Part 5
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Canda tawa selalu terdengar dari deretan warung tenda pinggir jalan. Terlebih Rayyan selalu menyanyikan lagu setiap kali banyak pembeli yang datang dan makan. Dengan gitar yang baru dibelinya, dia bersenandung menghibur siapa saja. Menerima recehan sebagai imbalan.
Pengamen ganteng.
Itu kata sebagian orang yang datang dan makan. Meski Kirana keberatan dengan aktifitas remaja itu di sana, tapi dia tak punya pilhan lain. Terlebih ketika Rayyan mengatakan, "Kalau teteh keberatan aku disini, anggap aja aku memang pengamen wilayah ini," katanya dengan cuek.
Membuat Kirana tak punya pilihan lain selain membiarkan anak orang kaya itu tetap disana.
"Keamanan ... uang keamanan!"
Seorang pria bercelana robek bagian lutut dan tatoo di beberapa bagian tubuh menghampiri semua penjual. Mereka menyerahkan uang dua puluh ribu sebagai uang keamanan pada preman yang menguasai wilayah itu.
"Hai Teteh Cantik, kamu nggak usah bayar. Asal mau sama Bang Bento ini lah." Pria bernama Bento itu mengedipkan mata pada Kirana yang terus saja menunduk.
"Ambil uangnya, Bang. Makasih ya." Kirana tak peduli dengan godaan si Pemalak rutin itu.
"Ah kau selalu saja malu dan membuat aku makin cinta," godanya.
Padahal Kirana sudah sangat sopan padanya, juga penampilan Kirana yang berjilbab umumnya seharusnya tak menarik di mata pria-pria pengganggu. Namun ... entah kenapa si Bento ini senang sekali menggoda Kirana yang selalu bersikap sopan pada siapa saja.
"Sekali-kali kerasin lah, kebiasaan," ujar Bagas setiap kali preman itu datang.
Tapi Kirana tidak mau ribut, memilih membiarkan pria kurang ajar itu cengengesan tak jelas. Karena sesungguhnya Kirana juga takut andai bersikap keras. Karena itu dia memilih tetap sopan tapi menjaga jarak.
"Hey, kau anak bule sejak kapan ngamen disini? Mana uang keamanannya?" Bento mendekati Rayyan yang tengah bersenandung dengan indah.
"Keamanan apa?" Rayyan heran dan menatap tajam si Bento.
"Kasih aja Ray, daripada ribut," bisik Bagas.
Rayyan mengeluarkan uang dua puluh ribu yang baru saja dia dapat hari ini.
"Kau spesial, lima puluh ribu. Mana ada bule miskin." Bento menatap Rayyan dari atas hingga bawah.
Kirana mulai tidak tenang, dia takut Rayyan diperas oleh preman tak tahu diri itu.
"Bung, bisa jauhi dia?" Wildan berjalan ke arah Rayyan dan Bento yang tengah adu mulut, "masa nggak malu minta uang sama anak kecil." Pria lemah lembut itu menepuk pundak Bento yang jelas tidak senang dengan kehadirannya.
Bento sudah tahu kalau Wildan menyukai Kirana bahkan sudah melamar.
"Gue cuma ngerjain anak ini aja, nggak usah sok keren deh lo ya. Ini wilayah kekuasaan gue, kalau gue mau, Lu bisa gue bikin bonyok." Bento berlalu dengan penuh kekesalan.
Sementara Wildan dan Rayyan kembali ke warung Kirana, yang mana si empunya warung sejak tadi cemas melihat Rayyan hampir diperas. Beruntung Wildan datang, dan bisa dimintai bantuan.
"Kamu ini sebenarnya anak mana? Kok bisa sering disini?" tanya Wildan menepuk pundak Rayyan yang duduk di sisinya.
"Aku juga nggak tahu, Om. Turun dari langit kali, apa lahir dari belahan batu," jawab Rayyan asal.
"Eh, nggak boleh seperti itu. Orang tuamu pasti sayang kamu lho. Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Hanya ... mungkin cara penyampaiannya yang tidak sesuai dengan harapan si anak." Wildan menatap Rayyan yang tertegun.
"Dad and Mom hampir tak pernah punya waktu untukku." Rayyan akhirnya buka suara.
"Itu bukan berarti mereka tidak sayang, Rayyan. Mungkin dalam pandangan mereka, memberimu uang dan fasilitas mewah adalah tanda sayang. Meski itu memang salah." Wildan menatap manik mata Rayyan yang juga menatap dirinya.
