanusiaan meminta bantuan untuk pengobatan sang ayah. Tapi ada banyak syarat yang mereka ajukan dan berikan. Belum lagi survey dan harus menunggu segala macam birokrasi.
Secara kasat mata, Kirana memang tidak tampak sebagai seorang dhuafa. Dia memiliki penampilan layaknya orang kaya dengan pakaian yang selalu matching dalam padu padan. Sehingga banyak yang meragukan jika dia masuk kategori miskin, meski berulang kali bersedia di survey ke rumah sakit dimana sang ayah dirawat.
Tapi belum membuahkan hasil. Hanya satu lembaga kemanusiaan yang memberikan biaya tapi hanya sepersekian dari yang dibutuhkan. Kirana masih harus memutar otak untuk membayar biaya operasi dan pemasangan ring juga biaya rawat inap yang terus berjalan.
"Ikhlaskan saja kali ya, Neng. Bibi nggak tega lihat kamu seperti ini." Bibi menatap Kirana yang baru pulang kerja, tapi harus kembali menemui Abah di rumah sakit. Sementara pagi dia kuliah seperti biasa, lalu mencari bantuan kesana kemari.
"Bibi jangan membuat semangat Kirana kendor dong, bantuin do'a aja ya." Kirana terlihat lelah meski mencoba tersenyum. Beruntung Rega selalu mengantar dan menjemput kekasihnya ke rumah sakit, kuliah bahkan untuk mencari donatur yang dapat membantu.
Hubungan Rega dan Kirana juga tidak berjalan mulus, orang tua sang pria keberatan anak lelakinya dekat dengan gadis miskin dan sibuk mengurus ayahnya yang sakit-sakitan. Mereka tidak mau anak lelakinya jadi korban juga, dimana dia harus membantu membayar biaya berobat Pak Sutarji yang tak sedikit.
Bahkan tak jarang jika ketauan jalan berdua, Ibu Rega akan memaki Kirana tanpa belas kasihan. Lalu diseret dan disuruh menjauhi putranya. Kirana hanya bisa menangis dan menatap Rega yang juga tak mampu berbuat apa-apa.
*
"Aku nggak akan mau kalau kamu nikah lagi demi mendapatkan anak." Anna tampak berlinang air mata saat orang tuanya datang dan menanyakan kondisi dia saat ini.
William menceritakan keadaan Anna yang tak akan bisa memiliki anak, karena rahimnya telah diangkat. Dan orang tua Anna menyarankan mereka mengadopsi, tapi jelas bukan darah daging mereka. Lalu sang ayah mengatakan soal pernikahan kedua, atau poligami.
"Aku juga tidak bisa, Ayah. Aku sangat mencintai Anna. Aku rela menua hanya berdua bersamanya," jawab William menatap kedua orang tua Anna.
"Dalam agama kami itu halal, Nak. Toh sekarang kau seorang muslim, boleh melakukan poligami."
"Ayah ini gimana sih? Kok malah menginginkan anaknya dimadu? Ayah nggak mikirin perasaan Anna?" teriak Anna dengan sorot mata merah dan basah.
Keempatnya kini hanya saling diam, bahkan Anna bangkit dan masuk ke kamar. William segera menyusul setelah berpamitan pada mertuanya.
"Aku nggak akan pernah menikah lagi, Ann. Percayalah." William memeluk istrinya yang terisak.
"Adakah cara lain selain menikah lagi? Aku tidak mau dimadu." Anna menatap suaminya dengan lekat, dengan mata yang masih basah.
"Kita akan tanyakan pada dokter besok, mungkin ada cara yang tidak kita ketahui. Ok?" katanya diakhiri dengan kecupan di kening Anna.
Malampun mereka lalui dengan kegalauan. Setiap pasangan menikah pasti mengharapkan anak sebagai generasi penerus mereka. Dan itu pula yang diharapkan William dan Anna, hanya pasca kejadian memilukan itu, mereka seolah buntu dan hanya fokus pada bagaimana mengobati rasa sesal mereka.
Dokter spesialis kandungan menatap pasangan ini dengan lekat, dia menarik nafas panjang dan tersenyum.
"Tentu, ada cara lain dan tetap menjadi darah daging kalian," jawabnya setelah mendapat curhatan dari Anna dan William.
"How?" William tampak semangat.
"Jangan katakan menikah lagi, aku tidak mau." Anna tampak tegang.
Dr. Allen Sp.OG tersenyum, "Tentu tidak menikah lagi. Ada istilah namanya surrogate mother. Atau ibu pengganti. Kalian bisa melakukan ini. Tapi ...," dia menggantung kalimat.
"Apa?" Anna kini penasaran.
"Negara kita belum melegalkannya, ini melanggar undang-undang. Kalian bisa melakukannya di negara yang membolehkan praktek dan cara ini." Dr. Allen menatap William dan Anna bergantian.
Mereka saling diam, lalu saling menoleh satu sama lain. Kemudian Dr. Allen menjelaskan prosesnya. Bahwa ada yang dengan jalan si suami melakukan persetubuhan dengan si ibu pengganti, yang artinya jelas zina secara terang-terangan. Resiko ringan dan murah, lebih mudah sukses karena melakukan pembuahan alami. Tapi jelas, para istri akan menolak karena sama saja dengan dimadu. Membagi suami dengan wanita lain.
Maka Dr. Allen menjelaskan surrogate dengan proses modern yaitu seperti pada bayi tabung. Sel telur dan sel sperma pasangan suami istri diambil dan dilakukan pembuahan di dalam alat yang dalam istilah kedokteran dianggap tabung, lalu setelah terjadi pembuahan dan sukses menghasilkan embrio, akan ditanam pada rahim sehat yang siap menampungnya selama kurang lebih sembilan bulan. Resikonya memang sulit, dan biaya mahal karena proses yang tidak mudah. Serta dibutuhkan alat-alat super canggih juga tenaga medis handal dari luar negeri.
William mencerna itu dengan baik, dia bisa melakukannya di negara kelahirannya. Negara modern dengan tenaga medis terbaik ada di sana, Inggris.
"But ... how about your mother? Dia akan semakin tidak suka padaku jika tahu aku tidak bisa mengandung." Anna keberatan jika itu dilakukan di London.
William kembali memutar otak untuk mendapatkan solusi terbaik dari masalah ini.
"Cari wanita yang siap mengandung anak kalian dulu. Cari saja orang miskin yang butuh uang. Mereka akan rela melakukan apa saja. Namun ingat, pastikan sang calon ibu pengganti itu sehat jasmani dan rohani." Dr. Allen mengakhiri obrolan.
"Miskin? Kita cari dulu dari keluarga dekat aku aja. Masa dari orang miskin? Joroklah." Anna mendesis kesal.
Bersambung Part 7
No comments:
Post a Comment