Part 3
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Kirana menatap Rayyan yang sedang diberi obat oleh warga. Dari caranya berterima kasih, terlihat sangat sopan.
Rasa penasaran Kiran semakin besar tatkala Rayyan menghubungi seseorang, mungkin ayahnya. Tentu saja, dia sangat penasaran mengingat anak ini mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya.
"Hey, lamunin apa sih?" tanya sepupu Kirana—Bagas—mengejutkannya dari samping.
Kirana hanya mendelik kesal sambil kembali ke dalam warung. Tampak Bagas mendekati Rayyan yang selesai bicara di telepon.
"Anak mana? Kayanya bukan orang sini?" Bagas duduk di sisi kanan Rayyan.
"Iya. Tadi sedang jalan-jalan." Rayyan tersenyum.
"Wih bro, bahasamu baku banget," kekeh Bagas sambil bercanda.
"Ya bagus donk, Gas. Daripada bahasa acakadul kaya kamu." Kirana menimpali sambil membawa teh manis hangat, "Kamu yang kemarin berteduh disini kan?" tanya Kirana dengan senyuman.
"Iya kak," jawab Rayyan sopan, "sekalian pesen makan bisa kan?" sepertinya dia kelaparan.
"Boleh, gratis untuk hari ini." Kirana kembali ke warung.
"Wih, bro ... jatuh aja terus biar dapat gratisan." Bagas terkekeh lagi.
Rayyan hanya tersenyum dan berjalan ke warung Kirana dengan masih sedikit pincang.
"Kamu udah suruh orang tuamu jemput?" tanya Kirana, entah kenapa jadi terlihat gugup.
"Belum, baru menghubungi bengkel. Aku bisa pulang naik taksi online." Raut wajah Rayyan langsung berubah. Dia malas pulang dan bosan dengan pertengkaran orang tuanya.
Kirana mengangguk lemah, lalu menyodorkan nasi uduk pesanan Rayyan.
Remaja itu langsung menikmati hidangan yang dikhususkan untuknya, sambil sesekali melirik Kirana yang tengah melayani pembeli lain dan juga Bagas yang bertugas mengantar pesanan, mengambil piring bekas, lalu mencucinya.
Seutas senyum terlukis di wajah Rayyan. Dia seperti memiliki ide brilian untuk lari dari masalah keluarganya.
Selesai makan, dia membawa piring ke sisi warung dan mencuci mengikuti apa yang dilakukan Bagas.
"Eh! Ga usah. Walau gratis bukan berarti kamu harus nyuci piring segala." Kirana terkekeh geli.
Sedang Rayyan malah tersenyum, "Aku boleh kerja disini nggak kaya dia?" tanyanya cepat. Membuat Kirana membulatkan matanya yang berbulu lentik.
"Duh, kamu pasti anak orang kaya. Salah-salah orang tuamu nggak terima, terus warungku diratakan sama tanah," tolaknya dengan sedikit candaan.
"Kebanyakan nonton sinetron." Bagas meledek sengit.
Sementara Kirana mendelik kesal pada sepupunya itu.
"Eh, namamu siapa, bro? Gue Bagas." Remaja pecicilan itu mengulurkan tangan.
"Rayyan." Dia membalas uluran tangan Bagas yang ternyata penuh sabun.
"Kena hahaha!"
Kirana hanya bisa menggelengkan kepala dengan rasa gemas pada sepupunya itu. Bagas kadang jahil, meski sebenarnya sangat baik dan tidak seperti remaja pada umumnya. Dia juga tak malu bekerja di warung supaya dapat uang jajan.
Kehidupan Kirana memang berbeda dengan dahulu. Meski dikatakan tidak mampu—bukan orang berada—masa itu dia tetap kuliah dengan jalur beasiswa, hingga terpaksa kost dan bekerja paruh waktu demi mencukupi segala kebutuhan hidup kelurganya. Terutama karena ayahnya sakit-sakitan. Memiliki cita-cita tinggi mengangkat ekonomi keluarga.
Namun kini dia melupakan mimpinya jadi karyawan perusahaan besar atau bahkan PNS. Dia memilih menjadi pengusaha amat kecil, penjual nasi uduk di pinggir jalan. Meski begitu, wanita itu tak pernah mengeluhkan kehidupan. Satu hal yang selalu menyiksa batinnya adalah keputusan yang pernah dia ambil yaitu mengandung anak pasangan lain demi uang.
Kini, dia hanya bisa beristighfar dan merasa miris ketika membaca sebuah artikel bahkan bertanya pada guru mengajinya, bahwa praktek surrogate mother dilarang dalam islam terlebih jika dilakukan seorang gadis. Maka jatuhnya anak diluar pernikahan akibat zina.
Dalam sebuah buku dengah judul Seri Hukum Kesehatan : Bolehkah Surrogate Mother di Indonesia yang ditulis Desriza Ratman (hal. 120) : untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate. Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah 'anak di luar perkawinan yang tidak diakui', yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain. (1)
"Astaghfirullahal azdiim ...." Kirana selalu menangis jika teringat itu. Merasa berdosa, bahkan karena keputusannya itu, sang ayah marah dan tak tertolong lagi.
Dalam kesendirian, hari-harinya hanya dia penuhi dengan penyesalan dan air mata. Merindukan anak yang pernah dia dikandung, karena meski dari genetik pasangan suami istri tersebut, dalam pandangan agama anak itu adalah anak dirinya juga.
***
Rayyan kembali ke rumah dengan taksi online. Jalannya masih sedikit pincang. Dia tetap tutup mulut meski satpam dan Bi Inah menghawatirkan kondisinya.
Remaja itu langsung masuk kamar, mandi dan merebahkan dirinya.
Segera dia buka iPhone dan mengirim pesan whatsapp pada Bagas, teman barunya.
[Aku dah di rumah.]
Tulisnya.
[Siip, bro.]
Hanya itu yang mereka bicarakan. Dan entah kenapa dia selalu terbayang wajah Kirana. Wanita yang sore tadi minta dipanggil Teh Kirana saja olehnya.
[Minta nomor Teh Kirana donk, Gas.]
Dia mengirim pesan lagi pada Bagas. Tak butuh waktu lama, nomor yang dia minta masuk ke ruang chating mereka.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Rayyan segera menyimpan kontak Kirana. Mengecek profilnya. Sayang, tak ada foto profilnya. Mungkin hanya bisa dilihat sesama kontak. Diapun memutuskan mengirim pesan, memberitahu bahwa dirinya memiliki nomor sang wanita.
"Dasar Bagas, asal kasih aja," gerutu Kirana saat membaca pesan Rayyan.
Sementara Rayyan hanya tersenyum mendapat balasan singkat dari Kirana, hanya 'ya'. Dia tahu, wanita itu sangat menjaga diri dari siapa saja. Memberi batasan, terlihat dari penampilannya yang sopan.
"Rayyan." Suara bariton William memudarkan lamunan Rayyan.
Dengan malas dia membuka pintu kamar dan mempersilahkan ayahnya masuk.
"Bi Inah bilang kamu berjalan pincang? Ada apa?" William langsung meraih kaki Rayyan yang duduk di ranjang.
"Jatuh dari motor," jawabnya singkat.
"Ayo ke dokter, kita periksa."
"Hanya terkilir sedikit, Dad. Sudah diurut sama salah satu warga yang menolong." Rayyan menolak.
"Itu tidak aman."
"Dad!" Rayyan mulai kesal, "tidak ada yang lebih sakit dari melihat kalian bertengkar setiap hari. Ada dokter yang dapat mengobati itu?" tanya Rayyan kesal.
William terdiam, menarik nafas berat dan memejamkan mata, "Daddy juga inginnya semua membaik. Tapi ... entahlah." William menatap kosong sambil melepas kancing kemejanya. Seolah ingin bernafas dengan bebas.
Rayyan menatap langit yang putih, "Kadang aku befikir, kalian tidak mengharapkan kelahiranku."
William terhenyat, dia meraih pundak putranya yang semakin tinggi.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Andai kau tahu seperti apa perjuangan kami mendapatkanmu." William merasa matanya memanas. Berusaha menahan lelehan bening yang mungkin akan keluar dari sana.
"Kadang aku berharap menjadi anak dari pasangan lain. Menjadi anak dari orang-orang yang setiap hari memarahi anak mereka karena terlambat pulang sekolah." Rayyan menatap William yang dadanya tampak naik turun.
Tatapan William yang basah dengan air mata membuat Rayyan menundukkan wajahnya. Ada rasa bersalah telah mengatakan hal itu.
"Sorry, Dad." Rayyan menundukkan wajahnya.
William mengangguk lalu memeluk putra semata wayangnya.
'Kau tahu Rayyan, kau memang persis seperti dia. Berada di dekatmu terus menerus membuatku kembali membayangkan dia ... ibumu.'
Batin William berteriak, seolah mengungkapkan alasan dia tak bisa dekat dengan putra kesayangannya itu.
Dengan gontai dia kembali ke kamar pribadinya karena Rayyan mengatakan ingin tidur. Namun pikirannya kembali melayang ke masa silam.
"Kirana ...." William mendesis, membuka satu persatu kancing kemeja putihnya. Menatap langit yang semakin gelap.
"Uh ... sorry, aku telat pulang lagi." Anna memeluk pinggang suaminya dari belakang.
William diam saja, memejamkan mata sambil menikmati detak jantung istrinya yang tak semerdu saat sama-sama jatuh cinta.
"Kau tahu, hari ini kami mengumpulkan dana hampir dua milyar." Anna berbinar menatap wajah suaminya yang datar, "kau marah? Ayolah ... aku bahkan telah melupakan pertengkaran kita tadi sore." Anna bergelayut manja di lengan William.
"Kalau begitu, bisa tidak menolakku malam ini?" William menarik gaun istrinya dengan kasar. Sementara Anna segera menyongsong bibir suaminya.
Mereka bergumal dengan penuh nafsu, namun seolah hampa tanpa cumbuan agar saling menikmati. Bahkan untuk membuatnya tetap dalam intensitas hasrat, William membayangkan wanita lain yang mendesah dalam dekapannya.
***
Sebuah mobil Toyota Rush melaju perlahan, lalu berhenti di parkiran warung pinggir jalan. Seorang pria memakai koko navy keluar dan berjalan ke warung minuman milik Mang Udin.
"Assalaamu'alaikum," sapanya pada Mang Udin yang tengah membuat pesanan.
"Wa'alaikumussalaam," jawab Mang Udin tersenyum.
"Pak, anak agak bule yang suka main disini ... hari ini kesini tidak ya?" tanya pria itu.
"Oh, Rayyan? Dia mainnya sama Bagas. Tuh yang kerja di nasi uduk sebelah." Mang Udin menunjuk ke warung Kirana.
Wildan, pria yang satu minggu lalu menabrak Rayyan, berjalan menuju warung nasi uduk yang ramai. Dia mengedarkan pandangan mencari anak remaja berwajah sedikit bule itu. Namun matanya justru terkunci pada sosok wanita berjilbab pink yang tengah melayani pembeli.
"Astaghfirullah, mata ... dasar mata," gumamnya sambil melanjutkan langkah ke kursi kosong di depan warung. Tak lama Bagas datang menanyakan pesanan.
"Nasi uduk satu aja, minumnya teh tawar ya." Wildan mati-matian agar tak menoleh pada Kirana yang jujur dia akui sangat cantik. Wajar jualannya ramai, mungkin karena kecantikan penjualnya. Dengan penampilan sopan saja pembeli begitu ramai, apalagi jika berpenampilan seksi? Mungkin bakal viral di jagat sosial media.
"Temen kamu yang bule itu nggak datang?" tanya Wildan pada Bagas ketika mengantar pesanan.
"Rayyan? Ada di belakang, bantuin Teh Kirana gorengin bakwan." Bagas berpindah meja.
"Oh, namanya Kirana," gumam Wildan, "eh ... kenapa jadi fokus ke dia?" Si empunya lesung pipi itu tertawa dan malu sendiri. Lalu mulai mencoba menikmati nasi uduk yang dihidangkan.
"Nikmat, ah ... pantas ramai. Ternyata memang enak. Bukan karena penjualnya yang berparas cantik. Tapi memang enak masakannya," gumam Wildan, bahkan jadi membayangkan memiliki istri yang akan memasakan nasi seenak ini. Dan sudah pasti akan dia larang jualan bahkan berinteraksi dengan pria lain.
"Mencari saya?" Rayyan membuyarkan lamunan Wildan.
Wildan menatap Rayyan yang memiliki lebar mata seperti Kirana.
Apa mereka adik kakak? Atau anaknya?
"Hello Uncle!" Rayyan meninggikan nada suaranya juga menaikkan sebelah alisnya.
"Ah ya, kamu yang kemarin saya tabrak. Maaf ya. Sudah baikkan?" Wildan berdiri dan tersenyum sopan pada remaja tampan itu.
"Oh, nggak papa, Uncle. Aku juga salah. Hanya sedang marah sama Daddy, jadi tidak hati-hati." Rayyan tersenyum ramah.
Wildan melihat Kirana keluar warung untuk menemui Rayyan yang tengah bersamanya. Kirana sempat mengira ayah Rayyan yang datang, dia memang penasaran dengan asal usul anak ini .
"Assalaamu'alaikum, Bu ... maaf kemarin saya nggak sengaja nabrak anak atau adiknya ya?" Wildan jadi bingung sendiri.
Sementara Kirana mengangkat kedua alisnya, pun sama karena bingung. Namun itu sukses membuat Wildan istighfar berkali-kali dalam hatinya.
"Saya pikir yang datang Daddy-nya Rayyan." Kirana tersenyum anggun.
Lagi-lagi Wildan hanya bisa mengucap 'astaghfirullah ... maa syaa Allah ...' dalam hati.
"Saya pikir, Rayyan ini anak atau adik Mba ... eh Ibu ... eh maaf." Wildan jadi kebingungan, "habis kalian mirip sekilas. Saya sempat ngira anaknya dan mugkin ayahnya yang orang asing ya?"
Kata-kata Wildan sontak membuat Kirana terhenyat. Namun, andai Rayyan anak yang dia kandung dulu, mana mungkin mirip dengan dirinya? Bukankah genetiknya dari pasangan suami istri itu?
"Eh jangan-jangan aku jodoh sama teteh," goda Rayyan.
"Dih ... anak kecil." Kirana mendelik sambil hendak berlalu.
"Kenalkan, saya Wildan."
Kirana membalikkan badan dan mengangguk hormat, menyatukan kedua tangannya memberi isyarat salam jarak jauh.
"Kok nggak salaman?" Rayyan heran.
"Bukan mahrom, bro." Bagas menimpali.
Rayyan tampak bingung tapi tak ambil pusing.
"Usiamu belum seharusnya bawa kendaraan lho, masih tiga belas tahun kan?" Wildan mencoba menasihati.
"Begitu? Tapi Daddy membiarkan aku memiliki motor ini." Rayyan benar-benar tidak faham banyak hal. Dia dibiarkan bebas dengan alasan sayang.
"Besok pakai angkutan umum saja, atau minta antar sopir." Kembali Wildan menasehati.
"Jauh, Uncle. Dari rumah ke sekolah lalu kemari. Aku bosan karena orang tuaku keduanya sibuk. Dan angin seolah membawa aku kemari, bertemu Teh Kirana dan Bagas, jadi nggak kesepian lagi," papar Rayyan dengan jujur. Baru kali ini dia tampak polos dan itu dihadapan Wildan yang baru dia kenal.
Wildan tak berani bertanya jauh soal keluarga remaja ini. Dia lebih fokus pada pertanggung jawaban sebagai pelaku penabrakan. Menanyakan kondisi motor dan dia siap bertanggung jawab. Meski tahu bahwa Rayyan pasti dari keluarga mampu bahkan mungkin berlebih secara ekonomi, tapi ini masalah tanggung jawab. Meskipun pada akhirnya Rayyan juga menolak, karena sudah mendapat asuransi.
Setelah itu Wildan berpamitan pada Kirana yang statusnya sebagai orang yang selalu ditemui Rayyan. Juga sebagai pemilik tempat yang dipakai mengobrol. Kemudian membayar uang nasi uduk, lalu dia pergi meski berulang kali menoleh ke arah warung seolah enggan untuk meninggalkan tempat itu.
***
William lega karena putranya sudah jarang marah-marah bahkan lebih tenang meski ibunya masih jarang ada di rumah. Kadang dia melihat Rayyan tersenyum sendiri memandang iPhone.
"Mungkin dia sudah jatuh cinta." Anna memberi kode nakal pada suaminya.
"Dia baru akan tiga belas tahun."
"Oh come on honey, zaman sekarang anak kecil saja berpacaran. Itu normal." Anna benar-benar cuek dengan kehidupan putranya.
"Ya, tapi ...." William jadi lebih posesif sejak perubahan sikap Rayyan. Bahkan dia menghubungi anak buahnya untuk mengawasi kemana saja putranya itu pergi. Meski bahagian dengan perubahan sikap anak remajanya, tetap saja menyisakan pertanyaan karena terlalu drastis.
Bahkan satpam melaporkan Rayyan selalu pulang pukul tujuh malam, sebelum mommy and daddy-nya tiba. Anehnya, diapun jarang bergaul dengan teman-teman sekolahnya. William beberapa kali bertanya pada wali kelas dan dijawab anaknya itu sangat pendiam, lebih sering di perpustakaan. Lalu pulang dengan motor seorang diri.
Dalam kebingunga itu, sebuah pesan masuk ke whatsapp William saat sedang santai di meja kerjanya. Sebuah foto dari anak buahnya dan sukses membuat dia terkejut.
Rayyan tengah bersama seorang wanita yang memakai kerudung panjang dan lebar. Lengkap dengan gamis. Bukan gadis-gadis pada umumnya. Namun yang pasti senyum putranya penuh kebahagiaan menatap wanita yang membelakangi kamera orang suruhannya itu.
Bersambung Part 4
No comments:
Post a Comment