Sementara Kirana tersenyum dari dalam warung, melihat bagaimana Wildan begitu penyayang dan bisa dikatakan memiliki naluri kebapak-an yang alamiah. Mungkin karena dia seorang guru. Jadi sudah terbiasa menghadapi berbagai karakter anak murid, dan itu membuat Kirana memiliki nilai plus untuk berusaha mempertahankan hubungan yang terjalin kemarin, untuk benar-benar diresmikan pada pernikahan.
"Kau hanya harus mengatakan pada orang tuamu, apa keinginanmu. Sudah?" tanya Wildan lagi.
"Of course, Dad bilang akan mencoba berubah. Sementara Mommy ... selalu jawab busy, busy and busy." Rayyan menarik nafas dalam, "tapi kadang Dad seperti tidak bahagia melihatku. Dia seperti ingin menangis ketika kami berdua saja. Kadang aku bertanya ... adakah rahasia tentangku? Atau jangan-jangan aku bukan anak mereka?" napas remaja itu tampak sedih. Dia sering merasakan ayahnya—William seolah tidak bahagia akan kehadirannya.
Di sudut lain, Kirana terus mengawasi Rayyan dan Wildan yang serius berbicara memecahkan masalah yang dialami remaja belasan tahun itu. Sampai-sampai dia tak mendengar panggilan Bagas.
"Beuh! Pandangin aja terus, katanya dosa. Beuh! Hoax!" omel Bagas yang membuat Kirana terkejut dan menoleh pada sepupunya yang sedang bertolak pinggang.
"Cuma lihatin Rayyan." Kirana mendelik meski dengan rona malu.
"Halah, sekali mendayung satu dua tiga pulau terlampaui. Itu kali ya artinya ... lihatin si Rayyan sekalian nikmatin kegantengan yang sebelah si Rayyan juga," kekeh Bagas membuat Kirana memukul punggung bocah bawel itu dengan tutup toples kerupuk.
"Sana antar makanan buat mereka!" titah Kirana mencoba mengalihkan perasaan yang bermunculan di hatinya.
"Dih, situ aja. Kan ada alasan buat ngobrol nantinya," sindir Bagas, "Mas Wildan mau makan dulu? Tehnya mau manis apa tawar? Manisnya lihat neng aja." Bagas meniru gaya perempuan, membuat Kirana murka dan benar-benar menjewer telinganya.
Sontak saja remaja itu menjerit, membuat Wildan dan Rayyan langsung menoleh ke arah suara. Lalu memandang Kirana yang tak biasanya berwajah killer sambil menjewer telinga sepupunya.
Akhirnya keduanya berbaur ke meja dimana Wildan dan Rayyan berada. Makan bersama bahkan tampak seperti sepasang suami istri yang telah memiliki dua anak kembar yang tak identik. Rayyan tampak bahagia berada di antara Kirana dan Wildan, pasangan yang baru menjalin hubungan tapi sudah dipastikan akan menentukan tanggal pernikahan minggu depan.
Sejak saat itu, Wildan tidak mampu menahan rasa rindu pada calon istrinya. Hingga sering datang ke warung, karena disana banyak orang dan juga ada keponakan laki-laki Kirana. Jadi tidak tampak hanya berduaan saja. Dan memang tidak pernah duduk berduaan. Selalu berempat seperti keluarga bahagia sejahtera. Dua anak saja cukup.
Hingga pada suatu sore Kirana meminta Bagas dan Rayyan menjauh dulu untuk beberapa saat. Karena ada yang ingin dia bicarakan berdua saja.
"Hati-hati, kalau berduaan yang ketiganya setan," ledek Bagas sambil tertawa geli bersama Rayyan. Padahal jelas, Rayyan tak faham artinya. Dia hanya ikut menggoda saja.
Wildan hanya tersenyum sambil menoleh ke arah Kirana yang masih menunduk lemah, "Memang mau bicara apa? Kok sampe harus berdua aja? Bener, nanti jelek dilihat orang lain juga."
Kirana mengangguk lemah, "Iya, tapi jujur, aku nggak siap kalau orang lain juga tahu," jawabnya pelan.
Wildan semakin penasaran, dia kembali melirik pada wanita yang kini tampak menerawang jauh.
"Mas Wildan serius mau menikahiku?" tanya Kirana akhirnya.
"Serius. Dan Ustadzah Maryamah bilang, kamu wanita yang baik dan pasti akan jadi istri dan ibu yang baik juga. Abi dan Umi juga setuju. Jadi aku serius," jawab Wildan panjang lebar.
"Masalahnya ...," Kirana menggantung kalimat, "Mas tahu kan? Setiap orang punya masa lalu. Dan aku pun sama, apalagi masa laluku tidaklah ... baik, maksudnya sekarang juga belum baik sih. Tapi dulu lebih banyak salahnya." Kirana mulai bingung memulai kalimat dari mana. Haruskah langsung jujur? Atau mencari secercah harapan bahwa Wildan tak ingin tahu masa lalunnya dan akan menerima dia apa adanya?
Lama, keduanya saling diam. Kirana begitu takut mengutarakan tentang sewa rahim yang dia jalani. Bukan tanpa alasan, karena sudah lebih dari sepuluh kali lamaran padanya berakhir dengan ketidakpastian bahkan penolakan secara terang-terangan. Jika hanya mengatakan tidak bisa menerima masa lalunya, itu hal wajar dan bisa dimaklumi. Namun ada beberapa dari mereka dengan tegas memaki dirinya sebagai 'pelacur' kelas atas. Atau bahkan pezina teknologi.
Tidak bisa dipungkiri, ada trauma tersendiri ketika harus mengatakan masa lalu pada pria yang melamarnya. Tak terkecuali pada Wildan, pria yang telah membuat dirinya memiliki harapan, bahkan hadir sebagai pria impian. Meskipun pada akhirnya memberikan ketakutan tersendiri jikalau akan mengalami hal sama yaitu penolakan dan pembatalan pernikahan.
"Mau sampai kapan melamunnya? Ini sudah lima menitan lho." Wildan terkekeh pelan. Membuat Kirana semakin berdebar.
Keringat dingin di tangan begitu sulit dihilangkan meski dengan menggosokkan kedua tangannya, bahkan jantungnya terus berdegup berkali-kali lipat dari normal. Berulang kali dia atur ulang dengan tarikan dan membuang nafas secara perlahan.
"Mas Wildan, tahu tentang surrogate tidak?" tanyanya dengan gugup dan gemetar.
"Pernah dengar, tapi tidak terlalu mengerti." Wildan menoleh dan menatap Kirana yang gugup, "hanya yang saya tahu, hukumnya masih belum jelas. Tapi banyak ulama yang menentang dan mengharamkannya. Sebagian menilai sebagai zina jika dilakukan seorang gadis," tembak Wildan seolah mulai mengerti arah pembicaraan.
"Mas benar, dan aku salah satu yang pernah terlibat dengan dosa itu. Aku pernah menyewakan rahimku di masa lalu. Karena-"
"Astaghfirullah ... kamu nggak lagi bercanda kan?" Wildan memotong kalimat yang meluncur dari bibir calon istrinya. Tatapan tajam terasa menusuk langsung ke jantung Kirana yang mulai gugup.
Wildan kembali memalingkan wajah dari calon istrinya, menarik nafas panjang tangannya sedikit gemetar. Kekalutan tampak jelas di wajah putihnya.
"Kamu serius nggak bercanda?" tanya Wildan lagi.
Kirana menggeleng perlahan, "Aku tidak ingin ada rahasia diantara kita, Mas. Makanya memilih jujur dengan masa laluku ini," tambahnya lagi.
"Meskipun membuat aku ragu dan ...-" Wildan tak melanjutkan kalimatnya.
Sekarang Kirana yang tampak gemetar ketika menggerakkan kedua tangannya, gelisah, bahkan bibirnya pun bergetar. Berulang kali mengerjapkan mata, seolah menahan derasnya air yang mungkin akan merobohkan bendungan ketabahan di sudut mata.
"Aku sudah terbiasa, Mas. Nggak papa," katanya pelan. Dengan suara sedikit terbata. Jelas, dia merasa sedih. Karena kemarin, dia mulai merasakan bahwa Wildan adalah pria yang sangat layak mendampingi dirinya.
"Maafkan aku, Kirana. Aku masih bingung, kamu tahu kan kalau itu dilarang baik secara undang-undang apalagi agama kita?" tanya Wildan lagi. Seolah masih tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Ya, seorang wanita lugu bahkan sangat lemah lembut dan dikenal baik juga taat, tak disangka memiliki masa lalu yang sangat sulit dia diterima. Memang yang bersangkutan sudah berubah, sudah taubat, mengakui kesalahan dan tentu menyesal. Tapi ... bukan berarti begitu mudah ia terima.
"Ya, saat itu aku tidak tahu. Tapi ... jika karena itu kamu jadi ragu dan berniat membatalkan lamaran ini, aku akan menerima. Ini sudah biasa terjadi padaku, ada banyak pria yang melamarku dan kemudian membatalkan setelah mengetahui masa laluku." Kirana meremas ujung jilbab sebelah kiri untuk menahan buncahan kesedihan yang dia rasakan saat mengatakan itu, "Mas Wildan jangan menerima aku karena iba," lanjutnya dengan tetap mengepalkan tangan menahan sakit di dada.
Wildan memejamkan mata beberapa saat, bersaha mencari jawaban yang pasti akan perasaan dan pikirannya yang mulai saling berkelahi, beradu argumen dan tak lagi sinkron satu sama lain. Bahwa dia juga sadar, Kirana telah berubah, tapi tak bisa dipungkiri bahwa pengakuan calon istrinya ini sangat menyakitinya. Karena berarti Kirana sudah memiliki anak, meski dari genetik orang lain.
Dalam hukum negara dan hukum agama, status anak hasil sewa rahim adalah anak kandung ibu yang mengandungnya. Sebagai anak diluar pernikahan.
Itulah rumitnya, membuat Wildan bingung mengambil keputusan.
"Maafkan aku," Wildan buka suara lagi. Sementara Kirana memejamkan mata dengan erat, berusaha menahan desakan air yang ingin mengalir deras dari mata.
"Beri aku waktu untuk memikirkan dan mengkaji lagi hubungan ini. Aku harap kamu mengerti dan tidak tersinggung," lanjut Wildan dengan melirik sesaat ke arah calon istrinya yang kini menunduk kaku.
Dengan susah payah Kirana mengangguk pelan, "Aku faham," jawabnya singkat.
"Aku pamit dulu, assalaamu'alaikum." Wildan bangkit meski dengan berat, terlihat dari dia kembali melirik ke arah wanita yang masih duduk membeku bahkan jawaban dari salamnya hampir tak terdengar.
Dari jauh, Rayyan mengamati Kirana dan Wildan yang tampak kaku bahkan berulang kali wanita itu berusaha menahan tangis. Terlihat dari jari-jarinya yang kaku. Dengan penasaran dia mendekati Bagas yang sedang sibuk mencuci beberapa piring dan gelas di samping warung.
"Gas, kenapa Teh Kirana dan Om Wildan jadi kaku gitu? Bahkan Om Wildan pergi dan sekarang Teh Kirana kaya nangis?" tanya Rayyan dengan serius.
"Dah nggak aneh. Mungkin Om Wildan pria ke sekian ... hmmm ke dua belas kali ya yang membatalkan lamaran buat Teh Kirana," jawab Bagas cuek.
"Aku tidak mengerti." Rayyan menatap Bagas serius.
"Aku juga nggak tahu kenapa, tapi tiap kali Teh Kirana cerita masa lalu pada pria-pria yang melamarnya, pasti berakhir dengan pembatalan lamaran juga pernikahan. Aku tanya Mak juga dia nggak jawab, katanya bukan urusan anak kecil." Bagas menghentikan aktifitas mencucinya.
Sementara Rayyan, menatap wanita yang kini tampak terisak karena bahunya tampak berguncang. Berulang kali wanita yang dia sebut dengan panggilan teteh cantik itu mengusap pipinya.
"Apa dia selalu menangis seperti itu setiap kali para pria menolaknya?" tanyanya lagi dengan serius.
"Nggak juga sih, baru kali ini deh dia sampe sedih begitu. Mungkin dia dah punya rasa suka juga sama Om Wildan," jawab Bagas sembari menoleh ke arah sepupunya yang masih menunduk sendirian di bawah pohon rindang.
Rayyan berjalan dengan tatapan terus menatap wanita berjlbab yang kini sedang mengobati rasa sedih di hatinya. Berdiri di depan Kirana, lalu duduk dan menatap wanita yang sibuk menyeka sudut mata dengan jari-jarinya bergantian.
"Aku akan selalu menjagamu," ujar Rayyan menatap Kirana dengan dalam. Membuat Kirana tersentak dan mengangkat wajah yang akhirnya dapat dilihat matanya basah bahkan merah.
"Kamu ngomong apa?" sebaris senyum terlihat dari wajah penuh duka itu.
Rayyan mengerjapkan mata berulang, dia sendiri seolah tak sadar apa yang baru saja dia katakan. Tapi dia juga ingat apa yang baru dia lontarkan pada wanita di hadapannya.
"Entahlah, tapi ... tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir aku, Teh. Aneh aku juga hehe," katanya dengan tawa kecil.
Kirana tersenyum dan mengelus punggung tangan kiri Rayyan, "Sudah sore. Pulang sana, nanti orang tuamu mencarimu."
"Teteh baik-baik saja kan? I'm so ...-"
"I'm okay, bener nggak bahasanya? Hihi ... udah lama nggak ngomong Inggris." Kirana tertawa dalam keterpaksaan.
Rayyan membalas senyuman itu, lalu bangkit dan berniat pulang. Tapi dia kembali ke kursi dimana Kirana berada.
"Teh, aku pernah membaca sebuah pepatah. Bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk seorang pria, dan dia akan menikah dengan pria itu. Entah benar atau tidak, tapi percayalah ... jika Om Wildan adalah pemilik tulang rusuk itu, teteh akan kembali ke dia kok. Hehe maaf sok tahu," katanya segera memakai topi lalu pamitan pada Kirana yang hanya memberi anggukan.
Mereka tak sadar, sedari tadi ada dua pasang mata yang terus mengawasi. Bahkan pria pertama sudah tidak sabar ingin turun dari mobil dan menemui dua pasangan yang beda usia itu.
Ya, di mata William ... Kirana dan Rayyan adalah pasangan kekasih. Dan dia tak menginginkan itu terjadi.
"Sabar Mister, nanti Den Rayyan malah marah kalau main labrak di depan dia." Anak buah William tampak menenangkan tuannya.
William menarik nafas panjang, mengamati gerak gerik putra semata wayangnya yang sempat memegang lengan wanita itu. Oh romantis bukan? Sejak kapan anak remajanya bisa melakukan adegan manis seperti itu? Bahkan dia tak pernah melihat adegan itu dilakukan olehnya pada sang istri. Belajar dimana dia? Film? Ah memang bisa dari internet. Bukankah akses sosial media dan dunia cyber bisa dengan mudah diakses siapa saja?
Pria bule itu semakin gelisah ketika melihat putranya tak lagi naik motor sport mahal yang dia berikan. Tapi naik angkutan umum—transjakarta. Bahkan jalan kaki menuju halte yang jaraknya cukup jauh dari lokasi warung-warung tenda tersebut.
Setelah Rayyan tak terlihat, William segera turun dari Range Rover hitam miliknya, lalu mendekati Kirana yang masih terdiam membelakangi arah kedatangan pria yang pernah hadir di masa lalunya.
William mengatur nafas dengan berat, menatap wanita berjilbab pink dusty yang masih memainkan jari jemarinya. Mencari kalimat pembuka yang efektif, dan akhirnya ....
"Jauhi putraku!" katanya tanpa basa basi.
Kirana tertegun, dia mengernyitkan alis karena tidak tahu maksud kalimat itu untuk siapa, yang paling membuat dia heran, karena seperti mengenali suara itu. Suara yang dulu sering ia dengar, bahkan bersenandung kala kesulitan tidur karena perutnya yang semakin besar.
"Tidakkah Anda sadar dia terlalu kecil untuk wanita dewasa sepertimu, Nona? Kumohon ... jangan cuci otak putraku, dia masih sangat polos. Jadi please ... jangan-"
William tak sempat melanjutkan kalimat berikutnya, karena Kirana sudah menoleh. Keduanya saling tertegun, saling diam dalam pandangan yang terkunci. Hampir tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dari diri masing-masing.
Setelah sekian tahun berlalu dari pertemuan terakhir mereka di rumah sakit, sesaat setelah Kirana melahirkan anak untuk William. Kini setelah dua belas tahun berlalu, mereka kembali bertemu dengan cara yang tak pernah mereka duga.
Kirana, tentu bukan gadis lugu dan centil yang masih suka memakai hotpants seperti dulu. Dan William, kini semakin dewasa sebagai pria yang jelas sangat maskulin, menonjolkan sisi seorang ayah yang selalu melindungi anaknya.
"Kirana?"
Suara William hampir tak terdengar saat menyebut nama itu. Sementara Kirana sedikit goyah dan hampir jatuh karena terkejut, sungguh tak pernah menduga akan bertemu lagi dengan pria yang telah menjadikan sebab atas perubahan dalam alur hidupnya kini. Air mata yang belum sempat mengering kini kembali mendesak untuk keluar.
Tangan William terhulur, hendak mengelus kepala gadis manis yang dulu sangat dia sayangi dan kagumi. Namun gerakannya terhenti saat menyadari sebuah penghalang berwarna pink dusty melekat di kepala sang wanita.
Untuk sesaat, keduanya seolah tengah berlari menerobos lorong waktu ke masa silam. Masa dimana mereka pertama kali berjumpa dan awal mula William kehilangan ketenangan dalam hidupnya, meski telah memiliki apa yang dia impikan, yaitu istri dan anak.
Bersambung Part 6
No comments:
Post a Comment