Part 7
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Kirana terisak menatap ruang ICU tempat Abah terbaring. Tadi, sebelum dia datang, Abah dipindahkan lagi kesana karena jantungnya semakin lemah. Bahkan dokter menyarankan pemasangan ring dengan segera, untuk menyelamatkan nyawanya.
Gadis manis itu menatap rincian biaya yang baru dia terima dari bagian administrasi. Hampir dua ratus juta, darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Gajinya saja hanya , juta sebulan, itu sudah full dengan uang makan. Rasanya mustahil mendapatkan uang sebanyak itu.
Belum lagi tugas kuliah mulai menumpuk, semua terabaikan. Dia hanya duduk mematung memandang kosong.
“Dokter,” sapa Kirana pada Dr. Anwar yang baru saja datang, “saya rela jadi cleaning service di rumah sakit ini seumur hidup. Gaji saya untuk berobat Abah saja. Tolong, Dok.” Matanya semakin sayu dan memprihatinkan.
“Nanti saya coba cari donatur ya, nak. Saya juga ga tega lihat kamu seperti ini. Sudah hampir tujuh tahun kita kenal dan kamu selalu menemani Abah kamu berobat.” Dr. Anwar tersenyum menatap Kirana yang memejamkan mata, membiarkan air bening itu mengalir di pipinya.
Hal yang paling menyulitkannya adalah, andai mengajukan penghentian pengobatan. Maka harus menandatangai surat pernyataan bahwa dia menolak dan meminta pencabutan alat-alat yang menempel di tubuh Abah, bahkan dia diharuskan melepaskan sendiri secara simbolis.
Tidak! Kirana merasa itu tampak seperti mengakhiri hidup Abah dengan tangannya. Dia tidak sanggup.
Sementara di lantai lainnya, William dan Anna baru saja konsultasi lagi dengan Dr. Allen. Mereka berencana melakukan surrogate tapi tidak di Indonesia. Sang dokter menyarankan negara lain yang melegalkan praktik ini. Dan mereka ingin mencari sang ibu pengganti yang bisa dibayar lebih murah.
Anna sudah menawarkan pada kerabatnya, tapi kebanyakan menolak dengan alasan “hamil itu tidak mudah”. Beberapa orang yang mungkin butuh uang telah mereka datangi, rata-rata meminta nilai fantastis diatas kewajaran. Sudah bisa dibayangkan jika mereka memilih ibu pengganti dari negara yang akan mereka tuju, yaitu Hongkong. Disana juga pasti bayarannya lebih tinggi lagi.
Karena itu mereka mencari calon ibu dari Indonesia. Selain untuk meminimalisir biaya, juga untuk mempermudah komunikasi dengan Anna.
“Hallo Dr. Anwar, lama tidak jumpa.” Dr. Allen menyapa rekan sejawatnya yang meski satu rumah sakit tapi jarang bertemu.
“Ya, kau makin tampan saja,” goda dokter sepuh itu. Keduanya terlibat obrolan seputar kehidupan mereka yang memang kenal dekat. Sementara William dan Anna menunggu mereka hingga selesai.
“Ah sorry, kenalkan ini pasienku, Mr. William and Mrs. Anna Alavaro.” Dr. Allen memperkenalkan mereka.
Dr. Anwar mengulurkan tangan pada sepasang suami istri yang tengah menunggu Dr. Allen mencarikan calon ibu pengganti untuk mereka.
“Oh ya, ada bahasan yang ingin saya sampaikan. Bisa kita ke ruangan anda dulu?” Dr. Allen sengaja menemui Dr. Anwar karena dia terbiasa bertemu dengan pasien-pasien tidak mampu di rumah sakit ini. Mereka berempat segera menuju ruang pribadi Dr. Anwar di sana.
Pembahasan pun dimulai, seputar surrogate mother yang dibutuhkan oleh pasangan ini.
“Tapi negara kita tidak mengijinkan itu.” Dr. Anwar menatap William dan Anna lalu pada Dr. Allen.
“Aku tahu, karena itu mereka akan melakukannya di Hongkong. Hanya ingin orang Indonesia yang menjadi ibu penggantinya.” Dr. Allen melirik ke arah William yang mengangguk, “Anda sering bertugas menangani pasien-pasien tidak mampu. Jadi kurasa, adakah yang anda rekomendasikan? Tentu bukan pasiennya, tapi dari keluarganya,” tambah Dr. Allen.
Entah kenapa Dr. Anwar langsung teringat Kirana. Gadis manis dan enerjik itu tengah membutuhkan uang. Dia merasa Tuhan seolah mengirim William dan Anna untuk membantu gadis itu dengan cara yang tak disangka siapapun.
“Ada,” katanya cepat. Dia menceritakan siapa Kirana dan juga Pak Sutarji pasiennya. Dia yakin, gadis itu akan bersedia melakukan demi mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan Abahnya.
“Apa dia sehat?” William tampak bersemangat.
“Dia sangat sehat, kita akan melakukan medical check-up jika dia bersedia. Gadis itu juga tidak kumuh selayaknya orang miskin yang dikatakan Mrs. Anna tadi,” kata Dr. Anwar tersenyum.
Sebelumnya Anna sempat bertanya apa Kirana tampak kotor dan kumuh selayaknya orang miskin di jalanan? Ah, Anna memang sangat sombong dalam hal ini.
“Tunggu! Gadis?” William mengerutkan alis, “bukankah baiknya seorang wanita yang sudah menikah? Dalam hal ini agar dia tidak terkena malu dan tentu pertimbangan-pertimbangan lain?” dia melirik ke arah istrinya yang juga terkejut.
Dr. Anwar tersenyum dan mengangguk, “Dia sedang dalam masalah. Ayahnya harus dioperasi dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, aku langsung teringat dia saat bicara masalah uang. Dia baru lulus SMA dan sedang kuliah, tapi dia pasti mau demi sang ayah.”
William menarik nafas panjang, sementara Anna sedikit cemas. Bagaimana jika gadis itu cantik dan merebut perhatian suaminya? Segala kegalauan terjadi di antara mereka.
“Kau sudah membuat keputusan, maka jangan tanggung-tanggung. Gadis itu pasti mau dan akan melakukan apapun demi ayahnya. Jadi manfaatkan ini. Tidak mudah bukan mencari seorang wanita yang mau hamil anak orang lain?” Dr. Allen terus mempengaruhi William yang merupakan teman baiknya sejak sang pengusaha itu memutuskan tinggal di Indonesia.
“Beri kami waktu.” William mengelus dagu dengan tarikan nafas yang terasa berat.
*
Gadis malang itu duduk kaku di ruangan Dr. Anwar. Dia sudah diberitahu perihal tawaran menjadi ibu pengganti atau istilahnya surrogate, dalam arti lain menyewakan rahim. Pikirannya terus bercabang menimang banyak hal, hingga tak disadari tiga orang telah duduk di hadapan dia.
“Kirana, ini Mr. William Alvaro dan istri, lalu Dr. Allen Edward.” Dr. Anwar mengejutkan sang gadis yang masih menatap kosong.
Kirana segera bangkit dan membungkuk sedikit lalu mengulurkan tangan. Dr. Allen menerima uluran tangannya, lalu William, dan terakhir Anna yang sedikit risih. Tampak jelas dari hanya menyentuh sedikit lengan sang gadis bahkan secara singkat.
Dr. Allen menjelaskan tentang apa itu surrogate, juga prosesnya. Kirana menyimak sebagai orang yang ditawarkan untuk mengandung anak dari pasangan suami istri itu. Dia hanya mengangguk beberapa kali, setiap kali ditanya, “faham tidak?” oleh Dr. Allen yang memang berasal dari luar Indonesia, sama seperti William. Hanya saja, dia menjadi tenaga ahli khusus karena telah berkewarganegaraan Indonesia.
“Kurang lebih seperti itu,” tutup Dr. Allen menatap Kirana yang masih terdiam sedikit menunduk.
Dia masih mengingat-ingat apa yang dikatakan tadi. Bahwa genetik dari bayi itu adalah milik William dan Anna, disatukan dan setelah pembuahan sukses dalam tabung, akan dipindahkan ke rahimnya. Prosesnya bisa lama. Karena itu dia diminta tinggal bersama pasangan ini selama dua tahun.
Dalam kurun waktu itu, jika dalam enam bulan langsung sukses, maka sisa waktu yang ada untuk pemulihan paska operasi caesar nanti. Tapi bisa juga waktu itu ditambah atau dikurangi, tergantung keberhasilan proses pembuahan diluar rahim tersebut.
“Beri saya waktu, bisa?” suara Kirana berat.
William tampak lemas dan mengira gadis itu akan menolak.
“Saya akan memikirkan ini masak-masak. Karena pasti akan berpengaruh dengan masa depan saya. Pendidikan, dan juga Abah pasti bertanya kemana saya selama itu. Alasan apa yang saya berikan, jadi ... tolong beri saya waktu.” Kirana menatap Wiliam lalu Dr. Allen dan terakhir pada Anna yang tampak memainkan matanya seolah kesal.
Setelah pertemuan itu, Kirana memandang Abah yang terbaring lemah. Rasanya salah jika dia menyerah begitu saja pada keadaan. Entah pada siapa sekarang dia minta pendapat, karena sang kekasih sudah hampir tiga hari tidak bisa bertemu. Bahkan surat yang dia kirimkan pada Rega dibuang ibu sang pria di depan mata.
Paman dan Bibi? Rasanya mereka juga belum tentu bisa menjaga rahasia. Bisa saja keceplosan, namanya juga manusia. Kirana menyandar di dinding, lalu menatap kartu nama yang sudah dua hari dia genggam. Nama William Alvaro dan nomor telepon rumah juga kantor ada di sana.
Gadis itu berjalan ke warung telepon tak jauh dari rumah sakit, menekan nomor yang ada di kartu nama. Lalu menggigit bibir bawahnya dengan gugup.
Tak lama, telepon tersambung. Diterima oleh operator di kantor tersebut.
“Hmm, namaku Kirana. Mr. William ...,” Kirana bingung mengatakannya.
“Oh, Kirana. Iya, Anda ada di daftar telepon yang diminta untuk disampaikan padanya. Mohon menunggu sebentar,” ujar operator.
Kirana menarik nafas dalam, memejamkan mata sambil mendengarkan nada tunggu di telepon. Meski dia sedikit gelisah karena angka di layar monitor wartel terus meningkat.
“Hallo.” Suara barito pria di seberang telepon mengejutkan Kirana.
“Hmmm ... Mister, bisa kita bertemu?” tanya Kirana sedikit ragu.
Wiliam bersedia, dia segera menghubungi Anna mengatakan Kirana sudah memberikan respon. Dan mereka akan bertemu di sebuah restoran milik Anna yang berada di daerah Kemang.
“Kau naik taksi saja, biar cepat.” Wililam mengatakan itu ketika Kirana akan menutup telepon. Dengan gontai dia menyetop taksi, dan menunjukkan alamat tujuan.
Selama perjalanan, pikirannya terus berpetualang dengan berbagai prediksi. Dia membayangkan setelah melahirkan anak pasangan itu, dia akan memiliki uang. kemudian uang itu akan dipakai untuk membiayai kuliah yang tertinggal, modal usaha, dan tentu merawat Abah.
Bibi juga tidak akan mengeluh karena akan memberikan banyak uang setiap bulan sebagai gaji dari pekerjaannya. Dia mengaku bekerja sebagai TKW di luar negeri, andai proposal biaya yang dia minta disetujui oleh pasangan yang mengharapkan anak itu.
Taksi berhenti di sebuah restoran mewah dengan pepohonan rindang, dan hujan tiba-tiba saja turun. Kirana mengajak sang sopir masuk ke dalam, dan meminta William membayarkan taksinya. Karena dia tidak memiliki uang meski hanya puluhan ribu saja. Ada, tapi untuk kebutuhan sehari-harinya.
Anna sedikti menyipitkan mata ketika harus membayar taksi yang ditumpangi Kirana. Setelah itu, mereka masuk dan menuju lantai dua dimana tidak ada pelanggan disana. Berbeda dengan Anna, Wiliam sangat ramah dan perhatian. Selalu tersenyum, membuat Kirana lebih nyaman.
“Sayang, tersenyumlah sedikit. Kita membutuhkan bantuan gadis itu.” William memandang Anna yang terus cemberut sejak kedatangan Kirana. Sekarang gadis itu tengah ke toilet.
“Dia yang butuh kita. Uang kita,” jawabnya tendensius.
“Kita sama-sama diuntungkan.” William meraih pundak sang istri dan mengecup bibirnya.
Membuat Kirana menghentikan langkah, karena takut mengganggu kemesraan pasangan itu. Dia jadi teringat Rega, andai dia bisa seperti William dan Anna ... begitu pikirnya.
“Hey, ayo kemari!” William melambaikan tangan.
Kirana tersenyum dan menoleh sedikit kepada Anna yang kini memasang senyuman terpaksa.
“Kita langsung saja ya, jadi ... kau bersedia? Aku ingin kau mengandung untukku. Anakku.” Pria tampan berkuliat putih itu mengulang kalimat untuk memastikan kebersediaan sang gadis.
Kirana menatap William, lalu Anna dengan bergantian.
“Aku bersedia.” Kirana tampak tegang, “Aku bersedia mengandung anak anda. Maksudku, anak Anda dan istri.” Dia mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja basah.
“Kau sudah diskusikan ini dengan orang tuamu?” tanya William serius.
Kirana menggeleng, “Abah bisa membunuhku jika tahu. Aku katakan, aku akan menjadi TKW di luar negeri. Kontrak selama dua tahun.” Kembali menyeka pipinya yang basah.
William hanya mengangguk, “Terserah bagaimana baiknya. Nanti kita akan bahas mekanismenya.” Dia melirik sang istri yang sedari tadi diam saja.
Sang gadis membuka buku yang sejak tadi dia genggam. Lalu menatap William dan Anna dengan tegang.
“Aku minta bayaran satu milyar,” katanya tegas.
William dan Anna tercengang.
“Are you crazy? Sebanyak itu ... kau jangan memeras kami mentang-mentang kami membutuhkan rahimmu. Kami bisa cari orang lain jika kau terlalu mahal.”Anna emosi.
William segera meraih jari jemari sang istri, menenangkannya.
“Bisa dikurangi?” goda Wiliam seolah sedang menawar dagangan. Senyum tipis nan manis menenangkan seolah menghilangkan ketegangan di hati Kirana.
Kirana tertawa kecil, “Mister, pertama ... karena aku gadis. Terlalu riskan dan jelas masa depanku jadi pertaruhan. Tapi ya ... karena aku butuh uang. Kedua, karena aku ingin membayar lunas biaya operasi Abah dan juga pemasangan ring di jantung. Lalu, setiap bulan aku harus mengirim uang pada Paman dan Bibi karena mereka yang akan merawat Abah. Gajiku, iya kan? Lalu untuk biaya kuliah yang selama dua tahun terbengkalai karena cuti, sisanya untuk cadangan masa depanku.” Kirana menelan saliva dengan susah payah, “bisa Anda bayangkan jika kelak tidak ada yang mau menikahiku karena mungkin aku dianggap tidak virgin lagi? Maka uang itu akan aku pakai untuk ...,” kembali dia menahan kalimat, “untuk menghadapi masa tuaku. Kalau-kalau aku tetap single sampai tua,” lanjutnya polos.
Membuat Wiliam tersenyum menatap kepolosan sang gadis. Mata bulat, bulu mata lentik dan bibir yang seolah dibentuk oleh penata make-up handal itu –padahal alami—membuatnya sedikit gemas. Tapi juga membuatnya sadar, bahwa sang gadis cukup cerdas memperhitungkan semuanya. Tidak asal demi uang.
“Oke, aku faham. Tapi kau tahu, biaya hidup kita di Hongkong juga besar. Kau ditanggung oleh kami, hmm ... bisakah dikurangi dari nominal itu?” tanya William menatap wajah sang gadis yang kecewa. “Maksudku, baiklah ... andai kehamilanmu baik-baik saja nantinya, maka aku akan menambah uangmu jadi satu setengah milyar, tapi ... aku akan membayar semua jika kau sudah melahirkan. Untuk awal, aku akan membayarmu tiga ratus juta saja. Sebagai uang muka.”
Kirana terdiam, haruskah dia percaya begitu saja? Biaya berobat ayahnya memang hanya dua ratus juta. Tapi bagaimana jika pasangan ini curang?
“Lima ratus juta, untuk jaga-jaga. Kalian orang kaya, bisa saja mencurangi gadis miskin ini,” tegas Kirana.
Anna hampir melontarkan kalimat pedas jika tidak karena Wiliam tertawa keras lebih dulu.
“Kau sangat cerdas! Aku harap anakku kelak akan tertular kecerdasanmu, karena akan mendapatkan asupan makanan melalui dirimu.” William tersenyum senang.
“Cerdas? Culas iya,” gumam Anna, yang seketika dielus pahanya oleh sang suami agar menjaga tutur kata.
“Ok. Deal!” William mengulurkan tangan. Kemudian disambut Kirana, dan untuk pertama kali tangan itu bersentuhan. Tak lama, pengacara dari pihak William datang. Membawa berkas-berkas tentang perjanjian mereka.
Dr. Anwar dan Dr. Allen juga datang kemudian, keduanya menjadi saksi dan bersumpah untuk menjaga rahasia ini. Setelah itu menandatangani surat perjanjian. Begitu juga Kirana, Wiliam dan Anna, ketiganya saling menandatangani surat yang disediakan pengacara. Tentang janji pembayaran dan lain-lainnya.
_*_
“Teteh! Banyak yang beli!”
Teriakan Bagas membuat Kirana dan William terhenyat dari lamunan mereka. Keduanya jadi salah tingkah, bahkan William tersenyum entah karena apa, sambil memalingkan wajah, lalu kembali menatap Kirana yang tertunduk.
“Aku ... aku harus berjualan.” Kirana tampak gugup terlihat dari tangannya yang berulang kali dia gerakkan tanpa jelas untuk apa.
Sementara William mengangguk, dan sang gadis segera berbalik berniat meninggalkan pria dari masa lalu itu.
“Tunggu!” William meraih tangan Kirana dengan spontan, yang berakhir dengan penolakan dari sang gadis, “maaf,” lanjut William, “bisakah kita bertemu lagi? Ada yang harus kita bahas.”
Kirana kebingungan, dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi akhirnya dia mengangguk. Benar, ada banyak hal yang harus mereka bahas seputar anak yang telah dilahirkan Kirana di masa lalu. Statusnya dalam hukum negara dan hukum syariat.
"Aku akan menghubungimu nanti." William tersenyum sementara Kirana hanya kembali memberi anggukan, kemudian menuju ke warungnya.
Bersambung part 8
No comments:
Post a Comment