Monday, April 27, 2020

CINTA TIGA HATI 16

Cinta Tiga Hati 
part 16

Wajah tampan dibingkai rambut hitam pendek terlihat murung.

Dia berdiri menghadap ke jendela kaca dalam ruangan super besar, jika diamati terlihat seperti ruang makan.

Matanya melamun tidak peduli dengan lalu lalang di belakang punggungnya.

Ada pelayan yang sedang sibuk menata meja.

Dia tidak menyadari meski pandangan takut-takut diarahan padanya oleh mereka.

Dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana dan rambut tersisir rapi pria itu berpose layaknya model dalam majalah mode.

Jas hitam mewah membuat penampilannya terkesan tampan dan tidak ramah, apalagi jika melihat bibir tanpa senyum.

“Vico, kamu sudah siap?”

Vico menoleh, memandang papanya yang baru saja memasuki ruangan.

Dia tidak menjawab, kembali memandang arah jendela yang menampakkan pemandangan teras dengan tanaman bonsai yang subur.

Ada bunga anggrek di antaranya.

“Vico ….”

Vico mendesah sebelum menoleh ke arah papanya yang berdiri lima langkah di belakangnya.

Dia menyugar rambut yang tersisir rapi, tanpa sadar memijat pelipis.

“Apa ini perlu untuk dilakukan, Pa?”

Pak Agung mengangguk.

Mengacungkan handphone kepada anaknya.

“Lihat, itu fotonya.

Kamu pasti tahu siapa dia?”

Sedikit enggan Vico meraih handphone yang disodorkan papanya dan mengamati foto yang ada di layar.

Bola matanya membesar, sejenak dia seperti kaget.

“Benar dia?” tanyanya tidak yakin.

“Iya, benar dia.

Sudah kembali ke Jakarta dari dua minggu lalu.”

Vico menggeleng lemah, mengembalikan handphone pada sang papa dan berbalik kembali memandang teras.

“Kami bukan anak kecil lagi, apa hal seperti ini harus kalian yang mengatur juga?” ucapnya tanpa berpaling.

“Ini semua salahmu Vico, jika bukan karena kamu menemui Vanesa tentu tidak akan begini.

Apalagi, dia wanita bersuami.

” Suara Pak Agung terdengar menggelegar. “mengertilah perasaan Mamamu, dia sampai malu karena banyaknya telepon yang bertanya tentang kabar kamu.

Apa kamu masih bisa bersikap egois sekarang?”

Meski dongkol tapi Vico menyetujui apa yang dikatakan papanya.

Kejadian dengan Vanesa dan berita yang menyebar kemana-mana membuatnya tak berkutik.

Dia bahkan sudah menyuruh orang kenalannya untuk menghubungi wartawan yang punya akses meliput berita dan meminta agar mereka menghentikan pemberitaan mengenai Vanesa.

Nyatanya sulit sekali, satu dibungkam satu lagi muncul.

Seakan memang ada yang sengaja menyebarkan berita tentang dia dan Vanesa.

Dia merasa sangat tidak enak hati dengan Vanesa.

Berkali-kali mencoba menelepon untuk mengetahui keadaannya dan jika bisa untuk meminta maaf.

Handphone Vanesa tidak bisa dihubungi.

Dari orang yang dia kirim untuk menyelidiki keberadaan Vanesa, dia tahu jika wanita yang dia cintai tidak berani menginjakkan kaki keluar rumah.

Hati Vico bagai terpilin saat tahu tentang kondisi Vanesa.

Semua terjadi karena salahnya dan sekarang memang waktunya untuk dia memperbaiki keadaan.

“Vico, ayo keluar dan jemput mereka.

Sudah waktunya,” teguran mamanya terdengar dari arah pintu.

Dia tidak langsung menjawab.

Memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.

Aku harus bisa, demi Vanesa.

Pikirnya muram saat berjalan bersama papa dan mamanya untuk menemui tamu mereka.

Sekelompok orang menunggu di ruang tamu.

Saat keluarga Vico tiba di sana, semua saling menyapa ramah.

Seorang gadis amat cantik dengan wajah tirus dan rambut dicat kecoklatan panjang, memandang Vico sambil tersenyum.

“Kak Vico, apa kabar?” sapanya riang.

Vico tertegun.

Gadis di depannya terlihat imut dan menawan tapi entah kenapa dalam benaknya malah muncul bayangan wanita lain.

Vanesa termangu di dekat jendela.

Sudah hampir jam makan siang dan Ronald belum juga kembali.

Habis sudah kesabarannya karena kuatir.

Dari tadi malam dia sibuk mencari tahu dari mulai menelepon mertuanya hingga Anisa. Sempat terjadi adu debat dengan kakak iparnya sebelum dia menutup telepon dengan jengkel.

Dia kuatir dengan Ronald dan yang ditanyakan Anisa adalah, apa hasil pembicaraannya dengan Vico?

“Dasar wanita tak tahu diri!” desis Vanesa pada handphone di tangannya.

Pagi pun ini dia menelepon kantor suaminya dan mendapat jawaban jika Ronald dan Jery pergi dari kemarin sore belum kembali.

Para staf penjaga kantor tidak ada yang tahu kemana bos mereka.

Vanesa hilang akal. Tidak tahu lagi harus mencari tahu kemana.

Sean rewel hari ini. Tidak mau ditinggal, inginnya digendong terus.

Selain itu dia juga sempat muntah sekali. Vanesa mengukur suhu tubuh anaknya dan merasa lega karena normal.

Mendekati jam satu siang, Vanesa mendongak dari kegiatannya menyuapi buah untuk Sean saat dia mendengar suara mobil berhenti di depan pagar.

Dengan sigap dia gendong Sean di pinggang dan menyingkap gorden untuk melihat siapa yang datang.

Hatinya berbunga sekaligus berucap ‘allhamdullilah’ saat melihat Ronald dengan penampilan acak-acakan berjalan gontai ke arah rumah.

Jas tersampir di bahu, dasi menghilang entah kemana dan rambut panjang terikat asal-asalan.

Ronald terlihat seperti serdadu yang kalah perang.

Vanesa bergegas membuka pintu dan memandang suaminya yang terlihat kaget karena kemunculannya.

“Vanesa?”

“Kamu pulang, Kak. Syukurlah ….”

Tanpa diduga oleh Ronald. Vanesa menubruknya dan memeluk erat-erat.

Dengan Sean masih berada di pinggangnya.

Mereka berangkulan seakan ingin menumpahkan hasrat kerinduan.

“Aku kuatir sekali, kamu tak ada kabar,” desah Vanesa sengau. Menahan air mata yang nyaris jatuh.

Ronald mengangkat wajah istrinya dan mengusap air mata yang jatuh setetes di pipi mulus Vanesa.

Terukir senyum senyu di wajahnya.

“Jangan menangis, aku baik-baik saja.

Maaf, karena tidak memberi kabar.”

Vanesa menarik tubuhnya. Ada Sean yang meronta ingin digendong papanya.

“Aduuh, anak Papa. Kangen ya?”

Dengan Sean dalam lengannya, Ronald melangkah gontai ke dalam rumah.

Mereka bertiga menuju dapur.

Vanesa menyalakan kompor dan menuang air ke dalam panci.

Dia tahu Ronald terlihat lelah dan segelas teh panas dengan serai akan sangat membantu.

“Lapar, Kak?”

Ronald mengangguk.

“Dari semalam belum makan,” jawabnya tanpa memandang Vanesa.

Pandangannya fokus pada bayi kecil yang terlihat sibuk mengagumi rambut panjang papanya yang sekarang tergerai tak terikat.

Vanesa melirik suaminya dengan prihatin.

Segera dia sibuk mengaduk isi kulkas untuk membuat makanan yang mudah, cepat tapi enak bagi suaminya.

Masih ada sisa nasi semalam di rice cooker.

Nasi goreng adalah makanan pertama yang terpikir olehnya.

Tangannya bergerak cepat memotong sayur, membuat dadar telur dan menumis bumbu.

Tidak sampai tiga puluh menit nasi goreng ikan tuna tersaji lengkap dengan irisan timun dan tomat di hadapan Ronald.

“Waah, kelihatannya enak sekali,” puji Ronald.

Detik itu juga perutnya berbunyi.

“Sini Sean ikut Mama, biar Papa makan.”

Vanesa mengambil alih anaknya dan membiarkan suaminya makan.

Terlihat jika Ronald sangat lapar.

Dalam waktu sepuluh menit satu porsi nasi goreng habis tak tersisa dan meneguk teh panas hingga tinggal setengah.

“Aku mandi dulu setelah itu kita bicara.”

Vanesa mengangguk, memandang dengan tatapan kasihan pada laki-laki gagah yang terlihat lelah di depannya.

Sepertinya sesuatu yang buruk sedang terjadi,

Vanesa tidak tahu itu apa tapi dia membiarkan Ronald membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mereka mengobrol. Kebetulan Sean juga mulai mengantuk.

Ronald kembali ke ruang makan saat Vanesa sedang sibuk memanggang sesuatu.

Dia tidak menyadari kehadiran suaminya sampai dia mundur dan menabrak dada bidang Ronald.

Suaminya sudah bercukur dan keramas.

Terlihat segar dengan kaos hitam dan celana jin.

“Ups … nggak lihat, Kak.”

Tangannya memakai sarung tangan kain dan mengangkat nampan berisi kue kering lalu meletakkannya di atas meja makan yang telah diberi alas kayu.

“Kue almond, kesukaanmu,” ucapnya sambil tersenyum.

Melepas sarung tangan dan mengambil piring kecil lalu menaruh kue di atasnya.

Ronald duduk dan menerima piring kue yang disodorkan padanya.

Menggigit kecil untuk mencicipi.

“Selalu enak, kue buatanmu,” puji Ronald.

Dia meraih gelas berisi teh serai yang sudah dingin dan menegukknya.

“Duduklah, aku ingin bicara. Apa Sean tidur?”

Vanesa mengangguk.

“Ada sesuatu yang serius dengan pabrik?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Ronald.

Ronald mendesah dan membuang napas panjang.

Memijit pelipisnya. Seperti ada beban sangat besar di pundaknya.

Vanesa merasa cemas, bagaimana Ronald yang biasa terlihat bersemangat kini seperti laki-laki dengan kelelahan melebihi batas.

“Pabrik dalam kondisi genting,” ucap Ronald perlahan memulai cerita.

“Pemasok besi yang semula adalah mitra kami selama beberapa tahun mendadak memutuskan kerja sama.”

Dia memejamkan mata, sepertinya bercerita tentang kondisi pabrik pada istrinya adalah sesuatu yang tidak dia sukai.

Sementara Vanesa menutup mulut dengan tangan. Tenggorokannya tercekat.

Sama sekali tidak menyangka jika masalah pabrik ternyata begitu serius.

Dia begitu kuatir dengan masalahnya sendiri hingga lupa dengan masalah yang lain. Kemana dia saat suaminya butuh dukungan?

 Vanesa mengutuk keegoisannya. “Lalu?” tanyanya dengan bibir gemetar.

Ronald menggeleng, tangannya terulur untuk meraih tangan

Vanesa yang duduk di sampingnya. Mereka saling menggenggam.

“Produksi harus tetap berjalan bukan?

Pesanan dari konsumen tidak mungkin dibatalkan.

Akhirnya kemarin sore aku dan Jery berkeliling mencari pabrik besi.

Kamu tahu anehnya?

Pabrik besar meski tahu nama baik kami tetap tidak mau kerja sama.

Setelah bersusah payah dan dengan bantuan Papa, akhirnya kami mendapatkan tiga pabrik kecil untuk membantu selama masa krisis.”

Mereka tidak bicara, hening. Vanesa membiarkan Ronald menggenggam tangannya. Sementara dia memejamkan mata.

“Kak, ini hanya dugaan tapi apakah semua ada hubungannya dengan keluarga Tirta?” ucap Vanesa takut-takut.

Anggukan Ronald membuat hatinya terpilin.

“Dugaan terbesar memang itu,” ucap Ronald berat. “karena tidak mungkin pabrik yang sudah puluhan tahun bekerja sama dengan kita tanpa ada masalah mendadak memutuskan kontrak.

Jika bukan karena tekanan pihak lain mereka tidak mungkin melakukan itu. Tirta Group punya kuasa untuk mendapatkan apa pun yang mereka mau termasuk pabrik kita.”

Vanesa melepaskan genggaman Ronald.

Dia memejamkan mata sambil menepuk dadanya yang terasa sesak.

Perasaan bersalah memenuhi rongga jantungnya dan membuat tenggorokannya seperti tanpa udara.

“Vanesa, sadar! Ini bukan salahmu!” tegur Ronald dan seketika Vanesa membuka mata.

“Jika hari itu aku tidak menemui Vico pasti hal ini tidak terjadi.

Kalau aku tidak terprovokasi ucapan Natali, tentu ini tidak akan terjadi.

Semua ini salahku.” Vanesa menelungkup di atas meja dan mulai menangis.

“Hai, Vanes. Jangan begitu, ini semua bukan salahmu seutuhnya.”

Ronald bangkit dari kursi dan memeluk Vanesa dari belakang.

“Dengar Vanesa, ada masalah kita akan selesaikan bersama bukan dengan cara menyesali diri.

Jika bukan karena tindakan Anisa dan Natali yang gegabah tentu kamu tidak akan bertindak sesuatu yang membuatmu menyesal.”

Kata-kata penghiburan dari Ronald membuat Vanesa merasa malu.

Setelah begitu banyak kerusakan yang timbul karena keegoisannya,

Ronald masih sangat tenang dan mengerti.

“Lalu kita harus bagaimana, Kak? Itu perusahaan keluargamu?”

Ronald meraih kepala Vanesa dan mengecupnya ringan.

“Aku sudah berpikir untuk meminta bantuan Devian, tunggu masalah Vico dan keluarganya mereda.”

“Apa dia bisa membantu?” tanya Vanesa berharap.

“Mudah-mudahan bisa, keluarga Devian meski bukan terhitung konglomerat tapi punya pengaruh.”

Vanesa bersandar pada Ronald yang masih berdiri di belakangnya.

Meski sudah diyakinkan jika mereka punya jalan keluar tetap saja Vanesa merasa tusukan rasa bersalah di dadanya.

“Kemarin malam aku dan Jery keliling untuk mencari pabrik,

Hingga tadi siang baru dua pabrik kecil yang bersedia diajak kerja sama.

Karena itulah kenapa aku tidak pulang.

Mau menelepon tapi handphonemu mati.”

“Iya, aku kuatir dan menelepon Mama untuk mencari kabar.”

“Kenapa? Kamu kangen atau takut aku kencan sama cewek lain?” bisik Ronald di telinganya.

“Iih, apaan sih?” Vanesa mengelak.

Terdengar tawa Ronald menggelegar memenuhi dapur.

“Hari ini aku buka portal berita online sudah tidak ada berita tentang kamu dan Vico. Mungkin aman bagi kita menonton TV.”

Vanesa memutar tempat duduknya menghadap TV yang tergantung di dinding.

Ronald meraih remote yang tergeletak di atas kulkas dan mulai menyalakannya.

Dalam hati Vanesa berkata agar beritanya dengan Vico sudah menghilang.

Mereka menonton berita dengan damai. Hanya ada berita kriminalitas dan korupsi pejabat.

Menjelang acara berakhir,

Ronald mengganti saluran dan matanya tertuju pada berita selebrity.

Seketika dia menambah volume.

“Hari ini adalah hari bahagia bagi keluarga Tirta, sang anak Vico Arthur telah bertunangan dengan seorang gadis bernama Hana Belia, putri seorang pemilik perusahaan penerbangan.

Ini kemungkinan akan menjadi pernikahan termewah dan termegah dalam waktu dekat.”

Lalu kamera menyorot Vico yang berdiri berdampingan dengan gadis cantik berwajah bak boneka.

Ada orang tua mereka yang berdiri di samping kiri dan kanan.

Sang reporter berita yaitu wanita cantik berpenampilan anggun menyorongkan mik ke arah Bu Anita yang sedang sibuk meladeni pertanyaan dari banyak wartawan.

Mereka berada dalam gedung dengan dekorasi mewah dan glamour.

“Bagaimana dengan gosip yang beberapa hari ini beredar, jika Vico mempunyai hubungan dengan wanita yang sudah menikah?” tanya sang reporter.

Bu Anita tertawa lirih lalu menjawab tegas. “Itu hanya isu, wanita yang kalian pergoki memang teman lama Vico tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa.

Anak saya sendiri sudah siap menikah dengan Hana, bagaimana mungkin Anda membandingkan calon menantu saya yang cantik jelita dengan wanita bersuami yang … yah, mengejar-ngejar Vico.

Bisa saya pastikan, wanita itu yang bermasalah bukan anak saya.”

“Pertunangan ini bukankah terbilang mendadak?” cecar sang repoter.

“Oh tidak, hanya saja kami tidak suka memublikasikan urusan pribadi kami menjadi konsumsi umum.”

Terdengar suara benda pecah.

Vanesa menoleh dan melihat remote TV dilempar ke dinding hingga jatuh berkeping-keping oleh Ronald.

Vanesa sendiri kebingungan. Tidak tahu harus berkata apa.

“Anak manja itu membiarkan kamu dipermalukan, Vanesa! Ini semua salah dia juga, harusnya dia membantu untuk membersihkan namamu bukan malah membiarkan orang tuanya mengolokmu!”

Teriakan marah Ronald bergema di dapur. Vanesa mengusap wajahnya.

Sementara Ronald berjalan mondar-mandir sambil mengepalkan tangan.

Kemarahan terbiasa jelas di wajah tampannya.

“Kak, itu nggak penting, “ ucap Vanesa pelan.

Mencoba menenangkan suaminya. “yang penting adalah perusahaanmu selamat.”

“Ooh, yang benar saja Vanesa! Kamu adalah istriku, bagaimana mungkin aku membiarkan orang lain mengolokmu!”

Vanesa bangkit dari kursi dan meraih tangan suaminya yang mengepal.

Dia membuka telapak tangan dan menangkupkannya di pipi.

Dia merasa tidak masalah jika seluruh dunia menghujatnya asal bukan Ronald.

Sungguh dia tak tahan jika dicap sebagai istri yang tak berguna.

“Maafkan aku, Kak. Memberimu masalah tiada henti,” lirih Vanesa.

Ronald menarik napas panjang dan membuangnya perlahan.

Mencoba mengatasi kemarahan yang bersarang di dadanya.

Dia merasa sangat geram tapi tidak berdaya karena musuhnya orang yang punya kuasa.

Di sisi lain juga merasa sebagai suami tidak bisa melindungi istri.

“Maafkan aku, Kak.”

“Jangan terus menerus meminta maaf, ini bukan sepenuhnya salahmu.”

Vanesa mendongak.

Meraih wajah suaminya dan memandangnya dengan air mata yang jatuh tidak terbendung.

“Jika pernikahan kita membawa banyak kesulitan, aku rela bercer---,”

“---tidak!

Jangan ucapkan itu,” tukas Ronald emosi.

“Tidak akan aku biarkan mereka merusak pernikahan kita.”

Ronald meraih pundak Vanesa dan memeluknya.

“Kamu dengar aku, Vanesa?

Kamu adalah istriku, susah senang kita tanggung bersama jadi jangan ucapkan kata perpisahan.”

Mereka berpelukan entah untuk berapa lama.

Hingga tangis Vanesa mereda.

Setelahnya Ronald berpamitan akan pergi ke suatu tempat dan berjanji akan kembali secepat mungkin.

Vanesa kembali sendiran, menatap kepergian suaminya dengan beban menghimpit dada.

Pikirannya tertuju pada Vico yang bertunangan.

Akhirnya, manta kekasihnya telah menemukan wanita yang sederajat untuk dinikahi. Vanesa merasa senang akan pertunangan Vico meski jauh di lubuk hatinya, tersimpan sesal untuk laki-laki jutawan yang pernah mengisi hatinya.

****

Ronald mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.

Seakan ingin melampiaskan rasa jengkel melalui cepatnya roda mobil berputar.

Di persimpangan dia nyaris menabrak seorang pengendara motor.

Untunglah dia bertindak sigap membanting stir dan tidak ada yang terluka.

Hanya terdengar makian dari pengendara motor tapi selebihnya cuma rasa kaget.

Demi keselamatan bersama, selama sisa perjalanan Ronald mengendarai mobil dengan lebih tenang.

Bagaimana pun nyawa lebih penting dari kemarahan.

Setelah menyusuri jalanan selama hampir dua jam dan melewati kemacetan panjang, Ronald membawa mobilnya memasuki area perkantoran yang sudah pernah dia datangi sebelumnya.

Setelah memastikan jika mobilnya terparkir aman, dia melangkah menuju kantor dengan plang _“Kantor Konsultan Natali and Co,.”_

Dia mendorong pintu kaca dan langsung di hadapkan pada ruangan yang asri dan sejuk. Pendingin ruangan berfungsi dengan baik.

Suasana lebih tenang dibandingkan terakhir kali dia ke sini saat pesta di mana ruangan didekorasi penuh pita dan bunga.

Seorang resepsionis berseragam kuning menghampirinya dan bertanya sopan.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?

Ingin bertemu siapa?”

Ronald memandang gadis yang menyapanya.

Dengan rambut dikuncir rapi dan make-up tipis.

Berusia awal dua puluhan dan sepertinya pegawai magang.

“Aku ingin menemui Kakakku dan nggak usah diantar, aku tahu di mana dia.”

Mengabaikan resepsionis yang kebingungan, Ronald sedikit berlari menuju tangga dan naik ke lantai dua.

Matanya mencari ruangan Anisa dan menemukannya di ruangan paling ujung dekat toilet.

Tangannya mengetuk pintu dan terdengar suara Anisa menyuruhnya masuk.

“Hai, Ronald. Tumben sekali kamu datang?” sambut Anisa cerah.

Mendongak dari atas tumpukan dokumen di meja.

Ronald tidak menjawab, melangkah menuju meja kakaknya dan berkata dingin.

“Panggil Natali ke sini, aku ingin bicara dengan kalian berdua.”

“Ada apakah?” tanya Anisa heran.

“Panggil dia, Kak! Atau dirimu mau aku yang mememanggil?

Aku akan berteriak di lorong sampai seluruh pegawai dengar.”

“Ronald, kamu kurang ajar dan nggak sopan!” tegur Anisa marah.

Ronald menyandarkan tubuhnya ke meja Anisa.

“Panggil dia sekarang, Kakakku Sayang.”

Anisa menatap Ronald yang memandangnya garang.

Kemarahan tercetak jelas dari matanya yang menatap dingin.

Keramahan menghilang dari wajah Ronald yang biasanya selalu sopan pada Anisa. Dengan gugup Anisa meraih gagang telepon dan mememcet nomor, tidak lama tersambung dan dia berbicara di telepon dengan singkat.

“Natali, datang ke ruanganku sekarang. Ada Ronald.”

Tanpa menunggu jawaban Natali, Anisa menutup telepon dan bertanya pada adiknya.

“Sebentar lagi dia datang, puas?”

Ronald melangkah menuju sofa di bagian tengah ruangan.

Duduk dengan menaikkan satu kakinya di atas dengkul.

“Kita tunggu dia datang, aku butuh penjelasan kalian berdua.”

Bersambung ….

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER