Thursday, May 28, 2020

CINTA SEORANG IBU PENGGANTI 04

Part 4
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )

Wildan gelisah sepanjang malam. Bahkan ketika siang harus mengajar di sekolah, dia pun seolah tidak konsentrasi. Bayangan wanita berjilbab lebar dengan senyum manis dan mata bulat berbulu lentik di sekitarnya terus mengganggu. Berulang kali komat kamit istighfar agar tidak memikirkan wanita yang bukan mahromnya itu, tapi sulit. 

Akhirnya dia keluar kamar, menemui Abi dan Umi yang sedang mengajar anak-anak kecil mengaji.

Abi menoleh pada putranya yang tampak gelisah, lalu dia meminta istrinya melanjutkan pengajian.

"Ada apa? Ko gelisah kelihatannya." Abi duduk menatap putra pertamanya yang tak jadi pendiam.

Wildan bingung harus memulai dari mana, lalu mulai menceritakan kejadian sore itu. Dimana dia menabrak seorang remaja dan akhirnya bertemu seorang wanita yang membuatnya sulit memejamkan mata.

"Kau sudah tahu keluarganya?" tanya Abi santai. Baginya, sudah sepantasnya Wildan menikah. Jadi ini kabar gembira. Apalagi sang putra sampai kesulitan tidur karena memikirkan seorang wanita, tandanya sudah benar-benar harus dihalalkan.

"Belum, Bi. Kemarin-kemarin sudah tanya tetangga-tetangga warungnya. Katanya dia yatim piatu. Cuma tinggal sama pamannya. Itupun beda rumah. Dia ngontrak sendiri. Kalau saya ke rumahnya, bingung juga kalo hanya berduaan nggak ada yang menemani dari keluarganya," papar Wildan panjang lebar.

Abi menganggukkan kepala, "Ya sudah, coba cari tahu dia ada guru ngaji nggak? Bisa melalui gurunya."

"Ada sih, namanya Ustadzah Maryamah. Nanti saya ke rumah dia dulu saja. Yang penting Abi tahu dulu, kalau Wildan ... sudah ada pilihan." Pria itu sedikit merona.

Abi bangkit dan menepuk bahu Wildan, "Mudah-mudahan jodoh ya."

"Aamiin, Bi." Wildan senang bukan main.

***

Kirana tengah menyiapkan segala keperluan untuk jualan. Dia biasa buka jam tiga sore. Belanja pagi, lalu mengaji di rumah Ustadzah Maryamah, setelah itu barulah mengolah bahan jualan.

"Assalaamu'alaikum." Ustadzah Maryamah datang dengan senyuman merekah.

"Wa'alaikumusalaam warahmatullah," jawab Kirana dengan senyuman, "tumben Umi kesini?" Kirana heran.

"Lho, nggak boleh tah?" Ustadzah Maryamah menyipit penuh canda.

"Boleh atuh, cuma nggak biasanya jam segini." Kirana menyodorkan teh yang dia buat barusan.

"Iya, Neng. Ada kabar penting buat kamu."

Kirana bisa menebak apa yang akan dikatakan, hanya dari raut wajah berbinar wanita yang selalu dia panggil Umi tersebut.

"Ada yang mau ta'aruf sama kamu, neng." Ustadzah tersenyum.

Namun wajah Kirana malah berubah pucat. Dia memegangi dadanya dan duduk dengan lemah.

"Kok nggak seneng?"

"Ummi kaya lupa aja. Sudah berapa pria yang mundur pada akhirnya, setelah tahu masa lalu saya?" Kirana memilin ujung jilbabnya.

Ustadzah Maryamah menarik nafas dalam, lalu menatap Kirana yang berusaha tidak terpengaruh dengan berita yang dia bawa.

"Kali aja yang sekarang mah bener-bener jodoh, Neng. Yang paling baik dari semua yang baik. Ummi tahu keluarganya, dia bekerja sebagai guru di SMP IT. Keluarganya baik, keturunan baik-baik-"

"Dan melamar wanita dengan masa lalu yang tidak baik? Duh Ummi, Kirana lelah."

"Hush! Istighfar ..., ga boleh bilang gitu." Ustadzah Maryamah mendelik tidak suka. Membuat Kirana memejamkan mata dan istighfar berulang-ulang.

"Temui saja dulu ya besok di rumah Ummi, hanya mengobrol. Jangan dulu bahas masa lalu. Biar Ummi yang cerita nanti, setelah yakin keseriusan dia." Usapan lembut mendarat di kepala Kirana yang mengangguk lemah. 

Selepas Ustadzah pulang, dia hanya duduk termenung. Mengingat masa lalunya. Dimana dia juga pernah jatuh cinta. Pernah berpacaran. Lalu mengambil keputusan yang membuatnya hancur hingga kehilangan ayahnya.

"Abah, ibu ... andai kalian masih ada. Mungkin Kirana nggak seperti sekarang ini. Kirana bingung." Dia mengusap wajah berulang-ulang, lalu segera mengambil wudlu. Melaksanakan shalat ashar sebelum mengangkut dagangannya ke warung.

***

Rayyan sudah duduk di kursi pelanggan ketika Kirana memarkirkan motor yang penuh dengan barang. Sebelum diminta, dia segera membantu menurunkan dan menaruh di depan warung.

"Bagas nggak datang?" Rayyan membuka obrolan.

"Dia ada kerja kelompok. Jadi libur hari ini," jawab Kirana sambil sibuk membuka kunci warung. Lalu mulai menata dagangan dibantu Rayyan.

"Aku yang goreng pisang sama bakwan lagi ya?" Rayyan segera menyalakan kompor. Dia cukup cekatan dan cepat belajar untuk urusan yang baru dia kerjakan seumur hidupnya.

Kirana masih melamunkan bahasan dengan Ustadzah Maryamah. Sampai-sampai salah menaruh termos nasi uduk yang berakhir jatuh hingga tumpah.

"Astaga, melamun terus sih." Rayyan menatap Kirana yang mengelus dada.

"Yah, ini nggak enak kalau dijual." Kirana mengabaikan sindiran Rayyan.

"Ga ada yang lihat kan? Masih bersih juga. Belum lima jam." Rayyan meniru gaya Bagas soal kata belum lima jam. Padahal di iklan normalnya lima menit. Tapi Bagas menjadikan guyonan hingga lima jam.

"Bukan soal nggak ada yang lihat, tapi etika saja. Kita tahu ini sudah jatuh dan mungkin terkena debu, masa masih dijual? Dagang juga harus jujur, jangan asal cari untung." Kirana memasukkan nasi yang tumpah ke plastik.

"Terus? Kan mubazir, Madam," protes Rayyan.

"Bisa buat ayam," balas Kirana membuka termos satunya. Kali ini dengan hati-hati.

"Udah kamu diluar aja sana! Nggak enak kalau dilihat orang. Gimanapun kita bukan sodara, bukan mahrom," ujar Kirana sibuk.

Rayyan bertolak pinggang, persis dengan William, "jujur aku nggak faham apa itu mahrom." Dia menatap Kirana yang menoleh padanya.

Sesaat, Kirana kembali melihat sosok William kecil di hadapannya. Gaya yang sama, gerak tubuh yang serupa, dan tatapan matanya juga.

"Maaf kalo aku boleh tahu, agama kamu apa?" Kirana tampak sungkan.

Rayyan mengusap rambut, "I don't know. I'm celebrate Christmas, Deevawali, and ofcourse Eidil Fitri. I love all religion. Ada yang salah?" tanyanya serius.

Kirana menarik nafas dalam, lalu menggeleng perlahan.

"Aku bukan mau mencampuri keyakinan kamu, Rayyan. Hanya agar mudah saat diskusi. Karena di keyakinan yang aku anut, laki-laki dan perempuan memiliki batasan dalam berinteraksi. Gitu aja sih," papar Kirana hati-hati. Dia sadar, masalah keyakinan dan agama sangat sensitif di masyarakat. Salah-salah, kepeleset saja bisa dikenakan pasal isu SARA.

Rayyan mengangguk, "Bahkan hanya dengan pria tiga belas tahun sepertiku?"

"Jaga-jaga saja, andai kamu sudah baligh, ya kita dilarang berduaan. Baligh bukan soal usia."

"Baligh, apalagi itu?" Rayyan tersenyum bingung lalu keluar. Memilih membersihkan meja. Hingga tak sadar seseorang terus memotretnya.

***

Kirana gelisah saat duduk di kamar Ustadzah Maryamah. Sang empunya rumah tengah berbincang dengan keluarga dari pria yang hendak meminangnya. Berulang kali dia mengelus dada, beristighfar. Berusaha menguatkan hatinya. 

Ini bukan kali pertama dia dilamar seorang pria. Hanya kesemuanya berakhir dengan pembatalan, pasca Kirana mengakui pernah menyewakan rahimnya.

Sebagian mengira Kirana melakukanya dengan cara persetubuhan, melacur. Alhasil umpatan dan pandangan sinis dia terima.

Sisanya tahu prosesnya seperti apa. Tapi tetap menganggap itu bagian dari kehinaan dan terasa ganjil dalam pandangan mereka. Akhirnya mereka memilih membatalkan, tapi Kirana berusaha ikhlas. Baginya andai di dunia tak mendapatkan jodoh, biarlah dia menerima jodoh di akhirat kelak yang sudah pasti pria beriman.

"Neng, kemari." Ustadzah Maryamah mulai membuka tirai kamar.

Kirana bangkit, berulang kali menghapus kegugupan dengan membaca kalimat tasbih dan juga istighfar. Kemudian memberi salam dan duduk di sisi kiri Ustadzah Maryamah.

"Jadi ini, Neng, keluarga Wicaksono mau mengkhitbah kamu untuk anak mereka." Ustadzah memberi jeda, "Mereka sudah tahu kamu yatim piatu. Kalo kalian sudah saling mantap, baru nanti akan menemui pamanmu untuk lamaran."

Kirana mengangguk pelan, entah kalimat yang ke berapa kali yang dia dengar sekarang. Ummi selalu mengulang kalimat sama setiap kali ada lamaran padanya.

"Kira-kira kamu bersedia tidak?" Wildan tidak sabaran. Sejak tadi dia gemas karena Kirana hanya menunduk, sesekali mengangguk. Tanpa sepatah kata pun.

"Sabar dong, Wil," goda ayahnya.

Wajah Kirana terangkat, akhirnya dia melihat siapa pria yang dia dengar tadi sampai tak bisa tidur karena memikirkannya. Ternyata Wildan, pria yang menabrak Rayyan dan beberapa kali datang ke warung. Tak disangka jika pertemuan demi pertemuan itu menumbuhkan rasa yang berakhir pada keinginan memiliki.

"Saya ...," Kirana gugup.

"Kedip, dosa dipandang mulu," goda Abinya Wildan lagi. Sang anak memang terus memandang wanita pilihannya.

"Kalau ngedip terus lihat lagi, malah dosa, Bi," canda Wildan diiringi tawa Umi Wildan dan juga Ustadzah Maryamah.

Hanya Kirana yang makin tertunduk. Menahan kegalaun hati. Antara bahagia dan meninggi karena dipuja puji, selebihnya ketakutan akan kejadian yang sudah-sudah kembali terjadi.

Di masa lalu, Kirana adalah gadis biasa pada umumnya. Memiliki kekasih semasa SMA, hingga dia mengambil keputusan yang paling dia sesali hingga sekarang. Bahkan keluarga Rega—kekasihnya—menuduh Kirana telah melacur saat mengetahui mendapatkan biaya kuliah dari menyewakan rahim.

Lalu kepergian sang ayah yang menjadi hari paling mengerikan dalam hidupnya. Bahkan hampir gila, beruntung bertemu Ustadzah Maryamah.

Sepulang Wildan dan keluarga, Kirana menatap langit Jakarta yang tak biasanya biru nan bersih. Tangannya sedikit gemetar, saat mengingat tentang Wildan yang akan menikahinya. Pria dari keluarga terpandang dan disegani banyak orang. Seorang guru di sekolah islam favorit dan tentu berwajah rupawan. Siapa yang tak bahagia dipinang pria sesempurna itu.

"Usiamu sudah mau kepala tiga, Neng. Terima saja." Paman Kirana angkat bicara.

"Baiknya Wildan dikasih tahu kapan ... soal masa laluku?" Kirana semakin bingung.

"Lebih baik nggak usah dikasih tahu. Daripada batal lagi." Kali ini Bibi yang cemas.

"Kirana nggak jujur dong, Bi?" Mata bulat itu terpejam, "Minggu depan, saat bertemu lagi ... sepertinya waktu yang tepat untuk membahas ini. Kalau dia sungguh-sungguh, pasti menerima apa adanya."

"Ah kamu ini, kebanyakan baca novel romance di sosial media. Mana ada cinta seperti itu, ngeri aja ntar malah ujung-ujungnya kamu dipoligami gara-gara dia kepikiran masa lalu kamu terus," omel Bibi dengan sengit. 

"Poligami kan halal, Bi," canda Kirana sambil terkekeh melihat wajah bibinya yang sebal.

"Iya. Bibi nggak bilang haram, tapi nggak akan tega lihat kamu diduakan."

"Kok jadi kemana-mana bahasannya." Paman garuk-garuk kepala tak gatal.

Kirana tersenyum, lalu bangkit menuju motornya.

"Aku jualan dulu deh. Bagas kalau dah sehat suruh bantu aku ya," katanya sambil menyalakan mesin motor.

Paman hanya mengangguk, dan bibi membantu membetulkan bawaan Kirana di motor.

"Sing laris ... sing mijodo sama si Ganteng nya." Bibi mengelus punggung Kirana yang wajahnya jadi merona.

***

William menerima foto-foto Rayyan dari orang suruhannya. Wanita berjilbab lebar, namun wajahnya tak terlalu jelas di foto ini.

"Rayyan ngapain aja disana?" tanya William yang bahasa Indonesianya sangat fasih dan tak lagi baku.

"Kadang hanya duduk, kadang melayani pembeli bahkan cuci piring. Sering juga dia nyanyi dengan gitar, Mister. Ngamen," papar sang mata-mata.

"My God! Hhhh ... maunya anak itu apa?" William menggeram kesal. Lalu berfikir sejenak.

"Aku masih ada urusan ke Singapore selama seminggu. Kau awasi terus. Jangan sampai Rayyan tahu. Minggu depan aku sendiri yang akan kesana." William meremas kertas di meja.

"Siap, Mister."

William terus menduga-duga, apakah perempuan itu kekasih anaknya? Atau hanya ibu dari teman laki-laki yang ada di foto itu juga?

Teringat bagaimana sikap putranya berubah. Tak lagi bawel soal jarangnya mereka bertemu, dia hanya asik memandang iPhone dan tersenyum. Seperti yang kasmaran.

"Kamu lihat perubahan Rayyan?" William akhirnya menanyakan hal ini pada Anna yang baru saja mandi, karena baru pulang dari pesta.

"Perbedaan apa? Lebih baik malah kan? Dia sekarang jarang cemberut. Nggak marah-marah lagi." Anna sibuk memoles krim-krim malam ke wajahnya.

"Itu masalahnya, dia sedang dekat dengan wanita." William menatap istrinya yang sibuk merawat diri.

"Baguslah, sudah remaja kan. Wajar kok pacaran. Kamu juga pasti gitu pas muda." Anna tetap cuek.

"Aku bilang wanita, bukan gadis. Aku harap kamu faham perbedaannya," kata William dengan ketus.

Anna menoleh dan menatap suaminya, "Maksudmu?" Dia mendekat, "Will ... kalau kamu tahu dia pacaran sama cewek dewasa, ya cegah donk! Gimana sih?" Anna meninggi.

William berdiri dan berjalan ke jendela, "Kalau urusan anak saja jadi urusanku, lalu apa fungsi dirimu hem? Aku bekerja siang malam untuk menafkahi kalian! Membeli kosmetikmu yang mahal meski entah siapa yang menikmati wajah cantikmu itu!"

"Apa? Kamu nggak sedang nuduh aku selingkuh kan?" Anna tampak berapi-api.

"Aku nggak tahu. Yang aku tahu kau setiap saat bersolek tapi tak pernah ada untuk suami dan anakmu," tekan William tajam.

Anna berpangku tangan, tak merasa salah dalam hal apapun.

"Aku ini ketua yayasan ibu-ibu sosialita. Kita sibuk beramal, bahkan namamu pun jadi sangat terkenal sebagai donatur terbesar. Bukankah itu baik?"

"Bullshit! Aku tidak keberatan dengan acara amalmu, atau menghabiskan uang untuk kesenanganmu, karena aku mencintaimu. Tapi aku tak lagi melihat cintamu untukku." William memandang ke jendela.

Anna tersenyum penuh kemenangan. Baginya, William hanya merajuk untuk dapat memuaskan hasrat kejantanannya. Dan dia memang tahu persis, sang suami sangat mencintai dirinya melebihi apapun.

"Kalau hanya ingin bercinta, kenapa harus melebar ke mana-mana. To the point saja!" Anna memeluk sang suami dari belakang, mengecup punggungnya dan mengelus dada bidang William dengan erotis.

William memajamkan mata, ada sesuatu yang hilang setiap kali keintiman dengan istrinya terjalin. Entah mengapa selalu wajah orang lain yang hadir dan mengedipkan mata seolah menggodanya. Kemudian membangkitkan hasratnya sebagai seorang pria dewasa.

"Rayyan mungkin sudah pulang." Dia melepaskan pagutan bibir dengan istrinya. 

"Will ... tadi kau bilang-"

"Aku akan bicara dengan Rayyan dulu." William melepaskan tangan Anna yang masih mencengkram kaosnya. Lalu keluar menuju kamar Rayyan.

"Ya sudah, aku juga malas jika bukan karena kau merajuk." Anna menepis angin, kembali melihat dirinya di kaca.

***

Rayyan sedang asik bercanda di grup chat whatsapp. Disana hanya ada tiga orang. Rayyan, Bagas dan Kirana.

Awalnya Kirana menolak masuk grup dua anak remaja itu. Berulang kali keluar tapi dimasukkan lagi.

Bagas: Yang dah dilamar pak guru sombong nih, Ray.

Rayyan: Wah? Jadi beneran Om Wildan jatuh cinta pada pandangan pertama? Cepet amat main lamar?

Bagas: Biar nggak dosa, Bro. Kan kebayang mulu wajah teteh tukang nasi uduk yang kinclong.

Rayan: (emoji ketawa dengan air mata) aku nggak ikutan, Teh.

Kirana hanya tersenyum kesal membaca obrolan dua remaja labil itu. Mau gimana lagi?

Sementara Rayyan tergelak baca tulisan Bagas. Sampai-sampai dia tidak sadar sang Ayah telah berdiri di hadapannya.

"Kapan mau dikenalkan sama Daddy?"

Rayyan terperanjat hingga manjatuhkan iPhone ke lantai. William segera mengambilnya dan membaca grup tersebut. Hanya ada nama Bagas disana, lalu Teteh Cantik.

"Teteh Cantik?" William menatap Rayyan yang mulai memasang wajah tidak suka.

"Come on, Dad. Sejak kapan kau peduli pada kehidupanku?" Rayyan berpangku tangan dan enggan menatap William.

"Daddy senang jika kau senang, Rayyan. Maka ceritalah, siapa teteh cantik itu?" William mencoba mengendalikan kepanikan dan kegelisahannya.

"Dia, sepupu Bagas. Temanku," jawab Rayyan.

"Teman sekolah?"

"Dad, perutku mulas. Kalau kau mau menunggu, silahkan. Aku mau ke ...." Rayyan menunjuk kamar mandi. Lalu merampas iPhone di tangan William yang masih tidak puas dengan jawaban putranya.

William keluar kamar, Anna tengah menanyai Bi Inah soal Rayyan.

"Den Rayyan cuma bilang sekarang makannya di luar. Di warung Teteh Cantik, Bi Inah nggak usah masakin aku kalo malam. Gitu Nyonya." Bi Inah tampak ragu dan takut.

"Kamu tahu siapa perempuan itu, Honey?" Anna tampak panik. Karena aneh saja jika pacaran sampai makan saja di tempat kekasihnya, tidak lagi di rumah.

"Ya, rencana minggu depan aku akan menemui wanita itu," ujar William dengan serius.

Bersambung Part 5

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER