Cinta Tiga Hati part 17
Anisa mengamati Ronald yang duduk dengan wajah mengeras di sofa.
Seingatnya sebagai adik satu-satunya, Ronald terhitung jarang sekali marah.
Dibanding dirinya yang lebih temperamental, Ronald selalu tenang dalam menjaga emosi.
Tidak seperti temannya yang sering kali bertengkar antar saudara, dia dan Ronald jarang sekali bertengkar apalagi memperebutkan sesuatu.
Itulah untungnya punya saudara laki-laki yang tidak akan merebut boneka dari kita.
Sering kali Anisa membanggakan Ronald di hadapan teman-temannya.
Menginjak bangku SMA, ketampanan Ronald mulai terlihat.
Anisa ingat waktu itu dia sering sekali mengusir gadis-gadis yang datang mencari adiknya.
Bagi Anisa yang pintar dan serius dalam belajar maupun hal lain, gadis-gadis yang mengejar adiknya terlihat bodoh.
Mereka hanya mengandalkan penampilan dan wajah cantik bukan otak untuk merebut hati Ronald.
Dia menganggap itu sia-sia karena tahu persis bagaimana selera adiknya soal wanita.
Ronald tetap sendiri dan tidak memacari siapa pun hingga kuliah dan bertemu Natali.
Itulah salah satu hal yang membahagiakan dalam hidupnya, melihat adik dan sahabatnya saling mencinta.
Hingga mereka dipisahkan oleh ambisi Natali yang ingin mengejar sukses ke luar negeri.
Patah hati membuat Ronald membujang untuk berapa lama, sampai akhirnya terdengar kabar dia akan menikahi Mili.
Wanita rapuh, penyakitan dan suka sekali menangis.
Sampai sekarang dia tidak habis pikir apa yang membuat Ronald mau menikahi wanita seperti Mili.
Setelah Mili tiada, Anisa tadinya berharap adiknya akan kembali bersama dengan Natali karena pernikahan Natali juga di ujung tanduk.
Status tentunya bukan masalah untuk adik dan sahabatnya.
Siapa sangka Mili pergi kini digantikan Vanesa.
Berbanding terbalik dengan kakaknya, Vanesa adalah wanita paling tegas dan mengesalkan baginya.
Mili ibarat porselen yang cantik, sekali sentuh akan pecah tapi Vanesa ibarat baja yang makin kuat meski ditempa bara.
Diakui dalam hati baru kali ini dia menemukan wanita yang tidak takut akan intimidasinya.
Sekarang adiknya duduk di hadapannya dengan senyum dingin, Anisa bisa menerka jika maksud kedatangan Ronald ada hubungannya dengan Vanesa.
“Mau minum sesuatu?” tanya Anisa membuka percakapan.
Ronald menggeleng. “Tidak, kita tunggu Natali.”
Anisa bangkit dari kursi, menghampiri Ronald dan duduk di sisinya.
Belum sempat dia bicara, pintu terbuka dan terlihat Natali dengan setelan hitam.
“Ada apa sih, Nisa. Aku sedang sibuk se--.”
Omongan Natali terputus saat melihat Ronald duduk diam di samping Anisa.
Seketika senyum terkembang di mulutnya.
“Hai, tumben siang-siang datang,” sapanya ramah.
Berjalan menghampiri Ronald dan berniat memeluk tapi tertahan oleh Ronald yang mengangkat tangan.
“Hai, Natali. Duduklah, aku mau bicara.”
Seketika, Natali menghentikan gerakannya dan memandang Ronald serta Anisa bergantian.
“Ada apa, Anisa?” tanyanya bingung.
Anisa menggendikkan bahu.
“Entahlah.
Duduk saja, kita dengar apa yang mau dibicarakan adikku tercinta.”
Ronald menatap Anisa dan Natali bergantian.
Mencondongkan badan dan mengetuk meja dengan punggung jari.
“Aku ingin kalian memberiku penjelasan tentang Vico.
Kenapa dan apa hubungan istriku dengan Tirta Group sampai kamu,” tunjuk Ronald pada Natali.
“Datang ke rumah dan meminta Vanesa untuk bekerja di perusahaan kalian dengan alasan Tirta Group menginginkannya.”
Natali tersenyum, menyilangkan kaki dan mengibaskan rambut ke belakang.
Sejenak dia bertatapan mata dengan Anisa sebelum menjawab perkataan Ronald.
“Ah, itu penawaran yang menarik sebenarnya untuk Vanesa.
Jarang-jarang sekali seorang pengusaha besar menginginkan pegawai yang notabene bukan siapa-siapa seperti Vanesa,” ucapnya dengan kegembiraan tersirat.
Ronald mengerutkan kening.
“Begitu, tawaran yang bagus untuk siapa?
Vanesa atau kalian?”
Perkataan Ronald yang tajam membuat Anisa menoleh.
Tangannya menepuk-nepuk lengan Ronald untuk menenangkannya.
“Jangan bicara begitu dengan Natali, dia hanya mencoba membantu istrimu.”
“Apaaa?
Membantu istriku?
Dermawan sekali kalian!” Berteriak keras,
Ronald bangkit dari sofa dan berdiri pada meja Anisa.
Dia sama sekali masih tidak percaya jika sahabat dan kakaknya ternyata sangat ambisius.
“Kalian hanya berpikir soal perusahaan tanpa menimbang baik dan buruk dampaknya.
Memangnya sebelum kamu datang ke rumahku untuk meminta Vanesa, tidakkah terpikir jika dia istriku?”
Natali menggeleng, begitu juga Anisa.
“Oh, hebatnya kalian berdua.”
“Bukan begitu, Ronald,” sanggah Natali cepat. “Kami tadinya berharap kamu setuju jadi selain bisa membantu kami juga baik untuk Vanesa.
Memang kamu pikir dia senang tiap hari hanya di rumah mengurus bayi dan membuat kue?”
“Iya, Ronald.
Apa yang dikatakan Natali benar, ini semua untuk Vanesa.” Anisa menimpali perkataan sahabatnya.
“Halah! Bullshit kalian berdua.
Sekarang tentu kalian sudah lihat berita tentang Vico dan istriku.
Semua terjadi karena kalian!” tuding Ronald sengit ke arah dua wanita di depannya. “Lihat apa yang terjadi jika bersinggungan dengan Tirta Group bukan?
Kita akan dihabisi sampai ke akar-akanya.
Lihat Vanesa yang dicap berselingkuh dan malu tiada tara pada keluarga.”
“Tapi kami percaya Vanesa tidak berselingkuh,” tukas Natali gugup.
Dia menoleh pada Anisa seperti meminta dukungan, “iyakan, Anisa.”
“Tentu saja, kami percaya Vanesa adalah wanita baik-baik,” ucap Anisa menyetujui.
“Dan kalian menjerumuskan seorang istri dan wanita baik-baik dalam jurang perselingkuhan dan masalah.” Ronald berkata dingin.
Anisa menggingit bibir bawahnya, Ronald tahu jika kakaknya sedang gugup.
Kebiasaan yang tidak pernah hilang dari Anisa.
Sedangkan Natali bersikap lebih tenang.
Duduk menyilangkan kaki seolah tidak ada hal besar yang terjadi.
Ronald mengedarkan pandangan menyapu seluruh ruangan tempat kakak perempuan satu-satunya bekerja.
Terhitung luas dibanding kantornya di pabrik.
Nyaman tentu saja dan terlihat berkelas.
Sayang sekali apa yang dilakukan si pemilik ruangan membuatnya marah.
“Ronald,” tegur Anisa pelan.
Ronald mengalihkan pandangannya dari foto keluarga di pigura berpinggiran emas. Ada Anisa, suaminya Paul dan anak perempuan mereka,
Kimi. Terlihat sebagai sebuah keluarga yang bahaga.
Sampai sekarang Ronald masih tidak paham dengan alasan Anisa meninggalkan suami dan anaknya di Malaysia berdua.
Sedangkan dia di sini sibuk dengan pekerjaan.
Suatu saat Ronald akan menanyakannya tapi tidak sekarang.
“Kalian mengumpankan istriku demi perusahaan.
Aku yakin betul sebelum kalian menyetujui syarat dari Vico tentu kalian sudah menyelidiki hubungan Vico dan istriku.” Ronald bertutur pelan.
Dengan pandangan bergantian antara Anisa dan Natali.
“Memang mereka dulu pernah menjalin hubungan. Vico bahkan sampai sekarang masih mengejar istriku dan kalian mengumpankannya.”
“Tidak! Swear, kami tidak bermaksud begitu,” bantah Natali.
Ronald mengangkat tangan, memberi tanda agar dua wanita di depannya diam.
“Kalian tahu apa dampaknya setelah keluarga Tirta mengetahui hubungan Vico dan Vanesa?
Mereka tidak hanya mempermalukan istriku seperti yang terlihat di berita tapi juga menyasar pada pabrikku.”
“Tidaaak, itu tidak mungkin Ronald.” Anisa bangkit dari duduk dan menutup mulut karena terkejut.
“Mereka tidak mungkin melakukan hal sekeji itu.
Mereka itu---,”
“---jutawan, aku tahu mereka siapa dan teruslah membelanya, Sist,” sergah Ronald kasar.
“Kalian berdua dibutakan oleh uang tapi satu yang perlu aku ingatkan.”
Ronald menuding Anisa yang berdiri gemetar di depannya.
“Pabrik itu dulu membiayai sekolah dan hidupmu, jangan sampai hancur karenamu.”
Tanganya beralih pada Natali yang terdiam seribu bahasa.
“Kamu mungkin tidak ada ikatan dengan pabrik itu tapi jika pabrikku hancur karena ulahmu maka jangan harap aku akan mau mengenalmu lagi, Natali!”
“Ronald, I don’t mean it,” jawab Natali terbata.
Ronald tersenyum sinis, melangkah ke pintu dan membukanya.
Sebelum menutup pintu dia berkata sekali lagi dengan penegasan.
“Jika terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan istriku atau membuat usaha keluarga yang telah kami rintis bertahun-tahun hancur karena ulah kalian, aku akan membuat perhitungan.”
Suara pintu menutup lebih keras dari seharusnya.
Sepeninggal Ronald, Anisa dan Natali berpandangan tak mengerti.
Mereka sadar jika orang macam Ronald tidak akan pernah main-main dengan ucapannnya.
“Sekarang harus bagaimana?” tanya Anisa pada sahabatnya.
“Entahlah, kita pikirkan pelan-pelan,” desah Natali.
Keduanya termangu dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Anisa dengan kekuatiran perihal bisnis keluarga sedangkan Natali yang merasa hilang harapan untuk mendekati Ronald.
****
Jatuh cinta pada pandangan pertama, banyak orang tidak mempercayainya termasuk Vanesa sampai akhirnya dia sendiri yang mengalami.
Suatu malam saat dia hendak menutup toko, seorang laki-laki menerobos pintu dan berkata dengan panik jika hari ini adalah ulang tahun ibunya dan dia lupa membeli kue.
Untuk pertama kalinya Vanesa merasa terpesona pada laki-laki tampan, gagah dengan suara paling berat dan sexy yang pernah didengarnya.
Perokok tentu saja karena dari saku kemeja menyembul pematik.
“Maaf, kami sudah tutup.” Teman sekerja Vanesa, menolak kehadiran pembeli dengan sopan.
“Tapi ini penting sekali, Mbak. Tolonglah, demi ibuku,” mohon sang lelaki dengan mimik sedih.
“Semua sudah dihitung, Kak. Mungkin bisa coba di toko lain.”
“Sudah malam, aku nggak yakin bisa menemukan toko yang lain. Tolong bantu aku sekali ini saja.
Aku harus pulang ke Jakarta sekarang.”
Vanesa yang sedang sibuk merapikan etalase kaca hanya terdiam mendengar perdebatan teman dan laki-laki bersuara sexy.
Sampai saat dia mendongak dan matanya bertatapan dengan laki-laki itu.
Mereka berpandangan untuk beberapa saat.
Seperti ada magnet yang menggerakkan bibirnya, Vanesa menyela dengan suara keras.
“Silahkan melihat kue yang mana untuk ibu Anda, di sini.”
Tanpa menyadari lirikan kesal yang diberikan temannya, Vanesa menunjuk pada etalase kaca.
“Waah, terima kasih adik manis. Kamu menyelamatkanku.”
Malam itu Vanesa merasakan jantungnya berdetak tak karuan dan hati berdebar tak menentu saat laki-laki berambut panjang dikuncir dan bersuara sexy mengucapkan terima kasih berulang kali padanya sebelum melangkah meninggalkan toko.
Dia tahu, jika laki-laki di hadapannya hanya pelanggan yang datang sekali dan belum tentu datang lagi tapi entah mengapa dia berharap bertemu kembali.
Harapannya menjadi kenyataan saat sebulan kemudian, Vanesa yang sudah hilang harapan untuk bisa bertemu lagi dengan laki-laki pujaannya mendapat kunjungan tak terduga.
“Kenalkan, namaku Ronald.”
Ronald, nama laki-laki yang selama sebulan ini mengisi benak Vanesa.
Mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya yang sedang membawa nampan penuh roti.
“Aku, Vanesa,” jawabnya malu-malu tanpa menyambut uluran tangan Ronald.
“Nama yang bagus, bisa meminta nomor handphonemu Vanes?
Siapa tahu kita bisa berteman atau sekedar ngopi bareng suatu saat.
Jika kamu ijinkan aku mentraktirmu sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku.”
Vanesa menyebutkan nomornya dengan tergagap.
Ronald mencatat di handphonenya.
Mereka bertukar sapa pada malam harinya.
Setelah itu tidak pernah terputus untuk berkomunikasi.
Vanesa yang kuliah di Bandung bertemu Ronald yang sedang melakukan kunjungan bisnis.
Setelah berhubungan jarak jauh selama tiga bulan lamanya, suatu sore saat mereka sedang menikmati makanan kecil di mall samping toko tempat Vanesa magang, Ronald mengatakan sesuatu yang membuat hati Vanesa berbunga-bunga.
Hari ini Ronald sengaja datang dari Jakarta untuk menemui Vanesa.
“Aku sama sekali tidak menyangka akan berpacaran dengan cewek kuliahan.
Padahal di luar sana banyak wanita yang lebih matang dan sexy, LDR pula.”
Vanesa yang sedang makan es krim hampir tersedak karenanya.
“Siapa gadis kuliahan itu?” tanyanya pelan.
Ronald mencondongkan tubuh dan menatap Vanesa yang duduk di seberangnya lekat-lekat. “Kamu ….”
Vanesa melengos,. “Aku nggak pernah bilang kita berpacaran.”
“Sekarang aku sedang mengajakmu dan tentu saja aku yakin seratus persen kamu akan bilang, iya.”
“Diih, GR. Siapa juga mau pacaran sama situ. Kagak romatis,” dengkus Vanesa geli.
Ronald tertawa lirih.
“Jadi, kamu nggak mau berpacaran sama aku?
Kenapa? Menganggap aku sudah terlalu tua untukmu?
Kita hanya berjarak lima tahun Vanes.”
Vanes mengelap mulutnya. “Bukan soal umur tapi pacaran kan bukan soal main-main.”
“Tepat,” potong Ronald.
“Pacaran bukan main-main dan aku janji padamu untuk serius mencari uang demi masa depan kita.
Apa kamu bersedia menjadi istriku?”
“Hahaha … apaan sih?”
Kali ini Vanesa tidak berkutik.
Seberapa kuat dia mencoba mengalihkan pembicaraan, Ronald punya cara untuk menekannya.
Entah bagaimana akhirnya Vanesa menyetujui untuk menjadi kekasih Ronald.
Tanpa kata-kata manis dan rayuan cinta.
Mereka berpacaran hampir tiga tahun dengan Vanesa kuliah dan mendapatkan pekerjaan pertamanya di Bandung sedangkan Ronald tetap di Jakarta.
Vanesa tidak pernah bercerita kepada keluarganya jika dia dekat dengan seorang laki-laki, mengingat kakaknya belum punya pasangan.
Akan sangat tidak enak hati jika dia memperkenalkan pacar lebih dulu.
Jarak tidak membuat Vanesa dan Ronald terpisah justru makin mempererat.
Hingga kehadiran Mili merusak segalanya.
Vanesa menatap laki-laki bersuara sexy yang sekarang sudah menjadi suaminya.
Memandang bagaimana Ronald makan dengan lahap kue buatannya dan bercanda dengan Sean buah hati mereka.
Waktu telah berlalu sekian lama dari pertama kali mereka saling mengenal.
Ronald pernah menikahi Mili sedangkan dia menjalin hubungan dengan Vico.
Kini, bisakah keduanya bersatu tanpa prasangka?
“Mikirin apa?” tanya Ronald mengagetkan Vanesa yang sedang mengupas kentang.
Dia menggeleng. “Tidak ada, hanya soal peningkatan pesanan kue.”
“Wah, bagus dong. Kenapa melamun?”
“Orang ini entah siapa, awal mula memesan bolu kukus dalam jumlah tidak sedikit dan meminta dikirim ke alamatnya. Dia bilang enak lalu memesan lagi dengan jumlah dua kali lipat.”
Vanesa teringat betapa sibuknya dia selama seminggu ini karena pesanan kue yang tak berhenti.
Hingga menambah jumlah pegawai.
Kesibukannya mengalihkan perhatian dari masalah Vico.
“Trus?
Masalahnya di mana?” tanya Ronald tidak mengerti.
“Masalahnya dia sekarang memesan dalam jumlah yang sangat banyak, lima ratus biji dan harus aku yang mengantarkannya sendiri ke alamat yang dia berikan.”
“Laki-laki atau perempuan?” selidik Ronald.
Vanesa tertawa. “Perempuan, kami pernah saling menelepon sebelumnya.”
Ronald mengusap rambut istrinya dan berkata penuh cinta.
“Lakukan, jika kamu merasa bisa memenuhi pesanan itu.
Siapa tahu jika dia berniat ingin bertemu langsung denganmu karena merasa kue buatanmu enak?”
“Begitukah?”
Ronald mengangguk.
“Yes, mana tahu dia akan menawarkan kerja sama?
Jadi, temuilah dia.”
Vanesa mengangguk dan meneruskan pekerjaannya mengupas kentang untuk membuat sambal goreng.
Perkataan dari suaminya membuat hatinya ringan.
Semula dia curiga dengan kebaikan yang berlebihan dari orang yang tidak dikenalnya tapi setelah dipikir kembali apa yang dikatakan Ronald ada benarnya juga.
“Aku akan pergi sebentar,” pamit Ronald setelah menghabiskan kuenya.
“Mau kemana?”
“Ke kantor Devian, ada yang ingin aku bicarakan dengannya.”
“Apakah menyangkut pabrik?” tanya Vanesa kuatir.
Ronald tertawa lirih, mengelus pundak istrinya sebelum menggendong Sean dan membawanya ke kamar.
“Tidak usah memikirkan tentang pabrik, aku bisa mengatasinya.”
Dia berlalu meninggalkan Vanesa tanpa sadar rasa bersalah bercokol dalam hati istrinya.
Keadaan memang kembali tenang, tidak ada lagi berita perihal dia dan Vico.
Namun sepertiya kondisi pabrik belum sepenuhnya pulih.
Vanesa tidak tahu apa yang disembunyikan Ronald darinya tapi dia berharap jika Devian atau siapa pun itu bisa menolong suaminya.
Seseorang yang tak disangka datang mengunjunginya tak lama setelah Ronald meninggalkan rumah.
Untuk sesaat Vanesa tidak mengenali wanita cantik yang berdiri anggun di depannya. Memakai celana bahan warna putih dengan blus berwarna merah terang, wanita itu tertawa dan memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.
“Hallo, Kak Vanesa, ya?
Kenalkan, aku Hana Belia. Tunangan Vico.
Bisa aku masuk sebentar?”
Vanesa terperangah dan Hana Belia tersenyum tenang.
Berjalan melewati Vanesa dan anting-anting panjang yang dia pakai bergoyang indah. Jika ada petir menyambar tanpa hujan lebih dulu maka itu yang dirasakan Vanesa oleh kedatangan Hana Belia yang tiba-tiba.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment